
Ramadhan kali ini beda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Tak ada sosok nenek yang begitu menyayangiku itu. Bukannya apa-apa, aku hanya merindukannya saja. Andaikan aku diberi kesempatan sekali saja untuk menikmati Ramadhan bersama beliau untuk terakhir kalinya.
Aku masih teringat ketika Ramadhan dua tahun yang lalu, masih kujalani dengan nenek. Seperti biasanya, nenek pasti berteriak-teriak dari kamarnya untuk membangunkanku setelah jam menunjukkan pukul 3 pagi. Kemudian, aku memasak mie instan untuk menu sahur kita. Kalau nenek sudah membeli lauk semalam, maka tugasku hanya menyiapkan minuman hangat dan peralatan makan lengkap dengan menu yang sudah dihangatkan. Terkadang bapak juga datang ke rumah kita untuk mengantarkan menu sahur. Pernah suatu ketika aku memasak mie instan ditambah dengan telur. Caranya, telur dimasak langsung bersama mie rebus sampai matang. Setelah aku mempersilakan nenek untuk memakannya, ternyata nenek tak suka dengan mie buatanku itu. Orang Jawa bilang, mbedhedhek tur marai neg. Itu ‘kan kata nenek, kata aku sih oke oke saja.
Ramadhan setahun yang lalu, kuhabiskan di Palembang. Aku dan ibu ke sana karena akan membawa nenek pulang ke Jawa setelah dua bulan lebih berada di sana. Seraya melewatkan bulan suci di tanah Musi, aku benar-benar tak menyangka kalau itu adalah Ramadhan terakhir yang kuhabiskan bersama nenek.
Tentang peristiwa di stasiun kereta Manggarai. Aku, ibu dan nenek sedang makan siang di kursi tunggu penumpang. Benar kata orang-orang, harga apapun di Jakarta pasti mahal, tak seperti di kota-kota kecil, tak terkecuali harga nasi rames sekalipun. Menu makan siang kami biasa-biasa saja. Nasi rames dengan tempe goreng satu buah, itu pun dihargai Rp 5000,00. Waktu itu aku tak menghabiskan makan siangnya, dan aku tanya apakah ada karet gelang untuk mengikat kembali bungkus ramesku. Nenek yang saat itu salah dengar, dikiranya aku ingin minta tambahan lauk. Tanpa pikir panjang lagi, nenek memberiku tempe gorengnya yang tinggal separuh. Aku lalu bilang kalau aku bukan minta lauk, tapi minta karet gelang. Nenek pun kemudian melanjutkan makan siangnya. Aku hanya melihatnya makan. Kasih sayangnya begitu besar kepada cucunya. Bahkan sampai urusan makan pun, beliau tak keberatan untuk berbagi.
Dan nenek pun menangis ketika aku memeluknya untuk terakhir kalinya. Aku lalu pamit pulang ke Purwokerto, seraya meyakinkan beliau kalau suatu saat nanti aku pasti menjenguknya lagi. Saat aku memeluk nenek, sebenarnya aku sudah merasa kalau itu adalah pelukan terakhirku untuk beliau, namun aku tak berani mengungkapkannya. Cukup hanya aku saja yang tahu. Cukup aku saja yang menyimpan prasangka yang jadi kenyataan itu.
Kata-kata terakhir nenek yang kudengar adalah ketika ibu meneleponku dari Tangerang. Ibu memintaku untuk berkunjung ke sana kalau liburan. Saat itu aku mendengar kata nenek yang sedang ngomong di belakang, “Kamu ga kangen sama mbah apa, Gus?”. Aku langsung menjawab, “Iya, mbah, aku pasti ke sana kalau ada liburan”. Itu saja, percakapan terakhirku dengan nenek melalui telepon.
Namun aku yakin, setiap kali aku membacakan doa untuk nenek, nenek pasti mendengarkan aku bicara. Nenek pasti tahu kalau aku juga kangen beliau. Ramadhan kali ini nenek pasti berada di suatu tempat yang lebih indah dibanding belahan dunia mana pun. Beliau pasti sedang gembira dengan tempat barunya itu sehingga tak sepatutnya aku bersedih jika nenek bahagia.
Semoga nenek tenang di alam sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar