Blogger news

Pages

Senin, 15 Oktober 2012

Go RED


Sebutan alay maupun ababil mungkin langsung disematkan bagi siapapun yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan cinta. Dikit-dikit cinta, senggol sana cinta, senggol sini cinta, cinta yang konon membuat tai kucing serasa keju. Semua hal yang menyedihkan berubah menjadi menyenangkan dalam sekejap mata, jika semuanya bermuara dengan cinta. Biarpun kere tapi tetap oke kalau cinta nimbrung di dalamnya. Biar jelek tapi tetap pede asalkan dalam hatinya bergaung satu kata bermakna cinta. Cinta yang bermakna universal bisa membuat satu insan mabuk kepayang dibuatnya. Cinta tanpa takaran dan terkadang melaju secepat truk gandeng naas sebab rem blong. Membuat bunga perdu seolah mawar yang tumbuh liar di tepi jalan. Sedrastis itukah?

Aku punya sahabat. Kami sudah berteman sejak SMP. Dia dan aku memiliki banyak persamaan. (Jangan dikira gara-gara persamaan itu lalu kami jatuh cinta, membabi buta, sejadi-jadinya, nangis dan ketawa bareng, dunia serasa berdua yang lain cuma ngekos dan bayar uang bulanan. Kalau ini mah sinetron Indonesia banget. Tayangan tak bermutu yang jumlah episodenya mencengangkan itu). Dia pernah diwawancarai oleh staf majalah sekolah SMA-ku waktu itu. Sebab dia adalah salah satu penulis atau lebih tepatnya orang yang rajin mengirimkan tulisan ke majalah sekolah dan hasil karyanya kerap dimuat di sana. Pertanyaan pamungkas dalam wawancara itu adalah tema cerita apa yang sering digunakannya dalam memaparkan idenya ke dalam bentuk tulisan. Secara jujur, sesuai dengan umur kita, dia menjawab cinta dan persahabatan adalah tema umum dan langganan menjadi sumber inspirasi tiada batas baginya. Bagaimana dari sudut pandang laki-laki, semuanya berawal dari persahabatan dan diakhiri dengan cinta. Sedangkan dari sudut pandang perempuan, semuanya berawal dari cinta dan diakhiri dengan persahabatan.

Aku jadi teringat wiseword Damnitstrue! Dalam akun resminya di Twitter, dia pernah menulis, “Most relationships fail not because of absence of love; but because girls love too much and boys love too many” (Kebanyakan sebuah hubungan cinta gagal bukan karena ketidakhadiran cinta, namun lebih karena para perempuan terlalu mencintai (dalam hati) dan para lelaki mencintai terlalu banyak (perempuan). Silahkan telaah sendiri ‘kata bijak’ di atas. Tapi setidaknya, semua cerita cinta yang disodorkan, baik melalui media elektronik ataupun cetak, tak jauh-jauh amat berputar-putar soal permasalahan ini. Biarlah, mereka yang selalu cari aman dalam menggambarkan cinta itu seperti apa. Dangkal, monoton dan tak berani beranjak dari keitu-ituan saja.
Nah, berangkat dari kebosanan itu, (bagaimana ga bosan ketika semua tulisanku bertema cinta, sedikit persahabatan di dalamnya dan sangat sangat jarang menyentuh tema humanisme apalagi kritik sosial), aku akhirnya punya ide untuk menulis cerita dalam bentuk novel. Barangkali bisa disebut sembrono kalau menyebut itu novel, tebalnya sekira hanya 140 halaman dan kutulis dalam jangka waktu kurang dari sebulan. Dalam kurun waktu segitu, aku berkutat menceritakan kisah cinta yang ‘tak wajar’, bermain tema dan jenis deskriptif yang kerap menyerempet dengan gaya kepenulisan Andrea Hirata.

Tak etis rasanya jika aku membeberkan latar belakang mengapa aku membuat novel ini. Pastinya, aku menulis karena aku memang merasa perlu untuk menulisnya. Sebab aku tak ingin membiarkan momen indah berlalu begitu saja, sehingga terlupakan tanpa ada kenangan sedikit pun (cmiiiuw....). perkara isi tulisan, lebih tak etis pula jika aku membongkarnya sekalian di sini. Tak bakalan ada greget, tak bakalan ada sesuatu yang wah sebab semuanya sudah dibahas sebelumnya.

Dilihat dari segi judul, sederhana saja, satu suku kata dan tiga huruf. RED. Itulah judul novelku. Jujur aku terinspirasi dari judul album terbaru Taylor Swift yang juga bernama Red. Merah yang menggambarkan keberanian dalam menantang arus dan tak takut dalam mengungkapkan sesuatu yang telah menggelora dalam dada (hiperbolis maknyaaaak!). Sejak pembuatan RED ini, sudah terpikirkan sebelumnya kalau cerita ini tak akan selesai ditulis dalam satu buku saja. Bisa jenuh penulis dan pembaca dibuatnya. Makanya sudah kurencanakan aku akan membuat serangkaian novel yang jalan ceritanya masih berkaitan satu sama lain namun dalam buku fisik yang berbeda. Orang intelek menyebutnya dwilogi, trilogi atau tetralogi. Untuk perencanaan jangka dekat, aku akan menuliskan cerita aneh ini dalam bentuk trilogi. Semuanya masih berjudul soal warna, warna yang mewakili isi dari novel itu. Celakanya, jangan secara sederhana dan dangkal kalau dalam novel pertamaku aku suka warna merah, novel keduaku aku ganti warna baju jadi warna biru dan novel terakhir dari serangkaian trilogi aku menutup kisah cinta dengan memakai baju kuning. Apaan itu? :D

Sayangnya lagi, aku tak akan mempublikasikan novel ‘warna’ itu ke media online seperti blog atau email. Lebih nyaman kali ya kalau kalian yang meminta langsung kepadaku. Nanti kalian punya kuasa penuh sebagai tim penilai untuk novel ketigaku itu.
Go RED!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar