
Ramadhan memang ladangnya pahala. Amal kebaikan yang dilakukan di bulan istimewa ini akan dilipatgandakan dengan hitungan yang mencengangkan. Amal sunah akan dibalas dengan pahala seperti amalan wajib, sedangkan amalan wajib akan diganjar dengan balasan hingga 70 kali lipat. Begitu juga dengan pahala sholat. Sholat sunah akan diganjar sebagaimana pahala sholat wajib, dan sholat wajib akan dilipatgandakan sampai 70 kali. Jika sholat tersebut dilakukan secara berjamaah, tentu saja akan dikalikan 27 bilangan lagi, sesuai dengan bunyi hadits tentang keutamaan sholat berjamaah. Hasilnya, hitunglah saja sendiri. Sebab aku tak begitu bagus di pelajaran Matematika.
Selain ibadah sholat, pahala mengaji pun tak mau kalah hitungan. Dalam sebuah hadits yang aku lupa perawinya, disebutkan bahwa orang yang berangkat menuju majelis ilmu dengan maksud ingin menambah ilmu dan menghilangkan kebodohannya, maka setiap langkahnya akan diberi balasan sebagaimana pahala ‘abid (orang yang ahli beribadah) selama setahun penuh.
Berangkat dari hadits inilah, Departemen Pengajian di pesantrenku membuat jadwal pengajian selama bulan Ramadhan. Tak tanggung-tanggung, ada lima jadwal pengajian selama sehari. Bahkan jumlahnya malah menyamai jumlah sholat sehari semalam. Jadwal pertama ba’da Subuh. Jadwal kedua jam sembilan pagi, jadwal ketiga jam setengah dua siang, jadwal keempat jam empat sore, jadwal kelima jam sembilan hingga jam sepuluh malam. Banyak sekali bukan?
Kitab yang dikaji pun berbeda-beda di setiap kajiannya. Seringnya intensitas mengaji dan beragamnya kitab yang dipelajari, secara tak sadar akan menjadikan otak santri terpecah belah dalam memahami suatu pokok bahasan. Dalam konteks ini, mustahil santri bisa menguasai lima kitab dalam waktu yang bersamaan. Menguasai kitab dalam artian bisa membaca kitab kuningnya, bisa menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan kemudian ke dalam bahasa Indonesia. Dan tentu saja bagian yang paling terpenting adalah memprakekkan isinya serta menjadikan isi pengajian tersebut sebagai keyakinan di dalam hati. Kalau pun mereka memahami, biasanya mereka hanya menguasai materi secara sepenggal, tak secara keseluruhan dan mendalam. Inilah resiko mempelajari sesuatu yang hanya mengutamakan kuantitas, bukan secara kualitas.
Mengapa Departemen Pengajian tak meniru konsep mengajar abah kyai saja? Sehari, beliau hanya mengajar dua kali, ba’da Subuh dan ba’da Magrib di hari biasa. Kalau saat Ramadhan seperti ini, beliau malah hanya punya waktu bertatap muka dengan para santrinya di pagi hari untuk mengkaji kitab. Itu pun menggunakan kitab yang sama, yaitu tafsir Al Ibriz. Kitab yang sama dengan rentang waktu mengaji yang tak terlalu jarang dan tak terlalu sering inilah yang menjadikan setiap santri selalu merindukan masa-masa mengaji bersama beliau. Coba bandingkan dengan jadwal mengaji yang terlalu sering di atas bikinan Departemen Pengajian. Mungkin saja akan menimbulkan kejenuhan sendiri di kalangan santri. Tidak sekarang, namun suatu saat pasti terjadi. Dan hal yang paling parah adalah tak ada pelajaran/ hasil pembelajaran yang mereka peroleh dari sistem yang menuhankan kuantitas dibanding kualitas. Sangat disayangkan memang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar