
Apa jadinya kalau kamu mengetahui ada kompetisi berhadiah jutaan rupiah namun waktu kamu mengetahuinya mendekati deadline? Padahal kamu sangat tertarik dengan perlombaan itu (lebih tepatnya tergiur) dengan hadiahnya?
Apapun rela kamu lakukan untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan. Apalagi itu menyangkut tentang hobi kamu. Sang pecinta futsal akan rela merogoh kocek untuk membeli sepatu futsal lengkap dengan seragamnya. Begitu juga dengan pelukis, ia tak akan pelit mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah hanya untuk membeli kanvas dengan cat air berkualitas tinggi. Semua itu dilakukan dengan suka rela untuk memenuhi hasrat kegemaran masing-masing. Tidak ada istilah masalah finansial yang perlu dibesar-besarkan sebab penekun hobi sejati akan selalu ada cara kreatif untuk mewujudkan hobinya melalui cara yang tak diduga-duga. Tak ada yang bisa menghalangi, tak ada yang melarang, sebab hobi yang ditekuni biasanya bisa berujung dengan kepuasan pada diri pribadi. Percayalah padaku.
Hanya aku dan Khoiri yang mengikuti kompetisi itu. Perlombaan penulisan novel bertemakan Islami yang diselenggarakan oleh harian Republika. Ketentuan yang paling penting dalam lomba itu ialah naskah novel minimal terdiri dari 150 halaman. Mengenai deadline, lomba ini berakhir pada tanggal 15 Oktober 2011. Sedangkan kita mengetahui hal ini pada tanggal 19 September 2011. Bahkan kurang sebulan dari hari H. Tragis sekali. Namun, seperti yang kukatakan tadi, tidak ada yang mustahil kalau sudah soal hobi.
Kita mulai menulis hari itu juga, hari ke-19 pada bulan kesembilan. Karena kita berdua belum memiliki laptop, maka kami berdua meminjam laptop dari dua orang teman kita. Bahkan pernah sesekali kita memperebutkan satu laptop milik teman kita yang paling nyaman digunakan. Akan tetapi, itu sama sekali tidak mengurangi kekompakan kita dalam membuat karya maha besar untuk pertama kali dalam hidup kita ini.
Aku mengambil tema tentang kehidupanku dengan nenekku. Sedangkan Khoiri mengangkat kisah nyatanya tentang perjalanan mencari ilmu dari Bangka hingga Yogyakarta. Kita memiliki ciri khas masing-masing dalam mendeskripsikan apa yang ada di otak kita. Dia menggunakan beberapa bahasa Bangka dalam mengungkapkan idenya melalui kalimat-kalimat, sedangkan aku menggunakan bahasa metafora agar terkesan lebih dramatis.
Siang malam kami dikejar deadline 150 halaman merupakan hal paling mengerikan yang pernah kami hadapi. Dia rela tidak tidur semalaman hanya demi merampungkan berapa bab dalam hari itu, sesuai target yang ia tetapkan. Belum lagi dia masih harus merampungkan tugas-tugas kuliahnya, yang itu artinya dia harus pandai-pandai membagi waktu antara tugas kuliah dan meluangkan waktu sejenak untuk menyelesaikan novel pertama dalam hidupnya ini.
Singkat cerita, novel milik sahabat Bangka-ku itu berjudul ‘Seorang Muhsin dan Mati Mantak’. Sebagai informasi, mati mantak adalah bahasa Bangka untuk penyakit ayan alias epilepsi. Sedangkan novelku kuberi judul ‘Fatimah dan Seikat Rumput Kering’. Novel ini secara khusus aku persembahkan untuk nenekku yang terhebat. Sebagaimana yang aku tulis pada halaman persembahan di awal novel ini.
Pray us to be the best... :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar