
Aku hanya bisa tersenyum ketika mendengar sekelompok orang yang memojokkan dunia pesantren. Mereka beranggapan bahwa pesantren adalah sarang teroris,pencetak generasi yang kuper,kolot dan konservatif,tak terpengaruh dunia luar,lusuh,kumal,gaptek,jorok,penyakitan,ajang kekerasan,praktek mairil dan asumsi-asumsi sayap kiri lainnya.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar itu semua.
"Oh ya? Jelas sekali definisi yang anda berikan? Seolah anda sudah berpatroli di setiap pesantren yang ada di Pulau Jawa bahkan sampai ke luar pulau. Sehingga, seolah-olah pendapat anda itu angkuh tak terpatahkan".
Saya memang belum lama tinggal di pesantren. Kata kiai di kampungku, waktu 4 tahun mengenyam pendidikan di dalam lembaga Islam tersebut belumlah berarti apa-apa. Atau istilah yang beliau pakai yaitu 'masih dalam tahap adaptasi'. Dan rasanya saya belum cukup punya sanggahan menanggapi sindiran itu.
Yah,pesantren. Pesantren yang aku tempati adalah pesantren modern. Sistem pengajiannya ada 2 macam. Sorogan dan bandongan. Sorogan yaitu sistem klasikal di mana santri membaca kitab suci secara individual di depan ustadz, dan bandongan yaitu jiping alias ngaji kuping. Kita mendengarkan ceramah ustadz dan mencatatnya di buku kita masing-masing. Secara fisik, memang tak ada yang istimewa. Namun secara psikis, aku benar-benar jatuh hati dengan pesantren ini. Teman-teman dengan beragam karakter, jadwal pengajian yang seringkali aku dan teman-temanku tentang, berhubungan dengan santri putri, hebohnya ngaji sorogan bersama abah kyai dan lain-lainnya.
Rasanya belum ada perkara yang dapat memberikan pengalaman lebih daripada apa yang pesantren ini berikan. Sungguh, aku jatuh hati dengan pesantren ini.
Dan sekali-sekali jangan menganggap kuno pesantrenku. Kalau pas jam pengajian,bisa jadi kita adalah gerombolan kaum bersarung yang fasih membaca kitab suci. Namun, di luar itu, kami juga melek teknologi. Tak ada istilah asing bagi kami tentang istilah hotspot, android, software, jejaring sosial, motor tiger dsb. Inilah perpaduan yang menakjubkan antara urusan duniawi dan ukhrawi.
Sekali lagi, jangan anggap remeh kami sebagai segolongan orang yang terpinggirkan (outcast) karena penampilan kami. Tak ubahnya dengan orang kebanyakan,narsis juga, gahoel geelaa, agak sinting, ada yang cakep juga meski semua itu masih dalam ranah Islami.
Serta yang paling penting, lembaga ini berusaha keras untuk mencetak generasi yang benar-benar memahami Islam secar kaffah dan mempraktekkannya. Jangan sampai ulama Mesir, Yusuf Qardhawi, mencap kami ke dalam golongan yang ia sebut sebagai Muslim yang telah kehilangan Islam-nya. Sebagaimana beliau pernah berkata pada pembukaan buku yang ia tulis sendiri, "Aku melihat tidak ada komunitas Muslim di sini (negeri Barat). Namun aku merasakan kehadiran Islam ada di sini. Dan saat aku berkunjung di negeri Timur, aku menjumpai begitu banyak masyarakat Muslim. Namun Islam tidak dihadirkan di tengah-tengah mereka".