Blogger news

Pages

Sabtu, 27 Oktober 2012

Laki-Laki Bersastra, Apa Kata Dunia?



Aku yakin Tuhan tak pernah salah dalam memberikan talenta untuk seseorang.

Aku juga yakin rencana Tuhan tak pernah keliru. Meleset sedikit pun, itu adalah kemustahilan yang teramat besar.

Semuanya berawal ketika aku masih kelas 3 SMA. Saat itu, aku pernah jatuh cinta kepada seorang perempuan yang tak lain adalah tetanggaku sendiri. Dia anaknya tak banyak bicara, lebih cenderung kuper dan tertutup. Entah apa yang membuatku begitu tertarik padanya. Mungkin karena kemisteriusan itu, atau alasan klasik mengapa sebuah kisah cinta itu dimulai, paras cantiknya selalu menghantui pikiranku di mana pun dan kapan pun.

Kebetulan orang tuaku bukanlah tipikal orang tua yang terbuka soal urusan cinta anaknya. Aku takut ketika aku menceritakan kisah cintaku yang baru dimulai ini kepada mereka, maka tanggapan mereka cukup singkat saja, “Kamu sekolah dulu saja yang bener”. Kalau sudah demikian, tamat sudah harapanku untuk berbagi cerita dengan mereka, bukan?

Lalu, bagaimana jika aku menceritakan kisah yang belum seumur jagung ini kepada teman-temanku? Akankah mereka akan menjadi pendengar yang setia? Penyimpan rahasia ulung? Atau setidaknya pemberi solusi di kala aku menjumpai masalah dalam hubunganku dengan perempuan itu? Melihat pengalaman teman sebangkuku yang mengumbar cerita cintanya dengan geng-gengnya sendiri, aku jadi yakin kalau kisah cintaku ini bisa saja kehilangan ‘ruh’nya jika aku menceritakannya dengan orang lain. Lantaran semua orang tahu, semua orang bisa menilai bagaimana caraku memulai mengenal cinta dan bersentuhan dengannya. Aku tak ingin semua ini terjadi. Aku tak ingin benih cinta yang baru kusemai ini diacak-acak oleh orang-orang yang sebenarnya tak perlu tahu dengan siapa aku menanamnya dan di lahan mana aku mulai menyemainya.

Sebagai bentuk pelarianku, akhirnya aku memutuskan untuk membeli buku tulis bercover batik. Tebalnya buku itu mungkin menjadikannya lebih mirip seperti buku catatan utang keluarga daripada buku catatan harian. Tapi aku tak pernah mempedulikan apa kata orang soal buku dan apa saja yang kutulis di sana. Dalam hitungan jam sejak aku membeli buku itu, aku langsung menuliskan apa yang ada di benakku secara terang-terangan. Tanpa nama inisial, tanpa majas dan tanpa perumpamaan yang puitis. Semua kubiarkan mengalir begitu saja. Tentang bagaimana awal kita bertemu, atau lebih tepatnya berpapasan sewaktu pulang sekolah pada suatu sore, kami berdua melakukan kontak mata selama kurang dari tiga detik namun kenangan tiga detik itu masih bisa kurasakan selama tiga hari setelahnya, bayangan perempuan itu tersenyum ketika bermain dengan keponakannya hingga aku terpana melihat dia berjalan sendirian ketika akan berangkat sekolah. Semuanya aku tulis di buku kesayanganku itu.

Setiap hari, aku membawa buku itu ke mana pun aku pergi. Ke sekolah, ke kamar tidur, ke perpustakaan, ke lapangan basket bahkan ke ruang guru pun aku masih sempat membawanya. Di mana bayangan dia muncul, maka di situlah aku mulai menuliskannya. Hingga aku tak sadar kalau buku tersebut telah habis separuh, aku sendiri hampir tak percaya kalau aku bisa menulis sebanyak itu. Di sinilah aku mulai bersentuhan dengan dunia tulis menulis.

Suatu ketika, guru Bahasa Indonesiaku memergokiku ketika aku sedang menulis surat teruntuk perempuan itu. Sebuah surat yang sejatinya tak akan pernah kukirim, sebab isi surat itu adalah perwakilan dari isi hatiku selama ini kepadanya. Beliau bertanya, apa yang sedang aku tulis. Aku menjawab, hanya iseng saja. Daripada kuhabiskan waktu untuk galau tiada arah, maka lebih baik aku menulis. Guruku itu tersenyum saja mendengar jawabanku. Tanpa dinyana, beliau menawariku untuk mengisi majalah dinding sekolah dan mengirimkan artikel atau karya apapun ke majalah sekolah. Mendapati tantangan ini, aku tergelitik untuk mencobanya. Pertama, aku mengirimkan cerpen berjudul “Pilihlah Aku Jadi Pacarmu”. Cerpen yang terinspirasi dari judul lagu milik Krisdayanti ini bercerita tentang kisah cinta dua manusia dua alam dengan sudut pandang orang pertama dalam penyajiannya. Tanpa basa-basi, seminggu setelah aku mengirimkan cerpenku itu ke majalah sekolah, karyaku tersebut dimuat dan guru Bahasa Indonesiaku itu menjanjikan akan menyediakan sejumlah honorarium untuk menghargai karyaku. Rupanya, mendapatkan uang dari suatu pekerjaan yang kita sukai adalah hal yang menyenangkan.

Honorarium pertama dari hasil tulisanku nyatanya membuatku tergerak untuk menulis lebih banyak lagi. Berbagai macam format tulisan fiksi aku coba, mulai dari puisi, artikel, maupun cerpen. Percaya atau tidak, semuanya hampir bernafaskan kisah cintaku pribadi kepada perempuan itu. Beruntungnya, hampir semua kirimanku itu dimuat di majalah sekolahku. Itu berarti, makin tinggi saja pundi-pundi uangku yang kudapat.

Memasuki dunia universitas, rasanya aku makin tak rela meninggalkan kegemaranku di dalam tulis menulis ini. Biarpun aku tak bergabung dalam organisasi sastra di kampus, aku tetap menulis di notebookku, bukan lagi di buku yang tebalnya mirip buku catatan utang itu. Aku coba melebarkan sayap untuk tidak melulu menuliskan soal cinta, namun juga tentang kesenjangan sosial, kehidupan baru di kampus, dunia pesantren sebab aku memang mondok di sebuah pondok pesantren modern, dan tak lupa aku juga menuliskan cerita betapa menderitanya aku jauh dari kedua orang tua untuk pertama kalinya.

Di sisi lain, dengan hobiku ini, aku makin merasa kalau aku ini agak berbeda dengan teman-temanku. Apalagi menulis di kalangan pesantren masih terdengar begitu awam, terlebih jika itu dilakukan oleh seorang laki-laki. Dalam pesantrenku, laki-laki itu identik dengan sepak bola. Laki-laki tanpa bola ibarat memakai baju tapi lupa tanpa memakai celana. Namun bagiku, laki-laki tanpa bola tetaplah laki-laki. Biarlah dia tidak memakai celana, bukankah masih ada sarung sebagai busana penggantinya?

Dalam kehidupanku, sarung itulah yang kusebut sebagai hobiku di dunia tulis menulis. Tak ada yang salah jika seorang laki-laki mempunyai hobi ini. Sah-sah saja. Toh, bagi diriku pribadi, berdasarkan pengalamanku waktu SMA dulu, menulis kujadikan sebagai terapi jiwa. Terapi untuk membuat perasaan dan pikiranku lega setelah aku mengungkapkan semuanya melalui tulisan. Dan lebih menyenangkan lagi jika melalui hobi, aku bisa memperoleh uang jajan sendiri.

Ketika ada yang berkata, “Laki-laki kok bersastra, apa kata dunia?” Aku yakin dunia pasti dengan tegas menimpalinya, “Masalah buat loe? Itu bakat yang bagus, boi”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar