Blogger news

Pages

Kamis, 05 Juli 2012

Tentang Seorang Wanita Tua

Jika aku duduk di bangku pesantren yang terletak di sebelah timur lantai 2, malam hari, aku seringkali melihat seorang nenek jalan sendirian dari arah utara ke arah selatan. Beberapa menit kemudian, dia berbalik arah dengan membawa sesuatu. Aku tak begitu paham apa yang dibawanya itu. Dilihat sekilas, dia seperti orang yang linglung. Memakai pakaian seadanya, rambut acak-acakan dan raut muka datar, terkesan dingin dan tak peduli dengan dunia. Siapa sebenarnya dia?
Aku tak tahu menahu tentang wanita tua yang kerap jalan kaki sendirian menembus malam itu. Padahal, menurut legenda kampung setempat, jalan yang biasa dia lalui itu termasuk jalan yang wingit. Pada tahun 90-an, banyak cerita yang dapat membuat bulu kuduk berdiri. Antara lain kisah orang frustasi yang akhirnya gantung diri di pohon besar sebelah timur jalan tersebut, kisah glundung pringis (hantu yang berwujud hanya kepalanya saja) di belakang rumah pak Suratman yang kala itu masih berupa hutan disertai banyak pohon kelapa. Kisah hantu yang mendiami belik (kolam kecil) di tengah-tengah rumpun bambu, yang di kemudian hari rumpun bambu ini menjadi cikal bakal bangunan pesantren yang aku tempati kini. Namun, dari sekian banyak kisah makhluk halus yang beredar dari mulut ke mulut penduduk Pabuaran, rupanya tak mempengaruhi nenek itu untuk ‘berkelana’ di malam yang gelap. Mungkin benar juga prasangkaku tadi kalau dia itu orang yang linglung, setengah akalnya hilang. Kasihan sekali.
Langkahnya pelan dan tubuhnya renta. Semuanya nampak begitu jelas dan tak bisa ditutup-tutupi lagi. Ah, alangkah keluarganya masih ada dan merawat nenek itu dengan sepenuh hati. Di manakah gerangan keluarganya? Bukankah keluarganya punya kewajiban untuk merawat nenek itu? Tidakkah mereka ingat ketika mereka masih kecil dan dirawat oleh nenek itu dengan penuh kasih sayang? Setelah mereka dewasa dan bisa mencari rejeki sendiri, lalu mereka lupa begitu saja dengan jasa baik orang tua mereka, nenek itu? Orang macam apa mereka itu? Meninggalkan wanita tua, sendirian, di tengah kegelapan malam, tanpa tujuan, tanpa arah yang jelas, penuh kebingungan, astaghfirullah, semoga Tuhan memberikan perlindungan bagi wanita tua itu.
Melihatnya, aku jadi teringat dengan sosok nenekku yang telah tiada tahun lalu. Aku teringat bagaimana nenek memiliki etos kerja yang tak boleh diremehkan. Beliau bekerja secara langganan di sebuah toko pakan ternak yang disebut toko Mekar Abadi. Toko tersebut terletak di daerah bernama Pantok, kira-kira 700 meter ke arah utara dari rumahku. Tiap malam Minggu, nenek bekerja di sana sebagai tukang pijat. Seringkali nenek pulang malam di atas jam 9. Sehingga, mau tak mau beliau akan berjalan sendiri menyusuri jalan protokol yang sudah lengang dari lalu lalang kendaraan bermotor. Sebelum sampai di rumah, beliau tak lupa akan membelikan aku jajan di warung pinggir jalan. Jajan apapun itu. Tentu saja jajan tersebut untukku. Nenek adalah pribadi yang tak pernah ‘berani’ pulang rumah dengan tangan hampa. Dari mana pun, pasti ada jajan yang beliau bawa untukku. Pernah suatu ketika saat beliau masih ada di Palembang, beliau seringkali menangis saban hari sambil meminta Mbak Nur supaya membelikan jajan untukku. Kasihan aku, katanya. Tiap hari pula, beliau minta pulang. Berjalan santai keluar rumah dan mendapati lingkungan sekitar rumah begitu asing, ini bukan Purworejo, Ini adalah tanah Musi. Jauh seberang pulau melewati ratusan bahkan ribuan kota dan ribuan kilometer dari kampung halaman. Beliau pun menangis lagi, ingin segera pulang dan membelikanku jajan.
Kalau demikian, siapapun pasti akan setuju kalau nenekku adalah salah satu nenek terbaik di dunia ini. Bukan soal jajan yang beliau berikan kepadaku setiap hari. Bukan pula tentang hidangan tiap pagi disertai segelas teh hangat. Namun soal kasih sayang yang tak mungkin ada duanya, yang dengan tulus diberikan beliau kepadaku. Itu yang kuperolah dari seorang nenek. Aku bangga punya nenek seperti beliau. Dengan kesederhanaannya, dengan keluguannya, dan segala canda tawa khas beliau. Cerita-cerita lawas beliau ketika beliau masih muda dan menjumpai orang tinggi besar bermata biru (tentara Belanda), keterampilan membatik beliau, ngaji beliau dengan seorang ustadz desa. Semua cerita klasik itu telah pergi selama-lamanya bersama meninggalnya nenekku. Kisah unik yang mustahil ditemukan di toko buku manapun. Kisah yang membuatku kangen untuk sekedar tidur-tiduran di samping nenek seraya mendengarkan nenek bercerita tentang masa lalunya. Ah, betapa indahnya masa-masa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar