Blogger news

Pages

Sabtu, 17 November 2012

Aneh!


Rasanya aneh saja ketika orang sepertiku ada yang menyukainya. Behahahaha... tapi aku serius. Makanya aku nulis ini di blogku, mbok setiap kali aku mengabadikan suatu momen dalam sebuah tulisan, pasti di belakangnya ada suatu memori atau insiden yang benar-benar terjadi. Meskipun itu ga semuanya, meski itu ga bisa dipukul rata, ibarat sinetron lah. Ada yang emang based on true story, ada pula yang abal-abal alias akal-akalan si pengarang cerita biar semua orang terpukau. Nah, perkara ceritaku ini memukau atau ga, dipikir amat sih ga juga. Soalnya aku selalu mengidentikkan nulis beginian sebagai nyampah, sampah dari pikiranku yang bisa ngeracuni pikiran kalau ga cepat-cepat dibuang. Kalau kamu nemuin istilah yang setidaknya lebih bagus dikit daripada nyampah, bisa deh kamu menyumbangkan kata itu ke aku hehehe.

Aku mau cerita yang normal-normal saja. Soalnya udah terlalu banyak cerita yang ga normal menghampiri hidupku. Disukai laki-laki inilah itulah, sampai di inbox orang yang ga kukenal supaya aku manggil dia om. Jijay markijay, demit pun ogah ndulit.

Disukai cewek, ngahahaha ga etis banget diceritain di sini. Tapi, suka-suka aku lah. Ini juga blog-blogku sendiri. Beberapa hari yang lalu aku dapat sms (yang boleh aku bilang pesan singkat) nyasar. Setelah kujabanin beberapa kali kirim sms, dia ngaku namanya Dwi Novita, anak Al Amin juga, asli Rawalo. Ngakunya juga dia sms aku biar dia bisa kenal lebih dekat ma aku. Idih, apa lagi maksud tu cewek?

Tapi, bukan Agus namanya kalau ga penuh perhitungan. Tahukah kamu nomor apa yang dia gunakan ketika kirim sms ke aku? Dia memakai nomor 3, begitu pula aku. Itu artinya, ngirim sms ke sesama 3 itu gratis sampai batas pengiriman pesan tak terhingga. Berarti pula, kemungkinan “orang itu ngerjain aku” makin besar pula. Toh, tukang usil di dunia ini punya karakter yang mudah ditebak: suka pake gratisan yang ga mlorotin pulsa mereka. Yah, selama dia ga neko-neko apalagi minta kawin aja, hayuiuh sms-an, aku malah jadi semangat pengin ngerjain balik tu orang *devilsmile*

Satu lagi, disukai cewek, apalagi dia satu ma’had sama aku (ma’had = satu pesantren, satu tempat, satu lingkungan) sejujurnya ga membuatku nyaman. Tahulah sendirilah kamu bagaimana karakterku. Aku paling ga suka sama yang namanya aturan ini itu, aturan tak tertulis yang mengekang, harus ini harus itu, ga boleh ini apalagi itu, pokoknya semua yang ga ngijinin aku bebas, aku pasti mengutuk habis peraturan itu. Nah, disukai sama cewek pun otomatis ada sebuah aturan nontertulis yang menjadikan aku harus jaim. Kenapa harus jaim? Duh, aku juga bingung gimana ngejelasinnya. Aku harus tampil baik dan enak dipandang di depan umum. Ga boleh tampil serampangan lagi, ga boleh kucel apalagi ga mandi sampe berhari-hari, liat kostum yang dipake dan berusaha mix and match biar serasi, jalannya kudu ati-ati, jaga mulut jangan sampai asal ngejeplak kaya Omas, harus korban perasaan, korban pikiran dan tentunya korban pulsa juga. Dipikir-pikir yang rempong kok malah aku ya?

Hahaha cepet bilang kalau aku aneh! Tapi itu FITNAH! Aku tuh ga aneh! Aku itu aneh banget.

Kamis, 15 November 2012

... dan Itu Pasti....


Barangkali, aku memang perlu mundur beberapa langkah, maap.
Ketika kamu menyapaku terlebih dahulu waktu itu (dunia rasanya memang udah kebolak-balik hahahahah), ah rasanya biasa saja. Aku juga ga perlu bilang wow waktu itu. Setelahnya, kita lalu berteman, bercerita seperti orang yang tak pernah lelah membagi pengalaman hidup kita yang udah terlewat. Kita kemudian sahabatan, makan bareng, ketawa bareng, sedih bareng, galau bareng sampai ngamuk ngamuk pun bareng. Kalau ada anak alay tanya: sohiban? Cyuuus miapah? Bakalan kujawab neh: “mipaleluw”.
Demi kepala kebo yang kompal kampul di tengah laut di malam 1 Suro, aku bener-bener dah ngerasa klop nemuin temen kaya kamu. Biarpun watak kita beda jauh, macam aku Giant, kamu Shisuka, aku gampang ngamuk –alhamdulillah ga sampe makan beling segala- sedangkan kamu kalemnya masya Allah, aku suka warna merah –biarin orang bilang aku caper, tapi kamu ga perlu caper pun kamu malah udah jadi puper. Pokoknya kita emang beda, bedaaaa jauh. Aku di Norwegia, kamu di Ethiopia sana ahqhqhqhqhq
Terlepas dari itu semua, kita udah janjian yah, kita tetep temenan. Kaga perlu silang jari kelingking lah, dunia dah cukup cerdas buat memahaminya. Aku terus mencoba buat jadi teman yg baik buat kamu, begitu pun kamu. Aku nyampah semua masalahku ke kamu, dan celakanya sampahmu lebih parah kapasitasnya ke aku (ngahahahaha, kaga masalah kok). Kita janji buat tetap sohiban biarpun kita akan berpisah suatu saat nanti, dan itu pasti. Kita janjian buat tetap berteman meskipun kita ga bisa nyampah kaya dulu lagi suatu saat nanti, dan itu pasti. Kita janji buat tetap berkawan biarpun kita ga bisa nimpuk kepala masing-masing, ngukur jalan bareng, makan cilok bareng, ngerasani orang bareng, nongkrong bareng, nggelandang bareng, dan ga bisa duduk bareng di pinggir kota dan itu akan terjadi suatu saat nanti dan itu pasti. Dan kita udah janji ttp sohiban meskipun aku berada di sebelah selatan pulau Jawa, sedangkan kamu terpisah di belahan pulau Jawa sisih endi mbuh ora ngerti, itu akan terjadi dan itu pasti. Kita tetap sohiban kan?
kupikir,di antara kita ada yang ga sengaja ngelanggar perjanjian itu, entah aku atau kamu. Akan tetapi, kalo misalnya aku menemukan sebuah situasi di mana ketika sedang nyampah, ketawa ketiwi kaya nyi kunti, dan itu bareng ma kamu, tapi tiba-tiba cerita itu hilang sekejap setelah aku bangun tidur, sepertinya yang ngelanggar aku yah? Hehehe peace!
Ampun lah, aku ora maning-maning wesss. Kita lebih bagus sohiban aja. Kalau kita ngerasa kok makin jauh, kita bisa berusaha mendekat. Namun ada kalanya kita terasa terlalu dekat, itulah saat lebih baiknya kita (saling) mundur sejenak. Kurasa kali ini aku yg memang perlu mundur beberapa langkah. Ho’oh gitu aja, dengan begitu aku yakin di antara kita kaga bakalan ada yang tersakiti sampe hati.

02.09
1 Muharram 1434 H

Sabtu, 10 November 2012

Insiden Jepretan Karet



Jam 10 pagi hari ini, aku benar-benar kelaparan di kelas 1. Apa yang bisa kulakukan hanyalah meneruskan menulis novelku di tengah-tengah deru protes penghuni perutku yang geliatnya makin tak bersahabat. Di luar, masih ada abah dan beberapa orang temanku yang ikut kerja bakti. Sedangkan aku memang tidak ikut kerja bakti lantaran sedang menyelesaikan proek novel kedua dari trilogi novelku ini. Bagi santri yang ga ikut kerja bakti, secara sadar mereka memang mengakui kalau perbuatan mereka itu salah sehingga menimbulkan kerikuhan sendiri, baik kepada abah kyai maupun kepada teman-teman mereka sendiri. Sehingga, kalau nyata-nyata tidak kerja bakti, ya mending ngumpet saja. Ga usah nampang sok yes - sok sibuk - mondar mandir di sekitar pondok seolah-olah orang penting yang sedang banyak acara dan kepentingan. Di sisi lain, sudah sejak satu setengah jam yang lalu sms dari temanku aku abaikan. Sms itu berisi kalau makan bersama di lantai 3 sudah dimulai. Tapi, lagi-lagi dengan berat hati aku harus melewatkan momen indah nan mengenyangkan itu lantaran aku terjebak di situasi yang serba sulit.

Setelah situasi memungkinkan untuk keluar dari kelas 1, akhirnya aku berlari ke lantai 3 untuk breaklunch. Kamu pasti baru mendengar istilah breaklunch. Istilah ini kerap terjadi pada anak-anak kos yang kerap telat sarapan pagi, sehingga mereka memepetkan jadwal sarapan dengan makan siang. Akulah korbannya kali ini. Makan sendiri di lantai 3 karena teman-temanku di sana sudah makan dan mereka menyisakan nasi serta sayur, seperti yang aku request tadi. Setelah aku selesai makan, aku kembali ke lantai 2 untuk mengambil sesuatu. Belum juga badanku benar-benar masuk ke dalam kamar, aku merasa punggungku dilempar sesuatu oleh seseorang. Aku tahu pelakunya. (Kemudian aku salah sangka, aku bukannya dilempar sesuatu, tapi sebenarnya aku dijepret karet dari kejauhan). Dan saat inilah aku ingin melancarkan serangan balasan. Kita tunggu saja.

Aku masuk ke dalam kamar Utsman. Di sana sedang ada Suryadi yang tiduran hanya menggunakan boxernya. Tak jauh darinya, ada Hasan yang sedang sibuk mengerjakan tugas. Sengaja, aku memasang muka garang untuk menakut-nakuti mereka. Aku susun kekuatan semaksimal mungkin agar rencanaku berjalan mulus.

“Mau sing mbalang aku sopo?”

Suryadi dan Hasan mulai kebingungan dengan perubahan ekspresi wajahku yang drastis. Kumulai mengatur suasana agar terkesan menegangkan dan menyeramkan. Mereka kebingungan, kalau aku boleh menerjemahkan kebingungan mereka, kurang lebih mereka bergumam di dalam hati, “Duh payah nih, mas Agus marah-marah”. Lagipula, siapa juga orang di pondok ini yang berani menghadapi aku ketika aku sedang marah?
Hasan kemudian mengacungkan telunjuknya. Wajahnya berangsur-angsur beralih dari kebingungan menjadi memelas. Tapi aku tak ingin mengakhiri drama ini di sini.

“Koe yo? Karepmu ki piye mbalang-mbalang aku mbarang? Hah?” aku sudah menstel volume suaraku di level tertinggi. Aku sudah lupa lagi caranya tersenyum, yang ada di pikiranku, aktingku sudah hampir saja berhasil. Kamu tahu apa yang terjadi?
Hasan pun menangkupkan kedua telapak tangannya dan meminta ampun di depanku. Wajahnya sangat ketakutan. Kalau aku berkata satu kalimat dengan nada menghentak lagi, aku bisa bertaruh ia pasti akan menangis. Sebelas dua belas dengan takutnya wong cilik yang dipalak oleh preman yang badannya penuh dengan tato. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri, dia sungguh cemas dan khawatir kalau aku sampai ringan tangan kepadanya. Ah yang benar saja. Tak tahan melihat raut muka teman dekatku itu, akhirnya aku tertawa. Tertawa lepas sambil mengeluarkan biskuit kacang yang sudah aku bawa dari tadi.

“Biasa wae lah” aku menggoda Hasan yang tengah kebingungan dengan perubahan sikapku lagi. Rasanya ia masih setengah percaya kalau apa yang terjadi barusan hanyalah gurauan belaka. Aku letakkan satu bungkus penuh biskuit itu di depannya namun dia berkata kalau nafsu makannya mendadak hilang. Ternyata ia masih trauma dengan sikapku tadi. Rasanya ingin kutertawa sekeras-kerasnya. Bakat aktingku nyatanya masih menawan.

Akhirnya aku letakkan biskuit itu di tengah-tengah. Di sana ada Suryadi, Rifan dan Iskandar, yang masih sama syoknya dengan bentakanku tadi. Kupersilakan mereka menikmati biskuit yang kubeli kemarin itu. Ketika lurah pondok datang, Latif, aku juga menawarinya jajanan favoritku itu. Tak lupa aku menyisakan tiga buah biskuit untuk Hasan yang tengah menjadi aktor utama dalam drama jepretan karet itu. Tak henti-hentinya aku minta maaf kepadanya.

Aku sempatkan waktu sebentar untuk mengobrol dengan mereka. Hasan, ternyata dia dibesarkan oleh keluarga yang santun, halus perangainya, tinggi budi pekertinya, sehingga tak heran jika ia menjadi orang yang pemalu dan tak banyak tingkah. Rasanya aku jadi bersalah telah mengerjainya sampai sehoror itu. Tapi, rasanya belum afdhol kalau aku belum pernah berseteru dengan seseorang. Sebab, setelah aku berseteru dengan orang itu, bisa jadi persahabatan kita lebih erat ke depannya.
Maafin kejahilanku, sobat...

Senin, 05 November 2012

Pendiam Itu Mudah Ditaklukkan


Untuk beberapa orang yang memiliki karakter pendiam, seringkali mereka memiliki rahasia yang kalau terbuka sedikit saja, kita pantas berteriak WOW. Bukan maksudku menghiperboliskan sesuatu, hanya saja dari pengalamanku berhadapan dengan orang pendiam, aku menemukan sesuatu yang hampir saja aku sulit mempercayainya kalau mereka yang mengatakannya atau mereka sendiri yang mengalaminya. Seperti yang kukatakan tadi. Mereka memiliki dunia yang jarang dijamah oleh orang lain. Mereka ibarat fenomena gunung es yang tampak kecil di permukaan, namun membentuk tebing raksasa di bawah permukaan laut. Dari luar nampak tenang seperti tenangnya permukaan sungai, namun di bawahnya terdapat palung dengan kecepatan arus air yang bisa melenyapkan nyawa manusia sekalipun.

Secara tak sengaja, aku telah menemukan teori baru berkenaan tentang orang pendiam ini. Teori ini tak kutemukan melalui metode penelitian tertentu, melalui riset, survey atau konsensus apalah itu namanya. Aku menemukannya secara sepintas, kata Einstein, Eureka! Asal ngobrol-ngobrol dengan mereka dan tak sampai setengah jam, aku sudah tahu bagaimana kepribadian orang pendiam yang ada di hadapanku itu. Nah, teori yang sudah ada yaitu berbicara dengan orang pendiam itu jauh lebih sulit daripada memulai konversasi dengan orang yang cerewet/ banyak bicaranya. Aku setuju dengan itu. Namun semuanya itu tak jadi sesulit yang dibayangkan asalkan kita tahu teorinya. Seperti halnya Matematika dan Fisika. Asal kita hafal teori dan sering menerapkannya pada soal-soal latihan, dua pelajaran tersebut akan mudah saja dikerjakan. (Tapi aku pribadi, rasanya kok ga pernah bisa berdamai dengan dua pelajaran eksakta itu, bedebah sekali).

Lalu, teori macam apa yang berhasil kutemukan? Rasanya seperti profesor saja yang berhasil mencetuskan teori mahacanggih :D Dengarkan baik-baik: Orang, sependiam apapun, kalau mereka sudah diajak ngobrol soal hobi mereka, mereka dijamin tak akan kehabisan bahan pembicaraan. Cobalah bayangkan, ada orang yang pendiam. Kamu kesulitan untuk memulai percakapan dengannya. Padahal kamu sering duduk berdampingan dengannya. Nah, suatu ketika cobalah kamu bertanya tentang apa yang ia sukai. Sebagai contoh, “Dengar-dengar, kamu suka nonton film ya?”, “Kamu tahu dari mana?”. “Ya, dengar-dengar aja sih. Dengar dari kabar burung. Burungnya burung emprit”. “Kamu bisa aja deh. Kalau iya kenapa?”. “Genre apa yang kamu sukai?”. “Drama kali ya? Kalau kamu?”. “Horor”. “Ih kok horor sih, kan serem”... (lanjutin sendiri lah ya).

Dari contoh sederhana di atas, setidaknya kamu punya sedikit gambaran bahwa orang pendiam itu tak selamanya sulit ditaklukan. Akan tetapi, kamu juga harus tahu kondisi emosional si pelaku. Misalkan dia pendiam dan nampak sedang bersedih, jangan coba-coba kamu menanyakan apa hobinya. Terkadang, ketika ada orang yang sedang murung itu, kita sebaiknya tak menanyai dia dengan serentetan pertanyaan konyol yang membuat mereka makin ilfil dengan keberadaan kita. Apa yang perlu mereka dengar terkadang hanyalah kalimat singkat dari kita, “Sudahlah, kamu jangan bersedih, aku ada di sini untuk kamu”. Siapa tahu dari gombalan busukmu itu, si pendiam itu tiba-tiba mau menceritakan apa yang telah membuatnya bersedih.
Ilmu komunikasi, sebenarnya gampang saja. Semuanya hanya perkara bagaimana kamu bisa memulai bicara dengan orang lain yang ada di sekitarmu. Sebab, berbicara dengan orang-orang jauh lebih menyenangkan daripada ‘berbicara’ dengan benda mati. Trust me, it works!

Minggu, 04 November 2012

Love is so short, forgetting is so long...


Aku selalu bersemangat ketika aku harus mengatakan ini. Tak hanya mengatakan, namun juga menceritakannya bahkan ketika aku tak diminta sekalipun. Aku akan melakukan itu dengan senang hati. Terlalu bersemangat aku disebutnya, “Siapa yang minta kamu ngomong gitu?” sebuah kalimat yang kerap kujumpai, dan satu lagi: “Pasti sedang ada yang tidak beres”. Asumsi-asumsi aneh pun mengalir deras padaku. Gokilnya, aku menikmati semua ini. Rasanya aku benar-benar dalam keadaan merah. Ah, aku mulai kehabisan kata-kata mengapa aku harus mengatakan warna ini. Merah. Tapi tenang saja, aku tidak akan mendefinisikan merah itu apa dan penggemar warna ini akan seperti ini dan seperti itu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku memang sedang berkubang di dalam warna darah ini. Aku benar-benar menikmatinya.
Mengutip dari prolog dalam album terbaru Taylor Swift:
There’s an old poem by Neruda that I’ve always been captivated by, and one of the lines in it has stuck with me ever since the first time i read it. It says, “Love is so short, forgetting is so long”. It’s a line i’ve related to in my saddest moments, when i needed to know someone else had felt that exact same way. And when we’re trying to move on, the moments we always go back to aren’t the mundane ones. They are the moments you saw sparks that weren’t really there, felt stars aligning without having any proof, saw your future before it happened, and then saw it slip away without any warning. These are moments of newfound hope, extreme joy, intense passion, wishful thingking, and in some cases, the unthinkable letdown. And in my mind, everyone of these moments looks the same to me. I see all of these moments in bright, burning, red.
My experiences in love have taught me difficult lessons, especially my experiences with crazy love. The red relationships. The ones that went from zero to a hundred miles per hour and then hit a wall and exploded. And it was awful. And ridiculous. And desperate. And thrilling. And when the dust setted, it was something i’d never take back. Because there is something to be said for being young and needing someone so badly, you jump in head first without looking. And there’s something to be learned from waiting all day for a train that’s never coming. And there’s something to be proud of about moving on and realizing that real love shines golden like starlight, and doesn’t fade or spontaneously combust. Maybe i’ll write a whole album about that kind of love if i ever find it. But this album is about the other kinds of love that i’ve recently fallen in and out of. Love that treacherous, sad, beautiful, and tragic. But most of all, this record ia about love that was red.
“Love is a ruthless game unless you play it good and right”
Seperti yang tertulis di atas, ketika cinta dengan berbagai macam perasaan di dalamnya, semua terangkum dalam sebuah warna, yakni merah. Cinta itu curang, dengan curang securang-curangnya, menyakitkan dengan luka yang membekas hingga seumur hidup, memberi kabar gembira dan kabar sedih dalam satu waktu, senang dengan halo namun juga cemas dengan kemungkinan adanya selamat tinggal pada suatu hari nanti, cinta yang dimaknai sesuatu yang berbahaya tingkat awas, merubah segala sesuatunya secepat kilat, melebihi kecepatan cahaya, melampaui kecepatan suara, semuanya seolah menempatkan kita di permukaan bumi dan diberi kesempatan untuk mendongakkan kepala ke langit, menikmati kembang api yang berpendar menakjubkan. Di sinilah betapa merahnya cinta.
Namun, pada suatu ketika cinta menenggelamkan kita ke dalam dasar lautan. Membelesakkan kita hingga menyentuh dasar terdalam dari Palung Mariana. Menekan kita dengan kekuatan arus bawah air yang dapat meledakkan isi kepala kita. Hingga menyempitkan hati, menghambat pernapasan, membiarkan air mata mengalir deras dan bercampur dengan air lautan. Di saat tergenting ini, bahkan cinta pun masih membara. Sebab kamu tahu bahwa orang yang membuatmu menangis, adalah orang yang dulu juga pernah membuatmu tersenyum.
Dan semuanya masih terasa membakar, membakar dengan warna merah.

Autis Itu..


Kemajuan teknologi memang memudahkan kehidupan manusia, dalam segi apapun. Namun, aku sendiri punya pemikiran sendiri dalam menyikapinya. Kadang-kadang, aku ingin semuanya kembali ke jaman aku masih SD, atau setidaknya SMP. Saat di mana semua orang belum punya ponsel, belum mengenal apa itu laptop, belum ada jejaring sosial, tidak ada sepeda motor sebanyak sekarang dan belum ada gedung-gedung mewah yang menggeser lahan persawahan atau ladang.

Lalu mengapa aku punya pemikiran demikian? Sederhana saja. Aku sudah kehilangan feeling sama orang yang terlalu addicted dengan teknologi. Teknologi yang ia gunakan tidak membuatnya canggih dan berwawasan luas, namun lebih kepada pembentukan pribadi autis bagi orang tersebut. Aku paling tidak suka dengan orang yang ketika aku ajak ngomong, tapi dia malah asyik dengan ponselnya. Rasanya, pengin kurebut ponsel itu dan kubanting tepat di depannya. Tak hanya sampai itu, akan kuinjak-injak benda bangsat itu. Agar dia tahu bahwa persahabatan itu jauh lebih berharga dibanding benda mati yang mati tanpa dicharge itu.

Saat kerja bakti pondokpun, seluruh santri sebenarnya diwajibkan untuk mengikutinya. Namun, lagi –lagi gara-gara teknologi yang disalahgunakan para autis di sini, mereka jadi asyik dengan dunia mereka sendiri. Mereka menggadaikan pahala yang dijanjikan jika mereka bergabung dalam tugas itu dengan perkara yang sepele, perkara yang seharusnya dijadikan untuk hiburan semata, bukan pelarian dari tugas, perkara yang membuat mereka nampak sepert orang autis dibanding orang-orang kebanyakan. Kalau saja aku masih menjabat sebagai Departemen Keamanan di pesantren ini, ingin kutendang saja laptop mereka yang sedang digunakan untuk bermain game, atau kuanjlokkan listrik kamar-kamar dan mendamprat orang-orang bego yang salah menggunakan teknologi. Akan kuterangkan secara blak-blakan kalau mereka adalah orang tolol yang tak tahu pentingnya mendulang pahala atas perintah abah kyai, dibanding dengan kesenangan semata yang tiada guna itu. Sama tak bergunanya mereka di pesantren ini!

Parahnya, orang yang punya fasilitas lengkap itu adalah orang yang tak maju-maju pengetahuannya. Mereka tetap saja tak punya bahan omongan bermutu ketika diajak berdiskusi, pokok bahasan mereka tak jauh berkutat dari masalah perempuan dan segala kelakuan nakalnya. Jika sudah berhadapan dengan tugas kuliah, gelagapanlah mereka, tanya sana tanya sini seolah tak tahu apa yang sedang mereka hadapi, seperti anak SD yang diberi tugas membuat makalah kampus, padahal mereka sudah punya modem, laptop siap pakai, listrik yang selalu on. Lalu mengapa mereka bisa setolol itu? Gampang saja masalahnya. Mereka gemar facebookan, gemar mengoleksi foto-foto tak senonoh daripada browsing sesuatu yang bermanfaat. Ditanya memuakkan tidak. Bagiku tidak, biasa saja. Karena aku tak pernah punya minat untuk bergaul dengan mereka.

Terakhir, aku tak pernah menyalahkan teknologi. Kalau sampai demikian, berarti aku yang goblok. Teknologi tak pernah bersalah selama dia dimanfaatkan oleh orang yang bijak. Celakanya, orang bijak di tempat ini bisa dihitung dengan jari.

Flashing mid-finger to those who act like autist!

Sabtu, 03 November 2012

Only Hope


There's a song that's inside of my soul
It's the one that I've tried to write over and over again
I'm awake in the infinite cold
But You sing to me over and over and over again

So I lay my head back down
And I lift my hands
and pray to be only Yours
I pray to be only Yours
I know now you're my only hope

Sing to me the song of the stars
Of Your galaxy dancing and laughing
and laughing again
When it feels like my dreams are so far
Sing to me of the plans that You have for me over again

So I lay my head back down
And I lift my hands and pray
To be only yours
I pray to be only yours
I know now you're my only hope

I give You my destiny
I'm giving You all of me
I want Your symphony
Singing in all that I am
At the top of my lungs I'm giving it back

So I lay my head back down
And I lift my hands and pray
To be only yours
I pray to be only yours
I pray to be only yours
I know now you're my only hope


Jumat, 02 November 2012

Tukang Parkir



Tentu kamu tahu siapakah tukang parkir itu? Tukang parkir ya tukang parkir. Pekerjaannya njagain sepeda motor kita saat kita masuk ke dalam suatu toko. Motor kita ntar ditutupin kardus atau alat penutup jok sederhana supaya jok itu tidak kepanasan saat ditumpangi kita nanti (ini kalau tukang parkir yang cerdas, kebanyakan ya ga peduli sama sekali sampai hal sesederhana ini. Tukang parkir maunya ya makan gaji buta, asal terima duit tanpa memberikan kita manfaat sama sekali. Jangankan dipasangin kardus di jok sepeda motor kita, njagain motor aja setengah hati). Nah, setelah kita bahas profesi tukang parkir itu bagaimana, sekarang aku akan bahas tentang filosofi tukang parkir. Biarpun baju dan penampilan mereka terkadang dekil, kecuali tukang parkir yang modis (sempat-sempatnya make seragam parkir yang berwarna orange itu), mereka punya filosofi hidup yang mulia, bahkan saking mulianya kita perlu menirunya.
Aku berani bertaruh, tukang parkir tak akan marah-marah saat motor/ mobil yang mereka jaga diambil sama pemiliknya. Mengapa? Sebab kendaraan-kendaraan itu bukan milik mereka. Mereka hanya dititipin. Orang yang marah-marah saat barang titipin orang lain diambil sama yang punya, dia pasti orang gila, gendeng, gemblung dan semua itu masih kakak beradik dengan istilah nggak waras.
Inget kan kalau kita lahir di dunia ini dalam keadaan telanjang bulat? Tidak bawa harta apapun, kemudian atas kemurahan hati Tuhan, Dia meminjamimu dua orang yang sangat mencintai kamu, yaitu kedua orang tuamu. Dia memberimu sahabat-sahabat karena Dia tidak ingin kamu kesepian di dunia ini. Pada suatu ketika, Dia mempertemukanmu dengan orang yang kamu kira adalah bagian dari hatinya. (Jadi inget pepatah, Tuhan memberimu dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar, namun Dia hanya memberimu satu hati. Sebab Dia telah menitipkan sebagian yang lain supaya kamu mencari dan menemukannya). Kamu kira dialah hidupmu, cerita cintamu yang tiada akhir, tulang rusukmu yang hilang dan blah blah blah. Namun skenario Tuhan berkata lain. Dia mengambil orang-orang yang kamu cintai dan sayangi.
Lalu, jika kamu masih marah-marah kepada Tuhan sebab Dia (yang kau anggap kejam) telah merusak kebahagiaanmu, telah merenggut kesenanganmu, Dia tak ingin melihat kamu bahagia dan menuduh Tuhan tidak adil terhadap hidupmu.
Kalau sudah demikian, coba kembali ke atas. Kita semua adalah tukang parkir dari harta-harta milik Tuhan. Nah, kalau kita marah-marah ketika harta titipan Tuhan diminta sama yang ‘punya’, kira-kira kita pantas ga kalau masih dibilang orang waras?


Still Hurt


Barangkali tidak ada yang bisa mengalahkan indahnya berlarian seperti orang gila di antara pematang-pematang sawah, sambil menghirup udara pagi dan membiarkan sinar mentari menerpa wajahmu yang segar. Mentari bahkan tak menyangka bahwa kedua matamu menangis semalaman. Akan tetapi kamu bisa melupakan masa sulit di malam hari dan ingin mencoba menjadi kupu-kupu yang selalu terbang bebas tanpa ada apapun yang menghalanginya.

Atau mengikuti suara musik alam, gemericik air sungai yang mengalir menerpa bebatuan hitam nan legam, namun air sungai tersebut tetaplah jernih dan dapat memberikan kesegaran bagi makhluk hidup lain. Sementara duduk di tepian, itu sudah lebih dari cukup untuk menenangkan pikiran dan menjernihkan perasaan yang semula berat, menyakitkan dada.

Bermain gitar di pinggir rel kereta api seorang diri, orang-orang Indonesia dengan sinisnya menyebutnya pengamen jalanan, namun aku tidak akan menyebut diriku demikian. Aku hanya ingin melepaskan beban hidup melalui suara dentingan senar gitar yang kudendangkan sembarang pola. Bernyanyi sesuka hati, tanpa ada aturan ini itu dan yang kuinginkan hanyalah mencoba memaknai dunia melalui musik. Biarpun aku tak mengenal betul apa itu musik, namun bukankah musik terdalam itu adalah musik yang muncul dari dalam hati? Untuk kali ini, aku sedang mencoba untuk bernyanyi country.

Kubiarkan orang-orang hanya lewat di depanku, kubiarkan kereta api melaju cepat melampauiku, kubiarkan burung-burung terbang bebas di atasku. Namun tetap, aku akan menyanyikan lagu country untuk diriku.

Atau sekedar berbaring di tepian pantai. Seorang diri menatap langit yang biru, dengan gumpalan awan yang membentuk arsiran pasir pantai. Aku tak punya alasan untuk tetap bersedih, langit masih biru, matahari masih bersinar, tepian laut masih berdebur, angin masih menyapa dan aku durhaka kepada Tuhanku kalau aku tak mensyukuri nikmat ini.

Kalau aku masih kesulitan untuk melakukan itu semua, biarkan aku berjalan di tengah-tengah hutan tanpa siapapun yang menemaniku. Melewati pepohonan tak bertuan, lumut-lumut yang siapapun enggan menyentuhnya, tumbuhan paku yang dibiarkan hidup liar, suara burung-burung menceritakan kebahagiaan mereka karena nikmat Tuhan masih menyertai mereka selama ini. Aku hanya ingin duduk di sebuah batu besar di antara mereka. Agar alam menyembuhkanku dengan kekuatannya. Agar mereka menjadi psikiaterku di tengah-tengah kekacauan jiwaku. Dan aku tahu, mereka pasti berhasil, tiada cela dan tiada gagal sebab alam telah berpengalaman jutaan tahun dalam menyembuhkan perasaan yang terluka, pada manusia.

jika ada kolam ikan dengan beberapa bunga teratai mekar di atasnya, bolehkan aku duduk di tepiannya. Aku akan dengan senang hati berbagi secangkir teh denganmu, dan menceritakan betapa senangnya menjadi ikan emas yang habitatnya dipenuhi oleh bunga-bunga surga yang tidak ada yang bisa mengalahkan kecantikannya. Meski air tempat mereka tumbuh kotor dan keruh, teratai tetap menampilkan pesona yang membuat siapapun terkagum kepadanya. Mengapa kita tak belajar hidup dari teratai?

Jika aku tidak bisa melakukan itu semua.

Jika aku keberatan untuk menjejakkan kaki ke tempat yang baru.

Jika aku masih ingin menetap di dalam kamar meskipun aku tahu itu hanya semakin menambah beban perasaan.

Jika aku masih ingin menjadi manusia terbodoh di dunia ini yang menganggap awan hitam lebih menarik dibanding gumpalan awan berarsiran pasir pantai.

Jika aku tak punya lagu country untuk kunyanyikan dengan caraku sendiri, di tempat pilihanku sendiri, dan dengan nada yang kuciptakan sendiri.

Jika aku masih ingin terpekur di suatu tempat di mana kamu pinjam hatiku dalam keadaan utuh dan mengembalikannya dengan keadaan terpecah menjadi beberapa bagian.

Jika aku masih memilih warna biru melambangkan sendu daripada warna merah sebagai warna kebanggaanku.

Jika aku masih merasakan sakit, itu berarti aku masih peduli.