11 Agustus 1999
Ini adalah tahun terakhirku sekolah di SMU. Semua perasaan dalam hatiku campur aduk. Hampir saja aku tak sanggup untuk menggambarkannya di sini. Antara senang, sedih, sedikit puas dan berharap untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi suatu saat nanti. Terus terang, aku sudah tak sabar lagi untuk membahagiakan orang tuaku. Namun aku harus tetap bersabar. Tahun ketiga ini harus kujalani dengan sebaik-baiknya. Kutuliskan semua hal-hal yang menarik tentang tahun ketigaku ini pada sebuah buku harian. Inilah kebiasaan yang kata teman-temanku jarang dilakukan oleh anak laki-laki kebanyakan. Tapi aku tak begitu mempedulikan hal ini. Sebab ini bukanlah masalah penting yang harus menyita perhatianku. Ada hal yang lebih krusial daripada itu.
Halaman pertama sengaja kutulis tentang kedua orang tuaku yang sangat berjasa membawaku hingga tingkat pendidikan setinggi ini (meskipun bagi sebagian orang tertentu, pendidikan SMU dianggap belum apa-apa untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai harapan). Halaman kedua, penaku kuajak menari di atas kata-kata yang mendeskripsikan tentang Dara. Dialah salah seorang perempuan yang sangat menarik bagiku. Walaupun dia terkesan tertutup dari dunia luar, aku masih menaruh rasa penasaran yang teramat dalam kepadanya. Kurangkai kalimat demi kalimat yang setidaknya mewakili ungkapan kalbuku. Seorang tetangga desaku yang hanya melontarkan senyuman sederhana saat berpapasan denganku di pagi hari saat akan berangkat sekolah.
Bangku digebrak oleh seseorang. Buku tulisku sampai ‘melompat’ beberapa senti dari meja dan pulpenku juga tiba-tiba raib entah ke mana. Kulihat pelaku dari semua ini. Pak Narto. Dialah guru Matematika yang sedang mengajar kelas kami. Pribadi beliau memang keras. Beliau menerapkan sistem belajar yang bagiku sedikit menyiksa. Bagaimana tidak, aku sudah lama tidak bisa berdamai dengan mata pelajaran yang satu itu. Angka-angka dan lambang-lambang khasnya, membuat logikaku diacak-acak serta kepalaku seakan memberat dibanding jika aku berhadapan dengan mata pelajaran bahasa maupun sosial. Karena Pak Narto menangkap basah aku tak memperhatikan pelajaran beliau siang ini, beliau menyuruhku mengerjakan sebuah soal trigonometri di papan tulis. Hatiku runtuh seketika dan kakiku mendadak lemas. Akan tetapi teman sekelasku seolah sepakat mendukungku dengan sorak mereka. Aku pun akhirnya terpaksa maju ke depan kelas walaupun otakku tak punya siasat untuk menyelesaikan soal itu. Lama terpaku tanganku memegang kapur yang hanya menempel di papan tulis. Tidak ada goresan kapur yang mengindikasikan aku piawai dalam hal menyelesaikan soal sin cos tan tersebut. Suara tegas Pak Narto akhirnya melengkapi keputusasaanku. Beliau menyuruhku berdiri di depan kelas karena aku tak bisa mengerjakan soal yang beliau buat. Teman-teman sekelasku hanya menatapku nanar. Bagiku, ini adalah biasa. Bukankah dari Sekolah Dasar aku memang tak bersahabat dengan mata pelajaran itu? Ya, begitulah. Aku akhirnya menjadi penjaga kelas berpakaian seragam di siang bolong. Sebagaian pegawai sekolah dan petugas perpus bertanya kepadaku dan sebagian lagi menertawaiku. Ah, inilah seninya jadi anak sekolah.
5 September 1999
Tak kuduga sebelumnya. Hukuman Pak Narto itu benar-benar membuatku malu. Saat menanti bel pelajaran terakhir berbunyi, tiba-tiba Dara melewati depan kelasku. Mungkin ia akan mengembalikan buku ke perpus sebelum jam pelajaran usai setengah jam kemudian. Ia hanya menatapku tanpa makna. Sekali saja. Lalu ia menoleh ke arah dalam kelas dan mengetahui kalau mata pelajaran terakhir di kelasku hari ini adalah Matematika. Akhirnya ia tahu juga, mengapa aku berada di luar kelas seperti ini
23 Februari 2000
Untungnya, aku bisa berteman baik dengan Biologi. Bukan karena gurunya yang ramah dan seringkali memberikan petuah-petuah yang berguna untuk menjalani hidup ini dengan bijak. Akan tetapi, pelajaran ini adalah satu-satunya pelajarn beraliran IPA namun banyak hafalannya. Aku suka itu. Terlebih hari ini. Ada kegiatan outdoor hari ini. Pak Sutikno menugaskan kepada kami untuk meneliti tanaman Terminalia catappa. Menggambarkan bagaimana bentuk pohon secara umum, buah, daun dan lengkap dengan klasifikasi ilmiahnya. Kami sekelas terjun ke lapangan. Di sebuah tempat nongkrong favorit anak-anak SMU kami, sebuah bangku memanjang membentuk huruf U dan di tengah-tengahnta tumbuhlah tanaman itu. Warga sekolah menyebut pohon itu ketepeng. Sedikit melenceng dari istilah yang umumnya dilafalkan masyarakat Indonesia, ketapang. Di situlah aku menikmati indahnya menggeluti bidang sains, bersama teman-temanku yang senasib denganku.
Baru kusadari, hari Selasa ini bertepatan dengan mata pelajaran olahraga di kelasnya Dara. Anak-anak laki kelas itu sedang berada di lapangan basket. Sedangkan anak-anak perempuannya berada di lapangan basket. Ada dua grup bertanding di lapangan tersebut. Dan aku bisa menebak. Dara tak mungkin ikut dalam kedua grup tersebut. Ia tak menyukai olahraga, sebagaimana aku tak menyukai matematika. Aku tersenyum melihatnya. Dia juga membalas senyumku dari balik pagar kawat yang mengelilingi lapangan basket. Kita telah menemukan kelemahan kita masing-masing hari ini.
6 Juni 2000
Kelulusan tahun ajaran hari ini membanggakan sekolahku. Bahkan, kepala sekolah menyatakan secara terbuka bahwasanya beliau bangga dengan nilai-nilai yang dicapai murid-muridnya. Semua murid dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan. Peraih angka 10 pada pelajaran Matematika mencapai dua puluh lebih. Bahasa Inggris lima orang dan Bahasa Indonesia dua orang. Untungnya, aku berada di antara di antara ketiga mata pelajaran yang disebutkan tadi. Mustahil namaku tercantum di daftar peraih 10 besar Matematika, sedikit kemungkinan di Bahasa indonesia. Bahasa Inggris. Inilah kebanggaanku saat ini. Aku harap, ini adalah awal terbaikku untuk melangkah ke bangku universitas.
Hari ini, aku melihat Dara meluapkan kegembiraannya bersama Devi, teman dekatnya. Sangat mudah ditebak, namanya pasti tercantum di daftar 10 besar pada mata pelajaran yang aku berjanji tak akan kumasuki saat kuliah nanti, Matematika. Itulah terakhir kali aku melihatnya tertawa riang.
14 September 2000
Bulan pertamaku dengan menyandang predikat sebagai mahasiswa Fakultas Bahasa Inggris. Awalnya aku bangga dengan diriku sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan itu lama kelamaan hilang. Menjadi mahasiswa bukanlah saat untuk membanggakan apa yang kita miliki. Karena kita memang tak punya apa-apa jika dihadapkan dengan lingkungan yang baru semacam ini. Beberapa sikap senior yang arogan, kelompok-kelompok garis keras, genk-genk brutal yang selalu mengancam pengguna jalan di malam hari, perampokan dan bentuk kejahatan lainnya. Inilah yang harus kuwaspadai di kota baruku ini. Kota besar yang sarat dengan hal baru yang belum pernah kujumpai di kota tempat kelahiranku. Apa lagi yang bisa kubanggakan jika sudah begini.
Kuakui, aku memerlukan waktu lama untuk beradaptasi dengan lingkungan kos. Teman-teman kos dengan beragam karakter mengharuskanku pandai-pandai menjaga sikap. Di sisi lain, ibu kos yang boleh kusebut super cerewet jika aku nunggak iuran bulanan satu bulan saja. Pernah suatu ketika ia sengaja mematikan listrik di saat aku sedang mengerjakan tugas di komputer pribadiku. Belum lagi teman-teman satu kampus yang berasal dari berbagai macam daerah dengan bermacam-macam pemikiran sehingga membentuk genk-genk. Tapi jangan berpikiran negatif dahulu. Di tengah-tengah lingkungan yang terkadang kurang bersahabat, ternyata masih ada kelompok yang bisa ‘berteman’ dengaku. Misalkan seorang yang sering mengajakku untuk mengikuti lomba menulis cerita pendek maupun lomba karya tulis ilmiah. Ada juga yang suka berpetualang hingga ke gunung, hutan dan pantai. Aku benar-benar hidup di lingkungan yang belum pernah kukenal sebelumnya.
29 Desember 2000
Aku sangat gembira! Aku dinyatakan lolos seleksi penerimaan beasiswa prestasi selama setahun ke depan. Aku harus segera memberi tahu kedua orang tuaku kabar bahagia ini.
3 Juni 2001
Maafkan aku, buku harianku. Aku rasa, aku belum bisa meneruskan kebiasaanku ini untuk selalu menulis. Hal ini karena aku sangat sibuk dengan kegiatan kampus. Aku menjadi salah satu organizer dalam sebuah organisasi pengembangan Bahasa Inggris, kursus Bahasa Perancis untuk menambah kemampuanku di bidang bahasa, latihan taekwodo, dan menjadi staf redaksi majalah kampus. Semua ini memang terkadang menguras tenagaku. Ini terdengar memang kurang adil. Kamu selalu mendengar keluh kesahku selama ini namun aku kini keberatan bercerita lagi denganmu. Bukan maksudku aku meninggalkanmu, buku harianku. Aku hanya berpisah denganmu sejenak sebab aku memang benar-benar tak sanggup memaksakan diri untuk menulis jika aku terlalu kelelahan seperti ini. Aku berjanji, aku akan menceritakan kepadamu mengenai apa saja yang menarik di kehidupanku ke depan. Kamu memang harus tahu.
4 Februari 2005
Sedikit berbagi dengan buku harianku setelah sekian lama kubiarkan baris-baris ini kosong. Aku tak malu mengakui kalau aku jatuh cinta dengan dunia sastra. Memang ada teman kampusku yang mengolok-olok aku. Dia berkata, “Aneh sekali laki-laki tak suka olahraga. Tapi, ia lebih suka bergelut dengan komputer dan sastra yang membingungkan”. Inilah yang menyebabkan aku tergerak hati untuk menuliskan kata-kata lugu temanku itu.
Aku tak mengambil pusing kata-kata itu. Ia pasti orang yang tak suka baca buku. Ia tak tahu pengarang-pengarang laki-laki ternama. Negeri ini memiliki W.S. Rendra, Habiburrahman L. Shirazy, dan Andrea Hirata. Sangat betul aku belum mampu menandingi kesaktian mereka dalam mempermainkan kata-kata yang sanggup menyihir penggemar buku-buku mereka. Tapi, aku punya cara sendiri dalam mengungkapkan jiwa sastraku. Karena inilah gayaku, dan aku bangga karena itu.
3 September 2005
Sekali lagi aku bangga dengan hobi menulisku. Ini tak membuatku kewalahan lagi saat menyusun skripsi. Skripsiku tentang strategi komunikasi instruksional atau dalam bahasa awamnya mengenai pengajaran. Diam-diam, aku punya cita-cita untuk menjadi guru. Alangkah indahnya jika kita punya andil dalam rangka mencerdaskan bangsa ini.
Ini sekaligus menjadi hari pertamaku mengenakan kaca mata minus satu. Entahlah apa yang menyebabkan kedua mataku tak senormal dulu. Apakah kebiasaan memandangi komputer terlalu lama, kurang mengkonsumsi vitamin A alami atau cara membaca bukuku yang salah. Kutak tahu mana yang harus kukambinghitamkan.
17 Maret 2006
Aku masih di kota ini. Dua hari yang lalu, aku disibukkan persiapan untuk menghadapi CPNS. Puji syukur kepada Tuhan, semua rencanaku dilancarkan oleh-Nya. Dua bulan kemudian, pengumuman penerimaan CPNS itu akan diumumkan. Semoga doaku dikabulkan untuk menjadi salah satu pahlawan yang berjasa untuk negeri ini.
8 Mei 2006
Doaku telah dijawab Tuhan. Aku lolos penerimaan PNS di kabupaten ini. Hanya saja, aku ditempatkan bukan di kabupaten ini. Namun di Kebumen. Sebuah kota yang dekat dengan kota kelahiranku, Purworejo. Tidak apalah, aku justru makin bersyukur karena aku bisa lebih dekat dan dapat sering pulang kampung untuk menjenguk orang tuaku jika hari libur. Benar kata orang bijak, jika kita melakukan bagian kita, Tuhan pasti akan melakukan dan memenuhi bagian-Nya.
26 November 2006
Aku mengajukan aplikasi untuk mengajar di SDN 5 Kebumen. Sebuah sekolah yang sangat asri. Banyak pepohonan di setiap sudut kelas. Inilah pemandangan yang makin jarang ditemui di sekolah-sekolah, terutama sekolah di kota-kota besar yang belum menyadari akan pentingnya keberadaan pohon-pohon tersebut. Setidaknya, kerindangan lingkungan ini turut menghambat pemanasan global yang dirasa makin ganas dalam hari-hari terakhir ini.
Untuk menjadi seorang guru secara resmi di sekolah ini, aku harus melewati masa pengabdian selama kurang lebih setahun. Demikianlah kata kepala sekolah saat aku menemui beliau di ruangannya. Mendengar ini, aku tak bisa berkata apa-apa. Aku begitu kagum dengan kuasa Tuhan yang telah memudahkan segala urusanku. Besok, aku adalah hari pertamaku mengajar di kelas 1 SD. Doakan ya, semoga aku bisa menikmati pengalaman pertamaku ini.
Mungkin ada yang bertanya. Mengapa aku memilih menjadi guru SD. Jawabannya sangatlah sederhana. Aku menyukai anak-anak. Mereka tampil apa adanya. Kehidupan mereka dijalani tanpa adanya tipu daya dan dunia mereka penuh dengan rasa ingin tahu. Tak sabar rasanya belajar bersama mereka dan tak ada salahnya membagi pengetahuan dengan mereka.
27 November 2006
Siang ini sedikit lebih terik dibanding siang-siang sebelumnya. Pepohonan sekolah terlihat bergoyang-goyang diterpa angin. Aku duduk di depan kelas 1. Lima belas menit yang lalu, murid-muridku pulang dan mereka dijemput oleh orang tua mereka di depan pintu gerbang. Kuusap peluh di dahiku, hari ini cukuplah memuaskan bagiku. Aku mengajar Bahasa Indonesia di kelas ini, serta kelas 2 dan 3. Hari pertama ini aku coba mengajar tulis menulis dan pembagian suku kata. Anak didikku terlihat sangat antusias dengan cara mengajarku. Kalaupun ada yang nakal, wajarlah. Satu dua murid tidaklah begitu memberatkanku, meskipun aku perlu menegur mereka sesekali waktu. Ada seorang yang murid bernama Gandhi. Dia sangatlah pendiam. Namun demikian, dia satu-satunya murid yang berani duduk di barisan paling depan. Saat kutanyai di akhir pelajaran (aku senagaja mengarang pelajaran tambahan. Sesi ini kusebut sebagai sesi menilai), dia menjawab dengan sedikit terbata-bata dalam Bahasa indonesia. “Pak Guru jangan grogi saat di depan kelas. Kalau besok seperti Bu Eni, saya akan sangat senang dengan pelajaran bapak”. Bu Eni adalah guru Bahasa Indonesia senior di SD ini. Kedudukan beliau kugantikan sebab beliau sudah memasuki usia pensiun.
“Terima kasih, Gandhi” ucapku sambil menatap anak laki-laki berpipi gembil itu. Dia tersenyum kepadaku.
18 April 2007
Jangan bilang siapa-siapa ya. Saat di kantor guru, aku disapa oleh seorang guru Bahasa Inggris. Dia bernama Bu Setyo. Umurnya kurasa tak jauh berbeda denganku. Dia membuka percakapan denganku karena dia menganggap aku sedikit introvert di lingkungan ini. Dia memintaku untuk lebih membuka diri dengan guru-guru lain. Dengan demikian, aku bisa berbagi pengalaman dengan mereka. Pengalaman apapun itu. Baik yang menyangkut hal belajar mengajar maupun tata pergaulan guru murid di sekolah ini.
Benar juga kata beliau. “Apa sih susahnya tersenyum dan menegur sapa dengan orang yang kita temui di dalam lingkungan sekolah ini. Entah sesama guru atau pegawai sekolah ini” tandasnya. Meski susunan kalimat itu seakan menelanjangiku, namun tak terasa tajam mengiris telingaku. Senyumannya lah yang menawarkan bisa di kata-kata pisaunya itu. Baiklah, aku akan mencoba untuk lebih terbuka untuk ke depannya.
4 Desember 2007
Kepala sekolah SD ini, Bapak Budiman, mengabulkan permintaanku. Surat bukti pengabdianku di sekolah ini selama setahun terakhir ini akhirnya berhasil aku kantongi. Beliau berpesan kepadaku agar aku semakin meningkatkan kualitas mengajarku di sekolah. Bagi sebagian murid, pelajaran Bahasa Indonesia akan terasa sangat membosankan jika metode belajarnya tidak kreatif dan inovatif. Inilah alasan beliau mengapa aku harus tetap belajar mendalami buku-buku kuliahku dulu, terutama buku-buku yang menunjang skripsiku.
5 Maret 2008
Hanya ada aku dan Bu Setyo. Semua guru telah pulang lebih awal di hari Jumat ini. Kami sudah berjanji untuk mengambil gaji bulanan kami di kantor pos. Untuk menuju ke sana, kami hanya jalan kaki. Jarak sekolah dan kantor pos bisa ditempuh selama 15 menit. Jarak yang cukup dekat. Selama di perjalanan, kami bercerita banyak tentang latar belakang pendidikan kami. Beliau terkejut bahwa aku dulunya mengambil Pendidikan Bahasa Inggris. Akhirnya, beliau menantangku. Jika di luar jam pelajaran, bagaimana jika kami aku berbicara dengan bahasa Inggris dengannya. Ia mengemukakan alasannya, bahasa itu ibarat sebuah latihan berjalan. Semakin sering ia digunakan dan dilatih, maka akan semakin lancar ketika diucapkan. Aku langsung mengiyakan usulannya itu. Ia secara tak langsung mengingatkanku kepada dosen Grammar-ku waktu di bangku kuliah dulu. Beliau mengucapkan hal yang isinya kurang lebih sama dengan apa yang Bu Setyo katakan kepadaku hari ini.
Kantor pos hari ini ternyata dipenuhi pengunjung. Sebagian besar dari mereka adalah pegawai negeri. Saat mudah dikenali dengan pakaian dinas yang mereka gunakan. Termasuk kami . Aku menunggu giliran di dekat loket, tepat di belakang Bu Setyo. Aku pandangi wajah orang-orang yang ada di sekitarku. Setiap wajah yang menyimpan cerita masing-masing. Namun secara umum, wajah mereka memancarkan aura kebahagiaan. Maklumlah tanggal muda. Begitu pula denganku, kebahagiaan setelah dapat memperoleh penghasilan sendiri dapat kurasakan sekarang. Dan aku berjanji, aku harus menyisihkan penghasilanku ini untuk kutabung dan menganggarkan dana khusus untuk kukirim untuk orang tuaku di kampung.
Di tengah keramaian orang-orang yang disibukkan dengan urusan mereka masing-masing, seorang anak kecil menghampiriku.
“Pak Yudha sedang apa di sini? Sedang menabung ya? Gandhi juga senang menabung lho, Pak” kata anak kecil itu.
Aku membungkukkan badan sejenak untuk dapat bertatap muka dengan anak yang seukuran dengan dadaku itu. “Bapak tidak menabung, bapak hanya menemani Bu Setyo menabung” kataku. Bu Setyo mengangguk mendengarkan kataku yang penuh tipuan itu.
“Gandhi” seorang ibu muda memanggil salah seorang muridku. Gandhi menoleh ke arah sumber suara dan ia berteriak kegirangan. “Ibu...”. anak laki-laki itu terlihat sangat manja di pelukan ibunya. “Ibu...ibu...ke sini deh ikut Gandhi. Ada gurunya Gandhi. Guru bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang sangat baik kepada Gandhi” kata anak laki-laki itu.
Gandhi bersama ibunya lalu datang mendekati kami. Ibunya terlihat malu-malu untuk menemui kami. Ia nampak melambat-lambatkan perjalanan agar ia dapat mengulur-ulurkan waktu. Namun, akhirnya ia sampai juga di hadapan kami. Aku dan Bu Setyo bersalaman dengan ibunya Gandhi.
“Apa kabar, Bu Irham?” tanya Bu Setyo. Ternyata, mereka berdua telah saling berkenalan sebelumnya.
17 Maret 2008
Bu Irham itu juga kelihatannya sama-sama sedang membangkitkan sesuatu yang telah lama terpendam ketika kedua pasang mata kita saling bertatapan waktu di kantor pos itu. Aku melihat kesusahan yang teramat sangat di matanya. Sangat jelas kedua mata yang bersembunyi di balik kaca matanya berusaha merangkaikan kepingan kenangan yang hampir satu dekade tak diketahui rimbanya. Namun, usaha kerasnya tak membuahkan hasil. Aku tak mengetahuinya secara pasti. Apakah ia benar-benar lupa ataukah hanya menjaga sikap. Apalagi kalau bukan karena ia telah memiliki kehidupan baru dan keluarga yang baru pula. Ia hanya sedikit mengenalku. Tak lebih dari sekedar guru yang mengajar Bahasa Indonesia di sekolah anaknya. Senyumannya masih sama saat terakhir kali aku melihatnya di hari kelulusan itu. Aku masih mengenalnya. Seorang yang aku menyukai senyumnya saat ia tak bermain basket bersama teman-temannya. Satu dekade yang lalu.
11 April 2008
Aku masih mengajar Bahasa Indonesia di kelas 2. Sekarang aku duduk di meja guru. Sempat tak terbayangkan aku sudah menjadi guru. Bahkan aku mendapatkan predikat sebagai guru termuda di SD ini. Sedangkan murid-muridku menjulukiku sebagai Pak Haha. Aneh memang. Tapi aku tahu alasannya. Dalam belajar, aku menggunakan metode permainan untuk menyampaikan sebuah pelajaran. Jika seorang murid tak memahami pelajaran yang kusampaikan, ia akan kusuruh secara personal untuk menjawab pertanyaanku mengenai materi tersebut. Hal ini untuk melatih keberanian mereka mengemukakan pendapat dan menunjukkan jati diri mereka sedini mungkin. Jika ada yang salah, aku akan memberikan tepuk tangan untuk menyemangatinya. Kemudian aku akan bercerita sebuah cerita lucu agar teman-teman yang lain tak punya waktu untuk menertawakan temannya yang salah tadi. Sebab aku sering membuat mereka tertawa itulah, aku mendapat sebutan itu.
Saat jam pelajaran berakhir, aku berjalan bersama Rina, Sari, Gandhi dan Probo yang akan pulang ke rumah mereka. Sedangkan aku harus ke kantor guru terlebih dahulu untuk mengembalikan buku-buku ajar ke mejaku. Aku sengaja belum memasuki kantor guru untuk sekedar berdiri memandang pintu gerbang. Di sana, banyak orang tua yang sedang menanti buah hatinya datang kepada mereka. Ada juga pedagang makanan kecil yang mencoba mengais rejeki di tengah hari yang terik ini. Pandanganku mengarah kepada seorang yang membawa payung kuning. Ia melontarkan senyumnya untuk anak didikku, Gandhi saat anak kecil itu berlari kegirangan mendekatinya. Kemudian mereka terlibat percakapan singkat.
Ketika mereka berdua akan membalikkan badan, orang itu sempat melihat ke arahku. Aku hanya menganggukkan kepala sekali sebagai tanda menghormatinya. Ia lalu melakukan hal yang sama kepadaku. Kemudian keduanya meninggalkan sekolah ini. Aku pun harus segera ke ruang guru. Kemudian membuat cerita pendek untuk menggambarkan apa yang telah terjadi selama satu dekade ini.
Purwokerto, 5 Juli 2010.