Dan serta merta berkata...
.
.
.
.
.
Cinta itu tak bersyarat.bahkan tak diketahui alasannya mengapa.
.
.
.
.
Kata kata ini pernah menggema di hatiku.
Pembenaran demi pembenaran pun meretas sedikit demi sedikit.
Saat itu,adalah musim bulan purnama.
Lolongan anjing di malam itu terdengar menyalak di antara deruan air sungai yang membentur batuan.
Kau masih ada di situ.
Bersama memadu kasih dengan tinta dan lembaran pinus.
Kau masih ada di situ.
Dan dari ujung sungai itu,masih terdengar menyusup melewati temaramnya lampu malam.
.
.
.
Gonggongan itu sama.tak berubah sedikit pun.barangkali dia hanya ingin bernyanyi,merayakan dewi purnama begitu dermawan menghamburkan sinar lembutnya.
Dan kau masih ada di situ.
.
.
Ia nampaknya tak lelah.
Aku pun (berusaha) tak lelah.
Kini mulai meragu.
Adakah kau masih ada di situ?
Penggerak tinta dan lembaran pinusku?
Pencipta jutaan kilometer cacing di atas lembar lembar pinusku?
Aku mendadak meragu.
.
Lolongan itu masih ada.
Sangat jelas di kedua telingaku.
Sementara lembaran pinus mulai menggigil kedinginan semenjak keraguanku muncul.
Merembet dingin membeku di bagian mendetak di dadaku.
Yang tertinggal hanyalah...
Hanyalah suara di ujung sungai itu.
.
.
.
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar