Blogger news

Pages

Jumat, 10 Desember 2010

Tarian Hujan di Awal Dua Ribu Delapan

Genderang baru saja ditabuh.
Gemanya menggelegar memekikkan telinga.
Setelah sebelumnya lampu langit berpendar menawarkan jilatan maut.
...air keberkahan itu pun turun lagi.
Mengelus daun yang berselimutkan debu.
Menciumi rekahan batang kayu yang termakan usia sebelum akhirnya berpelukan dengan bumi.

Ia berjingkat-jingkat lalu merayap di atas genting tempat kita berteduh dan menari gemulai di hadapan kita.
Menari seraya membisikkan seuntai kalimat yang membuatku bertanya tanya.
Sedangkan kamu,,
Hujan,begitu katamu...selalu menjebakku pada pilihan sulit.
Apakah aku harus menembus tarian itu?
Atau menunggu hingga tarian itu selesai dipertunjukkan.

Kau selalu ragu ragu tentang itu.
Meski pada akhirnya kau selalu memilih untuk menunggu tarian itu dengan tatapan nanar.

Dan tarian itu pun belum usai..
Saat kamu mulai gusar,aku pun mulai khawatir.
Apakah momen bisu ini adalah yang terakhir bagiku.
Yang tak akan pernah datang lagi.
Tak pernah datang lagi.
...dan tak pernah datang lagi.

Tarian hujan yang meninggalkan bekas bau harum tanah basah.
Yang membuatku terkapar rindu menunggu penantian tarian semacam itu lagi.
Dengan kebisuanmu.
Dengan kemisteriusanmu.
Dengan tanda tanyamu.
Dengan tatapan nanarmu.
Dan dengan tarian hujan terakhir itu,nampaknya Dia memberiku alasan mengapa aku menjadi pengkhayal tentang hening dan kebisuan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar