Blogger news

Pages

Sabtu, 20 Oktober 2012

....



Punya urusan apa mereka mengatur hidupku? Hidupku ya hidupku, aku punya kuasa penuh untuk mewarnai, mengendalikan dan mengatur hidupku tanpa perlu memikirkan bagaimana orang lain menilaiku. Toh, selama aku tak melanggar norma agama dan masyarakat, tak ada alasan untukku agar tunduk pada penilaian orang. Aku akan mengatakan apa saja, akan bertindak apa saja, termasuk menuliskan apa saja, sedikit pun aku tak terpengaruh dengan apa kata mereka.

Lagi-lagi soal cinta. Aku juga tak tahu mengapa semuanya terasa begitu subjektif ketika dibenturkan dengan urusan cinta, soal hati dan soal perasaan. Mungkin aku memang ditakdirkan sebagai laki-laki yang perasa. Ah apalah itu istilahnya. Sedikit aku jatuh cinta, sedikit aku merasa ada kesesuaian antara aku dengan seseorang, sedikit aku dibuat bahagia hanya dengan sedikit tindakan yang semua orang menganggapnya itu biasa saja, sedikit aku terbuka matanya kalau dia bukanlah orang biasa, orang yang tiba-tiba mengubah hidupku melalui cara yang tak kuduga sebelumnya, sedikit saja aku dikecewakan meskipun ia tak menyadari itu, sedikit saja ia berubah tak seperti ia dulu lagi, sedikit saja dia tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya, sedikit saja dia tak lagi bersinar sebagaimana biasanya dan kini penuh tanda tanya, sedikit saja semuanya keluar dari jalurnya. Tak lagi berada di lintasan rel seperti harapanku. Orang Purwokerto bilang, ‘mbebeih’, sebuah istilah yang aku sendiri kesulitan menemukan padanannya dalam Bahasa Indonesia. Apapun menjadi tak menyenangkan seperti di awal. Ketika aku berjalan di sebuah jalan setapak dengan sisi persawahan, aku melihat rumput-rumput menaruh cemburu pada serangga-serangga. Serangga-serangga menyimpan dendam kepada hewan melata seperti cacing dan semut. Semut menyampaikan dendam kesumat pada manusia yang menginjaknya. Manusia melaknati pepohonan yang tetap saja meranggas di awal musim penghujan, pohon tak tahu diri dan tak tahu musim. Pepohonan menaruh curiga pada gunung-gunung yang dipenuhi tanaman yang menghijau. Gunung-gunung memarahi dataran rendah yang kian panas setiap harinya. Dataran rendah memaki-maki atmosfer dan udara di bumi yang tak kunjung bersahabat. Hewan-hewan yang ditakdirkan berpasangan menyumpahi hawa panas bumi yang membuat mereka kesulitan bertahan hidup. Alam kacau balau, pun begitu denganku. Aku sedang tak menemukan ketenangan hidup di dunia ini.

Dan ini memang jadi tradisiku selama bertahun-tahun. Setiap kali aku merasa tak enak hati, aku selalu berlari ke depan laptop untuk membeberkan segala keunekan hatiku, yang tak semua orang mau mendengarkannya, yang tak semua orang mau memberikan saran terhadapnya, yang tak semua orang mau menyempatkan waktunya sejenak hanya untuk mendengarkan hatiku berbicara meski sebentar saja, yang tak semua orang mau melakukan apa yang telah aku lakukan ketika mereka memintaku untuk memberi mereka saran di saat mereka sedang dihadapkan masalah. Dipikir-pikir, mungkin di sinilah keanehan diriku jika dibandingkan teman-teman laki-lakiku yang lain. Jika mereka bisa dengan mudahnya menceritakan kisah cinta mereka kepada sahabatnya, itu tak semudah membalikkan telapak tangan bagiku. Selalu ada halangan bagiku untuk memberitahu apa yang sedang terjadi. Kalau pun aku memberitahu mereka kalau aku sedang bermasalah, biasanya aku akan membentak mereka untuk tidak terlalu mencampuri urusanku (bagaimana bisa mencampuri urusanku kalau akar permasalahannya saja mereka tak tahu. Aku memang sudah gila. Sinting stadium akhir).

Sungguh, malam ini aku sedang tak enak hati. Bukan karena ini malam Minggu, bukan karena aku sendiri. Juga bukan karena aku baru saja terlibat perang mulut dengan seseorang. Tidak, bukan perkara itu. Tahukah kamu, bahwa semua perasaan dan semua kejujuran dari hati seseorang yang tertulis secara gamblang di atas kertas, namun pada akhirnya orang itu tak mengirimkan surat itu kepada orang yang ia tuju. Ia membiarkan surat itu usang dimakan waktu, lebur dihancurkan hewan pemakan remah-remah dan tetap tak terkirim sampai ajalnya sekalipun. Aku tak akan mengibaratkan diriku sendiri berada di posisi penulis surat yang malang itu. Hanya saja, sedikit banyak aku bisa memposisikan diriku sendiri seperti halnya orang yang kudeskripsikan di atas.

Kesendirianku di kamar hanya ditemani lagunya Michelle Branch, This Way. Sebuah lagu country yang tak pernah masuk ke dalam jajaran tangga lagu internasional. Tapi aku suka sekali lagu ini, sebab musik country tradisional, terlepas dari Branch memang punya darah Indonesia juga. Akhir-akhir ini, aku sering memutar lagu ini, baik di laptopku atau di playlist ponselku. Lantaran, lagu ini lebih banyak bercerita tentang sesuatu yang mulutku sendiri tak bisa menceritakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar