Blogger news

Pages

Senin, 21 Mei 2012

Don't Hope Too Much, That Much Will Hurt You So Much


Ah rasanya benar juga kata bijak ini, berharap kepada manusia hanya akan menimbulkan kekecewaan. Entah itu berkepanjangan atau hanya sementara saja. Terlalu berharap apalagi, disertai ekspektasi bahwasanya jika tanpa dia, dunia tidak akan beres, nyatanya tak selalu berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Harapan selalu saja meleset, mengenai barang sedikit pun tidak. Ah, menganggap manusia menjadi tempat bersandar adalah kesalahan terbesar yang pernah manusia lakukan.

Idealismenya, memang menjadikan Tuhan sebagai titik nadir penghambaan sekaligus tempat berpijak harapan kita ketika semuanya menjadi kelabu dan serba runyam. Ketika semua sudah tak ada yang peduli, tak ada alasan Ia tak jua peduli. Karena Dia bukanlah makhluk seperti kita, sebab dia Kholiq yang pasti mengetahui kebutuhan hamba-hamba-Nya. Sebab Dia sendiri yang menyatakan bahwa barangsiapa yang berdoa kepada-Nya, maka Ia pasti mengabulkan. Perkara kapan Dia mengabulkannya, itu sudah menjadi hak prerogatif-Nya, hak yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun.

Sekali lagi, berharap kepada manusia hanya akan melahirkan kekecewaan di kemudian hari. Anehnya, kita masih saja melakukan ini. Entah kitanya yang belum kunjung sadar akan persepsi yang salah ini atau memang kita belum mengenal Tuhan lebih dekat lagi.

Kurasa pertanyaan retoris ini tak perlu dijawab, karena memang begitu adanya.

Lontara Rindu

Wah, pemenang Lomba Penulisan Novel Republika 2011 sudah diterbitkan novelnya. Peraih juara 1 itu bernama Gegge Mappangewa, pria asal Bugis itu mengaku perlu waktu 9 tahun untuk bisa meraih pencapaian terakbar ini.

Novel yang ditulisnya itu berjudul Lontara Rindu, secara sekilas sih novel tersebut bercerita tentang dua anak kembar yang sedang berjuang mencari ayah kandung mereka. Dengan latar belakang budaya Bugis yang cukup kental, novel ini bahkan dinilai oleh para kritikus sastra sebagai novel yang mengabarkan kegenitan penulis dalam mendeskripsikan budayanya sendiri.

Sejak adanya tetralogi Laskar Pelangi yang eksistensinya mengguncang dunia sastra Indonesia, sepertinya novel ini mengekor karakteristik tulisan Andrea Hirata itu. Mengapa tidak? Dua duanya sama sama mengedepankan lokalitas setting dan budaya agar menciptakan kesan unik yang dimaksudkan untuk menarik pembaca menyelami latar belakang budaya khas suatu tempat yang belum diketahui sebelumnya.
Nah, rasanya mainstream novel masa kini memang sedang berlomba-lomba menonjolkan keunikan budaya lokal masing masing. Dengan segenap kepercayaan setempat, mitos, legenda, kisah kisah unik dan ganjil serta sebutan-sebutan lokal yang mengusik keingintahuan pembaca untuk lebih mendalami imajinasi penulis, bagaimana pun jua patut diapresiasi.

Sudah kurencanakan sebelumnya, kalau aku ingin membeli novel Lontara Rindu itu dengan uang bulananku. Bukankah untuk menjadi juara, kita harus belajar kepada mereka yang sudah menjadi juara?
Sebab, dalam dunia tulis menulis, tak ada istilah pembaruan ide. Ide, apapun itu bentuknya, merupakan pengulangan ide-ide sebelumnya. Tugas kita adalah memodifikasi ide-ide itu sesuai dengan karakter kita agar kita bisa menelurkan karya baru dengan kekhasan kita sendiri.

Penulis Novel

Menulis novel sebenarnya bukanlah keahlianku. Format tulisannya yang panjang bukan main menuntut siapapun untuk terus berhati hati dalam menyajikan cerita agar tidak menimbulkan kejemuan bagi siapapun yang membacanya. Namun, aku harus mengakui kalau menulis novel memiliki tantangan tersendiri. Karena bukan main-main itulah yang menjadikan aku harus serius untuk menggelutinya. Apakah itu memberi lampu hijau bagi diriku pribadi kalau aku akan menjadi novelis? Ah ga juga. Aku belum berani mengikrarkan diri untuk menjadi seorang novelis. Berat benar gelar yang disandang itu.

Namun tak ada salahnya jika mencoba, apalagi untuk mencoba mengabadikan kisah yang memang layak untuk dikenang sepanjang masa.

Rabu, 16 Mei 2012

Analogi Sapu

Seiring berjalannya waktu, banyak orang yang datang dan pergi dalam catatan perjalanan kehidupan kita. Ada kalanya Tuhan menghapus seseorang dalam kehidupan kita karena suatu sebab dan mendatangkan orang baru untuk alasan dan rencana-Nya yang lebih baik. Sehingga tak ada alasan bagi kita untuk tidak berhuznudzon kepada Maha Pemberi Kehidupan. Orang-orang lama bisa saja pernah melukai kita baik disengaja maupun tidak. Mereka juga pernah sama-sama dengan kita mewarnai dunia dengan cara kita sendiri. Sedangkan orang baru biasanya menjanjikan pengalaman menjalani kehidupan yang lebih berwarna dan lebih antusias. Namun, sadarkah kita bahwasanya orang baru yang masuk ke dalam hidup kita tidak selalu seindah dari apa yang kita bayangkan? Bagaimana dengan analogi sebuah sapu? Setiap rumah pasti memiliki sapu. Entah sapu itu terbuat dari plastik, merang, glagah, lidi kelapa atau bahan dasar pembuat sapu lainnya. Meskipun bahan mentah sapu itu berbeda-beda, namun tetap saja fungsi sapu itu untuk membersihkan lantai rumah. Begitu juga dengan tampilan sapu itu. apakah ada yang lebih sederhana daripada tampilan luar sapu lidi yang hanya terbentuk dari lidi-lidi yang diikat menjadi satu dengan menggunakan tali rafia yang bahkan warnanya pun mulai usang? Atau tentang sapu glagah yang diwarnai sedemikian rupa sehingga mirip pelangi? Belum lagi di bagian tangkai sapu yang dihubungkan dengan ikatan glagahnya, dipasang jalinan rotan yang membuat harga jual sapu itu makin melambung. Dari sekian banyak jenis sapu ini, tujuan dari sapu ini tetap tak beranjak dari tugasnya yaitu menjadikan lingkungan rumah lebih bersih. Bagaimana kalau sapu rumah kita sudah usang? Kemampuannya untuk membersihkan lantai sudah tak sehebat dulu lagi waktu pertama kali kita membelinya. Wujud sapunya pun sudah tak secantik dulu. Entah ikatannya lepas sana-sini, lidi yang tak teratur lagi, warnanya mengusam atau bahkan pegangannya patah. Mengetahui ini, kita tentu saja bisa membeli sapu baru, yang lebih cantik, lebih pandai membersihkan lantai, lebih mahal bahkan lebih wah dibanding sapu-sapu kita sebelumnya. Namun, kita juga harus ingat, bahwasanya sapu yang baru boleh saja membersihkan lantai menjadi lebih bersih, akan tetapi hanya sapu yang lama yang sudah tahu dan hafal setiap sudut ruangan di rumah kita. Inilah analogi bagi kita agar kita tak boleh melupakan teman-teman lama kita, sebab mereka bisa saja jauh telah mengenal kita dibanding teman-teman yang baru. Bahkan, mereka lebih tahu siapa kita sebenarnya dibanding diri kita sendiri. Don’t ever forget your old friends when the new ones are added. The new broom may sweep clean but the old one knows all the corner.

Senin, 07 Mei 2012

Hari Gini Masih Jimat-Jimatan?

Sebenarnya tak baik juga menceritakan keburukan orang lain. Agama bilang itu ghibah. Tapi, ghibah itu ada batasannya lho. Ga semua yang berbisik-bisik dari belakang itu dinamakan ghibah. Ghibah itu jika kita menceritakan keburukan orang lain sekaligus menyebut nama orang tersebut sehingga orang lain bukannya mengambil hikmah dari kejadian buruk itu, namun menjadi lebih memperburuk citra orang yang kita bicarakan tadi. Kalau hanya menceritakan keburukan untuk diambil pelajaran, dengan catatan tidak menyebut merk, ini bukan ghibah. Catat ya. Aku punya teman pondok. Sebutlah saja dia X. Dia orang yang pandai dalam ilmu agama. Analisanya terhadap permasalahan segala sektor terkesan mendalam dan detailnya dapat ia jabarkan dengan baik. Bahkan boleh dikatakan dia termasuk orang yang enak diajak diskusi bahkan berdebat. Ini tak lepas dari pengalaman mondoknya bertahun-tahun sebelumnya, belum lagi dia yang aktif dalam berorganisasi. Namun, beberapa minggu yang lalu, ia pulang ke rumah karena sakit. Entah dia sakit apa. Anehnya, di saat ia sedang berada di rumah, ia sempat mengirimkan permintaan maaf ke seluruh santri melalui pesan singkat. Katanya ia ingin bertobat dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Nah, kemarin sore, ia sudah kembali ke pondok. Aku sempat menemuinya bersama rekan-rekan pondok yang lain. Secara dhohir, ia nampak lebih kurus daripada sebelumnya. Ketika kutanyai dia sakit apa, ternyata dia bukan sakit sembarangan. Melalui pengakuannya, ia berkata bahwa ia jatuh sakit lantaran tubuhnya dijadikan 'tempat pertarungan' antara 'gawan apik lan gawan elek'. Itu artinya, di dalam tubuhnya pernah ada 'isi yang baik dan isi yang buruk' di mana keduanya memperebutkan pengaruh kepada si empunya. Jadilah si X itu sakit. Kalau saja dia tidak segera disembuhkan oleh orang pintar, bisa lumpuhlah ia, begitu katanya. Mendengar cerita supranatural seperti itu, aku jadi tergelitik untuk bertanya, "Buat apa sih ilmu begituan?" (Belakangan kuketahui bahwa gawan itu untuk menambah kharisma dan ilmu kekebalan). Ia menjawab, "Ya untuk jaga-jaga mas. Kalau ada yang memusuhi aku, aku bisa saja menyantet dia dengan ijin Allah. Kalau ada yang mau ngajak berkelahi, ya aku tantang aja karena aku yakin aku pasti menang atas ijin Allah". Heleh... heleh... masih ngetren apa ya ilmu begituan? Kalau aku sendiri, tak usahlah mengamalkan amalan yang macam-macam. Bukankah kita hidup sekali dan alangkah lebih baik jika kita mencari teman sebanyak-banyaknya? Bukan musuh yang kita cari!

Cheng Hoo Journey

Setelah berkali-kali rencana ngalay tertunda, akhirnya hari Minggu kemarin, aku dan teman-temanku jadi pergi berlibur ke Masjid Cheng Hoo. Sebenarnya sih kalau disebut berlibur, agak ganjil juga karena kita di sana tidak sehari penuh. Tapi lumayanlah untuk sekedar refreshing sejenak melepas penat setelah berminggu-minggu berkubang di dalam pesantren melulu. Awalnya, aku tertarik untuk mengunjungi masjid bergaya klenteng itu lantaran melihat salah satu foto temanku yang berlatar belakang masjid tersebut. Salah satu tempat yang membuatku tertarik adalah seni kaca jendela yang terdapat di setiap sudut masjid. Jika dilihat secara seksama, maka kaca masjid tersebut berpola bunga teratai yang berwarna-warni. Tak hanya itu, semua sudut masjid didominasi warna merah, baik lantai, jendela, karpet, lampu hingga dindingnya pun kental terasa seni dari daratan China. Karena penasaran, akhirnya aku mengajak temanku yang asli Purbalingga untuk melakukan ekspedisi ke sana. Ditemani dengan dua orang temanku yang lain, kita berangkat setelah waktu Dhuhur. Perjalanan cukup singkat, sekitar setengah jam. Sesampainya di sana, masjid yang terletak di daerah Mrebet, Purbalingga itu ternyata tak begitu besar. Konstruksi bangunannya membulat (lebih tepatnya persegi delapan) dengan atap khas bangunan kuil Cina. Untungnya tak ada biaya masuk seperti halnya masjid-masjid unik lainnya. Biaya parkir pun tak ada. Kita bisa leluasa berfoto-foto ria di dalamnya. Pokoknya ngalay abis :D Pas nulis postingan ini, aku jadi teringat mengenai cerita jaman sekularisme pada masa pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk. Presiden Turki ini terkenal dengan paham sekularismenya. Sehingga, tak heran jika pada waktu itu tidak ada pembatasan antara urusan agama dan pemerintahan. Itu artinya, pemerintah tak ambil peduli dengan agama, apapun yang terjadi, begitu pula dengan agama yang tak mempengaruhi gaya pemerintahan pada negara tersebut. Alhasil, salah satu masjid termegah di kawasan Turki, yakni masjid Hagia Sophia, atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Biru, dijadikan tempat wisata tanpa mengindahkan "tata krama" kalau tempat itu ialah masjid yang harus dihormati oleh semua orang, bahkan bagi non-Muslim sekalipun. Dengar-dengar cerita sejarah, bahkan turis-turis pun diperbolehkan bernarsis-narsis ria di dalam masjid itu tanpa perlu melepas sepatu. Haduh, ini nih dampak sekularisme yang dianut pemerintah Turki waktu itu. Untungnya, aku dan temanku hanya mejeng di dalam masjid untuk memperoleh angle yang bagus untuk diambil fotonya. kalau dipikir-pikir sih, aneh juga. Jauh-jauh ke Purbalingga hanya untuk ganti profil Facebook... hahaha