Blogger news

Pages

Jumat, 20 Juli 2012

Wisuda Menjadi Santri


Maghrib ini aku sempat berbincang-bincang sejenak dengan Gus Aam ketika akan sholat berjamaah. Dia adalah anak kedua dari abah kyaiku. Nama lengkapnya adalah Muzakka Anbabih. Sudah bertahun-tahun dia mengenyam dunia pesantren. Mulai dari pesantren Gontor hingga kini berada di Banten, sebuah pesantren tempat bapaknya dulu menimba ilmu bersama Abuya Dimyathi.
Bahan perbincangan kita sore tadi sebenarnya tak elegan sama sekali untuk ditulis di sini. Namun bagaimana lagi, hanya menulis sebuah catatan kecil yang intinya menyentil diriku sendiri. Tahukah kamu, aku yang mondok selama 6 tahun di sini, baru saja diwisuda menjadi santri. Alasannya, ya terkena penyakit kulit seperti ini. Hah? Yang benar saja? Ya aku mengatakan yang sebenarnya. Tanyalah pada setiap santri mulai dari ujung barat pulau Jawa hingga ujung timur di Banyuwangi. Seseorang yang mondok di sebuah pesantren belum dikatakan sebagai santri kalau dia belum pernah terkena penyakit kulit. Semua orang yang menyandang predikat santri pasti akan mengamini pernyataan ini. Begitu juga dengan Gus Aam. Aku bercerita tentang bagaimana parah dan menderitanya aku menghadapi penyakit kulit yang bagiku sudah tergolong berat yang pernah kualami ini. Katanya, apa yang sedang kuderita ini belumlah ada apa-apanya. Dulu bahkan dia pernah menderita lebih parah dariku. Tangannya sampai tak bisa untuk menulis. Kakinya hingga belang-belang seperti bulu kucing. Badannya, jangan ditanya lagi. Semua bercak khas pesantren ini katanya adalah lantaran demi memperoleh berkah pesantren. Percaya atau tidak, seperti inilah kepercayaan turun temurun dan menyebar di seluruh dunia pesantren.
Satu lagi angin segar bagiku, sekali terkena penyakit kulit bedebah seperti ini, maka di kemudian hari bisa dipastikan tidak akan terkena lagi. Kalau pun terkena, maka tak akan separah ketika awal kali terkena. Namun, kabar buruknya, barangkali memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menghilangkan bekas luka tersebut. Hmmmph...
Tapi, bagaimana pun juga, aku masih bingung. Apakah aku harus gembira atau bersedih ketika aku harus ‘diwisuda’ menjadi santri di tahun keenamku di sini. Sekali lagi, hmmmph...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar