Blogger news

Pages

Senin, 28 November 2011

The One That Got A Way


Hahaha bukan perkara mengapa anak laki-laki menyukai Katy Perry. Kalau lagunya bagus, harus bagaimana lagi?
Katy Perry adalah penyanyi pop asal Amerika. Album keduanya, Teenage Dream, sudah menghasilkan 5 lagu yang semuanya berhasil menduduki posisi pertama di Billboard 100. Kelima lagu itu adalah California Gurls, Teenage Dream, E. T, Fireworks, Last Friday Night (T.G.I.F). Kini, lagu terbarunya yaitu The One That Got A Way. Cerita lagu ini belum kupahami secara sempurna. Karena aku belum pernah menerjemahkan liriknya . Namun secara keseluruhan, lagu ini adalah lagu mellow-ballad yang bernuansa kesedihan.
Tonton saja videonya. Di dalam video yang dirilis bertepatan tanggal cantik 11 November 2011, menceritakan Katy Perry tua yang sedang mengenang saat dia bersama kekasihnya dulu. Saat mereka berdua masih muda, mereka suka menggambar di atas kanvas. Pada suatu hari, Perry muda sedang kehabisan ide untuk menggambar. Hal ini menimbulkan kemarahan dari si cowok. Dipaksanyalah Perry untuk melukiskan sesuatu, apapun itu. Hal ini membuat Perry marah dan kemudian mengambil cat merah lalu ditumpahkannya di atas lukisan si cowok yang hampir selesai. Si cowok muntab dan akhirnya dia minggat. Saat itu, Perry muda sangat menyesal atas tindakannya.
Nah, di perjalanan, saat si cowok sedang mengemudikan mobil, tangan kirinya membuka kap atas dan bando merah muda milik Perry jatuh tepat di depannya. Ia pandangi benda kesayangan pacarnya itu, ia kemudian pun ikut terkenang. Ia nampak menyesal dan tak tega meninggalkan tambatan hatinya seorang diri. Ia tak sadar kalau di depannya, bongkahan batu besar berguguran menutupi jalan raya. Namun sial, ia terlambat mengetahui awal bencana itu. Secara mendadak dia membelokkan mobilnya untuk menghindari batu-batu besar itu. Namun fatal, mobilnya masuk jurang. Di lain tempat, Perry muda digambarkan terjatuh di depan almari pakaiannya. Dia sepertinya punya firasat buruk sedang menimpa kekasihnya.
Video ini ditutup dengan scene Perry tua mengunjungi lokasi kecelakaan pacarnya dulu. Dia membayangkan kekasihnya hadir saat itu dan mereka berdua saling berjabatan tangan serta tampak tato gambar hati di kedua tangan sejoli itu.
Not too bad video 

Kamis, 24 November 2011

Felix Tigris

Felix Tigris, sebuah nama latin dari kucing, adalah hewan berbulu yang sudah akrab denganku sejak aku masih kecil. Dulu, ketika umurku belum genap 10 tahun, kakekku sudah memelihara kucing dengan anaknya yang lebih dari lima ekor. Sayangnya, sebelum mereka besar, mereka keburu dibuang ke seberang sungai (wetan kali- sebutan yang seringkali dipakai untuk menyebut tempat di seberang sungai, yang identik dengan pengasingan). Alasannya sederhana, keluargaku sudah tak sanggup lagi mengurusi hewan sebanyak itu. Padahal, mereka semua dekat denganku. Tanpa terkecuali. Tak ayal, sampai sebesar ini aku cinta mati dengan hewan yang masih berkerabat dengan harimau dan singa ini.
Lain cerita tentang sebuah tempat nun jauh dari tempat kelahiranku, Purwokerto. Entah mengapa, sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di pondok pesantren, banyak kucing yang datang ke tempat ini. Mereka tidak diundang alias datang sendiri sekehendak hati mereka. Ada yang besar ada yang kecil, ada pula yang jinak maupun sebaliknya. Tak peduli bagaimanapun tampilan mereka, teman-teman pesantrenku kebanyakan bersikap welcome terhadap kucing-kucing itu. Yang paling fenomenal adalah datangnya Cemong. Kucing ini sebenarnya adalah kucing betina usia lanjut yang berbulu kembang asem. Kembang asem adalah istilah dari orang Jawa yang menggambarkan motif bulu kucing yang hanya memiliki dua warna, yaitu putih dan keorangean. Rupa hewan ini pun sesungguhnya tidak terlalu cantik. Hanya saja, penamaan hewan ini yang dilakukan oleh Kang Bagyo yang membuat namanya melambung sampai terdengar gaungnya sampai kompleks putri. Sayangnya, saat hewan ini hamil kedua keberadaannya di tempat kami, dia mendadak menghilang dan sampai kini tak kembali lagi.
Kami tak terlalu lama bersedih. Belum ada seminggu ini, datanglah kucing kecil berbulu putih dan kelabu. Dia sangat lucu dan sangat lincah. Sampai sejauh ini, aku belum menamainya. Untuk mengetahui bagaimana menyenangkannya ‘memelihara’ hewan ‘yang datang tak diundang ini’, tunggu postinganku berikutnya.

Senin, 14 November 2011

Mengapa (Perlu) Bangga dengan Indonesia?


Setiap orang memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkan rasa cintanya kepada sesuatu. Cinta seorang pria kepada wanita pujaannya bisa diungkapkan melalui berbagai macam cara. Pria yang senang dengan musik akan memainkan gitar seraya menyanyikan sebuah lagu sebagai tanda cinta kepada kekasihnya. Pria yang hobi menulis di blog (sepertiku mungkin) akan menuliskan puisi atau prosa yang dapat menggambarkan suasana hatinya yang terdalam agar diketahui oleh sang wanita. Pria yang senang berpetualang, akan mengajak kekasihnya berkeliling dunia sambil menggenggam tangannya, menciptakan suasana romantis yang mereka inginkan berdua. Masih banyak lagi cara yang dapat mendefinisikan suatu perasaan kepada orang yang dekat dengan kita. Tak ada bedanya dengan rasa bangga terhadap archipelagic nation seperti Indonesia. Kita memiliki cara yang berbeda-beda untuk menunjukkan rasa cinta itu.
Caraku mungkin memang jangan sampai ditiru. Namun, harus bagaimana lagi. Aku bangga dengan bangsaku karena Indonesia adalah bangsa yang besar dan blah blah blah (aku berani bertaruh, kalau aku menuliskan seluruh keunggulan bangsa ini di sini sebanyak mungkin, kalian akan bosan membaca tulisanku. Oleh sebab itu, aku tak akan menuliskan kembali daftar kebanggaan bangsa ini seperti yang termaktub dalam buku PPKn dan Geografi). Tapi, aku punya cara lain untuk mengatakan mengapa aku menuliskan judul tulisan ini di sini.
Aku sangat bersyukur dilahirkan dan tinggal di Indonesia. Tempat di mana pembajakan merajalela. Baik pembajakan kaset VCD/ DVD maupun pembajakan digital yang makin parah dan tak menunjukkan gelagat akan menuju perbaikan. Sebelumnya, aku hanya ingin jujur. Jujur meski pahit terkadang lebih baik dibanding manisnya ungkapan yang dibungkus dengan kebohongan sekaligus kemunafikan. Aku adalah penikmat hasil pembajakan digital, terutama lagu, video, film maupun file-file pdf. Semuanya bisa aku dapatkan dengan cara mengunduhnya secara cuma-cuma melalui internet. Sedangkan sinyal internet yang kuakses di tempatku, merupakan sinyal sebuah restoran yang kepalang menerjang batas sampai pondok pesantrenku. Sekilas, ini terdengar “bukan warga negara yang baik”, ya? Tapi ingatkah kamu dengan ungkapan di atas? “AKU BUKANLAH ORANG YANG MUNAFIK”. Pernahkah kamu mengira-ira kalau orang yang koar-koar menuntut pembersihan pembajakan bisa jadi lagu-lagu di ponselnya hasil mengunduh secara ilegal melalui internet. Who knows? Makanya, melalui blog ini aku tak mau bohong, apalagi bohong kepada diriku sendiri. Mustahil untuk dilakukan.
Indonesia adalah surganya pembajakan. Apapun bisa dibajak di sini. Mulai dari file hiburan, file pendidikan, file informasi dan sebagainya, semuanya disediakan berlimpah di negara ini. Bagiku, surga dunia adalah menghadap di layar laptop sambil mengakses jutaan informasi seraya mendownload file-file yang kurasa penting. Tak hanya membuka halaman Facebook, aku juga membuka perkembangan berita New7Wonders sambil mengunduh album terbaru Rihanna, Talk That Talk yang sudah bocor di internet jauh-jauh hari sebelum tanggal resmi perilisan. Aku menulis di blog dengan mengutak atik template design-nya seraya mendapatkan videoklip-nya Katy Perry yang The One Who Got The Way. Kabar baiknya, semua kudapatkan secara cuma-Cuma. Inilah salah satu hal yang membuatku bangga mengapa aku harus bangga berada di negara yang memiliki tingkat korupsi di dunia ini. Apakah idealisme kamu memberontak? “Bangga kok sama pembajakan?”. Sekarang aku bertanya kepadamu, “Apakah kamu benar-benar ‘suci’ dengan yang namanya pembajakan? Tidak pernah melakukan aksi pembajakan melalui internet atau melalui media lainnya? Hatimu berkata ya tapi mulutmu berkata tidak? Aku hanya ingin berkomentar satu kata saja: MUNAFIK”.

Sabtu, 12 November 2011

11-11-11

Sebuah cerita menyenangkan yang kutulis di hari yang sama saat merasa kecapekan luar biasa sepulang dari tempat tujuan, Tegal. Kumulai kisah ini dari tujuan mengapa ekspedisi malam ini diadakan. Salah seorang alumni santri putri Al Amin bernama Ismi Noviyanti menyelenggarakan akad dan resepsi pernikahan di tanggal cantik 11-11-11. Perjalanan sehari menuju rumahnya di Talang, Tegal, dimulai ba’da Maghrib. Setelah melalui prosesi saling tunggu menunggu yang konon paling menyebalkan di seluruh penjuru dunia, kami berangkat berdua belas melewati lereng Slamet yang terkenal dingin dan berkabut. Di perjalanan, banyak sekali kejadian aneh yang kujumpai. Tak kurang dari empat kali aku dan Agus mencium bau bunga di tengah perjalanan yang sepi dan minus lampu penerangan. Belum lagi melewati hutan berkali-kali yang membuat nyaliku menciut. Bukan karena takut gelap, hawanya itu, sulit kujelaskan dengan kata-kata. Ibarat kamu datang ke tempat baru yang belum pernah kamu kenal, seperti halnya banyak pasang mata yang menatapmu dengan tatapan sangar. Kurang lebih seperti itu yang kurasakan malam itu. Menyeramkan sekali, bukan? Namun itu tak menyurutkan semangat kita untuk sampai secepatnya di tempat tujuan.
Kita sampai pukul setengah sepuluh malam. Waktu itu, acara belum sepenuhnya selesai. Masih ada penampilan dari grup rebana dari STAIN Purwokerto yang ikut meramaikan prosesi pernikahan sahabat lamaku itu. Tahukah kamu? Vokalis utama putra grup tersebut yang bernama Mas Yayat sebenarnya pernah mengikat hubungan khusus dengan si Ismi. Kini, perempuan berkulit cerah itu malah berdampingan dengan pria tetangga desanya, bukan dengan dirinya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Mas Yayat saat menyaksikan sang mantan berdampingan dengan pria lain di hadapannya sekaligus ia harus menyanyikan lagu-lagu sholawat untuk mereka berdua. Menyakitkan sekali.
Sepulang dari rumah Ismi, kita menyempatkan diri mampir di rumahnya Aini sebentar, dan perjalanan malam kami berakhir di jalur pantura. Aku kaget sekali saat melihat sebuah jembatan yang dibawahnya mengalir sungai besar (yang belakangan kuketahui kalau itu adalah muara), dan beberapa meter ke utara lagi adalah Laut Jawa yang nampak biru misterius diterangi sinar bulan. Jauh di arah utara, nampak kilatan petir yang mengindikasikan di arah sana sedang dilanda hujan lebat. Setelah melewati jalur pantura bersama bus-bus dan truk besar, kami belok arah menuju Warureja. Melewati daerah perkebunan bawang merah dan tebu. Jalan berkelok berakhir di rumah Agus Tegal. Kita bermalam di situ.
Keesokan harinya, kami menuntaskan perjalanan ke rumahnya Mas Umam di Kedungpring, Pemalang. Tak kunyana, rumahnya berada di puncak pegunungan. Suasana yang identik dengan hawa dingin plus musik alam yang didominasi oleh suara tenggeret, hewan yang bentuknya mirip belalang dengan suara mendesing. Suka sekali aku dengan keadaan alamiah seperti ini. Di sana, kita dijamu luar biasa. Makan besar dengan lauk mie instan lengkap dengan jengkol dan pete, sekaligus diakhiri dengan minuman khas pedesaan sesuai dengan pesananku, es kelapa muda. Itupun dibuat dua macam. Baskom pertama es kelapa muda dengan menggunakan gula jawa merah, yang kedua es kelapa muda dengan rasa strawberry. Aneh bukan?
Tak sampai di sini, aku, Agus Tegal, Widhi, Andi, Mas Umam, Toni, Udin, Ahal, Gus Kholil bermain ke bendungan yang letaknya jauh dari rumah Mas Umam. Kita mandi di sana disertai dengan hujan lebat. Anehnya, di saat aliran sungai mana pun berwarna keruh, sungai tempat kita mandi tetap mengalirkan air bening. Sebening air sungai di musim kemarau. Ini yang aku herankan. Kita berteriak-teriak kegirangan seperti orang yang masa kecilnya kurang bahagia. Melompat dan menceburkan diri di aliran bendungan. Belajar berenang seperti aku hingga menyaksikan sarung yang dipakai Toni lepas karena derasnya aliran sungai. Sepulangnya dari mandi di bendungan, kami nekat basah-basahan dengan percikan air hujan yang amat sakit mengenai wajah. Peduli setan soal puluhan pasang mata manusia yang menatap kami dengan pandangan aneh, kami hanya menikmati apa yang jarang-jarang terjadi semacam ini.
Catatan kecil soal perjalanan ke Tegal tanggal 11-11-2011 sampai 12-11-2011, di perjalanan kami menjumpai gunung Gajah. Kata Agus, itu bukanlah gunung secara definisi sebenarnya melainkan sebuah bongkahan batu raksasa yang berbentuk persegi panjang. Entah bagaimana ceritanya bentuk batu semacam itu dianalogikan sebagai bentuk gajah.
Satu lagi, kami melewati sebuah tempat angker nan keramat yang sering menjadi buah bibir bagi masyarakat sekitar Randu Dongkal (Randu Dongkal berarti pohon randu/ pohon kapuk yang roboh). Sebuah jalan raya yang diapit dengan dua pohon randu raksasa berbunga ungu. Padahal, pohon randu biasanya berbunga putih, namun bunga di kedua pohon ini malah berwarna berbeda dari randu kebanyakan. Keanehan tak hanya berhenti sampai di sini. Menurut kabar yang beredar, kalau ada orang yang melewati tempat ini seorang diri pada malam-malam tertentu, maka ia akan ditampaki seekor ular besar yang merupakan penjelmaan dari salah satu dari kedua pohon tersebut. Siapapun yang pernah melewati tempat itu, pasti mempunyai bekal cerita menyeramkan seputar pohon raksasa tersebut.
Selebihnya, rasa cape yang ditutup dengan mie ayam di Padamara terbayar sudah. Setidaknya, uang yang kukeluarkan tidak sebanding dengan pengalaman yang kudapat melalui penjajakan tanah utara Jawa.

Rabu, 09 November 2011

26 Days of Competition




Apa jadinya kalau kamu mengetahui ada kompetisi berhadiah jutaan rupiah namun waktu kamu mengetahuinya mendekati deadline? Padahal kamu sangat tertarik dengan perlombaan itu (lebih tepatnya tergiur) dengan hadiahnya?
Apapun rela kamu lakukan untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan. Apalagi itu menyangkut tentang hobi kamu. Sang pecinta futsal akan rela merogoh kocek untuk membeli sepatu futsal lengkap dengan seragamnya. Begitu juga dengan pelukis, ia tak akan pelit mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah hanya untuk membeli kanvas dengan cat air berkualitas tinggi. Semua itu dilakukan dengan suka rela untuk memenuhi hasrat kegemaran masing-masing. Tidak ada istilah masalah finansial yang perlu dibesar-besarkan sebab penekun hobi sejati akan selalu ada cara kreatif untuk mewujudkan hobinya melalui cara yang tak diduga-duga. Tak ada yang bisa menghalangi, tak ada yang melarang, sebab hobi yang ditekuni biasanya bisa berujung dengan kepuasan pada diri pribadi. Percayalah padaku.
Hanya aku dan Khoiri yang mengikuti kompetisi itu. Perlombaan penulisan novel bertemakan Islami yang diselenggarakan oleh harian Republika. Ketentuan yang paling penting dalam lomba itu ialah naskah novel minimal terdiri dari 150 halaman. Mengenai deadline, lomba ini berakhir pada tanggal 15 Oktober 2011. Sedangkan kita mengetahui hal ini pada tanggal 19 September 2011. Bahkan kurang sebulan dari hari H. Tragis sekali. Namun, seperti yang kukatakan tadi, tidak ada yang mustahil kalau sudah soal hobi.
Kita mulai menulis hari itu juga, hari ke-19 pada bulan kesembilan. Karena kita berdua belum memiliki laptop, maka kami berdua meminjam laptop dari dua orang teman kita. Bahkan pernah sesekali kita memperebutkan satu laptop milik teman kita yang paling nyaman digunakan. Akan tetapi, itu sama sekali tidak mengurangi kekompakan kita dalam membuat karya maha besar untuk pertama kali dalam hidup kita ini.
Aku mengambil tema tentang kehidupanku dengan nenekku. Sedangkan Khoiri mengangkat kisah nyatanya tentang perjalanan mencari ilmu dari Bangka hingga Yogyakarta. Kita memiliki ciri khas masing-masing dalam mendeskripsikan apa yang ada di otak kita. Dia menggunakan beberapa bahasa Bangka dalam mengungkapkan idenya melalui kalimat-kalimat, sedangkan aku menggunakan bahasa metafora agar terkesan lebih dramatis.
Siang malam kami dikejar deadline 150 halaman merupakan hal paling mengerikan yang pernah kami hadapi. Dia rela tidak tidur semalaman hanya demi merampungkan berapa bab dalam hari itu, sesuai target yang ia tetapkan. Belum lagi dia masih harus merampungkan tugas-tugas kuliahnya, yang itu artinya dia harus pandai-pandai membagi waktu antara tugas kuliah dan meluangkan waktu sejenak untuk menyelesaikan novel pertama dalam hidupnya ini.
Singkat cerita, novel milik sahabat Bangka-ku itu berjudul ‘Seorang Muhsin dan Mati Mantak’. Sebagai informasi, mati mantak adalah bahasa Bangka untuk penyakit ayan alias epilepsi. Sedangkan novelku kuberi judul ‘Fatimah dan Seikat Rumput Kering’. Novel ini secara khusus aku persembahkan untuk nenekku yang terhebat. Sebagaimana yang aku tulis pada halaman persembahan di awal novel ini.
Pray us to be the best... :)

The Friend's (Never) Gone II


Siapa yang tak kesal punya teman yang lemot-nya naudzubillah? Ibarat dia sebuah smartphone, maka ia seperti Nokia N73 yang prosesornya masih ARM 11 220 MHz. Yang itu artinya ponsel yang katanya smart itu masih memerlukan waktu sekian menit hanya untuk membuka folder musik atau foto. Menyebalkan sekali.
Aku punya teman yang demikian. Sebut saja Fuad. Dia berasal dari Gombong, Kebumen. Kesehariannya tak jauh berbeda dengan Andi, seorang sahabatku yang sudah kuceritakan pada post sebelumnya. Dia malas kuliah, malas pula membuka buku, tapi paling getol buka facebook dan mendengarkan musik sendirian di kamar sambil memukul-mukul apapun yang ada di depannya, persis seperti musikus gagal.
Jika kita mengajaknya pergi ke suatu tempat, dia selalu ada di barisan paling belakang. Kalau kita sudah selesai mandi, maka ia masih sibuk mencari sabun dan pasta giginya yang mendadak raib (padahal faktanya dia lupa menaruh kedua barang tersebut). Kalau kita sudah siap-siap memakai baju terbaik untuk merayakan hari ini, dia masih sibuk bermain busa sabun di kamar mandi atas. Kalau kita sudah siap berangkat dengan dandanan necis, bisa dipastikan dia masih sibuk memilih baju apa yang akan dia pakai hari ini. Semua hal tentang dia, hampir selalu terlambat. Selalu saja begitu dan belum ada indikasi menuju perbaikan dari hari demi hari.
Namun, semuanya tak berhenti sampai di situ. Tak semua hal yang buruk selalu menimbulkan efek domino di sektor-sektor lainnya. Dia adalah salah satu teman baikku. Meskipun prosesornya masih 220 MHz, ia masih memiliki keunggulan, baterainya awet (dalam dunia smartphone, ponsel yang berprosesor kecil maka loading ponsel tersebut lama namun baterainya awet. Berbanding terbalik dengan ponsel dengan menggunakan prosesor besar seperti Android dan Windows Phone, biasanya ponsel tersebut kecepatan loadingnya menakjubkan namun daya tahan baterainya menyedihkan). Dia adalah teman yang selalu ada dalam suka dukaku. Dia rela mendengarkan aku bercerita soal masalah pribadiku, begitu pula sebaliknya. Tak jarang kita tertawa bareng saat menceritakan kisah konyol, tak jarang pula saling menguatkan saat sedang berada di posisi terendah apapun. Hampir tak ada yang tak diceritakan kalau aku sudah berhadapan dengan orang seperti dia. Semuanya mengalir begitu saja, tak direncanakan namun penuh kejutan.
Dia juga tipe orang yang gampang diajak bermain ke manapun. Tanpa berpikir panjang, dia mau saja diajak ke pantai, atau berlibur sampai pegunungan untuk refreshing, ia suka meminjamkan uang, juga suka bercanda, ia suka bergaul dengan logat clumsy-nya, serta tak malu-malu memerankan tokoh wanita bernama Sussy saat panggung gembira dalam acara akhirussanah Al Amin 2011. Dia adalah pribadi yang menyenangkan sekaligus menyebalkan, kedua hal ini bercampur menjadi satu. Sulit dipisahkan dalam packaging yang apa adanya, tak neko-neko dan original. Inilah kelebihannya.
November 2011, dia keluar dari pesantrenku. Latar belakang dia berhenti kuliah dan kehidupan pesantren, karena dia sudah diterima bekerja di pabrik semen Holcim. Dengar-dengar, dia akan ditempatkan di daerah Cilacap dengan gaji bulanan yang cukup menggiurkan.
Sekali lagi, menjadi teman yang baik tidaklah mementingkan urusan ragawi. Tampil apa adanya lebih membuat siapapun tampak lebih menyenangkan dibanding hadir di balik kepalsuan.

Good luck my friend...

The Friend's (Never) Gone


Aku hanya teringat saat aku ingin mengikuti kuliah di kampus Sastra Inggris bersama dengan temanku awal tahun 2008. Aku mengutarakan keinginanku itu kepadanya yang memang kuliah di kampus D3 itu. Namanya Andi. Sederhana saja, aku hanya penasaran dengan metode pembelajaran di kampus itu. Siapa tahu aku beruntung mengikuti kelas yang dihadiri oleh native speaker. Sesuai dengan harapanku waktu itu, bercakap-cakap langsung dengan orang luar negeri dengan bahasa Inggris. Itu pasti menjadi hal yang menyenangkan.
Sesampainya di sana, Andi malah kebingungan. Sejak berada di tempat parkir hingga sampai di koridor kelas, dia lebih tampak seperti orang yang asing di kampusnya sendiri. Dia terlihat celingak-celinguk melihat situasi kampus yang dipenuhi dengan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Kusuruh dia bertanya kepada salah satu orang, dia malah malu bukan main dan tak mau melaksanakan saranku. Kuberi ide untuk bertanya dengan bapendik, dia tak tahu di mana bapendik itu. Teman sekelasnya pun dia tak hafal. Setelah menggalau kurang lebih setengah jam, akhirnya kita memilih pulang ke pondok. Sejujurnya, dalam hatiku aku kecewa berat karena rencanaku gagal total. Anehnya, Andi malah ketawa ketiwi. Seolah kuliah kosong/ atau lebih tepatnya dia membolos jam kuliah adalah hal yang membuatnya senang bukan kepalang.
Hari demi hari, Andi mulai malas masuk kuliah. Kerjaannya di pesantren hanyalah tidur di pagi hari, mandi di waktu dhuha, mendengarkan musik menjelang dhuhur, tidur lagi setelah dhuhur, hafalan juz ‘amma menjelang ashar, tiduran sambil musikan lagi hingga mengaji jam 5 sore. Ketika ditanyai mengapa dia tak berangkat kuliah, dia bilang kalau dia malas kuliah. Bahasa Purwokertonya, ‘bebeh’ (huruf ‘e’ diucapkan seperti halnya mengucapkan kata ‘emas’).
Hal tersebut terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya. Tak ada lagi kamus kuliah dalam hidupnya. Inilah yang membuatku makin penasaran, apakah latar belakang keluarganya yang menyebabkan dia demikian?
Seketika aku mengajukan proposal kepadanya kalau aku ingin berkunjung ke rumahnya di Karangduwur, Kebumen. Dia menyetujuinya. Bersama dengan sahabat pondokku lainnya, Asep, Anam, dan Fuad, kita pergi ke sana, ke rumahnya yang terletak di karang pegunungan yang berbatasan langsung dengan Pantai Ayah dan Pantai Manganti. Sesampainya di sana, kita tahu kalau ayahnya punya toko kelontong sekaligus pengepul gula jawa. Besar sekali tokonya, bahkan sampai punya dua buah truk untuk mendistribusikan barang dagangannya. Di sana, menurutku, ibarat surga. Kita mau apa, maka keinginan kita itu akan segera terkabul. Mulai dari minuman energi, biskuit, kue, jajanan pasar dan apapun itu, semua hadir tanpa perlu menunggu loading. Sang tuan rumah, Andi, seketika menjadi orang yang ‘loman’ (ringan tangan, suka memberi apapun yang dibutuhkan sahabatnya, sedikit berbeda dengan kesehariannya di pondok pesantren). Bahkan, ketika kita akan kembali ke Purwokerto, Andi mentraktir kita sepiring sate ayam di pinggir jembatan muara di Pantai Ayah. Inilah pengalamanku dengannya sekitar tahun 2010.
Setelah melakukan penyelidikan secara bertahap, ternyata alasan Andi jarang bahkan tak pernah berangkat kuliah lantaran dia sendiri tak punya keinginan untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Ayahnya lah yang berinisiatif demikian. Apalagi jurusan yang ia pilih tak sesuai dengan harapannya, sekaligus bertolak belakang dengan pendidikan SMEA-nya, yaitu tata boga. Lengkap sudah rencananya untuk meninggalkan bangku kuliah yang telah diperjuangkannya selama ini.
November 2011, aku dan Fuad bertandang ke rumahnya untuk yang terakhir kali. Andi sudah berhenti kuliah. Ia juga sudah berniat untuk keluar dengan pondok pesantren. Sebenarnya, sayang sekali semua itu ia lakukan mengingat perjuangannya bolak-balik Kebumen-Purwokerto selama 3 tahun terakhir. Namun, itulah keputusan yang dia ambil. Toh, secara pragmatik, tanpa dia kuliah sampai di jenjang tinggi-pun sebenarnya ia sudah bisa mewarisi usaha ayahnya yang terhitung sukses itu.
Aku belajar darinya, dari dia yang sering memberiku uang pinjaman ketika kiriman dari orang tuaku tersendat. Menjadi teman baik tak harus menjadi orang yang pandai, rajin, apalagi berwajah rupawan. Terkadang, itu tak bermakna sama sekali ketika sudah sampai pada urusan hati. Ia memiliki hati yang tak semua orang mempunyai. Aku sendiri pun sampai kesulitan untuk menggambarkan kebaikannya kepadaku dan teman-teman lainnya, tentu saja di luar urusan utang piutang.

Good luck, my friend...