Sabtu, 10 November 2012
Insiden Jepretan Karet
Jam 10 pagi hari ini, aku benar-benar kelaparan di kelas 1. Apa yang bisa kulakukan hanyalah meneruskan menulis novelku di tengah-tengah deru protes penghuni perutku yang geliatnya makin tak bersahabat. Di luar, masih ada abah dan beberapa orang temanku yang ikut kerja bakti. Sedangkan aku memang tidak ikut kerja bakti lantaran sedang menyelesaikan proek novel kedua dari trilogi novelku ini. Bagi santri yang ga ikut kerja bakti, secara sadar mereka memang mengakui kalau perbuatan mereka itu salah sehingga menimbulkan kerikuhan sendiri, baik kepada abah kyai maupun kepada teman-teman mereka sendiri. Sehingga, kalau nyata-nyata tidak kerja bakti, ya mending ngumpet saja. Ga usah nampang sok yes - sok sibuk - mondar mandir di sekitar pondok seolah-olah orang penting yang sedang banyak acara dan kepentingan. Di sisi lain, sudah sejak satu setengah jam yang lalu sms dari temanku aku abaikan. Sms itu berisi kalau makan bersama di lantai 3 sudah dimulai. Tapi, lagi-lagi dengan berat hati aku harus melewatkan momen indah nan mengenyangkan itu lantaran aku terjebak di situasi yang serba sulit.
Setelah situasi memungkinkan untuk keluar dari kelas 1, akhirnya aku berlari ke lantai 3 untuk breaklunch. Kamu pasti baru mendengar istilah breaklunch. Istilah ini kerap terjadi pada anak-anak kos yang kerap telat sarapan pagi, sehingga mereka memepetkan jadwal sarapan dengan makan siang. Akulah korbannya kali ini. Makan sendiri di lantai 3 karena teman-temanku di sana sudah makan dan mereka menyisakan nasi serta sayur, seperti yang aku request tadi. Setelah aku selesai makan, aku kembali ke lantai 2 untuk mengambil sesuatu. Belum juga badanku benar-benar masuk ke dalam kamar, aku merasa punggungku dilempar sesuatu oleh seseorang. Aku tahu pelakunya. (Kemudian aku salah sangka, aku bukannya dilempar sesuatu, tapi sebenarnya aku dijepret karet dari kejauhan). Dan saat inilah aku ingin melancarkan serangan balasan. Kita tunggu saja.
Aku masuk ke dalam kamar Utsman. Di sana sedang ada Suryadi yang tiduran hanya menggunakan boxernya. Tak jauh darinya, ada Hasan yang sedang sibuk mengerjakan tugas. Sengaja, aku memasang muka garang untuk menakut-nakuti mereka. Aku susun kekuatan semaksimal mungkin agar rencanaku berjalan mulus.
“Mau sing mbalang aku sopo?”
Suryadi dan Hasan mulai kebingungan dengan perubahan ekspresi wajahku yang drastis. Kumulai mengatur suasana agar terkesan menegangkan dan menyeramkan. Mereka kebingungan, kalau aku boleh menerjemahkan kebingungan mereka, kurang lebih mereka bergumam di dalam hati, “Duh payah nih, mas Agus marah-marah”. Lagipula, siapa juga orang di pondok ini yang berani menghadapi aku ketika aku sedang marah?
Hasan kemudian mengacungkan telunjuknya. Wajahnya berangsur-angsur beralih dari kebingungan menjadi memelas. Tapi aku tak ingin mengakhiri drama ini di sini.
“Koe yo? Karepmu ki piye mbalang-mbalang aku mbarang? Hah?” aku sudah menstel volume suaraku di level tertinggi. Aku sudah lupa lagi caranya tersenyum, yang ada di pikiranku, aktingku sudah hampir saja berhasil. Kamu tahu apa yang terjadi?
Hasan pun menangkupkan kedua telapak tangannya dan meminta ampun di depanku. Wajahnya sangat ketakutan. Kalau aku berkata satu kalimat dengan nada menghentak lagi, aku bisa bertaruh ia pasti akan menangis. Sebelas dua belas dengan takutnya wong cilik yang dipalak oleh preman yang badannya penuh dengan tato. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri, dia sungguh cemas dan khawatir kalau aku sampai ringan tangan kepadanya. Ah yang benar saja. Tak tahan melihat raut muka teman dekatku itu, akhirnya aku tertawa. Tertawa lepas sambil mengeluarkan biskuit kacang yang sudah aku bawa dari tadi.
“Biasa wae lah” aku menggoda Hasan yang tengah kebingungan dengan perubahan sikapku lagi. Rasanya ia masih setengah percaya kalau apa yang terjadi barusan hanyalah gurauan belaka. Aku letakkan satu bungkus penuh biskuit itu di depannya namun dia berkata kalau nafsu makannya mendadak hilang. Ternyata ia masih trauma dengan sikapku tadi. Rasanya ingin kutertawa sekeras-kerasnya. Bakat aktingku nyatanya masih menawan.
Akhirnya aku letakkan biskuit itu di tengah-tengah. Di sana ada Suryadi, Rifan dan Iskandar, yang masih sama syoknya dengan bentakanku tadi. Kupersilakan mereka menikmati biskuit yang kubeli kemarin itu. Ketika lurah pondok datang, Latif, aku juga menawarinya jajanan favoritku itu. Tak lupa aku menyisakan tiga buah biskuit untuk Hasan yang tengah menjadi aktor utama dalam drama jepretan karet itu. Tak henti-hentinya aku minta maaf kepadanya.
Aku sempatkan waktu sebentar untuk mengobrol dengan mereka. Hasan, ternyata dia dibesarkan oleh keluarga yang santun, halus perangainya, tinggi budi pekertinya, sehingga tak heran jika ia menjadi orang yang pemalu dan tak banyak tingkah. Rasanya aku jadi bersalah telah mengerjainya sampai sehoror itu. Tapi, rasanya belum afdhol kalau aku belum pernah berseteru dengan seseorang. Sebab, setelah aku berseteru dengan orang itu, bisa jadi persahabatan kita lebih erat ke depannya.
Maafin kejahilanku, sobat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar