Blogger news

Pages

Kamis, 21 Februari 2013

Elegi Tempat Kediaman 2

Maaf kalau kali ini aku banyak cakap.

Kumohon kamu juga tak banyak protes jika aku sedang begini. Terserah lah kamu akan menganggap aku apa. Galau, risau, pisau, atau wow sekalipun, aku tak akan peduli. Aku hanya sedang ingin banyak cakap pagi ini.

Aku sedang pulang ke rumah sekarang. Itu artinya, aku kini kembali ke alam. Back to nature istilah menterengnya. Bangun pagiku disambut dengan kicauan burung gereja yang sejak nenek moyang mereka sudah menjadikan lingkungan sekitar rumahku sebagai istana. Jika aku sedang beruntung, aku pasti menjumpai mereka mematuk-matuk tanah mencari makan. Ternyata, tak semua bulu burung gereja itu buruk rupa. Kadang aku menjumpai bulu mereka hitam legam seperti ayam cemani. Ada pula yang perpaduan antara hitam dan putih seperti TV pertama yang dibeli ayahku kala aku masih TK dulu. Namun itu tak begitu penting bagiku, suara merekalah yang menentramkan aku. Biarpun spesies burung gereja ragam jumlahnya dan bisa ditemui di mana-mana, suara mereka pun serupa, aku tetap menganggap bahwa suara burung gereja di rumahkulah juaranya. Semacam paduan suara yang membangunkan sang tuan rumah yang seolah tak tahu norma agama, selalu bangun pagi setelah jarum pendek jam dindingku beranjak dari angka lima. Kupikir, burung gereja di rumahku sudah mengantongi pavling surga karena tugas mulia mereka itu.

Lihatlah juga di belakang rumahku. Rimbunan pohon bambu, hutan albasia (untuk daerah tertentu seringkali disebut kayu kalba), dan sebuah sungai tua bernama sungai Bogowonto. Tentu saja ada cerita unik tentang sungai ini. Aku belum pernah menceritakannya ‘kan? Aku tak akan menceritakan sejak kapan sungai ini mengalir, sebab aku bukan sejarawan. Aku pun tak akan menceritakan sungai ini dipenuhi oleh batu-batuan besar, pasir besi, kayu-kayu bernilai ekonomis tinggi, sebab aku bukan ahli ekonomi turunan Carl Marx, tapi aku sedang ingin menjadi Harry Panca. Si botak yang kerap menjadi pemandu acara mistik dunia lain. Untungnya aku tidak botak, untung pula tak ada acara uji nyali, mediumisasi atau istilah sebangsa setanah airnya. Aku hanya ingin bercerita kepada kalian kalau sungai Bogowonto itu mempunyai kisah mistik yang sampai kini pun belum ada yang bisa menjawabnya. Jika pada malam-malam tertentu, akan terdengar suara karawitan di sungai ini. Yang jelas tak hanya aku dan keluargaku saja yang bisa mendengarnya. Tapi juga para pemancing mania yang hobi blusukan di tempat wingit ini di tengah malam. Tak ada yang bisa melihat siapa pemain karawitan yang misterius itu. Hanya suara gending khas Jawa, mengitari kompleks sungai tua dan itu terjadi sekitar lewat tengah malam hingga sepertiga malam terakhir. Sayangnya, kisah ini berhenti saat aku masih duduk di bangku SMA. Kini aku tak pernah mendengarkan suara gendingan itu lagi. Entahlah, mungkin penabuhnya sudah ganti profesi karena tuntutan modernisasi atau kelompok kesenian yang mereka bangun sedang mengalami disbanding. Ya semacam grup mereka bubar karena kesibukan mereka masing-masing. Sungguh sayang. Meskipun aku tahu pengalaman ini berkaitan dengan dunia mistis, aku tetap merindukan pengalaman tengah malam yang kerap membuatku terbangun dan sembunyi di balik selimut karena ketakutan. Aku masih merindukan suara gending Jawa itu.

Ngomong-ngomong soal rindu (duh… kamu jangan bilang “Yah mulai nih galaunya”), sebenarnya tidak ada yang patut dibanggakan karena ini. Bukankah pada pengakuanku sebelumnya pernah kutuliskan kalau rinduku itu kadang terlalu didramatisir? Aku kerap mengibaratkan ini dengan itu sehingga persepsi pembaca ulang alik menerjemahkan apa dan siapa yang kumaksud. Dengan hebohnya aku menganggap orang yang kurindui itu berkepribadian megah dan datang dari negeri antah berantah sehingga membuatku terperangah atas kedatangannya yang tak disangka-sangka itu. Padahal aslinya, dia ya biasa saja. Dia tetap makan dan minum seperti aku. Tetap tidur dan kupikir serupawan apapun seseorang, label itu akan runtuh dengan sendirinya kalau dia sedang tidur. Siapapun itu, tak terkecuali. Bahkan si cantik Jennifer Lawrence akan sama nggilaninya dengan Mpok Atiek kalau sedang tidur. Tapi sudahlah, pada dasarnya aku tetap menganggapnya sebagai teman biasa. Meski pada kenyataannya hatiku kerap memprotes kalau dia bukanlah seperti yang kukatakan tadi. Pak Ustadz bilang ini tanda-tanda orang munafik. Kata temanku pula, munafik itu masih saudara dekat dengan Munaroh. Terserahlah mau berpendapat bagaimana.

Jujur aku terkesan dengan status Facebook temanku semalam. Seorang teman SMA yang bertalenta di bidang musik. Dia menuliskan di statusnya, bahwa hidup mapan memang penting. Kerja seporetnya (hanya orang Banyumas yang paham istilah ini) dan hura-hura seporetnya pula sudah menjadi hal yang biasa di kehidupan ini. Namun dia punya sesuatu yang dibanggakan, yaitu cinta dan musik. Dua hal yang tak bisa ditemukan oleh orang yang terlalu fokus pada tujuan hingga lupa menikmati perjalanan. Kemudian salah satu temannya bertanya tentang makna kedua point itu bagi kehidupan pribadinya, apakah cinta dan musik itu sudah menjadikan hidupnya lebih hidup? Dengan lugasnya dia menjawab. Semboyan dari mana itu? Tidak ada istilah bikin hidup lebih hidup, hidup yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa ini sudah cukup luar biasa. Tinggal bagaimana saja kita menikmatinya.

Dan jika ada yang berpendapat bahwa tulisanku ini adalah tulisan galau. Ya terserah mereka mau berpendapat. Bukankah negara ini negara demokrasi? (Ah, mendadak aku seperti kerasukan roh dosen Kewarganegaraan). Tapi kalau menurut pengakuanku ini, aku sedang menikmati perjalanan saja sebagai hidup. Kupikir semua orang pernah merasakan hal ini, ada beberapa orang di antaranya tak bisa mengungkapkannya namun ada pula yang mengungkapkannya dengan cara mereka masing-masing. Kusebutlah golongan pertama, mereka yang hanya memendam dan membiarkannya hingga perasaan itu hilang sedikit demi sedikit. Sebagian lain dari mereka yang merasakan kebimbangan tentang perasaan ini. Kemudian mereka bermain musik, menulis lagu, mengaransemennya dan dipadu dengan dentingan gitar, menulis puisi, menulis, menulis apapun itu dan ia mengabadikan jenis-jenis musik atau karya mereka tersebut dengan baik. Supaya suatu saat mereka bisa membacanya kembali, mndengarkannya kembali, menikmatinya kembali dan mengenang masa-masa di mana perjalanan sebagai anak manusia itu terasa lebih berwarna atas nama kehadiran seseorang. Dan Tuhan pun berkehendak menjadikan aku di golongan kedua itu.

Dan pagi ini, tak banyak kisah yang kutulis. Masih tentang kicauan burung gereja di antara tanaman albasia. Aku sedang tak ingin bermain metafora. Lagi, aku sedang ingin meniru gaya tulisan temanku yang sangat sederhana namun mengena. Kurang lebih tulisannya begini. Aku tak ingin menyamakan kamu dengan secangkir kopi, yang efeknya mantap hingga menampar-nampar wajah dan perasaanku sehingga aku tak tidur semalaman. Pun tak akan mengibaratkan kamu sebagai secangkir teh, yang sepat rasanya terbawa ke mana-mana sehingga aku bisa menceritakan kepada teman-temanku bahwa aku baru saja meminum teh (maksudnya dia sedang jatuh cinta dan cintanya itu berasa ‘sepat’ seperti minuman teh. Sehingga dia selalu ingin menceritakannya kepada orang lain tentang cintanya itu). Namun aku hanya ingin menceritakan kamu seperti segelas air putih. Yang tak banyak tingkah, yang aman dan menentramkan.

Juga tak ingin mengibaratkan kamu seperti matahari tenggelam. Sebab matahari tenggelam itu selalu berdekatan makna dengan akan datangnya malam. Padahal aku takut dengan malam. Aku selalu dihinggapi perasaan was-was tentang malam. Sedangkan kamu, tak pantas jika diasosiasikan dengan sesuatu yang tak kusukai. Kamu terlalu baik jika kubandingkan dengan benda mati yang ada di muka bumi ini. Kamu ya kamu. Tak ada istilah yang pantas kubuat untuk membandingkan kamu. Hanya satu harapkanku di kala kesendirianku. Kuingin kamu tahu kerinduanku.

Ah sudahlah, aku terlalu banyak mengacau. Minumanku sudah mendingin ternyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar