Kamis, 21 Februari 2013
Elegi Tempat Kediaman
Kembali ke tempat kediaman barangkali menjadi salah satu hal yang kuidamkan.
Setidaknya aku merasakannya, atau mungkin juga dengan apa yang orang lain rasakan.
Kembali ke rumah bermakna pula aku bisa mendengarkan apa yang aku sebut dengan nyanyian.
Alam-lah yang melakukannya, mendendangkan syair, tanpa rima, tanpa kata, tanpa bait, tanpa dentingan namun menolak segala kesenyapan.
Tentang beriak air sungai yang memecah keheningan.
Tentang hewan malam yang menyalak di tengah hutan.
Memadupadankan suara jangkrik dan kunang-kunang beterbangan.
Inilah yang selalu kusukai ketika aku kembali ke tanah kelahiran.
Tempat di mana aku bisa menikmati apa yang tak bisa kurasakan kala di tanah perantauan.
Berarti pula berkuasa di kamar sendiri tanpa riuh kebisingan.
Bebas memutar musik tanpa ada yang protes mengapa lagu yang diputar selalu kebarat-baratan.
Bebas menjelajah kota, mengenang jaman SMA dan sesekali bertandang ke rumah teman.
Dan inilah yang kusuka dari suasana tempat kediaman.
Kumendengar Murottalan dari pesantren seberang bengawan.
Yaitu aura sepertiga malam yang jarang kudengar jika sedang ada di perantauan.
Namun, aku tak pernah mengatakan bahwa Al Amin patut dipersalahkan.
Kukatakan, “Murottalannya Al Amin bukanlah kaset, namun dilakukan oleh qori’-qori’ andalan”.
Yang suara mereka merdu tiada yang bisa mengalahkan.
Tapi, jarang kudengar ada suara surga menembus melalui bilik-bilik kamar yang dihuni puluhan.
Yang ada, ya musikan, ndopokan, nonton TV, Facebookan, gitaran dan pastinya cengengesan.
Sehingga, kadang aku nyaman dengan kamarku ini, yang sederhana ditaburi Murottalan di kala hujan.
Bahkan sampai-sampai aku malas kembali ke perantauan.
Dan mendadak semuanya tenggelam dalam sebuah keraguan.
Berawal dari sebuah meja yang di atasnya tersedia makanan.
Biasanya kami memakannya bersama-sama , diiringi gelak tawa, candaan, bertanya makanan ini datang dari siapa dan ujung-ujungnya main comblang-comblangan.
Lalu kali ini, semuanya mendadak runtuh dalam kesenyapan: aku harus memakannya seorang diri tanpa teman.
Aku tak mengatakan itu sudah menjadi kenangan.
Pastilah aku suatu saat kembali dengan beberapa jajan kesukaan kalian.
Tentu saja bilamana Tuhan mengijinkan.
Hanya saja, aku ingin mengungkapkan sebuah kejujuran.
Mungkin hanya aku, yang ketika jauh dari Al Amin tiba-tiba merindukan ramainya kebersamaan dengan kawan-kawan.
Sholat bersama, makan bersama, dolan bersama, ndopokan bersama, jogging bersama, gundah gulana masih bersama, dan semuanya hiruk pikuk di dalam ingatan.
Mungkin hanya aku saja, yang berpikir bahwa Al Amin selalu ada di dalam ingatan.
#Terima kasih sudah menemani meski kamu tak ada di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar