Blogger news

Pages

Jumat, 31 Desember 2010

Cry


kembang api itu mulai menebarkan pesona di langit
berpendar dan meletup kecil dengan warna orange dan hijau
aku menatapnya dari kejauhan dan tak berani mendekat
dari jauh pun cukup membuat jantungku berhenti sepersekian detik karena suara ledakannya
dan dari kejauhan pula,hujan pun datang
entahlah seberapa lebat
karena tak ada yang mewartakannya
kubiarkan hujan itu turun dengan derasnya
menyapu daun beringin dan akasia yang berguguran di tengah jalan
beserta angin yang membawa kekuatan wingitnya
biarkan hujan itu menyapu ibu kota sejenak
janganlah mengeluh apalagi menyumpahi dengan label apapun
sebab ini ialah perasaan halus yang tak boleh dibantah
katakan saja agar ia tak tertahan di langit atas sana

selepas itu,mari kita lihat pesta kembang api yang tadi sempat tertunda
dan lupakanlah hujan
lupakanlah di penghujung tahun ini
dan untuk tahun depan
dan kalau perlu untuk selama lamanya
karena aku tahu ini sedikit menyakitkan
sehingga lupakanlah
selamanya hujan tidaklah ada yang mengharapkan
condongkan hati ini dan hatimu ke percikan bunga api itu
tengoklah barang sebentar...
Umur percikan api itu taklah lama
tapi mereka membuat siapapun yang melihatnya bahagia.
Mengapa kita tak meniru mereka?

Senin, 27 Desember 2010

Kapan Aku Menggembirakan Allah?

Aku sempat menegurnya tadi pagi.dia pun tersenyum melihatku yang hanya lewat di depannya yang sedang duduk duduk di bangku tua nan berdebu.wajahnya penuh keriput dan gurat kelelahan,namun semua itu tak begitu berarti ketika ia mulai tersenyum.kepada siapapun yang ia temui dan ia sapa.
Rambut putihnya benar benar menjadi bukti otentik kalau dia memang layak dipanggil mbok.orang orang memanggilnya mbok Salamah.seorang janda tua yang hidup sebatang kara tanpa keluarga.

Sedikit ingin berbagi cerita tentang rencananya membahagiakan Allah.Barangkali dia kebingungan jikalau ingin membagi kasih kepada siapa.orang terdekatkah? Dia tak memilikinya.tetangganyakah? Mereka justru hidup lebih mapan dibanding si mbok.sehingga,seperti yang aku lihat tadi pagi: rupanya ia membagi cinta kasihnya kepada makhluk Tuhan bernama kucing.ia memberi makan kucing kucing itu,tak peduli dari mana mereka berasal dan siapa pemiliknya.bahkan,ia rela menyisihkan pendapatan hariannya sebagai pedagang sayur keliling untuk sekedar dibelikan ikan asin.kemudian,ikan asin tersebut dicampur dengan nasi yang ia bawa dari rumah dan diberikan kepada kucing yang ia jumpai di jalan.
Dia sempat menghardik kucing kucing itu tadi pagi gara gara mereka menatap aku berjalan di samping mereka.si mbok berkata,''Cepetan to nduk mangane,aku ndang nang pasar'' (Buruan cepat habiskan makanannya,saya harus segera ke pasar).
Asal kalian tahu,panggilan ''nduk'' sejatinya diperuntukkan untuk menyebut anak kandung perempuan dalam tradisi Jawa.
Sangat mudah ditafsirkan.si mbok telah menganggap kucing kucing itu sebagai anak anaknya sendiri.tak peduli mereka itu hanyalah hewan.tak peduli mereka adalah kucing jalanan.tak peduli uang pendapatannya terkikis untuk memperpanjang umur cintanya itu.

Teringat kata kata ustadzku,Allah menciptakan seluruh makhluk hidup dengan kasih sayang.kalau kita menyakiti salah satu makhluk-Nya,kita berarti sedang menyakiti-Nya.namun,andaikata kita menyayangi makhluk-Nya,maka sejatinya kita sedang menggembirakan hati-Nya.
Aku jadi malu pada diriku sendiri.yang hanya mau berbagi dengan sesama manusia.yang pasti ada maunya.yang terkadang bersyarat.yang penuh keterpaksaan.yang penuh pertimbangan pertimbangan aneh (padahal Allah tak pernah membatasi rahmat-Nya untuk manusia).dan yang ingin dipuji bahkan mengharapkan balas jasa.
Kalau begitu,kapan aku bisa menggembirakan Allah?
Astaghfirullah...

Selasa, 14 Desember 2010

Confession of A Broken Heart


22 tahun lalu,ia menanam bunga biru.
21 tahun lalu pun ia menanam lagi bunga merah.
Kedua bunga tersebut tumbuh subur di halaman depan rumahnya.
Atas rahmat Tuhan,mereka jauh lebih rimbun dari yang dibayang dan diharapkan sebelumnya.
Tapi,tahukah kamu?
Selama rentang waktu itu,dia tak pernah menyirami,merawat bahkan memupuk keduanya.
Dibiarkan begitu saja.
Tak peduli akan layu.
Mati.
Diserang hama.
Rontok daunnya.
Gugur sebelum berbunga.
Hancur akarnya.
Kekeringan.
Tenggelam oleh air hujan.
Goyah.
Hampir tercerabut.
Tumbuh bengkok.
Dipatuk hewan,
maupun tak tersirani oleh guyuran sinar mentari.
Bunga bunga itu tumbuh dengan liarnya.
Berbunga dengan anggun dan molek.
Dan tentang wanginya, membahana hingga ke seluruh penjuru desa dan kota.
Wangi.
Sungguh wangi.
Dan tak pernah memudar.
Tak pernah berubah meski sedikitpun.
Namun...
Kedua bunga itu berjanji tak akan mengharumkannya,dan rumahnya,serta namanya.
Karena bunga itu kini tegak berdiri dan sudah lelah dengan kelakuannya.
Mereka akan tetap tumbuh.
Untuk orang orang yang telah memperjuangkan keduanya.
Bukan demi penanam bunga itu.
Bukan demi dia.
Sungguh bukan demi dia.

Senin, 13 Desember 2010

Di Ujung Sungai Itu

Dan serta merta berkata...
.
.
.
.
.
Cinta itu tak bersyarat.bahkan tak diketahui alasannya mengapa.
.
.
.
.
Kata kata ini pernah menggema di hatiku.
Pembenaran demi pembenaran pun meretas sedikit demi sedikit.
Saat itu,adalah musim bulan purnama.
Lolongan anjing di malam itu terdengar menyalak di antara deruan air sungai yang membentur batuan.
Kau masih ada di situ.
Bersama memadu kasih dengan tinta dan lembaran pinus.
Kau masih ada di situ.
Dan dari ujung sungai itu,masih terdengar menyusup melewati temaramnya lampu malam.
.
.
.
Gonggongan itu sama.tak berubah sedikit pun.barangkali dia hanya ingin bernyanyi,merayakan dewi purnama begitu dermawan menghamburkan sinar lembutnya.
Dan kau masih ada di situ.
.
.
Ia nampaknya tak lelah.
Aku pun (berusaha) tak lelah.
Kini mulai meragu.
Adakah kau masih ada di situ?
Penggerak tinta dan lembaran pinusku?
Pencipta jutaan kilometer cacing di atas lembar lembar pinusku?
Aku mendadak meragu.
.
Lolongan itu masih ada.
Sangat jelas di kedua telingaku.
Sementara lembaran pinus mulai menggigil kedinginan semenjak keraguanku muncul.
Merembet dingin membeku di bagian mendetak di dadaku.
Yang tertinggal hanyalah...
Hanyalah suara di ujung sungai itu.
.
.
.
.
.

Jumat, 10 Desember 2010

Hope


Harap.
Berharap.
Mengharapkan.
Diharapkan.
Harapan.
Tak berharap.
Tolong,jangan paksa aku untuk berhenti berharap.
Aku hidup karena sebuah harapan yang diharapkan.
Tanpa harapan,seseorang limbung tak berpengharapan.
Walaupun harapan itu sampai menembus titik mustahil.
Walaupun harapan itu laksana secuil es yang ditaburkan di padang Sahara.
Walaupun harapan itu selalu dihadapkan pada kekecewaan.
Rasanya aku tak berdosa untuk berharap.
Harapan yang diharapkan semua orang.
Dan kumohon dengan sangat.
Jangan paksa aku untuk berhenti berharap.
Harapan.
Harapan.
Harapan.
Pasti akan ada harapan untuk orang yang pandai berharap.

My December


Desember.
Aku mengaitkannya dengan sepi.
Sepi ibarat jalan tak berujung.
Yang menyesatkan para musafir yang mulai kelelahan.
Yang membuat tangis mereka makin menjadi jadi.
Yang membuat mereka meneriakkan nama Tuhan mereka dengan tangan tangan menghadap langit.

Desember.
Aku masih mengaitkannya dengan sepi.
Aku kehabisan cerita di bulan ini.
Tinta penaku pun mendadak menguap dan melebur dengan nama Desember yang makin menghitam.

Desember.
Aku mengaitkannya dengan sepi.
Jauh lebih sepi daripada sepasang rel tua di pinggir kota itu.
Rel yang menamparku berkali kali.
Dengan tamparan dingin membeku.
Sedingin karat yang merona di sepanjang perlintasan.
Satu rel berteriak,''Bodoh!''
''Kami tak akan bertemu sampai kapan pun.kalau kami bersinggungan,matilah dunia kalian''

Desember.
Dan aku tak lelah mengaitkannya dengan sepi.
Karena untuk menapaki Januari,sepi itu harus kulewati.walaupun sendiri.walaupun 31 hari itu bukanlah waktu yang singkat.

...dan aku pun belum ingin berhenti mengaitkan Desember dengan sepi...

Tarian Hujan di Awal Dua Ribu Delapan

Genderang baru saja ditabuh.
Gemanya menggelegar memekikkan telinga.
Setelah sebelumnya lampu langit berpendar menawarkan jilatan maut.
...air keberkahan itu pun turun lagi.
Mengelus daun yang berselimutkan debu.
Menciumi rekahan batang kayu yang termakan usia sebelum akhirnya berpelukan dengan bumi.

Ia berjingkat-jingkat lalu merayap di atas genting tempat kita berteduh dan menari gemulai di hadapan kita.
Menari seraya membisikkan seuntai kalimat yang membuatku bertanya tanya.
Sedangkan kamu,,
Hujan,begitu katamu...selalu menjebakku pada pilihan sulit.
Apakah aku harus menembus tarian itu?
Atau menunggu hingga tarian itu selesai dipertunjukkan.

Kau selalu ragu ragu tentang itu.
Meski pada akhirnya kau selalu memilih untuk menunggu tarian itu dengan tatapan nanar.

Dan tarian itu pun belum usai..
Saat kamu mulai gusar,aku pun mulai khawatir.
Apakah momen bisu ini adalah yang terakhir bagiku.
Yang tak akan pernah datang lagi.
Tak pernah datang lagi.
...dan tak pernah datang lagi.

Tarian hujan yang meninggalkan bekas bau harum tanah basah.
Yang membuatku terkapar rindu menunggu penantian tarian semacam itu lagi.
Dengan kebisuanmu.
Dengan kemisteriusanmu.
Dengan tanda tanyamu.
Dengan tatapan nanarmu.
Dan dengan tarian hujan terakhir itu,nampaknya Dia memberiku alasan mengapa aku menjadi pengkhayal tentang hening dan kebisuan itu.