
13 Januari, ada selamatan 7 bulan kandungan Mbak Nunung di rumah mas Eman. Si shohibul hajat kebetulan tidak bisa hadir karena (katanya) kandungannya lemah dan riskan kalau dibawa bepergian jauh. Sehingga dalam acara ini, hanya aku dan mas Eman saja yang nampak di hadapan para tamu (makenya kata 'nampak', kaya dedemit pohon jengkol aja).
Acara dimulai oleh Pak Dawud, pengasuh pesantren, pukul delapan lebih dan selesai kurang dari setengah jam.
Pikirku, cepet amat prosesinya? Kalau tradisi di Purwokerto, acara sejenis itu berlangsung lama. Pantas saja karena yang dibaca surat Maryam, Yusuf, Al Kahfi yang panjangnya minta maaf itu. Kalau di acara semalam itu, entah apa yang dibaca, biasa... penerima tamu identik berada di serambi. Jadi ga paham apa yang dibaca, sekilas membaca sholawat beberapa kali.
Ada beberapa undangan yang tidak hadir, sehingga kita perlu mengantarkan bungkusan berkat ke rumah yang bersangkutan. Saat melewati pondok pesantren, kulihat ada tiga santri yang duduk-duduk di pintu musholla. Mereka semua menatap kita berdua, mungkin ada di antara mereka yang berkata dalam hati, "Semoga mas-mas itu mengantarkan satu berkat aja untuk aku. Lapar banget gela".
Tiba-tiba aku teringat kalau pas lagi ada di pesantren. Yang namanya santri itu paling antusias sama yang namanya nasi berkat. Tahulah bagaimana pola hidup di sana.
Saat kami membelok ke arah utara musholla, mendadak aku merasa perlu memberikan salah satu berkat untuk mereka. Kasihan sumpah, teringat teman pesantrenku yang kelaparan dan ga ada yang bisa dimakan sama sekali. Tapi mau gimana lagi, berkat yang kita bawa sudah dijatah, tak ada yang lebih. Mungkin ketiga orang itu langsung gigit jari melihat kami berdua hanya numpang lewat.
Tahukah kamu apa yang terjadi selanjutnya?
Aku tak enak makan nasi berkat itu sendirian setelahnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar