Blogger news

Pages

Minggu, 24 Februari 2013



Dan hal apakah yang kusuka dari kota tuaku Purworejo?

Adalah bersepeda, entah di pagi, siang, sore bahkan di malam hari mengitari pusat kota hingga pedesaan kecilnya. Setiap orang pasti menganggap bahwa kota mereka adalah kota terbaik dan mereka bangga dilahirkan di kota itu. Pun begitu juga aku. Aku bangga dilahirkan sebagai anak muda Purworejo yang kerap diidentikkan sebagai kota tua bekas basis kependudukan Belanda. Aku sebut demikian sebab merujuk pada catatan sejarah bahwa lokasi di sekitar tempat tinggalku penuh dengan bangunan bekas Belanda, mulai dari stasiun, rumah-rumah kosong, bekas pabrik roti, batalyon infanteri sampai sekolah SMP dan SMA-ku pun berdesain gaya Belanda yang tinggi dan berjendela seukuran pintu itu.

Tiba-tiba aku tertarik untuk mempromosikan kotaku. Seolah aku adalah duta wisata Purworejo, namun aku tak akan menggambarkan kotaku secara muluk-muluk. Sebab apa yang digambarkan terlalu indah dan tinggi pemakaian gaya bahasanya, terkadang kontras dengan apa yang ada pada kenyataannya. Hal itu beresiko tinggi pada tingkat kekecewaan orang yang telah termakan deskripsi yang terlalu tinggi itu. Sedang aku tak ingin melakukan hal tersebut. Aku hanya mengisahkan bagaimana perjalanan bersepeda mengitari kotaku menjadi pengalaman yang mengingatkanku pada masa SMA dulu.

Andaikata ada temanku yang berkunjung ke rumahku, aku punya tempat destinasi pertama yang akan didatangi. Yaitu sungai Bogowonto. Ya, sungai biasa sih, seperti sungai-sungai pada umumnya. Hanya saja kalau kita menemukan pagi yang indah, maka kita bisa berfoto ria dengan latar belakang Jembatan Buhliwung yang indah siluetnya itu. Kalau kamu membaca postingan sebelumnya, kamu pasti akan langsung paham bahwa sungai inilah yang pernah kuceritakan mempunyai kisah mistis berupa suara karawitan di tengah malam. Meski legenda itu sudah tak berlaku lagi sekarang, setidaknya kamu bisa langsung terjun ke lapangan dan menganalisa sendiri mengapa fenomena ini bisa terjadi di sungai yang sudah digunakan sebagai sarana transportasi sejak kependudukan Kerajaan Mataram ini.

Bagi kamu yang hobi makan mie ayam, dengan senang hati aku akan mengajakmu ke Warung Mie Ayam Putri Solo. Namun jangan menanyakan kepadaku mengapa warung mie ayam itu dinamai demikian. Apakah pemiliknya orang Solo asli, istrinya orang Solo, perangai di pemilik sehalus karakter orang Solo atau spekulasi lainnya yang berputar-putar tentang wong Solo, aku tak begitu cermat bertanya-tanya hingga sejauh itu. Hanya saja, cita rasa mie ayam di sana belum ada yang menandinginya. Dengan mengeluarkan uang Rp 5.500,00, kita bisa menikmati mie ayam pangsit full portion dengan kelebihan daging ayam yang besar-besar serta kuah yang maha dahsyat nikmatnya. Setelah menikmati mie ayam, pastinya kamu akan kehausan. Maka sebaiknya kita berkunjung ke depot es jus Lor Pusaka. Demikianlah aku menyebutnya. Depot es jus ini sudah ada sejak aku masih kecil. Penjualnya masih itu-itu saja, ibu-ibu beragama Nasrani yang sangat halus tutur katanya. Aku tak tahu namanya. Pun aku juga tak tahu tempat itu bernama apa. Sehingga, secara sembarangan aku menyebut tempat itu sebagai depot es jus lor pusaka. Maksudnya tempat itu terletak di sebelah utara gedung bioskop Pusaka. Padahal, asal kamu tahu, gedung bioskop itu telah lama ditutup paksa lantaran terlalu sering memutar film amoral. Dan siapakah dalang di balik penutupan gedung bioskop yang pernah mengalami masa keemasan ketika aku masih kelas 1 SD itu? Adalah pondok pesantren asuhan Mbah Kyai Toifur yang terkenal tegas perangainya tersebut.

Tak lupa kita masih punya destinasi kuliner utama sambil menikmati durian di Kecamatan Sumongari, Kaligesing. Di tempat ini, durian yang dijual dekat sekali dengan pohonnya. Dengan harga yang bisa ditawar tentu saja, kita bisa menikmati durian yang enaknya sudah terkenal di seluruh Indonesia ini. Bagaimana tidak, TVOne pernah mengangkat tema durian Sumongari di salah satu acaranya. Selain Sumongari, kita masih punya sentra produksi buah berduri tajam ini yaitu Kecamatan Bruno, dan Kecamatan Bagelen. Selain itu, di Kecamatan Butuh, kecamatan paling barat dari Kabupaten Purworejo sekaligus berbatasan langsung dengan Kabupaten Kebumen, kita punya makanan khas berupa dawet ireng. Makanan ini asli berasal dari kecamatan itu dan mudah dijumpai di sepanjang jalan protokol Purworejo-Kebumen. Tentu saja cita rasanya berbeda dengan dawet kebanyakan. Penasaran? Why don’t you just come by to my town? Melengkapi daftar kunjungan, kita bisa mencoba memilih dan membeli buah-buah kesukaan kita ke Perempatan Pasar Kembang. Di sinilah pusat buah-buahan segar di Purworejo. Berbagai macam jenis buah tersedia di sini dengan tatanan semacam di supermarket. Kita bisa memilih buah yang akan kita beli termasuk bisa menawar bila harganya kurang ramah dengan kantong kita.

Tak seru juga kalau kita hanya memikirkan urusan perut. Kita bisa berkunjung ke Masjid Besar Darrul Muttaqin. Masjid agung ini terletak di sebelah barat alun-alun Purworejo. Jangan heran, masjid ini adalah salah satu masjid tertua di kabupaten ini. Dibangun sekitar tahun 1800-an dan mempunyai ikon berupa Bedug Pendawa. Bedug ini dibuat dari satu buah gelondongan kayu jati Pendawa utuh yang dibawa langsung dari Kecamatan Bagelen dan jangan heran, bedug kebanggaan kabupatenku ini menyabet gelar bedug terbesar di dunia. Tak hanya itu, kabupatenku juga bisa disebut surganya pesantren. Ada pesantren An-Nawawi yang diasuh oleh Kyai Chalwani Nawawi. Kyai besar yang pernah ngaji bareng Syeh Dimyati ini mempunyai pesantren sekaligus madrasah lengkap dengan universitas. Masih banyak pesantren yang ada di sekitarnya. Bukannya apa-apa, sekedar informasi saja, rumahku saja dikelilingi oleh 3 pesantren sekaligus. Sehingga tak heran jika setiap hari lingkunganku pasti dilalui oleh santri yang sibuk dengan urusan mengaji mereka.

Dan untuk kamu yang ingin berpetualang dengan jalan kaki, no motorcycle allowed sebab medan yang akan kita kunjungi berupa pegunungan. Kita bisa berziarah ke makam Mbah Kyai Imam Puro. Beliau adalah ulama besar yang ikut andil dalam babat alas Purworejo. Sedangkan makam beliau terletak di daerah pegunungan sebelah utara kota dan hampir masuk ke Kecamatan Bruno. Jika bersedia, setelah kita ziarah, kita bisa meneruskan naik pendakian untuk sampai di summit alias puncak. Di sana ada gazebo besar untuk gardu pantau kota Purworejo. Jangan kaget, dari sini kita bisa melihat Kabupaten Purworejo dari atas.

Tak usah khawatir soal jaringan nirkabel kalau sudah masuk ke dalam area Purworejo. Di pusat kotaku, sekaligus yang paling dekat dengan rumahku, kuketahui ada 2 tempat hotspot yang sangat nyaman untuk dikunjungi. Pertama adalah hotspot Pemda. Tempat ini terletak di sebelah utara alun-alun Purworejo. Desain bangunannya yaitu tiga buah gazebo terbuka dengan dua gazebo tertutup. Hanya saja, kita perlu mendaftarkan diri kita terlebih dahulu melalui email sebelum bisa menikmati akses gratis unlimited. Kalaupun tidak, kita masih bisa memanfaatkannya meski hanya dibatasi sampai satu jam. Jika kamu keberatan dengan regulasi yang semacam itu, kita masih punya tempat online favoritku yaitu kantor Telkom Purworejo. Lokasinya sebelah timur alun-alun Purworejo, berdampingan langsung dengan Kantor Pos Purworejo. Kelebihan tempat ini adalah ruang online yang semi tertutup sehingga melindungi kita dari hujan dan panas. Akses yang lumayan cepat dan dekat dengan warung-warung kalau tiba-tiba kita kelaparan atau kehausan. Untungnya lagi, aku sudah kenal baik dengan salah satu satpam di sini. Sehingga dengan ijinnya, aku masih bisa online di tempat ini tengah malam. Sayangnya, kita tak bisa online di sini 24 jam. Tempat ini hanya terbuka dari pukul 8 pagi hingga 9 malam. Tapi setidaknya, kotaku tidak begitu mengenaskan bukan kalau sudah berkaitan tentang koneksi internet maupun koneksi mobile? Jangan takut soal sinyal jaringan 3, sebab depan rumahku sudah berdiri tower 3 yang menyebabkan bar sinyal selalu penuh setiap saat.

Point terakhir, yang hobi belanja, kita bisa datang ke Pasar Baledono. Pasar besar yang sudah ada sejak jaman Belanda ini menyediakan berbagai macam jenis cemilan khas kotaku dan berbagai macam jenis pakaian biasa dan muslim yang bisa dibeli dengan harga yang terjangkau. Kalau pun kamu menjumpai penjual yang nuthuk harga, thuthuk genten saja dengan menawarnya dengan harga paling murah sekalipun. Tenang saja, orang-orang Purworejo itu terkenal ramahnya dan tak gampak naik darah hehehe. Sebagai informasi tambahan, pasar ini menjadi pusat bahan baku jamu-jamuan yang diproduksi di pabrik jamu di kotaku. Sehingga bagi kamu-kamu yang senang menghirup aroma jamu tradisional, kurasa tempat ini pas untuk dijadikan tempat nongkrong sehari-hari :D Tak lupa pada musim-musim tertentu, ada beberapa peranakan kambing Ettawa yang dijual di tempat ini.

Inilah sebagaian kecil gambaran tentang kota tuaku, Purworejo. Sebuah kota kecil dengan budaya yang ikut dengan tradisi Yogyakarta. Dan jangan lupa, bagi kamu yang berbahasa ngapak, kusarankan jangan sering-sering ngomong di kotaku, sebab kamu hanya akan dijadikan bahan candaan oleh teman-temanku yang asli kelahiran sini. But most of all, amat kusarankan berkunjung ke kotaku. And find the differences

Kamis, 21 Februari 2013

Elegi Tempat Kediaman 2

Maaf kalau kali ini aku banyak cakap.

Kumohon kamu juga tak banyak protes jika aku sedang begini. Terserah lah kamu akan menganggap aku apa. Galau, risau, pisau, atau wow sekalipun, aku tak akan peduli. Aku hanya sedang ingin banyak cakap pagi ini.

Aku sedang pulang ke rumah sekarang. Itu artinya, aku kini kembali ke alam. Back to nature istilah menterengnya. Bangun pagiku disambut dengan kicauan burung gereja yang sejak nenek moyang mereka sudah menjadikan lingkungan sekitar rumahku sebagai istana. Jika aku sedang beruntung, aku pasti menjumpai mereka mematuk-matuk tanah mencari makan. Ternyata, tak semua bulu burung gereja itu buruk rupa. Kadang aku menjumpai bulu mereka hitam legam seperti ayam cemani. Ada pula yang perpaduan antara hitam dan putih seperti TV pertama yang dibeli ayahku kala aku masih TK dulu. Namun itu tak begitu penting bagiku, suara merekalah yang menentramkan aku. Biarpun spesies burung gereja ragam jumlahnya dan bisa ditemui di mana-mana, suara mereka pun serupa, aku tetap menganggap bahwa suara burung gereja di rumahkulah juaranya. Semacam paduan suara yang membangunkan sang tuan rumah yang seolah tak tahu norma agama, selalu bangun pagi setelah jarum pendek jam dindingku beranjak dari angka lima. Kupikir, burung gereja di rumahku sudah mengantongi pavling surga karena tugas mulia mereka itu.

Lihatlah juga di belakang rumahku. Rimbunan pohon bambu, hutan albasia (untuk daerah tertentu seringkali disebut kayu kalba), dan sebuah sungai tua bernama sungai Bogowonto. Tentu saja ada cerita unik tentang sungai ini. Aku belum pernah menceritakannya ‘kan? Aku tak akan menceritakan sejak kapan sungai ini mengalir, sebab aku bukan sejarawan. Aku pun tak akan menceritakan sungai ini dipenuhi oleh batu-batuan besar, pasir besi, kayu-kayu bernilai ekonomis tinggi, sebab aku bukan ahli ekonomi turunan Carl Marx, tapi aku sedang ingin menjadi Harry Panca. Si botak yang kerap menjadi pemandu acara mistik dunia lain. Untungnya aku tidak botak, untung pula tak ada acara uji nyali, mediumisasi atau istilah sebangsa setanah airnya. Aku hanya ingin bercerita kepada kalian kalau sungai Bogowonto itu mempunyai kisah mistik yang sampai kini pun belum ada yang bisa menjawabnya. Jika pada malam-malam tertentu, akan terdengar suara karawitan di sungai ini. Yang jelas tak hanya aku dan keluargaku saja yang bisa mendengarnya. Tapi juga para pemancing mania yang hobi blusukan di tempat wingit ini di tengah malam. Tak ada yang bisa melihat siapa pemain karawitan yang misterius itu. Hanya suara gending khas Jawa, mengitari kompleks sungai tua dan itu terjadi sekitar lewat tengah malam hingga sepertiga malam terakhir. Sayangnya, kisah ini berhenti saat aku masih duduk di bangku SMA. Kini aku tak pernah mendengarkan suara gendingan itu lagi. Entahlah, mungkin penabuhnya sudah ganti profesi karena tuntutan modernisasi atau kelompok kesenian yang mereka bangun sedang mengalami disbanding. Ya semacam grup mereka bubar karena kesibukan mereka masing-masing. Sungguh sayang. Meskipun aku tahu pengalaman ini berkaitan dengan dunia mistis, aku tetap merindukan pengalaman tengah malam yang kerap membuatku terbangun dan sembunyi di balik selimut karena ketakutan. Aku masih merindukan suara gending Jawa itu.

Ngomong-ngomong soal rindu (duh… kamu jangan bilang “Yah mulai nih galaunya”), sebenarnya tidak ada yang patut dibanggakan karena ini. Bukankah pada pengakuanku sebelumnya pernah kutuliskan kalau rinduku itu kadang terlalu didramatisir? Aku kerap mengibaratkan ini dengan itu sehingga persepsi pembaca ulang alik menerjemahkan apa dan siapa yang kumaksud. Dengan hebohnya aku menganggap orang yang kurindui itu berkepribadian megah dan datang dari negeri antah berantah sehingga membuatku terperangah atas kedatangannya yang tak disangka-sangka itu. Padahal aslinya, dia ya biasa saja. Dia tetap makan dan minum seperti aku. Tetap tidur dan kupikir serupawan apapun seseorang, label itu akan runtuh dengan sendirinya kalau dia sedang tidur. Siapapun itu, tak terkecuali. Bahkan si cantik Jennifer Lawrence akan sama nggilaninya dengan Mpok Atiek kalau sedang tidur. Tapi sudahlah, pada dasarnya aku tetap menganggapnya sebagai teman biasa. Meski pada kenyataannya hatiku kerap memprotes kalau dia bukanlah seperti yang kukatakan tadi. Pak Ustadz bilang ini tanda-tanda orang munafik. Kata temanku pula, munafik itu masih saudara dekat dengan Munaroh. Terserahlah mau berpendapat bagaimana.

Jujur aku terkesan dengan status Facebook temanku semalam. Seorang teman SMA yang bertalenta di bidang musik. Dia menuliskan di statusnya, bahwa hidup mapan memang penting. Kerja seporetnya (hanya orang Banyumas yang paham istilah ini) dan hura-hura seporetnya pula sudah menjadi hal yang biasa di kehidupan ini. Namun dia punya sesuatu yang dibanggakan, yaitu cinta dan musik. Dua hal yang tak bisa ditemukan oleh orang yang terlalu fokus pada tujuan hingga lupa menikmati perjalanan. Kemudian salah satu temannya bertanya tentang makna kedua point itu bagi kehidupan pribadinya, apakah cinta dan musik itu sudah menjadikan hidupnya lebih hidup? Dengan lugasnya dia menjawab. Semboyan dari mana itu? Tidak ada istilah bikin hidup lebih hidup, hidup yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa ini sudah cukup luar biasa. Tinggal bagaimana saja kita menikmatinya.

Dan jika ada yang berpendapat bahwa tulisanku ini adalah tulisan galau. Ya terserah mereka mau berpendapat. Bukankah negara ini negara demokrasi? (Ah, mendadak aku seperti kerasukan roh dosen Kewarganegaraan). Tapi kalau menurut pengakuanku ini, aku sedang menikmati perjalanan saja sebagai hidup. Kupikir semua orang pernah merasakan hal ini, ada beberapa orang di antaranya tak bisa mengungkapkannya namun ada pula yang mengungkapkannya dengan cara mereka masing-masing. Kusebutlah golongan pertama, mereka yang hanya memendam dan membiarkannya hingga perasaan itu hilang sedikit demi sedikit. Sebagian lain dari mereka yang merasakan kebimbangan tentang perasaan ini. Kemudian mereka bermain musik, menulis lagu, mengaransemennya dan dipadu dengan dentingan gitar, menulis puisi, menulis, menulis apapun itu dan ia mengabadikan jenis-jenis musik atau karya mereka tersebut dengan baik. Supaya suatu saat mereka bisa membacanya kembali, mndengarkannya kembali, menikmatinya kembali dan mengenang masa-masa di mana perjalanan sebagai anak manusia itu terasa lebih berwarna atas nama kehadiran seseorang. Dan Tuhan pun berkehendak menjadikan aku di golongan kedua itu.

Dan pagi ini, tak banyak kisah yang kutulis. Masih tentang kicauan burung gereja di antara tanaman albasia. Aku sedang tak ingin bermain metafora. Lagi, aku sedang ingin meniru gaya tulisan temanku yang sangat sederhana namun mengena. Kurang lebih tulisannya begini. Aku tak ingin menyamakan kamu dengan secangkir kopi, yang efeknya mantap hingga menampar-nampar wajah dan perasaanku sehingga aku tak tidur semalaman. Pun tak akan mengibaratkan kamu sebagai secangkir teh, yang sepat rasanya terbawa ke mana-mana sehingga aku bisa menceritakan kepada teman-temanku bahwa aku baru saja meminum teh (maksudnya dia sedang jatuh cinta dan cintanya itu berasa ‘sepat’ seperti minuman teh. Sehingga dia selalu ingin menceritakannya kepada orang lain tentang cintanya itu). Namun aku hanya ingin menceritakan kamu seperti segelas air putih. Yang tak banyak tingkah, yang aman dan menentramkan.

Juga tak ingin mengibaratkan kamu seperti matahari tenggelam. Sebab matahari tenggelam itu selalu berdekatan makna dengan akan datangnya malam. Padahal aku takut dengan malam. Aku selalu dihinggapi perasaan was-was tentang malam. Sedangkan kamu, tak pantas jika diasosiasikan dengan sesuatu yang tak kusukai. Kamu terlalu baik jika kubandingkan dengan benda mati yang ada di muka bumi ini. Kamu ya kamu. Tak ada istilah yang pantas kubuat untuk membandingkan kamu. Hanya satu harapkanku di kala kesendirianku. Kuingin kamu tahu kerinduanku.

Ah sudahlah, aku terlalu banyak mengacau. Minumanku sudah mendingin ternyata.

Elegi Tempat Kediaman


Kembali ke tempat kediaman barangkali menjadi salah satu hal yang kuidamkan.
Setidaknya aku merasakannya, atau mungkin juga dengan apa yang orang lain rasakan.
Kembali ke rumah bermakna pula aku bisa mendengarkan apa yang aku sebut dengan nyanyian.
Alam-lah yang melakukannya, mendendangkan syair, tanpa rima, tanpa kata, tanpa bait, tanpa dentingan namun menolak segala kesenyapan.
Tentang beriak air sungai yang memecah keheningan.
Tentang hewan malam yang menyalak di tengah hutan.
Memadupadankan suara jangkrik dan kunang-kunang beterbangan.
Inilah yang selalu kusukai ketika aku kembali ke tanah kelahiran.
Tempat di mana aku bisa menikmati apa yang tak bisa kurasakan kala di tanah perantauan.
Berarti pula berkuasa di kamar sendiri tanpa riuh kebisingan.
Bebas memutar musik tanpa ada yang protes mengapa lagu yang diputar selalu kebarat-baratan.
Bebas menjelajah kota, mengenang jaman SMA dan sesekali bertandang ke rumah teman.
Dan inilah yang kusuka dari suasana tempat kediaman.
Kumendengar Murottalan dari pesantren seberang bengawan.
Yaitu aura sepertiga malam yang jarang kudengar jika sedang ada di perantauan.
Namun, aku tak pernah mengatakan bahwa Al Amin patut dipersalahkan.
Kukatakan, “Murottalannya Al Amin bukanlah kaset, namun dilakukan oleh qori’-qori’ andalan”.
Yang suara mereka merdu tiada yang bisa mengalahkan.
Tapi, jarang kudengar ada suara surga menembus melalui bilik-bilik kamar yang dihuni puluhan.
Yang ada, ya musikan, ndopokan, nonton TV, Facebookan, gitaran dan pastinya cengengesan.
Sehingga, kadang aku nyaman dengan kamarku ini, yang sederhana ditaburi Murottalan di kala hujan.
Bahkan sampai-sampai aku malas kembali ke perantauan.

Dan mendadak semuanya tenggelam dalam sebuah keraguan.
Berawal dari sebuah meja yang di atasnya tersedia makanan.
Biasanya kami memakannya bersama-sama , diiringi gelak tawa, candaan, bertanya makanan ini datang dari siapa dan ujung-ujungnya main comblang-comblangan.
Lalu kali ini, semuanya mendadak runtuh dalam kesenyapan: aku harus memakannya seorang diri tanpa teman.

Aku tak mengatakan itu sudah menjadi kenangan.
Pastilah aku suatu saat kembali dengan beberapa jajan kesukaan kalian.
Tentu saja bilamana Tuhan mengijinkan.
Hanya saja, aku ingin mengungkapkan sebuah kejujuran.
Mungkin hanya aku, yang ketika jauh dari Al Amin tiba-tiba merindukan ramainya kebersamaan dengan kawan-kawan.
Sholat bersama, makan bersama, dolan bersama, ndopokan bersama, jogging bersama, gundah gulana masih bersama, dan semuanya hiruk pikuk di dalam ingatan.
Mungkin hanya aku saja, yang berpikir bahwa Al Amin selalu ada di dalam ingatan.

#Terima kasih sudah menemani meski kamu tak ada di sini.

3 - IM3


Tentang salah satu contoh kesetiaan yang sedang kubangun sampai sekarang adalah bagaimana loyalitasku pada pemakaian nomor ponsel. Hal sepele memang. Akan tetapi, meskipun hal tersebut bukanlah perkara krusial dan melanggarnya pun tidak akan ditindak pidana, kumerasa tetap perlu melakukannya. Dimulai dari melaksanakan hal-hal yang sepele dan membiasakannya, sehingga aku tak perlu kerepotan untuk menjaga kesetiaanku untuk perkara yang lebih besar nanti. Pernikahan contohnya. Tapi sudahlah, aku sedang tidak akan membahas soal pernikahan, terlalu jauh dan terlalu spekulatif jika memaksakan untuk menjabarkannya di forum ini. Kembali pada pokok bahasan awal bahwa aku hanya sedang mencoba setia memakai satu nomor ponsel saja.

Aku adalah penggemar setia 3 sejak bertahun-tahun lalu. Tepatnya aku lupa kapan. Pastinya sudah lebih 3 tahun aku menjadikan operator asli Inggris ini sebagai sahabat telekomunikasiku. Banyak kelebihan yang ditawarkan sehingga membuatku tetap setia. Ibarat alasan setia mengapa suami betah di rumah, salah tiganya karena istrinya cantik, ahli memasak dan penyayang. Maka beberapa salah (alasan, bukan hanya salah satu) kenapa aku begitu sticky dengan operator 3 karena paket sms dan internet yang diobral sembarang kuota. Ingatkah bahwa sampai saat ini 3 menawarkan promosi kirim sms ke sesama operator tanpa batas alias unlimited? Sebenarnya bukan unlimited sih, sekitar berapa puluh ribu sms gitu, namun siapa orang yang bisa menghabiskan kuota sms segitu banyaknya dalam sehari hanya setelah mengirim satu sms seharga lima ratus perak? (Mau keloloden hp apa?). Belum lagi paket internet yang masya Allah murahnya. Saat ini bahkan aku sudah mendaftarkan nomorku untuk berlanggangan AlwaysOn selama setahun. Itu artinya aku mendapatkan kuota internet sekian MB selama setahun ke depan. Belum lagi harga paket tambahan sebanyak 100 MB hanya dihargai Rp 5.000,00. Mana ada operator yang rela banting harga sedemikian kerasnya?
Satu lagi, karena ponselku bisa dibuat modem, itu artinya aku semakin bebas mengakses jejaring sosial sekaligus ngurusin blog-ku tanpa harus kelimpungan menjadi tempat online gratis yang mulai banyak tersebar di sepanjang kotaku. Tetap stay cool di dalam kamar, sambil ngemil seraya menikmati segelas susu kacang ijo, rasanya tak berlebihan kalau aku menganggap surga dunia dipindahkan sebentar ke kamarku. Peduli setan dengan modem yang belum kuisi, ponselku ternyata multiguna meskipun fiturnya tak semegah harapanku.

Sampai suatu ketika kesetiaanku diuji ketika aku bertandang ke rumahnya Hasan di pedalaman Batang. Aku mengatakan pedalaman karena nyatanya rumahnya teramat jauh dari jangkauan. Melewati areal persawahan beberapa kali dan setiap sawah luasnya barangkali hanya bisa ditandingi dengan tiga kali ukuran lapangan sepak bola. Pun demikian, kita masih harus melewati pemukiman penduduk, melewati muara, menyeberang jembatan dan gang-gang kecil dengan puluhan anak kecil yang mewek minta dibeliin jajan sama emaknya. Duh, melihat pemandangan yang sedemikian getirnya, hanya satu hal yang amat kukhawatirkan, jangan-jangan tidak ada sinyal 3 di sini.
Tuhan pun mengabulkan kekhawatiranku. Aku dikerjain habis-habisan oleh Kecamatan Depok, Kabupaten Batang. Tidak ada sinyal 3 barang satu bar pun. Kalau pun ada, aku harus keluar rumah, nongkrong di belakang rumah, beratapkan langit dan dikelilingi oleh hutan gelap yang acapkali membuat pikiranku ketir-ketir kalau ada makhluk bukan dari bangsa manusia datang menghampiriku ingin ikut aku online dengan hape jadulku. Haduh, memang kuakui tinggal 3 hari di rumah Hasan adalah pengalaman yang menyenangkan. Kita bisa bermain ke laut, ke ladang melati, ke pusat perbelanjaan batik, ke mana-mana namun sayangnya semuanya dibarengi dengan minimalnya sinyal jaringan operatorku.
Dan apalagi yang menarik setelah mengunjungi rumah Hasan? Seperti sejarah bilang, cucu nabi Muhammad yang terkenal seantero jagad yakni Hasan dan Husein. Nah, satu cerita lagi tentang perjalananku ke rumah Husein di Kecamatan Jingkang, Purbalingga. Niat awalnya karena aku dan teman-temanku ingin menengok ibunya Husein yang sedang ditimpa musibah. Sekaligus berpetualang melewati hutan pinus yang selalu bertabur kabut di kala pagi dan sore menjelang. Sebuah pemandangan indah khas pegunungan, dengan berbagai macam tanaman buah ada di sekeliling rumahnya, tak kurang buah jambu, alpukat, papaya, tanaman cengkih, kopi, teh, glagah, dan beberapa tanaman palawija lainnya, menyebabkan aku sebenarnya tak keberatan tinggal di situ berlama-lama (kecuali jika aku tak punya muka dengan enaknya numpang makan gratis di sana). Hanya satu saja kendala, tidak ada sinyal 3 sedikit pun di sana. Sehingga tak heran, ketika aku sudah turun gunung, banyak sms-pun berdatangan dan isinya hampir seragam, memprotes mengapa aku tak pernah membalas sms mereka.

Berangkat dari pengalaman inilah, terpikirkan aku ingin menambah koleksi nomor operatorku. Pilihanku jatuh pada IM3. Tak banyak pertimbangan yang ditawarkan memang. Kebanyakan temanku memakai IM3, ketersediaan sinyal sedikit lumayan dibanding 3, dan paket internet kali ini lumayan kedengarannya (entah bagaimana dengan tariff yang akan ditetapkan ke depannya). Sehingga karena alasan inilah aku membeli perdana IM3 sewaktu aku pulang ke Purworejo kemarin Senin.

Untunglah aku mendapatkan nomor yang tak begitu buruk rupa. Apa pendapat kalian dengan nomor ini? 085602029602. Lalu tebaklah berapa harganya? Empat ribu rupiah, tak lebih dari itu.