Blogger news

Pages

Kamis, 05 Juli 2012

Pacaran VS Prestasi

Kalau Andrea Hirata melakukan studi survey selama dia hidup untuk bisa melahirkan karya fenomenalnya yaitu tetralogi Laskar Pelangi, maka aku melakukan survey cukup selama aku berada di pesantren ini untuk mengetahui hubungan antara intensitas pacaran dengan prestasi belajar. Kedengarannya tak penting? Ya, setiap orang boleh memiliki asumsi masing-masing dalam menanggapi hasil penelitianku ini. Namun, secara pribadi, aku menyatakan kalau hal ini cukup menarik untuk diungkap.
Hubungan antara intensitas pacaran dengan prestasi belajar bukanlah hal baru yang dijadikan tema penelitian. Namun aku membatasi penelitian ini dalam ruang lingkup pesantren saja. Objek penelitiannya tak lain dan tak bukan teman-teman pesantrenku sendiri. Perkara waktu pelaksanaan penelitiannya, fleksibel, kapanpun bisa, tak direncanakan alias insidental dan sekilas, tak nampak seperti sedang melakukan penelitian. Namun sejatinya, ibarat James Bond, langkah-langkahnya tak sembarang orang bisa mengetahuinya.
Lewat tengah malam, biasanya terdengar seseorang sedang menelpon pacarnya yang jauh di sana. Terkadang cekikikan, seringkali bertengkar, bisik-bisik, tertawa lepas dan ekspresi khas percakapan lainnya. Aku hafal orangnya, dan hafal pula pada jam-jam berapa saja dia melakukan ritual malamnya itu. Pertama, aku curiga, dia memanfaatkan waktu tengah malam karena hanya pada saat itulah tarif nelpon sedang murah-murahnya. Kedua, tengah malam adalah waktu yang tepat untuk berkhalwat (berdua), sepi, tak seorang pun mengganggu, teman maupun pengurus pesantren sekalipun. Ketiga, karena faktor sepi itulah maka tradisi itu terasa khusuk dilakukan. Bagaimana dengan prestasi belajar orang yang berkelakuan macam kalong itu? Setiap kali aku tanyakan IP kepadanya, ia lebih memilih menghindar menjawab, kemudian mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Prestasi ngajinya pun empot-empotan. Meminjam istilah abah kyai, dia hanya ngaji setiap bulan Suro sekali. Tak pernah ikut setoran dan setiap kali jadwal ngaji tiba, ia memilih kembali ke pondok dan khusuk sms-an dengan seseorang. Bukan sekali dua kali, mungkin aku aman mengatakan dia bertindak demikian selama 5 tahun, lamanya dia tinggal di pesantren ini.
Lain orang lain pula ceritanya. Masih teman satu kamarku. Dia mempunyai hubungan dekat dengan santri putri, pesantren sebelah. Baginya, tak ada hari tanpa mengirim pesan singkat. Ibarat ada kompetisi menulis sms paling banyak, dia pasti keluar sebagai pemenangnya. Yang paling menyebalkan adalah dia seringkali mengetik sms di tengah malam. Tak masalah kalau dia memakai ponsel layar sentuh, dioperasikan bagaimanapun juga tak akan mengeluarkan suara berisik. Namun masalahnya dia memakai ponsel Nokia keluaran entah tahun berapa. Ctak ctok bising sekali menganggu aku tidur. Dengan sepelenya dia tersenyum-senyum sendiri membaca sms yang baru saja dia terima. Prestasinya, hmm... setali tiga uang dengan cerita temanku yang di atas. Namun setidaknya, orang yang cinta mati dengan sms ini memiliki kelebihan: dia terobsesi dengan adzan dan sholawat. Suaranya pun boleh juga. Namun untuk pengetahuan umum, kurasa dia masih perlu belajar lebih banyak lagi.
Berbanding seratus delapan puluh derajat dengan salah seorang temanku yang berasal dari luar Jawa, Jambi. Dia nampaknya tak ingin bergelut dengan dunia semacam itu, pacaran jarak jauh dengan penghuni pesantren sebelah. Pekerjaannya saban hari biasanya menyindir teman-temanku yang sedang dimabuk cinta. Tentu saja menyindirnya masih dalam lingkup bercanda. Prestasinya, janganlah kamu meragukannya. Dialah orang yang ilmu agamanya paling mumpuni dibanding kita. Ini lantaran dia pernah ditempa di sebuah pesantren di Jakarta selama bertahun-tahun. Model pendidikan di pesantrennya keras. Salah sedikit atau melanggar peraturan, tubuh menjadi korban. Tapi lihatlah hasilnya, dia hampir bisa menguasai ilmu-ilmu agama dasar yang diajarkan di pesantrenku ini. Tak hanya itu, baginya, membaca kitab kuning semudah membaca harian Kompas. Bertanya apapun masalah agama tekstual baginya, pasti akan memperoleh jawaban yang memuaskan. Suaranya semerdu buluh perindu, sehingga abah kyai memfavoritkan suaranya itu sehingga dia diberi mandat langsung untuk adzan, iqomat dan puji-pujian sebelum sholat. Catatan kecil dariku, setiap aku bertanya kepadanya soal perkara agama, aku belum pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Barangkali karena pertanyaanku tidak lagi berada di tataran tekstualis, namun lebih kepada aplikatif. Contohnya, kita tak boleh menyebut kalau Allah SWT BERSEMAYAM di Arsy. Sebab, jika kita memakai kata ‘bersemayam’, maka berarti Allah disamakan dengan makhluk-Nya. Padahal salah satu sifat Allah adalah mukholafatul lil hawadisi, berbeda dengan makhluknya. Lagipula, dalam kitab suci telah jelas-jelas menyebutkan kalau Allah istawa (bersemayam) di atas Arsy. Kalau kita tak boleh memiliki keyakinan demikian (tak boleh berkata kalau Allah itu bersemayam), berarti kita mengingkari AL Qur’an kita sendiri. Bagaimana ini? Dia pun kebingungan menjawab pertanyaanku ini.
Satu lagi, ada temanku yang sampai saat ini masih menjabat pengurus di Departemen Penalaran dan Keilmuan. Sebut saja dia Mawar. Hobinya gonta-ganti pacar seiring dengan bergantinya pengurus di departemen itu. Kemarin anak Brebes, sekarang anak Purworejo, esoknya lagi anak Cilacap. Hah... sampai kita tak hafal dengan siapa anak itu sekarang berpacaran. Mengenai prestasi, dia termasuk anak yang memiliki jiwa seni yang tinggi. Baik seni lukis, seni sastra maupun hobinya mengumpulkan apapun yang ada hubungannya dengan manga/ komik. Sayangnya, dia tak terlalu semangat dalam kuliah.
Nah, dari sekian banyak contoh di atas, jangan mengira aku sedang membicarakan keburukan orang lain luh.... Aku tidak menyebutkan nama, aku hanya menceritakan tabiat manusia yang semoga kita bisa mengambil hikmahnya. Bukankah di setiap kehidupan manusia, entah itu kita sendiri maupun orang lain, selalu ada pelajaran bagi orang yang berpikir?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar