Mbah Warni, setiap santri Al Amin pastilah tahu siapa sosok yang begitu terkenal di setiap pengajian abah ini. Beliau adalah jamaah teristiqomah masjid Baitul Muttaqin, selain Mbah Sajuri. Seandainya saja ada perlombaan yaitu datang awal ke masjid tiap Subuh, beliau pasti memiliki piagam paling banyak, dan lagi pialanya pasti memenuhi rumahnya. Beliau pasti datang nomor satu. Entah itu jamaah Subuh atau Maghrib.
Mengenai kehidupan sehari-hari dan pergaulan dengan para santri, bahkan Mbah Warni mengenalku, juga mengenal bulikku. Setiap kali beliau bertemu denganku, beliau pasti tersipu malu. Entahlah, apa yang membuatnya sampai begitu malu seperti itu. Barangkali itu adalah karakter dasarnya dari kecil.
Yang membuat aku bersedih hari ini adalah, ketika aku sedang mengaji di kamarku malam ini, sekiranya jam sembilan malam, aku mendengar kabar kalau Mbah Warni jatuh di jalan sebelah utara pondok. Mendengar kabar ini, aku langsung turun ke bawah ruang GSG untuk memastikan kondisinya. Di sana sudah ada Mbah Warni yang sedang merintih kesakitan. Di sekelilingnya, ada beberapa temanku, Yusuf, Faiq, dan Mas Eko. Yusuf memijit-mijit lengan kiri wanita paruh baya yang dulu bekerja sebagai penjual jajan keliling itu. Beberapa kali Mbah Warni mengeluh kesakitan dan itu membuatku miris mendengarnya. Anehnya, beliau seolah lupa kalau baru saja jatuh, tak tahu apa yang baru saja terjadi. Sehingga kami memberitahukan kepadanya kalau simbah baru saja jatuh (kabar dari Chayun, temanku, bahkan mengatakan kalau Mbah Warni jatuh di jalan utara pondok yang terkenal gelap, sampai kepalanya nyungsep ke parit samping jalan, miris sekali ya). Beberapa saat kemudian, salah seorang keluarganya, yang kukira adalah anaknya, datang menjemput beliau pulang. Karena untuk berdiri saja sakit, maka Mbah Warni dibopong oleh Faiq sampai depan pondok. Di sana, sudah ada mobil yang akan membawanya sampai ke rumah.
Semoga saja Mbah Warni baik-baik saja ya, aku sayang Mbah Warni...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar