
Aku hanya teringat saat aku ingin mengikuti kuliah di kampus Sastra Inggris bersama dengan temanku awal tahun 2008. Aku mengutarakan keinginanku itu kepadanya yang memang kuliah di kampus D3 itu. Namanya Andi. Sederhana saja, aku hanya penasaran dengan metode pembelajaran di kampus itu. Siapa tahu aku beruntung mengikuti kelas yang dihadiri oleh native speaker. Sesuai dengan harapanku waktu itu, bercakap-cakap langsung dengan orang luar negeri dengan bahasa Inggris. Itu pasti menjadi hal yang menyenangkan.
Sesampainya di sana, Andi malah kebingungan. Sejak berada di tempat parkir hingga sampai di koridor kelas, dia lebih tampak seperti orang yang asing di kampusnya sendiri. Dia terlihat celingak-celinguk melihat situasi kampus yang dipenuhi dengan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Kusuruh dia bertanya kepada salah satu orang, dia malah malu bukan main dan tak mau melaksanakan saranku. Kuberi ide untuk bertanya dengan bapendik, dia tak tahu di mana bapendik itu. Teman sekelasnya pun dia tak hafal. Setelah menggalau kurang lebih setengah jam, akhirnya kita memilih pulang ke pondok. Sejujurnya, dalam hatiku aku kecewa berat karena rencanaku gagal total. Anehnya, Andi malah ketawa ketiwi. Seolah kuliah kosong/ atau lebih tepatnya dia membolos jam kuliah adalah hal yang membuatnya senang bukan kepalang.
Hari demi hari, Andi mulai malas masuk kuliah. Kerjaannya di pesantren hanyalah tidur di pagi hari, mandi di waktu dhuha, mendengarkan musik menjelang dhuhur, tidur lagi setelah dhuhur, hafalan juz ‘amma menjelang ashar, tiduran sambil musikan lagi hingga mengaji jam 5 sore. Ketika ditanyai mengapa dia tak berangkat kuliah, dia bilang kalau dia malas kuliah. Bahasa Purwokertonya, ‘bebeh’ (huruf ‘e’ diucapkan seperti halnya mengucapkan kata ‘emas’).
Hal tersebut terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya. Tak ada lagi kamus kuliah dalam hidupnya. Inilah yang membuatku makin penasaran, apakah latar belakang keluarganya yang menyebabkan dia demikian?
Seketika aku mengajukan proposal kepadanya kalau aku ingin berkunjung ke rumahnya di Karangduwur, Kebumen. Dia menyetujuinya. Bersama dengan sahabat pondokku lainnya, Asep, Anam, dan Fuad, kita pergi ke sana, ke rumahnya yang terletak di karang pegunungan yang berbatasan langsung dengan Pantai Ayah dan Pantai Manganti. Sesampainya di sana, kita tahu kalau ayahnya punya toko kelontong sekaligus pengepul gula jawa. Besar sekali tokonya, bahkan sampai punya dua buah truk untuk mendistribusikan barang dagangannya. Di sana, menurutku, ibarat surga. Kita mau apa, maka keinginan kita itu akan segera terkabul. Mulai dari minuman energi, biskuit, kue, jajanan pasar dan apapun itu, semua hadir tanpa perlu menunggu loading. Sang tuan rumah, Andi, seketika menjadi orang yang ‘loman’ (ringan tangan, suka memberi apapun yang dibutuhkan sahabatnya, sedikit berbeda dengan kesehariannya di pondok pesantren). Bahkan, ketika kita akan kembali ke Purwokerto, Andi mentraktir kita sepiring sate ayam di pinggir jembatan muara di Pantai Ayah. Inilah pengalamanku dengannya sekitar tahun 2010.
Setelah melakukan penyelidikan secara bertahap, ternyata alasan Andi jarang bahkan tak pernah berangkat kuliah lantaran dia sendiri tak punya keinginan untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Ayahnya lah yang berinisiatif demikian. Apalagi jurusan yang ia pilih tak sesuai dengan harapannya, sekaligus bertolak belakang dengan pendidikan SMEA-nya, yaitu tata boga. Lengkap sudah rencananya untuk meninggalkan bangku kuliah yang telah diperjuangkannya selama ini.
November 2011, aku dan Fuad bertandang ke rumahnya untuk yang terakhir kali. Andi sudah berhenti kuliah. Ia juga sudah berniat untuk keluar dengan pondok pesantren. Sebenarnya, sayang sekali semua itu ia lakukan mengingat perjuangannya bolak-balik Kebumen-Purwokerto selama 3 tahun terakhir. Namun, itulah keputusan yang dia ambil. Toh, secara pragmatik, tanpa dia kuliah sampai di jenjang tinggi-pun sebenarnya ia sudah bisa mewarisi usaha ayahnya yang terhitung sukses itu.
Aku belajar darinya, dari dia yang sering memberiku uang pinjaman ketika kiriman dari orang tuaku tersendat. Menjadi teman baik tak harus menjadi orang yang pandai, rajin, apalagi berwajah rupawan. Terkadang, itu tak bermakna sama sekali ketika sudah sampai pada urusan hati. Ia memiliki hati yang tak semua orang mempunyai. Aku sendiri pun sampai kesulitan untuk menggambarkan kebaikannya kepadaku dan teman-teman lainnya, tentu saja di luar urusan utang piutang.
Good luck, my friend...