
Sebelum merasakan dunia pesantren, sesungguhnya aku sudah tahu kalau kehidupan di dalam lembaga tersebut menyimpan berbagai macam cerita yang suatu saat nanti pantas dibanggakan dan layak diceritakan kepada anak cucu kita kelak. Mulai dari cerita yang menggembirakan atau menyedihkan sekalipun. Saat menegangkan berhadapan dengan pak kyai langsung maupun tertawa lepas bersama teman-teman karena guyonan khas pesantren yang tak semua orang awam bisa memahaminya. Merasakan nikmatnya makan nasi dengan ber‘lauk’an sambal terasi dan sayur seadanya hingga makan nasi kuning bersama seraya memperingati perayaan kelulusan teman. Semua ada di balik tembok pesantren yang dingin dan sedikit kaku.
Aku punya teman. Namanya Ibnu Muttaqin. Dia berasal dari Dawuhan Kulon, Kedungbanteng, Purwokerto. Dia adalah teman seangkatanku masuk ke Unsoed dan pesantren ini. Dalam kesehariannya, dia sama saja dengan teman-temanku yang lain. Mudah bergaul dan akrab dengan yang lain. Hanya saja, satu hal unik yang sedikit membedakannya dengan rekan-rekan yang lain adalah sifatnya terlampau halus. Logat ucapannya yang khas ngapak dengan aksen yang tak meledak-ledak sebagaimana orang-orang Banyumas kebanyakan, menjadikan dia mudah dikenal karena karakteristik janggalnya itu.
Dia amat baik namun sedikit leda-lede. Sehingga seringkali aku menjahilinya. Dan dia hanya berpura-pura sebal/ marah kepadaku sesaat setelah aku menggodanya. Sifatnya yang secara sederhana bisa diterjemahkan “tak bisa marah” itu membuatnya jadi objek candaan. Tak hanya aku, namun juga teman-teman pondok yang lain. Aku dan dia juga memiliki persamaan dalam hal hobi. Kita sama-sama suka menulis. Aku seringkali menantangnya membuat tulisan yang mayoritas berbentuk cerpen. Cerpennya bagus, meskipun beberapa di antaranya aku memprotes gaya bahasanya yang terlampau tinggi. Ia terkadang menyertakan perumpamaan yang seringkali janggal alias tak masuk akal, peribahasa yang tak wajar dan rangkaian kata membingungkan sehingga mengharuskan pembacanya mengulang-ulang satu kalimat dalam hitungan menit untuk bisa memahami apa yang ia maksudkan. Namun demikian, cerpennya yang berjudul “Robohnya Surauku” masih kuingat jalan ceritanya dan kuakui itu yang terbaik di antara yang pernah ia buat.
Sebuah prestasi yang sebenarnya tak pantas kita sandang ialah kita berdua mewakili universitas dalam lomba Musahabatil Tilawatil Qur’an. Dalam lomba itu, ada 3 cabang perlombaan, Qiroatul Qur’an (membaca Qur’an dengan nada tertentu), Hafidzul Qur’an (hafalan Qur’an) dan Tafsir Qur’an. Nama kita tercantum dalam cabang lomba terakhir, tafsir Qur’an. Hanya kita berdua. Sungguh, hanya kita berdua. Kita maju di depan juri yang berkompetensi tinggi dalam mengkaji Qur’an dalam waktu yang bergantian. Parahnya, salah satu syarat yang tidak kita ketahui dari awal perlombaan adalah kita wajib menghafalkan beberapa juz sebelum resmi kita ‘boleh’ menafsirkan Qur’an. Jdeer...kita tak punya modal hafalan apapun selain Juz ‘Amma. Yah, dengan modal seadanya itulah kita nekad maju. Hasilnya, para juri pun mengkritisi hafalan kita yang kalau distandarisasi dengan peserta-peserta lain, masih berada di bawah standar yang ditentukan. Anehnya, dengan penampilan seadanya itu, aku diganjar dengan gelar Juara Pertama sedangkan Ibnu berada di posisi runner-up. Ya begitulah, pesertanya hanya ada dua. Mau bagaimana lagi? Hahahaha...
Agustus kemarin, Ibnu baru saja menyandang gelar kesarjanaannya. Dia memang sengaja mengakselerasi proses pengerjaan skripsinya dengan alasan tak mau berlama-lama menjadi beban keluarga. Setelah lulus, dia pun berencana untuk meneruskan pendidikannya di pesantren. Atas saran dari pak kyai, dia disuruh belajar di pondok pesantren di Banten, tempat dulu pak kyai menimba ilmu saat masih remaja. Malam ini, saat sebelum aku menulis catatan ini, aku menyempatkan waktu beberapa jam untuk ngobrol sejenak bersamanya. Sebelum ia pergi setidaknya, aku punya waktu untuk meminta maaf kepadanya. Sering bergaul, sering bercanda dan sering mengerjai, pastinya sering berbuat kesalahan.
Semoga kamu menuai kesuksesan di setiap keputusan hidup yang kamu ambil, sobat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar