Blogger news

Pages

Senin, 13 Februari 2012

Teh dan Gemuruh dari Arah Utara

Ada satu bab yang sengaja aku persembahkan khusus untuk nenek dalam novel keduaku. Bab yang menceritakan bagaimana kita pernah bertengkar hebat di malam hari, namun semuanya akan kembali seperti sedia kala di pagi harinya. Secangkir teh manis hangat adalah simbolis perdamaian dua manusia beda generasi ini. Setiap pagi, di setiap aroma teh yang kucium, sering kurasakan kehadiran nenek di situ.

Begitu juga dengan gemuruh dari arah utara sana. Gemuruh pertanda akan datangnya hujan menjadi fenomena yang mungkin akan selalu kuhubung-hubungkan dengan pengorbanan nenek yang tak pernah lelah mencari nafkah. Nenek akan memberiku kejutan setelah beliau pulang ke rumah berbarengan dengan guyuran hujan. Ya, beliau adalah pribadi yang luar biasa. Meskipun hujan turun dengan deras, tak lupa membelikan jajan untukku. Bahkan ketika beliau di Palembang, masih sempat berkata,"Kae Agus ditukokno jajan. Melaske".

Benar juga kata bijak ini. Anak akan selalu mengingat kebaikan-kebaikan dan kasih sayang dari orang tuanya, bukan mengingat dari harta benda yang mereka peroleh dari kedua orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar