
Ada seorang santri baru bernama Feri Pranoto. Aku mengenalnya sekitar tiga bulan yang lalu ketika aku pertama kali pulang ke pondok setelah menghabiskan liburan panjang di rumah. Selama mondok dan sepanjang pantauanku, dia termasuk santri yang amat rajin. Setiap kali dia mau setoran hafalan, dia selalu nderes bacaan Qur’annya. Di mana pun aku melihatnya, dia selalu terlihat mengasah hafalannya dengan Qur’an hafalan miliknya.
Secara kepribadian, dia memang anak yang tak banyak omong. Hanya sesekali dia mau keliling kamar, itu pun saat akan mengaji sore, alias dia hanya mencari teman untuk masuk kelas bersama. Mengenai kesehariannya, dia bergaul bersama Ghozali, santri paling anggun di pondok pesantrenku. Jika hari Minggu atau hari libur, kulihat mereka berdua bersepeda mengelilingi Purwokerto. Terkadang bermain badminton bersama, mesra sekali. Hehehe.
Di suatu Maghrib yang mencengangkan, aku dan dia pernah terlibat suatu percakapan kecil. Aku terkejut bahwa Feri ternyata adalah siswa Madrasah Diniyyah yang dulu pernah aku ajar mengaji ketika aku menjadi santri baru di pesantren ini. Waktu itu, seingatku aku memang pernah memiliki santri Madin bernama Feri. Kemampuan mengajinya memang di atas rata-rata, sehingga aku mudah menghafal anaknya dibanding anak Madin yang lainnya. Namun aku tak pernah menyangka kalau Feri kecil yang dulu menjadi santriku kini malah nyantri bareng bersamaku di pesantren ini. Bahkan kuakui, mengajinya lebih bagus dibanding mengajiku.
Ini semua mengajarkanku bahwa tak ada alasan untuk menyombongkan diri. Meskipun kita telah mengenyam pendidikan lebih lama, bukan berarti kita unggul dibanding siapapun yang lebih muda umurnya. Manusia adalah individu yang terus belajar. Tak ada alasan bagi kita untuk berhenti belajar. Karena, sekali kita berhenti belajar, maka sampai di situlah kita berhenti menjadi individu yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar