Mbah Warni, setiap santri Al Amin pastilah tahu siapa sosok yang begitu terkenal di setiap pengajian abah ini. Beliau adalah jamaah teristiqomah masjid Baitul Muttaqin, selain Mbah Sajuri. Seandainya saja ada perlombaan yaitu datang awal ke masjid tiap Subuh, beliau pasti memiliki piagam paling banyak, dan lagi pialanya pasti memenuhi rumahnya. Beliau pasti datang nomor satu. Entah itu jamaah Subuh atau Maghrib.
Mengenai kehidupan sehari-hari dan pergaulan dengan para santri, bahkan Mbah Warni mengenalku, juga mengenal bulikku. Setiap kali beliau bertemu denganku, beliau pasti tersipu malu. Entahlah, apa yang membuatnya sampai begitu malu seperti itu. Barangkali itu adalah karakter dasarnya dari kecil.
Yang membuat aku bersedih hari ini adalah, ketika aku sedang mengaji di kamarku malam ini, sekiranya jam sembilan malam, aku mendengar kabar kalau Mbah Warni jatuh di jalan sebelah utara pondok. Mendengar kabar ini, aku langsung turun ke bawah ruang GSG untuk memastikan kondisinya. Di sana sudah ada Mbah Warni yang sedang merintih kesakitan. Di sekelilingnya, ada beberapa temanku, Yusuf, Faiq, dan Mas Eko. Yusuf memijit-mijit lengan kiri wanita paruh baya yang dulu bekerja sebagai penjual jajan keliling itu. Beberapa kali Mbah Warni mengeluh kesakitan dan itu membuatku miris mendengarnya. Anehnya, beliau seolah lupa kalau baru saja jatuh, tak tahu apa yang baru saja terjadi. Sehingga kami memberitahukan kepadanya kalau simbah baru saja jatuh (kabar dari Chayun, temanku, bahkan mengatakan kalau Mbah Warni jatuh di jalan utara pondok yang terkenal gelap, sampai kepalanya nyungsep ke parit samping jalan, miris sekali ya). Beberapa saat kemudian, salah seorang keluarganya, yang kukira adalah anaknya, datang menjemput beliau pulang. Karena untuk berdiri saja sakit, maka Mbah Warni dibopong oleh Faiq sampai depan pondok. Di sana, sudah ada mobil yang akan membawanya sampai ke rumah.
Semoga saja Mbah Warni baik-baik saja ya, aku sayang Mbah Warni...
Sabtu, 28 Juli 2012
Minggu, 22 Juli 2012
Terus Belajar

Ada seorang santri baru bernama Feri Pranoto. Aku mengenalnya sekitar tiga bulan yang lalu ketika aku pertama kali pulang ke pondok setelah menghabiskan liburan panjang di rumah. Selama mondok dan sepanjang pantauanku, dia termasuk santri yang amat rajin. Setiap kali dia mau setoran hafalan, dia selalu nderes bacaan Qur’annya. Di mana pun aku melihatnya, dia selalu terlihat mengasah hafalannya dengan Qur’an hafalan miliknya.
Secara kepribadian, dia memang anak yang tak banyak omong. Hanya sesekali dia mau keliling kamar, itu pun saat akan mengaji sore, alias dia hanya mencari teman untuk masuk kelas bersama. Mengenai kesehariannya, dia bergaul bersama Ghozali, santri paling anggun di pondok pesantrenku. Jika hari Minggu atau hari libur, kulihat mereka berdua bersepeda mengelilingi Purwokerto. Terkadang bermain badminton bersama, mesra sekali. Hehehe.
Di suatu Maghrib yang mencengangkan, aku dan dia pernah terlibat suatu percakapan kecil. Aku terkejut bahwa Feri ternyata adalah siswa Madrasah Diniyyah yang dulu pernah aku ajar mengaji ketika aku menjadi santri baru di pesantren ini. Waktu itu, seingatku aku memang pernah memiliki santri Madin bernama Feri. Kemampuan mengajinya memang di atas rata-rata, sehingga aku mudah menghafal anaknya dibanding anak Madin yang lainnya. Namun aku tak pernah menyangka kalau Feri kecil yang dulu menjadi santriku kini malah nyantri bareng bersamaku di pesantren ini. Bahkan kuakui, mengajinya lebih bagus dibanding mengajiku.
Ini semua mengajarkanku bahwa tak ada alasan untuk menyombongkan diri. Meskipun kita telah mengenyam pendidikan lebih lama, bukan berarti kita unggul dibanding siapapun yang lebih muda umurnya. Manusia adalah individu yang terus belajar. Tak ada alasan bagi kita untuk berhenti belajar. Karena, sekali kita berhenti belajar, maka sampai di situlah kita berhenti menjadi individu yang lebih baik.
Sabtu, 21 Juli 2012
Kuantitas VS Kualitas

Ramadhan memang ladangnya pahala. Amal kebaikan yang dilakukan di bulan istimewa ini akan dilipatgandakan dengan hitungan yang mencengangkan. Amal sunah akan dibalas dengan pahala seperti amalan wajib, sedangkan amalan wajib akan diganjar dengan balasan hingga 70 kali lipat. Begitu juga dengan pahala sholat. Sholat sunah akan diganjar sebagaimana pahala sholat wajib, dan sholat wajib akan dilipatgandakan sampai 70 kali. Jika sholat tersebut dilakukan secara berjamaah, tentu saja akan dikalikan 27 bilangan lagi, sesuai dengan bunyi hadits tentang keutamaan sholat berjamaah. Hasilnya, hitunglah saja sendiri. Sebab aku tak begitu bagus di pelajaran Matematika.
Selain ibadah sholat, pahala mengaji pun tak mau kalah hitungan. Dalam sebuah hadits yang aku lupa perawinya, disebutkan bahwa orang yang berangkat menuju majelis ilmu dengan maksud ingin menambah ilmu dan menghilangkan kebodohannya, maka setiap langkahnya akan diberi balasan sebagaimana pahala ‘abid (orang yang ahli beribadah) selama setahun penuh.
Berangkat dari hadits inilah, Departemen Pengajian di pesantrenku membuat jadwal pengajian selama bulan Ramadhan. Tak tanggung-tanggung, ada lima jadwal pengajian selama sehari. Bahkan jumlahnya malah menyamai jumlah sholat sehari semalam. Jadwal pertama ba’da Subuh. Jadwal kedua jam sembilan pagi, jadwal ketiga jam setengah dua siang, jadwal keempat jam empat sore, jadwal kelima jam sembilan hingga jam sepuluh malam. Banyak sekali bukan?
Kitab yang dikaji pun berbeda-beda di setiap kajiannya. Seringnya intensitas mengaji dan beragamnya kitab yang dipelajari, secara tak sadar akan menjadikan otak santri terpecah belah dalam memahami suatu pokok bahasan. Dalam konteks ini, mustahil santri bisa menguasai lima kitab dalam waktu yang bersamaan. Menguasai kitab dalam artian bisa membaca kitab kuningnya, bisa menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan kemudian ke dalam bahasa Indonesia. Dan tentu saja bagian yang paling terpenting adalah memprakekkan isinya serta menjadikan isi pengajian tersebut sebagai keyakinan di dalam hati. Kalau pun mereka memahami, biasanya mereka hanya menguasai materi secara sepenggal, tak secara keseluruhan dan mendalam. Inilah resiko mempelajari sesuatu yang hanya mengutamakan kuantitas, bukan secara kualitas.
Mengapa Departemen Pengajian tak meniru konsep mengajar abah kyai saja? Sehari, beliau hanya mengajar dua kali, ba’da Subuh dan ba’da Magrib di hari biasa. Kalau saat Ramadhan seperti ini, beliau malah hanya punya waktu bertatap muka dengan para santrinya di pagi hari untuk mengkaji kitab. Itu pun menggunakan kitab yang sama, yaitu tafsir Al Ibriz. Kitab yang sama dengan rentang waktu mengaji yang tak terlalu jarang dan tak terlalu sering inilah yang menjadikan setiap santri selalu merindukan masa-masa mengaji bersama beliau. Coba bandingkan dengan jadwal mengaji yang terlalu sering di atas bikinan Departemen Pengajian. Mungkin saja akan menimbulkan kejenuhan sendiri di kalangan santri. Tidak sekarang, namun suatu saat pasti terjadi. Dan hal yang paling parah adalah tak ada pelajaran/ hasil pembelajaran yang mereka peroleh dari sistem yang menuhankan kuantitas dibanding kualitas. Sangat disayangkan memang.
Jumat, 20 Juli 2012
Wisuda Menjadi Santri

Maghrib ini aku sempat berbincang-bincang sejenak dengan Gus Aam ketika akan sholat berjamaah. Dia adalah anak kedua dari abah kyaiku. Nama lengkapnya adalah Muzakka Anbabih. Sudah bertahun-tahun dia mengenyam dunia pesantren. Mulai dari pesantren Gontor hingga kini berada di Banten, sebuah pesantren tempat bapaknya dulu menimba ilmu bersama Abuya Dimyathi.
Bahan perbincangan kita sore tadi sebenarnya tak elegan sama sekali untuk ditulis di sini. Namun bagaimana lagi, hanya menulis sebuah catatan kecil yang intinya menyentil diriku sendiri. Tahukah kamu, aku yang mondok selama 6 tahun di sini, baru saja diwisuda menjadi santri. Alasannya, ya terkena penyakit kulit seperti ini. Hah? Yang benar saja? Ya aku mengatakan yang sebenarnya. Tanyalah pada setiap santri mulai dari ujung barat pulau Jawa hingga ujung timur di Banyuwangi. Seseorang yang mondok di sebuah pesantren belum dikatakan sebagai santri kalau dia belum pernah terkena penyakit kulit. Semua orang yang menyandang predikat santri pasti akan mengamini pernyataan ini. Begitu juga dengan Gus Aam. Aku bercerita tentang bagaimana parah dan menderitanya aku menghadapi penyakit kulit yang bagiku sudah tergolong berat yang pernah kualami ini. Katanya, apa yang sedang kuderita ini belumlah ada apa-apanya. Dulu bahkan dia pernah menderita lebih parah dariku. Tangannya sampai tak bisa untuk menulis. Kakinya hingga belang-belang seperti bulu kucing. Badannya, jangan ditanya lagi. Semua bercak khas pesantren ini katanya adalah lantaran demi memperoleh berkah pesantren. Percaya atau tidak, seperti inilah kepercayaan turun temurun dan menyebar di seluruh dunia pesantren.
Satu lagi angin segar bagiku, sekali terkena penyakit kulit bedebah seperti ini, maka di kemudian hari bisa dipastikan tidak akan terkena lagi. Kalau pun terkena, maka tak akan separah ketika awal kali terkena. Namun, kabar buruknya, barangkali memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menghilangkan bekas luka tersebut. Hmmmph...
Tapi, bagaimana pun juga, aku masih bingung. Apakah aku harus gembira atau bersedih ketika aku harus ‘diwisuda’ menjadi santri di tahun keenamku di sini. Sekali lagi, hmmmph...
Awal Ramadhan

Perbedaan awal Ramadhan selalu menjadi polemik di negeri ini. Ada sebagian golongan yang mengklaim bahwa mereka telah melihat hilal, sehingga dengan dasar tersebut mereka memulai puasa di keesokan harinya. Namun, tak semua golongan atau orang menyetujui pernyataan tersebut. Pemerintah selalu mengadakan sidang isbat dengan dihadiri oleh ulama-ulama yang mahir kitab salaf dan ahli dalam ilmu astronomi. Sidang tersebut dimulai selepas Maghrib dan penentuan hasil rukyatul hilal selepas Isya’ dengan membandingkan hasil dari berbagai macam daerah. Nah, mendapati berbagai macam perbedaan itu, tak ayal membuat masyarakat menjadi bingung setengah mati. Akan ikut di golongan mana mereka?
Bagi aku, bukankah di dalam Al Qur’an telah disebutkan bahwa kita diwajibkan untuk mengikuti ulil amri yang di dalam konteks ini adalah pemerintah? Seperti yang termaktub di surat An- Nisa’ ayat 59;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Terjemahan: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasulnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya.
Selama pemerintah tersebut tidak menyalahi aturan agama, setiap keputusannya berdasarkan ilmu-ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan keshahihan sumbernya, dan disiarkan melalui media yang bisa diakses dengan mudah oleh semua elemen masyarakat, kita boleh ‘mempercayai’ apa yang telah pemerintah putuskan. Karena tak mungkin pemerintah gegabah dalam menentukan perkara agama yang menyangkut harkat hidup orang banyak.
Kamis, 05 Juli 2012
Pacaran VS Prestasi
Kalau Andrea Hirata melakukan studi survey selama dia hidup untuk bisa melahirkan karya fenomenalnya yaitu tetralogi Laskar Pelangi, maka aku melakukan survey cukup selama aku berada di pesantren ini untuk mengetahui hubungan antara intensitas pacaran dengan prestasi belajar. Kedengarannya tak penting? Ya, setiap orang boleh memiliki asumsi masing-masing dalam menanggapi hasil penelitianku ini. Namun, secara pribadi, aku menyatakan kalau hal ini cukup menarik untuk diungkap.
Hubungan antara intensitas pacaran dengan prestasi belajar bukanlah hal baru yang dijadikan tema penelitian. Namun aku membatasi penelitian ini dalam ruang lingkup pesantren saja. Objek penelitiannya tak lain dan tak bukan teman-teman pesantrenku sendiri. Perkara waktu pelaksanaan penelitiannya, fleksibel, kapanpun bisa, tak direncanakan alias insidental dan sekilas, tak nampak seperti sedang melakukan penelitian. Namun sejatinya, ibarat James Bond, langkah-langkahnya tak sembarang orang bisa mengetahuinya.
Lewat tengah malam, biasanya terdengar seseorang sedang menelpon pacarnya yang jauh di sana. Terkadang cekikikan, seringkali bertengkar, bisik-bisik, tertawa lepas dan ekspresi khas percakapan lainnya. Aku hafal orangnya, dan hafal pula pada jam-jam berapa saja dia melakukan ritual malamnya itu. Pertama, aku curiga, dia memanfaatkan waktu tengah malam karena hanya pada saat itulah tarif nelpon sedang murah-murahnya. Kedua, tengah malam adalah waktu yang tepat untuk berkhalwat (berdua), sepi, tak seorang pun mengganggu, teman maupun pengurus pesantren sekalipun. Ketiga, karena faktor sepi itulah maka tradisi itu terasa khusuk dilakukan. Bagaimana dengan prestasi belajar orang yang berkelakuan macam kalong itu? Setiap kali aku tanyakan IP kepadanya, ia lebih memilih menghindar menjawab, kemudian mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Prestasi ngajinya pun empot-empotan. Meminjam istilah abah kyai, dia hanya ngaji setiap bulan Suro sekali. Tak pernah ikut setoran dan setiap kali jadwal ngaji tiba, ia memilih kembali ke pondok dan khusuk sms-an dengan seseorang. Bukan sekali dua kali, mungkin aku aman mengatakan dia bertindak demikian selama 5 tahun, lamanya dia tinggal di pesantren ini.
Lain orang lain pula ceritanya. Masih teman satu kamarku. Dia mempunyai hubungan dekat dengan santri putri, pesantren sebelah. Baginya, tak ada hari tanpa mengirim pesan singkat. Ibarat ada kompetisi menulis sms paling banyak, dia pasti keluar sebagai pemenangnya. Yang paling menyebalkan adalah dia seringkali mengetik sms di tengah malam. Tak masalah kalau dia memakai ponsel layar sentuh, dioperasikan bagaimanapun juga tak akan mengeluarkan suara berisik. Namun masalahnya dia memakai ponsel Nokia keluaran entah tahun berapa. Ctak ctok bising sekali menganggu aku tidur. Dengan sepelenya dia tersenyum-senyum sendiri membaca sms yang baru saja dia terima. Prestasinya, hmm... setali tiga uang dengan cerita temanku yang di atas. Namun setidaknya, orang yang cinta mati dengan sms ini memiliki kelebihan: dia terobsesi dengan adzan dan sholawat. Suaranya pun boleh juga. Namun untuk pengetahuan umum, kurasa dia masih perlu belajar lebih banyak lagi.
Berbanding seratus delapan puluh derajat dengan salah seorang temanku yang berasal dari luar Jawa, Jambi. Dia nampaknya tak ingin bergelut dengan dunia semacam itu, pacaran jarak jauh dengan penghuni pesantren sebelah. Pekerjaannya saban hari biasanya menyindir teman-temanku yang sedang dimabuk cinta. Tentu saja menyindirnya masih dalam lingkup bercanda. Prestasinya, janganlah kamu meragukannya. Dialah orang yang ilmu agamanya paling mumpuni dibanding kita. Ini lantaran dia pernah ditempa di sebuah pesantren di Jakarta selama bertahun-tahun. Model pendidikan di pesantrennya keras. Salah sedikit atau melanggar peraturan, tubuh menjadi korban. Tapi lihatlah hasilnya, dia hampir bisa menguasai ilmu-ilmu agama dasar yang diajarkan di pesantrenku ini. Tak hanya itu, baginya, membaca kitab kuning semudah membaca harian Kompas. Bertanya apapun masalah agama tekstual baginya, pasti akan memperoleh jawaban yang memuaskan. Suaranya semerdu buluh perindu, sehingga abah kyai memfavoritkan suaranya itu sehingga dia diberi mandat langsung untuk adzan, iqomat dan puji-pujian sebelum sholat. Catatan kecil dariku, setiap aku bertanya kepadanya soal perkara agama, aku belum pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Barangkali karena pertanyaanku tidak lagi berada di tataran tekstualis, namun lebih kepada aplikatif. Contohnya, kita tak boleh menyebut kalau Allah SWT BERSEMAYAM di Arsy. Sebab, jika kita memakai kata ‘bersemayam’, maka berarti Allah disamakan dengan makhluk-Nya. Padahal salah satu sifat Allah adalah mukholafatul lil hawadisi, berbeda dengan makhluknya. Lagipula, dalam kitab suci telah jelas-jelas menyebutkan kalau Allah istawa (bersemayam) di atas Arsy. Kalau kita tak boleh memiliki keyakinan demikian (tak boleh berkata kalau Allah itu bersemayam), berarti kita mengingkari AL Qur’an kita sendiri. Bagaimana ini? Dia pun kebingungan menjawab pertanyaanku ini.
Satu lagi, ada temanku yang sampai saat ini masih menjabat pengurus di Departemen Penalaran dan Keilmuan. Sebut saja dia Mawar. Hobinya gonta-ganti pacar seiring dengan bergantinya pengurus di departemen itu. Kemarin anak Brebes, sekarang anak Purworejo, esoknya lagi anak Cilacap. Hah... sampai kita tak hafal dengan siapa anak itu sekarang berpacaran. Mengenai prestasi, dia termasuk anak yang memiliki jiwa seni yang tinggi. Baik seni lukis, seni sastra maupun hobinya mengumpulkan apapun yang ada hubungannya dengan manga/ komik. Sayangnya, dia tak terlalu semangat dalam kuliah.
Nah, dari sekian banyak contoh di atas, jangan mengira aku sedang membicarakan keburukan orang lain luh.... Aku tidak menyebutkan nama, aku hanya menceritakan tabiat manusia yang semoga kita bisa mengambil hikmahnya. Bukankah di setiap kehidupan manusia, entah itu kita sendiri maupun orang lain, selalu ada pelajaran bagi orang yang berpikir?
Hubungan antara intensitas pacaran dengan prestasi belajar bukanlah hal baru yang dijadikan tema penelitian. Namun aku membatasi penelitian ini dalam ruang lingkup pesantren saja. Objek penelitiannya tak lain dan tak bukan teman-teman pesantrenku sendiri. Perkara waktu pelaksanaan penelitiannya, fleksibel, kapanpun bisa, tak direncanakan alias insidental dan sekilas, tak nampak seperti sedang melakukan penelitian. Namun sejatinya, ibarat James Bond, langkah-langkahnya tak sembarang orang bisa mengetahuinya.
Lewat tengah malam, biasanya terdengar seseorang sedang menelpon pacarnya yang jauh di sana. Terkadang cekikikan, seringkali bertengkar, bisik-bisik, tertawa lepas dan ekspresi khas percakapan lainnya. Aku hafal orangnya, dan hafal pula pada jam-jam berapa saja dia melakukan ritual malamnya itu. Pertama, aku curiga, dia memanfaatkan waktu tengah malam karena hanya pada saat itulah tarif nelpon sedang murah-murahnya. Kedua, tengah malam adalah waktu yang tepat untuk berkhalwat (berdua), sepi, tak seorang pun mengganggu, teman maupun pengurus pesantren sekalipun. Ketiga, karena faktor sepi itulah maka tradisi itu terasa khusuk dilakukan. Bagaimana dengan prestasi belajar orang yang berkelakuan macam kalong itu? Setiap kali aku tanyakan IP kepadanya, ia lebih memilih menghindar menjawab, kemudian mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Prestasi ngajinya pun empot-empotan. Meminjam istilah abah kyai, dia hanya ngaji setiap bulan Suro sekali. Tak pernah ikut setoran dan setiap kali jadwal ngaji tiba, ia memilih kembali ke pondok dan khusuk sms-an dengan seseorang. Bukan sekali dua kali, mungkin aku aman mengatakan dia bertindak demikian selama 5 tahun, lamanya dia tinggal di pesantren ini.
Lain orang lain pula ceritanya. Masih teman satu kamarku. Dia mempunyai hubungan dekat dengan santri putri, pesantren sebelah. Baginya, tak ada hari tanpa mengirim pesan singkat. Ibarat ada kompetisi menulis sms paling banyak, dia pasti keluar sebagai pemenangnya. Yang paling menyebalkan adalah dia seringkali mengetik sms di tengah malam. Tak masalah kalau dia memakai ponsel layar sentuh, dioperasikan bagaimanapun juga tak akan mengeluarkan suara berisik. Namun masalahnya dia memakai ponsel Nokia keluaran entah tahun berapa. Ctak ctok bising sekali menganggu aku tidur. Dengan sepelenya dia tersenyum-senyum sendiri membaca sms yang baru saja dia terima. Prestasinya, hmm... setali tiga uang dengan cerita temanku yang di atas. Namun setidaknya, orang yang cinta mati dengan sms ini memiliki kelebihan: dia terobsesi dengan adzan dan sholawat. Suaranya pun boleh juga. Namun untuk pengetahuan umum, kurasa dia masih perlu belajar lebih banyak lagi.
Berbanding seratus delapan puluh derajat dengan salah seorang temanku yang berasal dari luar Jawa, Jambi. Dia nampaknya tak ingin bergelut dengan dunia semacam itu, pacaran jarak jauh dengan penghuni pesantren sebelah. Pekerjaannya saban hari biasanya menyindir teman-temanku yang sedang dimabuk cinta. Tentu saja menyindirnya masih dalam lingkup bercanda. Prestasinya, janganlah kamu meragukannya. Dialah orang yang ilmu agamanya paling mumpuni dibanding kita. Ini lantaran dia pernah ditempa di sebuah pesantren di Jakarta selama bertahun-tahun. Model pendidikan di pesantrennya keras. Salah sedikit atau melanggar peraturan, tubuh menjadi korban. Tapi lihatlah hasilnya, dia hampir bisa menguasai ilmu-ilmu agama dasar yang diajarkan di pesantrenku ini. Tak hanya itu, baginya, membaca kitab kuning semudah membaca harian Kompas. Bertanya apapun masalah agama tekstual baginya, pasti akan memperoleh jawaban yang memuaskan. Suaranya semerdu buluh perindu, sehingga abah kyai memfavoritkan suaranya itu sehingga dia diberi mandat langsung untuk adzan, iqomat dan puji-pujian sebelum sholat. Catatan kecil dariku, setiap aku bertanya kepadanya soal perkara agama, aku belum pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Barangkali karena pertanyaanku tidak lagi berada di tataran tekstualis, namun lebih kepada aplikatif. Contohnya, kita tak boleh menyebut kalau Allah SWT BERSEMAYAM di Arsy. Sebab, jika kita memakai kata ‘bersemayam’, maka berarti Allah disamakan dengan makhluk-Nya. Padahal salah satu sifat Allah adalah mukholafatul lil hawadisi, berbeda dengan makhluknya. Lagipula, dalam kitab suci telah jelas-jelas menyebutkan kalau Allah istawa (bersemayam) di atas Arsy. Kalau kita tak boleh memiliki keyakinan demikian (tak boleh berkata kalau Allah itu bersemayam), berarti kita mengingkari AL Qur’an kita sendiri. Bagaimana ini? Dia pun kebingungan menjawab pertanyaanku ini.
Satu lagi, ada temanku yang sampai saat ini masih menjabat pengurus di Departemen Penalaran dan Keilmuan. Sebut saja dia Mawar. Hobinya gonta-ganti pacar seiring dengan bergantinya pengurus di departemen itu. Kemarin anak Brebes, sekarang anak Purworejo, esoknya lagi anak Cilacap. Hah... sampai kita tak hafal dengan siapa anak itu sekarang berpacaran. Mengenai prestasi, dia termasuk anak yang memiliki jiwa seni yang tinggi. Baik seni lukis, seni sastra maupun hobinya mengumpulkan apapun yang ada hubungannya dengan manga/ komik. Sayangnya, dia tak terlalu semangat dalam kuliah.
Nah, dari sekian banyak contoh di atas, jangan mengira aku sedang membicarakan keburukan orang lain luh.... Aku tidak menyebutkan nama, aku hanya menceritakan tabiat manusia yang semoga kita bisa mengambil hikmahnya. Bukankah di setiap kehidupan manusia, entah itu kita sendiri maupun orang lain, selalu ada pelajaran bagi orang yang berpikir?
Kamus Terlengkap Bahasa Bencong!
Akika = Aku
Begindang = Begitu
Belalang = Beli
Belenjong = Belanja
Beranak Dalam Kubur = Berak
Cacamarica = Cari
Cucok = Cocok
Cumi = Cium
Capcus = Pergi
Diana = Dia
Endaaaaaaaaaang = Enak
Eike = Aku
Ember = Emang
Gilingan = Gila
Hamidah = Hamil
Hima Layang = Hilang
Jali-Jali = Jalan-Jalan
Jayus = joke-garing
Jijay Markijay = Jijik
Kanua = Kamu
Kawilarang = kimpoi
Kesindaaaang = Kesini
Kemindang = Kemana
Kencana = Kencing
Kepelong = Kepala
Kesandro = Kesana
Krejong = Kerja
Lambreta = Lambat
Lapangan Bola = Lapar
Lekong = Laki-laki
Maharani = Mahal
Makarena = Makan
Maluku = Malu
Mandole = Mandi
Mataram = Mati
Mawar = Mau
Merekah = Marah
Metong = Mati
Minangan = Minum
Motorola = Motor
Mukadima = Muka
Mursida = Murah
Nanda = Nanti
Naspro = Nasi
Organ = Orang
Organ Tunggal = Orang Tua
Pere = Perempuan
Pertiwi = Perut
Piur = Pergi
Rambutan = Rambut
Sastra = Satu
Sekong = Sakit
****** = Siapa
Sirkuit = Sedikit
Soraya Perucha = Sakit Perut
Tinta = Tidak
Titi DJ = Hati-hati di jalan
EGPCC= emang gw pikirin cuih cuih...
SDMB=sori dori mori bow
Akikah lapangan bola = aku lapar bo'
LUPUS = Lupain Pacar Utamakan Selingkuh
panasonic = panas
pecongan = pacaran
Ngomomg2 tentang bahasa bencong. Kata BENCONG itu dibentuk dari kata BANCI yang disisipi bunyi dan ditambah akhiran ONG. Huruf vokal pada suku kata pertama diganti dengan huruf E. Huruf vokal pada suku kata kedua diganti dengan ONG.
Misalnya:
Makan - mekong
Sakit - sekong
Laki - lekong
Lesbi - lesbong
Mana - menong
pokoknya serba NONG
Ada juga waria/bences yang kemudian ngeganti tambahan ONG dengan ES sehingga bentuk katanya menjadi:
Banci - bences Laki - lekes
Sekian,selamat dipraktekin di taman lawang malem minggu nanti yaaa cyiiiiin!
Begindang = Begitu
Belalang = Beli
Belenjong = Belanja
Beranak Dalam Kubur = Berak
Cacamarica = Cari
Cucok = Cocok
Cumi = Cium
Capcus = Pergi
Diana = Dia
Endaaaaaaaaaang = Enak
Eike = Aku
Ember = Emang
Gilingan = Gila
Hamidah = Hamil
Hima Layang = Hilang
Jali-Jali = Jalan-Jalan
Jayus = joke-garing
Jijay Markijay = Jijik
Kanua = Kamu
Kawilarang = kimpoi
Kesindaaaang = Kesini
Kemindang = Kemana
Kencana = Kencing
Kepelong = Kepala
Kesandro = Kesana
Krejong = Kerja
Lambreta = Lambat
Lapangan Bola = Lapar
Lekong = Laki-laki
Maharani = Mahal
Makarena = Makan
Maluku = Malu
Mandole = Mandi
Mataram = Mati
Mawar = Mau
Merekah = Marah
Metong = Mati
Minangan = Minum
Motorola = Motor
Mukadima = Muka
Mursida = Murah
Nanda = Nanti
Naspro = Nasi
Organ = Orang
Organ Tunggal = Orang Tua
Pere = Perempuan
Pertiwi = Perut
Piur = Pergi
Rambutan = Rambut
Sastra = Satu
Sekong = Sakit
****** = Siapa
Sirkuit = Sedikit
Soraya Perucha = Sakit Perut
Tinta = Tidak
Titi DJ = Hati-hati di jalan
EGPCC= emang gw pikirin cuih cuih...
SDMB=sori dori mori bow
Akikah lapangan bola = aku lapar bo'
LUPUS = Lupain Pacar Utamakan Selingkuh
panasonic = panas
pecongan = pacaran
Ngomomg2 tentang bahasa bencong. Kata BENCONG itu dibentuk dari kata BANCI yang disisipi bunyi dan ditambah akhiran ONG. Huruf vokal pada suku kata pertama diganti dengan huruf E. Huruf vokal pada suku kata kedua diganti dengan ONG.
Misalnya:
Makan - mekong
Sakit - sekong
Laki - lekong
Lesbi - lesbong
Mana - menong
pokoknya serba NONG
Ada juga waria/bences yang kemudian ngeganti tambahan ONG dengan ES sehingga bentuk katanya menjadi:
Banci - bences Laki - lekes
Sekian,selamat dipraktekin di taman lawang malem minggu nanti yaaa cyiiiiin!
Tentang Seorang Wanita Tua
Jika aku duduk di bangku pesantren yang terletak di sebelah timur lantai 2, malam hari, aku seringkali melihat seorang nenek jalan sendirian dari arah utara ke arah selatan. Beberapa menit kemudian, dia berbalik arah dengan membawa sesuatu. Aku tak begitu paham apa yang dibawanya itu. Dilihat sekilas, dia seperti orang yang linglung. Memakai pakaian seadanya, rambut acak-acakan dan raut muka datar, terkesan dingin dan tak peduli dengan dunia. Siapa sebenarnya dia?
Aku tak tahu menahu tentang wanita tua yang kerap jalan kaki sendirian menembus malam itu. Padahal, menurut legenda kampung setempat, jalan yang biasa dia lalui itu termasuk jalan yang wingit. Pada tahun 90-an, banyak cerita yang dapat membuat bulu kuduk berdiri. Antara lain kisah orang frustasi yang akhirnya gantung diri di pohon besar sebelah timur jalan tersebut, kisah glundung pringis (hantu yang berwujud hanya kepalanya saja) di belakang rumah pak Suratman yang kala itu masih berupa hutan disertai banyak pohon kelapa. Kisah hantu yang mendiami belik (kolam kecil) di tengah-tengah rumpun bambu, yang di kemudian hari rumpun bambu ini menjadi cikal bakal bangunan pesantren yang aku tempati kini. Namun, dari sekian banyak kisah makhluk halus yang beredar dari mulut ke mulut penduduk Pabuaran, rupanya tak mempengaruhi nenek itu untuk ‘berkelana’ di malam yang gelap. Mungkin benar juga prasangkaku tadi kalau dia itu orang yang linglung, setengah akalnya hilang. Kasihan sekali.
Langkahnya pelan dan tubuhnya renta. Semuanya nampak begitu jelas dan tak bisa ditutup-tutupi lagi. Ah, alangkah keluarganya masih ada dan merawat nenek itu dengan sepenuh hati. Di manakah gerangan keluarganya? Bukankah keluarganya punya kewajiban untuk merawat nenek itu? Tidakkah mereka ingat ketika mereka masih kecil dan dirawat oleh nenek itu dengan penuh kasih sayang? Setelah mereka dewasa dan bisa mencari rejeki sendiri, lalu mereka lupa begitu saja dengan jasa baik orang tua mereka, nenek itu? Orang macam apa mereka itu? Meninggalkan wanita tua, sendirian, di tengah kegelapan malam, tanpa tujuan, tanpa arah yang jelas, penuh kebingungan, astaghfirullah, semoga Tuhan memberikan perlindungan bagi wanita tua itu.
Melihatnya, aku jadi teringat dengan sosok nenekku yang telah tiada tahun lalu. Aku teringat bagaimana nenek memiliki etos kerja yang tak boleh diremehkan. Beliau bekerja secara langganan di sebuah toko pakan ternak yang disebut toko Mekar Abadi. Toko tersebut terletak di daerah bernama Pantok, kira-kira 700 meter ke arah utara dari rumahku. Tiap malam Minggu, nenek bekerja di sana sebagai tukang pijat. Seringkali nenek pulang malam di atas jam 9. Sehingga, mau tak mau beliau akan berjalan sendiri menyusuri jalan protokol yang sudah lengang dari lalu lalang kendaraan bermotor. Sebelum sampai di rumah, beliau tak lupa akan membelikan aku jajan di warung pinggir jalan. Jajan apapun itu. Tentu saja jajan tersebut untukku. Nenek adalah pribadi yang tak pernah ‘berani’ pulang rumah dengan tangan hampa. Dari mana pun, pasti ada jajan yang beliau bawa untukku. Pernah suatu ketika saat beliau masih ada di Palembang, beliau seringkali menangis saban hari sambil meminta Mbak Nur supaya membelikan jajan untukku. Kasihan aku, katanya. Tiap hari pula, beliau minta pulang. Berjalan santai keluar rumah dan mendapati lingkungan sekitar rumah begitu asing, ini bukan Purworejo, Ini adalah tanah Musi. Jauh seberang pulau melewati ratusan bahkan ribuan kota dan ribuan kilometer dari kampung halaman. Beliau pun menangis lagi, ingin segera pulang dan membelikanku jajan.
Kalau demikian, siapapun pasti akan setuju kalau nenekku adalah salah satu nenek terbaik di dunia ini. Bukan soal jajan yang beliau berikan kepadaku setiap hari. Bukan pula tentang hidangan tiap pagi disertai segelas teh hangat. Namun soal kasih sayang yang tak mungkin ada duanya, yang dengan tulus diberikan beliau kepadaku. Itu yang kuperolah dari seorang nenek. Aku bangga punya nenek seperti beliau. Dengan kesederhanaannya, dengan keluguannya, dan segala canda tawa khas beliau. Cerita-cerita lawas beliau ketika beliau masih muda dan menjumpai orang tinggi besar bermata biru (tentara Belanda), keterampilan membatik beliau, ngaji beliau dengan seorang ustadz desa. Semua cerita klasik itu telah pergi selama-lamanya bersama meninggalnya nenekku. Kisah unik yang mustahil ditemukan di toko buku manapun. Kisah yang membuatku kangen untuk sekedar tidur-tiduran di samping nenek seraya mendengarkan nenek bercerita tentang masa lalunya. Ah, betapa indahnya masa-masa itu.
Aku tak tahu menahu tentang wanita tua yang kerap jalan kaki sendirian menembus malam itu. Padahal, menurut legenda kampung setempat, jalan yang biasa dia lalui itu termasuk jalan yang wingit. Pada tahun 90-an, banyak cerita yang dapat membuat bulu kuduk berdiri. Antara lain kisah orang frustasi yang akhirnya gantung diri di pohon besar sebelah timur jalan tersebut, kisah glundung pringis (hantu yang berwujud hanya kepalanya saja) di belakang rumah pak Suratman yang kala itu masih berupa hutan disertai banyak pohon kelapa. Kisah hantu yang mendiami belik (kolam kecil) di tengah-tengah rumpun bambu, yang di kemudian hari rumpun bambu ini menjadi cikal bakal bangunan pesantren yang aku tempati kini. Namun, dari sekian banyak kisah makhluk halus yang beredar dari mulut ke mulut penduduk Pabuaran, rupanya tak mempengaruhi nenek itu untuk ‘berkelana’ di malam yang gelap. Mungkin benar juga prasangkaku tadi kalau dia itu orang yang linglung, setengah akalnya hilang. Kasihan sekali.
Langkahnya pelan dan tubuhnya renta. Semuanya nampak begitu jelas dan tak bisa ditutup-tutupi lagi. Ah, alangkah keluarganya masih ada dan merawat nenek itu dengan sepenuh hati. Di manakah gerangan keluarganya? Bukankah keluarganya punya kewajiban untuk merawat nenek itu? Tidakkah mereka ingat ketika mereka masih kecil dan dirawat oleh nenek itu dengan penuh kasih sayang? Setelah mereka dewasa dan bisa mencari rejeki sendiri, lalu mereka lupa begitu saja dengan jasa baik orang tua mereka, nenek itu? Orang macam apa mereka itu? Meninggalkan wanita tua, sendirian, di tengah kegelapan malam, tanpa tujuan, tanpa arah yang jelas, penuh kebingungan, astaghfirullah, semoga Tuhan memberikan perlindungan bagi wanita tua itu.
Melihatnya, aku jadi teringat dengan sosok nenekku yang telah tiada tahun lalu. Aku teringat bagaimana nenek memiliki etos kerja yang tak boleh diremehkan. Beliau bekerja secara langganan di sebuah toko pakan ternak yang disebut toko Mekar Abadi. Toko tersebut terletak di daerah bernama Pantok, kira-kira 700 meter ke arah utara dari rumahku. Tiap malam Minggu, nenek bekerja di sana sebagai tukang pijat. Seringkali nenek pulang malam di atas jam 9. Sehingga, mau tak mau beliau akan berjalan sendiri menyusuri jalan protokol yang sudah lengang dari lalu lalang kendaraan bermotor. Sebelum sampai di rumah, beliau tak lupa akan membelikan aku jajan di warung pinggir jalan. Jajan apapun itu. Tentu saja jajan tersebut untukku. Nenek adalah pribadi yang tak pernah ‘berani’ pulang rumah dengan tangan hampa. Dari mana pun, pasti ada jajan yang beliau bawa untukku. Pernah suatu ketika saat beliau masih ada di Palembang, beliau seringkali menangis saban hari sambil meminta Mbak Nur supaya membelikan jajan untukku. Kasihan aku, katanya. Tiap hari pula, beliau minta pulang. Berjalan santai keluar rumah dan mendapati lingkungan sekitar rumah begitu asing, ini bukan Purworejo, Ini adalah tanah Musi. Jauh seberang pulau melewati ratusan bahkan ribuan kota dan ribuan kilometer dari kampung halaman. Beliau pun menangis lagi, ingin segera pulang dan membelikanku jajan.
Kalau demikian, siapapun pasti akan setuju kalau nenekku adalah salah satu nenek terbaik di dunia ini. Bukan soal jajan yang beliau berikan kepadaku setiap hari. Bukan pula tentang hidangan tiap pagi disertai segelas teh hangat. Namun soal kasih sayang yang tak mungkin ada duanya, yang dengan tulus diberikan beliau kepadaku. Itu yang kuperolah dari seorang nenek. Aku bangga punya nenek seperti beliau. Dengan kesederhanaannya, dengan keluguannya, dan segala canda tawa khas beliau. Cerita-cerita lawas beliau ketika beliau masih muda dan menjumpai orang tinggi besar bermata biru (tentara Belanda), keterampilan membatik beliau, ngaji beliau dengan seorang ustadz desa. Semua cerita klasik itu telah pergi selama-lamanya bersama meninggalnya nenekku. Kisah unik yang mustahil ditemukan di toko buku manapun. Kisah yang membuatku kangen untuk sekedar tidur-tiduran di samping nenek seraya mendengarkan nenek bercerita tentang masa lalunya. Ah, betapa indahnya masa-masa itu.
Rabu, 04 Juli 2012
Malam Nisfu Sya’ban

Beruntung tahun ini aku ‘merayakan’ malam Nisfu Sya’ban di pesantren. Bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika aku masih berada di rumah Purworejo. Waktu itu, aku hanya melihat status teman-temanku di Facebook, maupun kiriman pesan singkat dari rekanku yang isinya supaya kita jangan sampai melewatkan malam agung ini. Namun apa daya, amalan malam Nisfu Sa’ban pun aku tak tahu apa saja macamnya. Alhasil, malam mulia ini di tahun-tahun sebelumnya aku lewatkan begitu saja tanpa melakukan anjuran nabi. Sayang sekali memang.
Selepas Maghrib di masjid pesantren, mas Umam, ustadz senior kita, memberikan ceramah singkat mengenai macam-macam amalan sunah muakkad dikerjakan dalam malam Nisfu Sya’ban. Antara lain, kita menunaikan ibadah sholat Awwabin alias sholat tobat sebanyak dua rakaat. Kemudian dilanjutkan dengan sholat tasbih sebanyak 4 rakaat dengan dua kali salam. Terakhir, ditutup dengan membaca surat Yasin sebanyak 3 kali. Bacaan pertama, diniatkan supaya mendapatkan umur yang panjang dan barokah. Bacaan kedua diniatkan supaya kita memperoleh rejeki yang halal dan berkah. Sedangkan bacaan ketiga diniatkan supaya kita meninggal esok dalam keadaan khusnul khotimah. Ketiga amalan khas Nisfu Sya’ban ini kemudian ditutup dengan ibadah sholat Isya’ berjamaah.
Beruntung sekali bagi mereka yang mengagungkan malam Nisfu Sya’ban, dan merugilah mereka yang menyia-nyiakannya.
Ramadhan Tanpa Nenek

Ramadhan kali ini beda dengan ramadhan-ramadhan sebelumnya. Tak ada sosok nenek yang begitu menyayangiku itu. Bukannya apa-apa, aku hanya merindukannya saja. Andaikan aku diberi kesempatan sekali saja untuk menikmati Ramadhan bersama beliau untuk terakhir kalinya.
Aku masih teringat ketika Ramadhan dua tahun yang lalu, masih kujalani dengan nenek. Seperti biasanya, nenek pasti berteriak-teriak dari kamarnya untuk membangunkanku setelah jam menunjukkan pukul 3 pagi. Kemudian, aku memasak mie instan untuk menu sahur kita. Kalau nenek sudah membeli lauk semalam, maka tugasku hanya menyiapkan minuman hangat dan peralatan makan lengkap dengan menu yang sudah dihangatkan. Terkadang bapak juga datang ke rumah kita untuk mengantarkan menu sahur. Pernah suatu ketika aku memasak mie instan ditambah dengan telur. Caranya, telur dimasak langsung bersama mie rebus sampai matang. Setelah aku mempersilakan nenek untuk memakannya, ternyata nenek tak suka dengan mie buatanku itu. Orang Jawa bilang, mbedhedhek tur marai neg. Itu ‘kan kata nenek, kata aku sih oke oke saja.
Ramadhan setahun yang lalu, kuhabiskan di Palembang. Aku dan ibu ke sana karena akan membawa nenek pulang ke Jawa setelah dua bulan lebih berada di sana. Seraya melewatkan bulan suci di tanah Musi, aku benar-benar tak menyangka kalau itu adalah Ramadhan terakhir yang kuhabiskan bersama nenek.
Tentang peristiwa di stasiun kereta Manggarai. Aku, ibu dan nenek sedang makan siang di kursi tunggu penumpang. Benar kata orang-orang, harga apapun di Jakarta pasti mahal, tak seperti di kota-kota kecil, tak terkecuali harga nasi rames sekalipun. Menu makan siang kami biasa-biasa saja. Nasi rames dengan tempe goreng satu buah, itu pun dihargai Rp 5000,00. Waktu itu aku tak menghabiskan makan siangnya, dan aku tanya apakah ada karet gelang untuk mengikat kembali bungkus ramesku. Nenek yang saat itu salah dengar, dikiranya aku ingin minta tambahan lauk. Tanpa pikir panjang lagi, nenek memberiku tempe gorengnya yang tinggal separuh. Aku lalu bilang kalau aku bukan minta lauk, tapi minta karet gelang. Nenek pun kemudian melanjutkan makan siangnya. Aku hanya melihatnya makan. Kasih sayangnya begitu besar kepada cucunya. Bahkan sampai urusan makan pun, beliau tak keberatan untuk berbagi.
Dan nenek pun menangis ketika aku memeluknya untuk terakhir kalinya. Aku lalu pamit pulang ke Purwokerto, seraya meyakinkan beliau kalau suatu saat nanti aku pasti menjenguknya lagi. Saat aku memeluk nenek, sebenarnya aku sudah merasa kalau itu adalah pelukan terakhirku untuk beliau, namun aku tak berani mengungkapkannya. Cukup hanya aku saja yang tahu. Cukup aku saja yang menyimpan prasangka yang jadi kenyataan itu.
Kata-kata terakhir nenek yang kudengar adalah ketika ibu meneleponku dari Tangerang. Ibu memintaku untuk berkunjung ke sana kalau liburan. Saat itu aku mendengar kata nenek yang sedang ngomong di belakang, “Kamu ga kangen sama mbah apa, Gus?”. Aku langsung menjawab, “Iya, mbah, aku pasti ke sana kalau ada liburan”. Itu saja, percakapan terakhirku dengan nenek melalui telepon.
Namun aku yakin, setiap kali aku membacakan doa untuk nenek, nenek pasti mendengarkan aku bicara. Nenek pasti tahu kalau aku juga kangen beliau. Ramadhan kali ini nenek pasti berada di suatu tempat yang lebih indah dibanding belahan dunia mana pun. Beliau pasti sedang gembira dengan tempat barunya itu sehingga tak sepatutnya aku bersedih jika nenek bahagia.
Semoga nenek tenang di alam sana.
Radio

Di jaman yang serba canggih seperti saat ini, bisa dikatakan radio adalah media yang sudah ketinggalan jaman. Bagi masyarakat desa atau mereka yang tinggal di daerah pedalaman, radio masih difungsikan ibarat pengganti televisi, pengantar kabar ibu kota sampai ke telinga mereka, pengganti surat kabar (mereka tak sempat duduk-duduk di suatu pagi/ sore sekedar membaca surat kabar harian sambil menyeruput secangkir teh hangat), maupun sebagai media penghibur satu-satunya bagi mereka. Namun bagi masyarakat kota, radio ibarat makanan kadaluwarsa. Tanggal layak konsumsinya sudah lama lewat. Kehadirannya sudah digantikan dengan perangkat yang jauh lebih canggih, televisi, internet, komputer, PC, laptop, notebook, netbook, tablet, ponsel, dan lain sebagainya. Benarkah demikian?
Setidaknya bagiku, hal tersebut tidak benar sepenuhnya. Sesungguhnya aku bingung, aku ini layak disebut orang desa atau kota. Untuk lebih amannya, barangkali lebih etis disebut sebagai anak daerah transisi. Bahasa gampangnya, anak desa enggak, anak kota pun enggak. Ngarit atau macul bisa, naik lift atau elevator pun bisa. Makan sambal bawang oke-oke saja, makan ayam bakar sekelas KFC juga tidak nolak. Ndengerin radio iya, memakai smartphone juga sudah menjadi kewajiban sehari-hari.
Radio, meski aku sudah tidak memiliki benda ini secara fisik, namun tetap saja aku tetap menaruh hati kepadanya. Tengoklah sejarah, saat aku masih SMP, aku memiliki radio merk Polytron. Melalui benda yang konon tahan banting itu, aku mulai mengenal lagu-lagu barat melalui saluran yang aku hafal frekuensinya. Biasanya di pagi atau di sore hari, aku nongkrong di pohon bambu yang tumbang di belakang rumah. Menikmati siaran radio tanpa seorang pun yang mengganggu. Inilah saat-saat favoritku masa itu.
Ketika aku masih kecil, belum mencapai umur 8 tahun, aku ingat bapak sering menyetel acara wayang kulit di stasiun radio swasta Amatron. Biasanya acara tersebut mulai lewat tengah malam. Kalau aku terbangun, aku sering mendengar sinden menyanyi diiringi karawitan khas Jawa. Biarpun aku penggemar lagu barat, aku tetap menaruh perhatian kepada budayaku sendiri. Aku tetap cinta pada suara gending, suara sinden, suara gong dan suara dalang yang menguasai jalan cerita pewayangan.
Setiap malam pula, ada temanku yang nyetel karawitan melalui ponselnya. Biarpun tidak melalui media radio, namun sense-nya tetap membawaku pada budaya mendengarkan radio yang telah punah sejak beberapa tahun yang lalu. Budaya itu kurang lebih seperti mengganti suasana modern di tengah perkotaan ke suasana tradisional pedesaan yang sedang menyaksikan pertunjukan wayang kulit di lapangan. Misbar, kalau gerimis bubar. Bedanya, kalau kamarku, kalau gerimis ya langsung tidur.
Indahnya budaya Jawa, sayangnya hanya beberapa gelintir generasi muda yang mengakui dan menyukainya.
Nicki Minaj Fever!

Masih segar di ingatanku bagaimana hebohnya lagu Girlfriend milik Avril Lavigne menggema sembarang waktu di Ramadhan tahun 2007. Aku-lah penyebabnya. Setiap anak di pesantrenku bahkan tanpa tedeng aling-aling berteriak-teriak macam rang kesurupan, “Hey hey you, i wanna be your girlfriend!”. Setahun kemudian, demam Madonna menjangkiti Ramadhanku di pesantren dengan hits 4 Minutes. Setiap anak yang kutemui selalu bergumam ‘tik tok tik tok’. Sayangnya, tahun berikutnya, 2009,2010,2011, tak ada single andalan yang berhasil menggaet selera musik teman-teman pesantrenku.
Lalu bagaimana dengan tahun 2012? Ha ha ha... munafik kalau tak mau mengakui kalau demam Nicki Minaj bahkan sudah mewabah jauh-jauh sebelum datangnya Ramadhan. Berawal dari Chayun, teman sekamarku yang terkesima dengan lagu-lagu rap yang dipadukan dengan genre electrodance milik penyanyi bernama asli Onika Tanya Maraj ini, akhirnya teman-teman pondokku mulai mendendangkan bahkan ada yang hafal lagu Starship. Beberapa di antaranya langsung nyambung dengan hook lagu Va Va Voom dan Masquerade. Rasanya Ramadhan tahun ini tak hanya diisi dengan ibadah untuk meningkatkan amal kebaikan kita, namun pesantren pasti akan ramai dengan lagu-lagu rap penyanyi asal Trinidad and Tobago ini.
Keep the music play on, dude!
Asus, I’m Into You

Hal yang sangat kuingat ketika awal aku kuliah di Purwokerto adalah susahnya menyelesaikan tugas kampus yang mayoritas harus diketik. Pokoknya, setiap kali ada mata kuliah yang dosennya memberikan tugas (yang harus diketik), aku pasti langsung mengeluh. Pertama, tugas itu pasti menghabiskan uang jajanku. Kedua, aku harus mengerjakan tugas itu di rental komputer, rempong sekali, siang kuliah, sore ngaji, malamnya mengerjakan tugas itu. Ketiga, tak punya banyak waktu untuk main-main atau sekedar istirahat sejenak. Keempat, harus mau berepot-repot dulu berjibaku dengan buku-buku kuliah sebagai penunjang materi tugas, dan beberapa di antaranya berbahasa Inggris. Singkat kata, tugas kuliah waktu itu seperti tiket menuju neraka Jahannam. Tak seorang pun menyukainya, tak seorang pun mengharapkannya. Kalau pun mahasiswa diperbolehkan berdemo agar tugas kuliah ditiadakan selama proses pembelajaran di perguruan tinggi, barangkali aku akan berada di barisan paling depan untuk mendukung aksi tersebut dengan sepenuh hati.
Tapi, rasanya mimpi buruk tugas itu usai sudah. Tanggal 1 Juli 2012 kemarin, aku sudah punya netbook baru. Tak tanggung-tanggung, merk Asus berhasil aku bawa pulang. Mengapa harus Asus? Sebagai bahan perbandingan saja, aku tak tertarik untuk membeli merk lain karena beberapa pertimbangan. Acer adalah merk pasaran namun daya tahan baterai yang agak meragukan. Axioo, merk lokal yang dijual murah meriah di pameran laptop. Usut punya usut, merk tersebut dijual murah karena sedang ada cuci gudang. Bayangkan saja, bagaimana kualitas produk cuci gudang? Toshiba, Lenovo, merk bagus dan terkenal namun tampilannya minimalis sekali alias terlalu sederhana. HP, produk yang bahkan tak terdapat di 5 besar merk laptop favorit di Indonesia. Samsung, merk laptop yang service centre-nya belum ada di Purwokerto dan kota-kota sekitarnya. Sehingga, pilihanku jatuh pada Asus. Ada dua orang temanku yang sudah memiliki laptop merk tersebut, dan sejauh ini mereka tak mengeluhkan kinerja gadgetnya. Hal yang paling mendasari aku memilih merk Asus karena setiap produk Asus dilengkapi teknologi CoolingPad, yang membuat netbook tak cepat panas meski dipakai lama. Ditambah daya tahan baterai yang mumpuni. Sehari hanya dicharge sekali dan dapat dipakai full komputasi seharian. Kemampuannya benar-benar membuat aku geleng-geleng kepala. Heuheuheu...
Tanggal 29 Juni- 8 Juli 2012, ada Banyumas Expo di Auditorium Unsoed. Acara tahunan ini biasanya dimanfaatkan toko-toko laptop, funrniture dan ponsel-ponsel untuk mempromosikan produk mereka. Hari pertama expo dibuka, aku dan teman-temanku berencana untuk melihat-lihat produk apa saja yang ada di pameran tersebut, termasuk laptop. Tak lupa, kita juga menggondol pamflet, buku promosi, selebaran promosi produk-produk laptop secara cuma-cuma. Hari kedua, kita masih sama, tanya-tanya harga sekaligus membandingkan harga laptop di stand satu ke stand lainnya. Akhirnya pilihan kita jatuh ke stand El’s Computer. Alasannya, harga di stand yang tokonya berbasis di sebelah utara Sri Ratu Supermarket ini lebih murah dan sudah begitu masih diberi potongan harga. Namun kami belum membawa pulang barang di hari kedua. Semuanya terjadi di hari ketiga expo. Aku dan Ahal (seharusnya kita bersama Faiq, namun anak yang satu ini galau terlalu lama untuk menentukan apakah dia jadi membeli notebook atau tidak. Alhasil kita jalan dulu, bukankah lebih cepat lebih baik?) berangkat ke expo setelah ashar dengan membawa tas punggung yang mirip ransel agar tak seorangpun tahu kalau kita baru saja membeli gadget baru. Tanpa perlu tanya-tanya harga berlama-lama, kita langsung menuju ke TKP, stand El’s Computer. Aku meminta netbook Asus dengan warna merah, sedangkan Ahal memilih notebook warna putih (hanya sebagai informasi, laptop memiliki luas layar 14 inci atau lebih, notebook seluas layar 12 inci, sedangkan netbook hanya 10 inchi). Sambil meneliti produk, kita sempat ngisengin penjualnya yang kira-kira memang seumuran dengan kita. Tanpa malu-malu, kita bisa-bisanya menawar harga yang sudah dipotong berkali-kali itu. Bayangkan kurs dollar saat itu masih Rp 9600,00, namun khusus untuk pameran, dollar dihargai Rp 9200,00. Itupun masih dapat potongan Rp 50.000,00 sebagai potongan promosi. Kalau ada orang yang ‘tega’ menawar harga, rasanya orang tersebut memang keterlaluan
Senang telah memiliki gadget baru, sepulangnya dari expo, kita langsung meminta Najib, temanku yang mahir dalam urusan laptop dan komputer, untuk menginstalkan Windows. Untungnya dia bersedia mengabulkan permintaan kita. Awalnya aku minta netbookku diinstal Windows 8, namun ternyata resolusi layar netbookku tak mendukung, sehingga berakibat Live Tile di halaman utama tak berfungsi sebagaimana seharusnya. Akhirnya, cukup terima instal dengan Windows 7 yang user interfacenya sudah sangat familiar bagi kita. Meski demikian, aku sudah sangat bersyukur dengan adanya netbook baru ini. Semoga benda ini membawa kemanfaatan bagiku dan orang-orang di sekelilingku.