Blogger news

Pages

Minggu, 07 Oktober 2012

11-11-11

Sebuah cerita menyenangkan yang kutulis di hari yang sama saat merasa kecapekan luar biasa sepulang dari tempat tujuan, Tegal. Kumulai kisah ini dari tujuan mengapa ekspedisi malam ini diadakan. Salah seorang alumni santri putri Al Amin bernama Ismi Noviyanti menyelenggarakan akad dan resepsi pernikahan di tanggal cantik 11-11-11. Perjalanan sehari menuju rumahnya di Talang, Tegal, dimulai ba’da Maghrib. Setelah melalui prosesi saling tunggu menunggu yang konon paling menyebalkan di seluruh penjuru dunia, kami berangkat berdua belas melewati lereng Slamet yang terkenal dingin dan berkabut. Di perjalanan, banyak sekali kejadian aneh yang kujumpai. Tak kurang dari empat kali aku dan Agus mencium bau bunga di tengah perjalanan yang sepi dan minus lampu penerangan. Belum lagi melewati hutan berkali-kali yang membuat nyaliku menciut. Bukan karena takut gelap, hawanya itu, sulit kujelaskan dengan kata-kata. Ibarat kamu datang ke tempat baru yang belum pernah kamu kenal, seperti halnya banyak pasang mata yang menatapmu dengan tatapan sangar. Kurang lebih seperti itu yang kurasakan malam itu. Menyeramkan sekali, bukan? Namun itu tak menyurutkan semangat kita untuk sampai secepatnya di tempat tujuan.
Kita sampai pukul setengah sepuluh malam. Waktu itu, acara belum sepenuhnya selesai. Masih ada penampilan dari grup rebana dari STAIN Purwokerto yang ikut meramaikan prosesi pernikahan sahabat lamaku itu. Tahukah kamu? Vokalis utama putra grup tersebut yang bernama Mas Yayat sebenarnya pernah mengikat hubungan khusus dengan si Ismi. Kini, perempuan berkulit cerah itu malah berdampingan dengan pria tetangga desanya, bukan dengan dirinya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Mas Yayat saat menyaksikan sang mantan berdampingan dengan pria lain di hadapannya sekaligus ia harus menyanyikan lagu-lagu sholawat untuk mereka berdua. Menyakitkan sekali.
Sepulang dari rumah Ismi, kita menyempatkan diri mampir di rumahnya Aini sebentar, dan perjalanan malam kami berakhir di jalur pantura. Aku kaget sekali saat melihat sebuah jembatan yang dibawahnya mengalir sungai besar (yang belakangan kuketahui kalau itu adalah muara), dan beberapa meter ke utara lagi adalah Laut Jawa yang nampak biru misterius diterangi sinar bulan. Jauh di arah utara, nampak kilatan petir yang mengindikasikan di arah sana sedang dilanda hujan lebat. Setelah melewati jalur pantura bersama bus-bus dan truk besar, kami belok arah menuju Warureja. Melewati daerah perkebunan bawang merah dan tebu. Jalan berkelok berakhir di rumah Agus Tegal. Kita bermalam di situ.
Keesokan harinya, kami menuntaskan perjalanan ke rumahnya Mas Umam di Kedungpring, Pemalang. Tak kunyana, rumahnya berada di puncak pegunungan. Suasana yang identik dengan hawa dingin plus musik alam yang didominasi oleh suara tenggeret, hewan yang bentuknya mirip belalang dengan suara mendesing. Suka sekali aku dengan keadaan alamiah seperti ini. Di sana, kita dijamu luar biasa. Makan besar dengan lauk mie instan lengkap dengan jengkol dan pete, sekaligus diakhiri dengan minuman khas pedesaan sesuai dengan pesananku, es kelapa muda. Itupun dibuat dua macam. Baskom pertama es kelapa muda dengan menggunakan gula jawa merah, yang kedua es kelapa muda dengan rasa strawberry. Aneh bukan?
Tak sampai di sini, aku, Agus Tegal, Widhi, Andi, Mas Umam, Toni, Udin, Ahal, Gus Kholil bermain ke bendungan yang letaknya jauh dari rumah Mas Umam. Kita mandi di sana disertai dengan hujan lebat. Anehnya, di saat aliran sungai mana pun berwarna keruh, sungai tempat kita mandi tetap mengalirkan air bening. Sebening air sungai di musim kemarau. Ini yang aku herankan. Kita berteriak-teriak kegirangan seperti orang yang masa kecilnya kurang bahagia. Melompat dan menceburkan diri di aliran bendungan. Belajar berenang seperti aku hingga menyaksikan sarung yang dipakai Toni lepas karena derasnya aliran sungai. Sepulangnya dari mandi di bendungan, kami nekat basah-basahan dengan percikan air hujan yang amat sakit mengenai wajah. Peduli setan soal puluhan pasang mata manusia yang menatap kami dengan pandangan aneh, kami hanya menikmati apa yang jarang-jarang terjadi semacam ini.
Catatan kecil soal perjalanan ke Tegal tanggal 11-11-2011 sampai 12-11-2011, di perjalanan kami menjumpai gunung Gajah. Kata Agus, itu bukanlah gunung secara definisi sebenarnya melainkan sebuah bongkahan batu raksasa yang berbentuk persegi panjang. Entah bagaimana ceritanya bentuk batu semacam itu dianalogikan sebagai bentuk gajah.
Satu lagi, kami melewati sebuah tempat angker nan keramat yang sering menjadi buah bibir bagi masyarakat sekitar Randu Dongkal (Randu Dongkal berarti pohon randu/ pohon kapuk yang roboh). Sebuah jalan raya yang diapit dengan dua pohon randu raksasa berbunga ungu. Padahal, pohon randu biasanya berbunga putih, namun bunga di kedua pohon ini malah berwarna berbeda dari randu kebanyakan. Keanehan tak hanya berhenti sampai di sini. Menurut kabar yang beredar, kalau ada orang yang melewati tempat ini seorang diri pada malam-malam tertentu, maka ia akan ditampaki seekor ular besar yang merupakan penjelmaan dari salah satu dari kedua pohon tersebut. Siapapun yang pernah melewati tempat itu, pasti mempunyai bekal cerita menyeramkan seputar pohon raksasa tersebut.
Selebihnya, rasa cape yang ditutup dengan mie ayam di Padamara terbayar sudah. Setidaknya, uang yang kukeluarkan tidak sebanding dengan pengalaman yang kudapat melalui penjajakan tanah utara Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar