Blogger news

Pages

Rabu, 04 Juli 2012

Radio


Di jaman yang serba canggih seperti saat ini, bisa dikatakan radio adalah media yang sudah ketinggalan jaman. Bagi masyarakat desa atau mereka yang tinggal di daerah pedalaman, radio masih difungsikan ibarat pengganti televisi, pengantar kabar ibu kota sampai ke telinga mereka, pengganti surat kabar (mereka tak sempat duduk-duduk di suatu pagi/ sore sekedar membaca surat kabar harian sambil menyeruput secangkir teh hangat), maupun sebagai media penghibur satu-satunya bagi mereka. Namun bagi masyarakat kota, radio ibarat makanan kadaluwarsa. Tanggal layak konsumsinya sudah lama lewat. Kehadirannya sudah digantikan dengan perangkat yang jauh lebih canggih, televisi, internet, komputer, PC, laptop, notebook, netbook, tablet, ponsel, dan lain sebagainya. Benarkah demikian?
Setidaknya bagiku, hal tersebut tidak benar sepenuhnya. Sesungguhnya aku bingung, aku ini layak disebut orang desa atau kota. Untuk lebih amannya, barangkali lebih etis disebut sebagai anak daerah transisi. Bahasa gampangnya, anak desa enggak, anak kota pun enggak. Ngarit atau macul bisa, naik lift atau elevator pun bisa. Makan sambal bawang oke-oke saja, makan ayam bakar sekelas KFC juga tidak nolak. Ndengerin radio iya, memakai smartphone juga sudah menjadi kewajiban sehari-hari.
Radio, meski aku sudah tidak memiliki benda ini secara fisik, namun tetap saja aku tetap menaruh hati kepadanya. Tengoklah sejarah, saat aku masih SMP, aku memiliki radio merk Polytron. Melalui benda yang konon tahan banting itu, aku mulai mengenal lagu-lagu barat melalui saluran yang aku hafal frekuensinya. Biasanya di pagi atau di sore hari, aku nongkrong di pohon bambu yang tumbang di belakang rumah. Menikmati siaran radio tanpa seorang pun yang mengganggu. Inilah saat-saat favoritku masa itu.
Ketika aku masih kecil, belum mencapai umur 8 tahun, aku ingat bapak sering menyetel acara wayang kulit di stasiun radio swasta Amatron. Biasanya acara tersebut mulai lewat tengah malam. Kalau aku terbangun, aku sering mendengar sinden menyanyi diiringi karawitan khas Jawa. Biarpun aku penggemar lagu barat, aku tetap menaruh perhatian kepada budayaku sendiri. Aku tetap cinta pada suara gending, suara sinden, suara gong dan suara dalang yang menguasai jalan cerita pewayangan.
Setiap malam pula, ada temanku yang nyetel karawitan melalui ponselnya. Biarpun tidak melalui media radio, namun sense-nya tetap membawaku pada budaya mendengarkan radio yang telah punah sejak beberapa tahun yang lalu. Budaya itu kurang lebih seperti mengganti suasana modern di tengah perkotaan ke suasana tradisional pedesaan yang sedang menyaksikan pertunjukan wayang kulit di lapangan. Misbar, kalau gerimis bubar. Bedanya, kalau kamarku, kalau gerimis ya langsung tidur.
Indahnya budaya Jawa, sayangnya hanya beberapa gelintir generasi muda yang mengakui dan menyukainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar