Ada proyek baru! Proyek ini memang bukan proyek besar sekelas Lomba Novel Republika yang dihelat tahun lalu. Hadiah utamanya pun mentok di angka 5 juta rupiah. Munafik rasanya kalau aku bilang tak tertarik dengan hadiahnya. Namun, seorang penulis yang hanya menyandarkan karyanya dengan imbalan uang alias money oriented adalah golongan penulis yang ecek-ecek. Sama halnya dengan penyanyi atau entertainer yang hanya mencari uang dengan mengorbankan aspek estetika, moral, sopan santun maupun nilai-nilai penting lainnya. Tentu saja tak serendah itu niatku, hanya mencari uang. Meski tak dinafikan kalau uang itu adalah penyemangat. Toh, apa ada yang salah dengan kata penyemangat? Apa ada yang salah jika ada yang berkata, “Aku semangat sekolah karena keluargakulah semangatku”. Tujuan utamanya tetap sekolah, keluarga hanya mendorong. Tujuan utamaku tetap menulis, uang hanya mendorongku. Hanya orang yang ber-IQ cerdas yang hanya bisa memahami maksudku
Apakah novel soal cinta? Ah, cinta memang ada di mana-mana. Namun aku tak ingin hanya berkiblat pada satu ide cerita yang itu-itu saja. Tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang tak diungkapkan, cinta yang dikhianati maupun tema cinta yang mudah saja ditebak alur ceritanya. Aku ingin membuat cerita yang belum pernah terpikirkan sebelumnya oleh siapapun. Dipadu dengan permainan alur yang maju mundur namun dijamin tidak membingungkan. Mengkawinkan antara dua orang yang memiliki persamaan ide dan hobi namun berbeda cara pandang serta sikap mereka saat dihadapkan dengan seorang gadis desa yang tak sembarangan: dia paham bagaimana cara memberi pelajaran kepada seorang casanova. Dan inti dari kisah ini justru terletak pada budaya. Aku rasa aman menyebut kalau novel ketigaku ini adalah novel budaya. Ya, karena aku memang memasukkan unsur budaya Yogyakarta yang sebenarnya hanya kuketahui sedikit. Itu pun aku dapatkan dari browsing di internet selama beberapa hari. (Bandingkan dengan Andrea Hirata yang memerlukan riset selama bertahun-tahun sehingga bisa menuliskan tetraloginya yang fenomenal itu). Sekali lagi, tak hanya mengangkat ide budaya yang aku suguhkan, aku kembali melakukan percampuran dengan lambang-lambang yang mendunia. Apalagi kalau bukan lambang grup sepak bola dunia. Biarpun aku bukan penggemar fanatik sepak bola, setidaknya aku tahu kalau Manchester United itu lambangnya berwarna merah dan Intermilan itu berasal dari Italia.
Dengan berbagai macam ide yang aku masukkan ke dalam novel ketigaku ini, aku berharap pembaca tak sekedar menjudge-ku sebagai penulis yang asal nulis. Aku ingin pembaca bisa mengambil ide yang aku sampaikan. Syukur-syukur ide itu bisa berguna untuk mereka nanti.
Mengenai judul, aku tak mau sesumbar di sini. Aku belum menemukan judul yang pas. Namun satu kata kunci akan aku bocorkan di tulisan blogku ini. Buketan. Ini adalah satu kata yang pasti muncul karena ini adalah keyword dari novelku. Semoga saja nanti bisa menemukan judul yang bisa membuat para juri melirik novelku. Amin.
Kamis, 28 Juni 2012
Itches Attack
Seseorang pernah bilang begini di depan forum pesantren, “Belum dikatakan jadi santri, kang, kalau belum pernah terkena gatal-gatal”. Dan yang lebih menyebalkannya lagi dia mengatakan kalimat itu sambil prengas prenges seolah dia adalah santri teladan sehingga petuahnya harus diamini oleh semua orang yang mendengarnya. Memuakkan sekali. Menanggapi statemen itu, tentu saja ada yang pro dan kontra. Secara jelas, mudah saja kalian menebakku akan berpihak yang mana. Kalimat ‘santri yang harus terkena gatal-gatal’ lebih diartikan sebagai mengutamakan penampilan luar saja. Kalau santri yang sering garuk-garuk badan di sembarang tempat, berarti ilmu agamanya seluas lautan, hampir menyamai syekh/ mufti di Arab Saudi sana. Atau santri yang berkulit putih nan mulus, berarti dia tidak bisa baca Al Qur’an maupun kitab salaf yang diajarkan pesantren. Apakah begini model pemikirannya? Sama saja dengan orang yang ber-kathok congklang (celana panjang di atas mata kaki sampai terlihat seperti orang yang kebanjiran) atau berjilbab mirip ninja itu adalah golongan yang masuk surga pertama kali. Haiyah... kalau begini caranya lama-lama bakal muncul dalil yang menyatakan lutung berkopyah pun akan masuk surga asalkan dia melakukan dan berkeyakinan ini dan itu.
Syahdan, pondok pesantrenku sedang terkena wabah gatal-gatal. Kejadian ini sudah berjalan sekitar setahun. Awalnya aku santai-santai saja menanggapi masalah ini. Dengan keyakinan asalkan tetap menjaga kesehatan badan dan tak berjoinan dalam hal apapun dengan tersangka utama, aku pasti selamat dari penyakit kutukan pesantren itu. Namun apa daya, entah dapat kabar buruk dari mana, di suatu pagi yang sangat menyebalkan itu, kudapati badanku terserang gatal-gatal. Di bagian punggung muncul bentol-bentol namun tidak gatal. Yang paling parah justru yang tak terlihat. Jika Maghrib datang ditambah cuaca yang panas, kambuhnya tak kepalang merananya. Dengar-dengar dari mantan penderita penyakit ini, gatal-gatal versi pesantren tak bisa disembuhkan dengan obat apapun. Kalau pun bisa, paling itu hanya bertahan beberapa hari. Jika khasiat obat itu habis atau pemakaiannya dihentikan, si kuman akan melakukan invasi lagi, bahkan bisa melancarkan sekuel yang lebih parah dari sebelumnya. Lemas semangat aku mendengar kalimat itu.
Namun aku tidak menyerah begitu saja. Aku berinisiatif untuk melakukan apapun untuk meringankan penyakit terkutuk ini. (Ijinkan aku menyebutnya penyakit terkutuk, karena aku sangat membenci penyakit ini, sampai kapanpun). Mulai dari membeli sabun Dettol, sabun yang aromanya seperti air pel rumah sakit umum, mengkonsumsi kapsul brotowali dan yang terakhir mandi air panas di Pancuran Telu, Baturraden.
Sabun Dettol, ah tak banyak yang bisa aku ceritakan soal ini. Aku membelinya seharga Rp 18.000,00, dapat 5 buah sabun berukuran besar. Rasanya seperti orang yang kesurupan membelanjakan dana sebesar itu hanya untuk membeli sabun yang bahkan baunya pun aku sanggup menahannya. Sekilas, sabun sebanyak ini bisa untuk keperluan mandi selama sebulan. Namun kenyataan tak selalu sejalan dengan perencanaan. Satu buah sabun paling banter bertahan selama 5 hari. Apalagi kalau bukan perkara dendamku terhadap penyakit terkutuk itu. Sabun itulah korbannya.
Kapsul Brotowali, kapsul yang bungkusnya berwarna hijau ini sepertinya menjadi barang yang kerap dicari semenjak munculnya wabah pesantren ini. Satu pak harganya Rp 10.000,00 berisi 10 sachet, per sachet isi 2 buah kapsul berukuran sedang. Di box produk ini tertulis bahwa produk yang diklaim campuran antara ramuan Tiongkok dan Indonesia ini mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit. Namun, lagi-lagi waktu membuktikan segalanya. Penyakit kulit kelas pesantren ini belum jua mau tumbang dengan ramuan duet Cina-Indonesia ini. Gatal-gatal masih saja terasa di sana-sini. Singkatnya, bukan manfaat yang dijanjikan produk yang aku dapatkan. Melainkan efek samping dari mengkonsumsi kapsul Brotowali yang kuperoleh. Mau tahu?
Setelah aku searching di internet, selain bermanfaat untuk mengobati penyakit diabetes, brotowali juga dikenal untuk bahan tambahan pada jamu paitan, mencegah gigitan nyamuk jika air rebusannya dikonsumsi rutin, dan juga dapat menambah nafsu makan. Nah, khasiat terakhir inilah yang justru aku dapatkan. Kurang lebih sebulan mengkonsumsi produk ini, berat badanku kini menyentuh angka 61 kg. Sebuah pencapaian yang tak bisa disepelekan begitu saja. Mengingat seumur hidupku belum pernah memiliki berat badan sebesar itu. Aku jadi teringat tentang sebuah kata bijak, setiap segala sesuatu itu pasti memiliki hikmah di balik itu semua. Dari cobaan khas pesantren yang menimpaku kini, akhirnya aku bisa mengambil hikmah yang hikmah itu benar-benar aku dambakan selama ini: berat badanku akhirnya naik!
Pagi tadi, tanggal 25 Juni 2012, aku dan ketiga temanku berpetualang ke Baturraden. Rencana ini memang sudah kita agendakan sebelumnya. Kita berangkat pagi-pagi sebelum jam 6. Tentunya ini adalah trik yang hanya diketahui oleh masyarakat setempat. Sesampainya di sana, lokasi wisata masih sepi, hanya terlihat satu rombongan keluarga yang sibuk berfoto-foto di pintu masuk objek. Ndeso sekali. Kami membayar retribusi masuk Rp 5.000,00 per orang. Perjalanan sesungguhnya pun dimulai. Udara pagi tadi masih sangat dingin. Meski tak berkabut, mendung lah yang patut dijadikan biang keladinya. Tak banyak yang bisa kita lakukan selain berlari-lari kecil di medan yang berkelok-kelok dan naik turun agar tidak beku kedinginan. Setelah melalui jalan setapak yang menanjak, kita menjumpai satu loket yang belum ada penjaganya. Jika kita berangkat agak siangan, kita harus mengeluarkan uang Rp 7.500,00 untuk bisa melewati tempat itu dan mandi sepuasnya di Pancuran Telu. Karena hari masih terlalu pagi, melengganglah kita dengan santai tanpa kehilangan uang lagi untuk kedua kalinya di objek wisata yang sama. Inilah yang dinamakan trik yang hanya diketahui oleh penduduk setempat.
Pancuran Telu adalah lokasi pemandian air panas yang ukurannya tak terlalu besar. Kolam air panas ini bersumber dari tiga mata air yang airnya berasal dari kolam utama yang terletak di sampingnya. Airnya boleh dikatakan hangat dengan bau belerang yang tak terlalu menyengat. Sekali berendam, rasanya ingin berlama-lama berada di situ. Apa peduli himbauan yang tertulis di sebuah papan kayu di samping kolam yang berbunyi, “Untuk kesehatan, sebaiknya berendam tak lebih dari 15 menit”. Dalam hati kami, “Dunia ini penuh dengan pengecualian. 15 menit tidaklah cukup untuk mengobati penderitaan kami”
Sampai sekarang, gatal-gatal yang kurasakan ini belum juga ada indikasi akan sembuh. Tapi, ah, banyak sekali hikmah yang kuambil di balik cobaan ini. Kata pendidikan agama, ini adalah salah satu media untuk mengurangi dosa. Kata pendidikan kesehatan, kita harus selalu menjaga kesehatan badan dan gaya hidup. Kata pendidikan logistik, cobaan ini membuat aku tahu bagaimana cara untuk menggemukkan badan. Kata pendidikan pariwisata, kita jadi lebih semangat untuk mengunjungi tempat-tempat baru yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya. Kata pendidikan sosial, kita jadi lebih bisa merasakan apa yang sedang dihadapi teman-teman kita yang senasib sepenanggungan dalam ruang lingkup yang sama. Jadi, mengapa kita harus mengeluh kalau di balik suatu musibah, kita masih bisa mendapatkan moral value yang sangat berharga?
Syahdan, pondok pesantrenku sedang terkena wabah gatal-gatal. Kejadian ini sudah berjalan sekitar setahun. Awalnya aku santai-santai saja menanggapi masalah ini. Dengan keyakinan asalkan tetap menjaga kesehatan badan dan tak berjoinan dalam hal apapun dengan tersangka utama, aku pasti selamat dari penyakit kutukan pesantren itu. Namun apa daya, entah dapat kabar buruk dari mana, di suatu pagi yang sangat menyebalkan itu, kudapati badanku terserang gatal-gatal. Di bagian punggung muncul bentol-bentol namun tidak gatal. Yang paling parah justru yang tak terlihat. Jika Maghrib datang ditambah cuaca yang panas, kambuhnya tak kepalang merananya. Dengar-dengar dari mantan penderita penyakit ini, gatal-gatal versi pesantren tak bisa disembuhkan dengan obat apapun. Kalau pun bisa, paling itu hanya bertahan beberapa hari. Jika khasiat obat itu habis atau pemakaiannya dihentikan, si kuman akan melakukan invasi lagi, bahkan bisa melancarkan sekuel yang lebih parah dari sebelumnya. Lemas semangat aku mendengar kalimat itu.
Namun aku tidak menyerah begitu saja. Aku berinisiatif untuk melakukan apapun untuk meringankan penyakit terkutuk ini. (Ijinkan aku menyebutnya penyakit terkutuk, karena aku sangat membenci penyakit ini, sampai kapanpun). Mulai dari membeli sabun Dettol, sabun yang aromanya seperti air pel rumah sakit umum, mengkonsumsi kapsul brotowali dan yang terakhir mandi air panas di Pancuran Telu, Baturraden.
Sabun Dettol, ah tak banyak yang bisa aku ceritakan soal ini. Aku membelinya seharga Rp 18.000,00, dapat 5 buah sabun berukuran besar. Rasanya seperti orang yang kesurupan membelanjakan dana sebesar itu hanya untuk membeli sabun yang bahkan baunya pun aku sanggup menahannya. Sekilas, sabun sebanyak ini bisa untuk keperluan mandi selama sebulan. Namun kenyataan tak selalu sejalan dengan perencanaan. Satu buah sabun paling banter bertahan selama 5 hari. Apalagi kalau bukan perkara dendamku terhadap penyakit terkutuk itu. Sabun itulah korbannya.
Kapsul Brotowali, kapsul yang bungkusnya berwarna hijau ini sepertinya menjadi barang yang kerap dicari semenjak munculnya wabah pesantren ini. Satu pak harganya Rp 10.000,00 berisi 10 sachet, per sachet isi 2 buah kapsul berukuran sedang. Di box produk ini tertulis bahwa produk yang diklaim campuran antara ramuan Tiongkok dan Indonesia ini mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit. Namun, lagi-lagi waktu membuktikan segalanya. Penyakit kulit kelas pesantren ini belum jua mau tumbang dengan ramuan duet Cina-Indonesia ini. Gatal-gatal masih saja terasa di sana-sini. Singkatnya, bukan manfaat yang dijanjikan produk yang aku dapatkan. Melainkan efek samping dari mengkonsumsi kapsul Brotowali yang kuperoleh. Mau tahu?
Setelah aku searching di internet, selain bermanfaat untuk mengobati penyakit diabetes, brotowali juga dikenal untuk bahan tambahan pada jamu paitan, mencegah gigitan nyamuk jika air rebusannya dikonsumsi rutin, dan juga dapat menambah nafsu makan. Nah, khasiat terakhir inilah yang justru aku dapatkan. Kurang lebih sebulan mengkonsumsi produk ini, berat badanku kini menyentuh angka 61 kg. Sebuah pencapaian yang tak bisa disepelekan begitu saja. Mengingat seumur hidupku belum pernah memiliki berat badan sebesar itu. Aku jadi teringat tentang sebuah kata bijak, setiap segala sesuatu itu pasti memiliki hikmah di balik itu semua. Dari cobaan khas pesantren yang menimpaku kini, akhirnya aku bisa mengambil hikmah yang hikmah itu benar-benar aku dambakan selama ini: berat badanku akhirnya naik!
Pagi tadi, tanggal 25 Juni 2012, aku dan ketiga temanku berpetualang ke Baturraden. Rencana ini memang sudah kita agendakan sebelumnya. Kita berangkat pagi-pagi sebelum jam 6. Tentunya ini adalah trik yang hanya diketahui oleh masyarakat setempat. Sesampainya di sana, lokasi wisata masih sepi, hanya terlihat satu rombongan keluarga yang sibuk berfoto-foto di pintu masuk objek. Ndeso sekali. Kami membayar retribusi masuk Rp 5.000,00 per orang. Perjalanan sesungguhnya pun dimulai. Udara pagi tadi masih sangat dingin. Meski tak berkabut, mendung lah yang patut dijadikan biang keladinya. Tak banyak yang bisa kita lakukan selain berlari-lari kecil di medan yang berkelok-kelok dan naik turun agar tidak beku kedinginan. Setelah melalui jalan setapak yang menanjak, kita menjumpai satu loket yang belum ada penjaganya. Jika kita berangkat agak siangan, kita harus mengeluarkan uang Rp 7.500,00 untuk bisa melewati tempat itu dan mandi sepuasnya di Pancuran Telu. Karena hari masih terlalu pagi, melengganglah kita dengan santai tanpa kehilangan uang lagi untuk kedua kalinya di objek wisata yang sama. Inilah yang dinamakan trik yang hanya diketahui oleh penduduk setempat.
Pancuran Telu adalah lokasi pemandian air panas yang ukurannya tak terlalu besar. Kolam air panas ini bersumber dari tiga mata air yang airnya berasal dari kolam utama yang terletak di sampingnya. Airnya boleh dikatakan hangat dengan bau belerang yang tak terlalu menyengat. Sekali berendam, rasanya ingin berlama-lama berada di situ. Apa peduli himbauan yang tertulis di sebuah papan kayu di samping kolam yang berbunyi, “Untuk kesehatan, sebaiknya berendam tak lebih dari 15 menit”. Dalam hati kami, “Dunia ini penuh dengan pengecualian. 15 menit tidaklah cukup untuk mengobati penderitaan kami”
Sampai sekarang, gatal-gatal yang kurasakan ini belum juga ada indikasi akan sembuh. Tapi, ah, banyak sekali hikmah yang kuambil di balik cobaan ini. Kata pendidikan agama, ini adalah salah satu media untuk mengurangi dosa. Kata pendidikan kesehatan, kita harus selalu menjaga kesehatan badan dan gaya hidup. Kata pendidikan logistik, cobaan ini membuat aku tahu bagaimana cara untuk menggemukkan badan. Kata pendidikan pariwisata, kita jadi lebih semangat untuk mengunjungi tempat-tempat baru yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya. Kata pendidikan sosial, kita jadi lebih bisa merasakan apa yang sedang dihadapi teman-teman kita yang senasib sepenanggungan dalam ruang lingkup yang sama. Jadi, mengapa kita harus mengeluh kalau di balik suatu musibah, kita masih bisa mendapatkan moral value yang sangat berharga?