Blogger news

Pages

Sabtu, 27 Oktober 2012

Aku Tak Meminta Banyak, Tuhan...


Tuhan, selamat pagi, atau selamat siang dan selamat malam :)
aku tak tau di surga sedang musim apa? penghujan atau kemaraukah??
ataukah mungkin sedang turun salju?
pasti sangat indah…
kalau boleh berbincang sedikit, aku belum pernah melihat salju...
aku ingin sekali bisa menyaksikan salju dengan mata kepalaku sendiri, mungkin nanti ya kalo aku bisa mengumpulkan tabungan yang cukup…

Aku tahu, Kamu tak pernah sibuk. aku tahu Kamu selalu mendengar isi hatiku meskipun kamu tak segera memberi 'pukpuk' dibahuku. aku tak perlu curiga pada-Mu soal bisa mendengar doaku tau tidak. aku percaya telinga-Mu selalu tersedia untuk siapapun yang percaya pada-Mu. aku yakin pelukan-Mu selalu terbuka pada mereka yang terlalu lelah pada dunia yang membuatnya menggigil.

Masih tentang hal yang sama,Tuhan. kalaupun aku boleh memilih aku akan tetap memilih topik ini untuk aku perbincangkan dengan-Mu. tentang dia, seseorang yang selalu aku perbincangkan sangat lamaaa dengan-Mu,
seseorang yang selalu aku sebut dalam setiap frasa kata ketika aku bercakap panjang dengan-Mu.

aku sudah tahu, beberapa kali mereka berkata bahwa aku dengannya adalah kesalahan. Tapi itu bukan ucapan-Mu kan? apa ada yang berhak mengatur perasaan manusia selain-Mu? sekali lagi aku tak perlu tau apa Kamu mendukungku ataupun ikut menyalahkanku, dalam persepsiku Kamu itu Maha pengasih, Maha Penyayang seperti semua yang tertuang dalam Asmaul Husna,, Kamu ikut tersenyum bahagia melihat kisahku dengannya. bukankah begitu Tuhan??
Keadaanku sekarang memang tidak lebih baik, tapi sekali lagi hanya diri-Mu yang menentukan pantas atau tidaknya aku dengannya. Sungguh aku tak mau merasakan dia sakit, aku tak pernah tega melihat kecintaanku terluka, aku hanya ingin kebahagiannya terjamin olehMu, dengan atau tanpaku.

Tolong kali ini jangan tertawa,Tuhan. aku tentu saja menangis, dadaku terasa sesak.
aku percaya aku dengannya sekarang ini mungkin sedang ada di titik jatuh cinta setengah mati
permintaan yang sama seperti kemarin, Tuhan jagalah dia untukku, bahagiakan dia…
aku ingin lakukan apapun untuknya tanpa sedikitpun aku melupakan-Mu, aku memang tak menyentuhnya
aku tak bertatapan dengannya. Tapi… dalam jarak sejauh ini,aku tetap memeluknya dalam doa-doaku.

Aku tak perlu meratap, jika memang dia bukan takdirku…
aku pun yakin dia akan menemukan dunianya yang baru tanpaku yang sangat indah & menyenangkan
kembali pada bagian awal, Tuhan.. aku hanya ingin melihat dia tersenyum.

Akhir pecakapan, aku tidak meminta dia harus tetap disampingku dengan segala kebuntuan ini..
aku hanya minta, di manapun dan kapanpun itu.. aku ingin punya kesempatan bersamanya..
walaupun sedetik… aku ingin tetap melihatnya tersenyum bahagia.

kembali ke awal,, dengan atau tanpaku.

Laki-Laki Bersastra, Apa Kata Dunia?



Aku yakin Tuhan tak pernah salah dalam memberikan talenta untuk seseorang.

Aku juga yakin rencana Tuhan tak pernah keliru. Meleset sedikit pun, itu adalah kemustahilan yang teramat besar.

Semuanya berawal ketika aku masih kelas 3 SMA. Saat itu, aku pernah jatuh cinta kepada seorang perempuan yang tak lain adalah tetanggaku sendiri. Dia anaknya tak banyak bicara, lebih cenderung kuper dan tertutup. Entah apa yang membuatku begitu tertarik padanya. Mungkin karena kemisteriusan itu, atau alasan klasik mengapa sebuah kisah cinta itu dimulai, paras cantiknya selalu menghantui pikiranku di mana pun dan kapan pun.

Kebetulan orang tuaku bukanlah tipikal orang tua yang terbuka soal urusan cinta anaknya. Aku takut ketika aku menceritakan kisah cintaku yang baru dimulai ini kepada mereka, maka tanggapan mereka cukup singkat saja, “Kamu sekolah dulu saja yang bener”. Kalau sudah demikian, tamat sudah harapanku untuk berbagi cerita dengan mereka, bukan?

Lalu, bagaimana jika aku menceritakan kisah yang belum seumur jagung ini kepada teman-temanku? Akankah mereka akan menjadi pendengar yang setia? Penyimpan rahasia ulung? Atau setidaknya pemberi solusi di kala aku menjumpai masalah dalam hubunganku dengan perempuan itu? Melihat pengalaman teman sebangkuku yang mengumbar cerita cintanya dengan geng-gengnya sendiri, aku jadi yakin kalau kisah cintaku ini bisa saja kehilangan ‘ruh’nya jika aku menceritakannya dengan orang lain. Lantaran semua orang tahu, semua orang bisa menilai bagaimana caraku memulai mengenal cinta dan bersentuhan dengannya. Aku tak ingin semua ini terjadi. Aku tak ingin benih cinta yang baru kusemai ini diacak-acak oleh orang-orang yang sebenarnya tak perlu tahu dengan siapa aku menanamnya dan di lahan mana aku mulai menyemainya.

Sebagai bentuk pelarianku, akhirnya aku memutuskan untuk membeli buku tulis bercover batik. Tebalnya buku itu mungkin menjadikannya lebih mirip seperti buku catatan utang keluarga daripada buku catatan harian. Tapi aku tak pernah mempedulikan apa kata orang soal buku dan apa saja yang kutulis di sana. Dalam hitungan jam sejak aku membeli buku itu, aku langsung menuliskan apa yang ada di benakku secara terang-terangan. Tanpa nama inisial, tanpa majas dan tanpa perumpamaan yang puitis. Semua kubiarkan mengalir begitu saja. Tentang bagaimana awal kita bertemu, atau lebih tepatnya berpapasan sewaktu pulang sekolah pada suatu sore, kami berdua melakukan kontak mata selama kurang dari tiga detik namun kenangan tiga detik itu masih bisa kurasakan selama tiga hari setelahnya, bayangan perempuan itu tersenyum ketika bermain dengan keponakannya hingga aku terpana melihat dia berjalan sendirian ketika akan berangkat sekolah. Semuanya aku tulis di buku kesayanganku itu.

Setiap hari, aku membawa buku itu ke mana pun aku pergi. Ke sekolah, ke kamar tidur, ke perpustakaan, ke lapangan basket bahkan ke ruang guru pun aku masih sempat membawanya. Di mana bayangan dia muncul, maka di situlah aku mulai menuliskannya. Hingga aku tak sadar kalau buku tersebut telah habis separuh, aku sendiri hampir tak percaya kalau aku bisa menulis sebanyak itu. Di sinilah aku mulai bersentuhan dengan dunia tulis menulis.

Suatu ketika, guru Bahasa Indonesiaku memergokiku ketika aku sedang menulis surat teruntuk perempuan itu. Sebuah surat yang sejatinya tak akan pernah kukirim, sebab isi surat itu adalah perwakilan dari isi hatiku selama ini kepadanya. Beliau bertanya, apa yang sedang aku tulis. Aku menjawab, hanya iseng saja. Daripada kuhabiskan waktu untuk galau tiada arah, maka lebih baik aku menulis. Guruku itu tersenyum saja mendengar jawabanku. Tanpa dinyana, beliau menawariku untuk mengisi majalah dinding sekolah dan mengirimkan artikel atau karya apapun ke majalah sekolah. Mendapati tantangan ini, aku tergelitik untuk mencobanya. Pertama, aku mengirimkan cerpen berjudul “Pilihlah Aku Jadi Pacarmu”. Cerpen yang terinspirasi dari judul lagu milik Krisdayanti ini bercerita tentang kisah cinta dua manusia dua alam dengan sudut pandang orang pertama dalam penyajiannya. Tanpa basa-basi, seminggu setelah aku mengirimkan cerpenku itu ke majalah sekolah, karyaku tersebut dimuat dan guru Bahasa Indonesiaku itu menjanjikan akan menyediakan sejumlah honorarium untuk menghargai karyaku. Rupanya, mendapatkan uang dari suatu pekerjaan yang kita sukai adalah hal yang menyenangkan.

Honorarium pertama dari hasil tulisanku nyatanya membuatku tergerak untuk menulis lebih banyak lagi. Berbagai macam format tulisan fiksi aku coba, mulai dari puisi, artikel, maupun cerpen. Percaya atau tidak, semuanya hampir bernafaskan kisah cintaku pribadi kepada perempuan itu. Beruntungnya, hampir semua kirimanku itu dimuat di majalah sekolahku. Itu berarti, makin tinggi saja pundi-pundi uangku yang kudapat.

Memasuki dunia universitas, rasanya aku makin tak rela meninggalkan kegemaranku di dalam tulis menulis ini. Biarpun aku tak bergabung dalam organisasi sastra di kampus, aku tetap menulis di notebookku, bukan lagi di buku yang tebalnya mirip buku catatan utang itu. Aku coba melebarkan sayap untuk tidak melulu menuliskan soal cinta, namun juga tentang kesenjangan sosial, kehidupan baru di kampus, dunia pesantren sebab aku memang mondok di sebuah pondok pesantren modern, dan tak lupa aku juga menuliskan cerita betapa menderitanya aku jauh dari kedua orang tua untuk pertama kalinya.

Di sisi lain, dengan hobiku ini, aku makin merasa kalau aku ini agak berbeda dengan teman-temanku. Apalagi menulis di kalangan pesantren masih terdengar begitu awam, terlebih jika itu dilakukan oleh seorang laki-laki. Dalam pesantrenku, laki-laki itu identik dengan sepak bola. Laki-laki tanpa bola ibarat memakai baju tapi lupa tanpa memakai celana. Namun bagiku, laki-laki tanpa bola tetaplah laki-laki. Biarlah dia tidak memakai celana, bukankah masih ada sarung sebagai busana penggantinya?

Dalam kehidupanku, sarung itulah yang kusebut sebagai hobiku di dunia tulis menulis. Tak ada yang salah jika seorang laki-laki mempunyai hobi ini. Sah-sah saja. Toh, bagi diriku pribadi, berdasarkan pengalamanku waktu SMA dulu, menulis kujadikan sebagai terapi jiwa. Terapi untuk membuat perasaan dan pikiranku lega setelah aku mengungkapkan semuanya melalui tulisan. Dan lebih menyenangkan lagi jika melalui hobi, aku bisa memperoleh uang jajan sendiri.

Ketika ada yang berkata, “Laki-laki kok bersastra, apa kata dunia?” Aku yakin dunia pasti dengan tegas menimpalinya, “Masalah buat loe? Itu bakat yang bagus, boi”


Rabu, 24 Oktober 2012

Letters



Sometimes the feelings you really mean are found in the letters which you write and never send.
Bagaimana rasanya ketika kamu mempunyai semangat membara disebabkan seseorang yang bahkan tak mengerti sama sekali kalau dia begitu mempunyai makna yang dalam bagimu?
Bagaimana rasanya ketika diamnya dia saja sudah bisa mewarnai langit di atasmu, jauh lebih berwarna daripada pelangi ataupun krayon yang dulu pernah dibelikan ibumu sewaktu masih kecil?
Bagaimana rasanya ketika dia menyempatkan waktu luangnya sebentar saja, hanya untuk mendengarkan kamu bercerita tentang kisahmu? Kamu membuat perumpamaan bahwa kamu sedang mencintai orang lain, namun sejatinya orang yang kamu cintai dan yang sedang kamu bahas itu adalah orang yang sedang kamu ajak cerita sekarang?
Bagaimana rasanya ketika dia mengeluhkan sesuatu tentang masalah hidupnya dan dia memilih kamu sebagai teman terdekatnya untuk membantunya menyelesaikan perkara pelik tersebut?
Bagaimana rasanya ketika kamu punya waktu berjalan sejenak bersamanya, namun jarak kalian terasa begitu jauh lantaran hanya kamu yang mencintainya, namun dia belum tentu mencintaimu?
Bagaimana rasanya ketika dia berpaling darimu, memilih orang lain untuk sekedar berbagi cerita dengannya?
Bagaimana rasanya ketika kamu mencoba melupakannya, melupakan segala perih hati namun kenyataan berbicara lain, perasaan itu justru makin menjadi-jadi dan kamu tak tahu harus berbuat apa?
Bagaimana rasanya ketika kamu berusaha melakukan apapun demi dia, namun dia memperhatikanmu hanya sedikit saja, jauh dari harapanmu?
Bagaimana rasanya ketika kamu memiliki teman dekat, sahabat, adik, belahan hati, belahan jiwa, musuh terbesar, gebetan, calon pendamping hidupmu, sahabat paling geje, teman paling menyebalkan, rekan paling dono, dan semuanya itu ada pada orang yang sama?
Sometimes the feelings you really mean are found in the letters which you write and never send.



Same Bright Sky



Ditinggal teman mudik itu memang sesuatu.
Sesuatu yang amat ‘kering’, biasanya kamar ramai, guyonan ga kenal arah dan waktu, asal ngomong tanpa perlu ada rambu-rambu yang mengaturnya, asal nyeplos tanpa perlu berpikir apakah yang akan kita bahas nanti memang perlu dibicarakan atau tidak, asal riuh dan cenderung ke arah geje alias ga jelas, benar-benar kutemukan ramai dan indahnya hidup di pesantren. Jujur, aku agak merasa kurang fit dengan teman-teman sekamarku. Namun itu bukan berarti aku tak menyukai mereka. Mereka adalah anak-anak yang baik, yang doyan bercanda juga. Hanya saja, porsi bercanda mereka kok terkesan kaya dibuat-buat, sengaja rame biar ga garing, eh ujung-ujungnya garing beneran. Terlebih, beberapa dari mereka sepertinya memang ga niat belajar hidup bermasyarakat. Belajar bagaimana berinteraksi antarmanusia dalam satu atap, berkomunikasi sewajarnya tanpa terasa imitasi, guyon seguyon-guyonnya tanpa merasa canggung dan semuanya itu kok belum kutemukan feel-nya di kamarku sendiri. Sehingga, tak heran jika di kamarku banyak orang namun terasa sepi seperti kuburan. Yang satu sibuk main ponsel, yang satu sibuk baca buku, yang satu sibuk main laptop, yang satu sibuk berkirim pesan singkat dengan orang yang jauh di sana, yang satu sibuk memperhatikan mereka semua dan sampailah pada kesimpulan awal kalau teman-teman sekamarku seolah kenal tapi tak kenal. Apalah itu namanya...
Sehingga, untuk mencari pelarian menuju ladang kehebohan, akhirnya aku sering transmigran ke kamar sebelah. Kamar Utsman, kamar yang 99% terdiri dari anak baru. Awalnya canggung abis memasuki kamar paling luas dibanding kamar-kamar lainnya itu. Namun, apa kata dunia kalau aku tak bisa mulai komunikasi dengan orang-orang baru lengkap dengan karakter mereka yang baru pula? Perlahan-lahan, aku mulai mengenal mereka satu per satu. Anak yang berinisial S, namanya yang singkat terdiri dari satu suku kata menyebabkannya jadi bahan ledekan. Biasanya teman-teman yang lain menambahkan nama cewek di belakangnya. Hasilnya, si empunya nama tak terima dan gejol-gejol seperti anak kecil yang lolipop-nya direbut sama teman-temannya yang nakal. Dia anaknya lucu, pintar ngebanyol dan ahli dalam urusan perempuan. Aku hampir tak mengira kalau anak berwajah pas-pasan itu nyatanya telah melanglang buana dalam hal mencari perempuan. Sudah tak terhitung lagi korban keganasan makhluk berwajah boros ini. Tak habis pikir aku dibuatnya.
Selain dia, aku juga punya sahabat dekat berinisial H, anak berlogat bandek ini memang tak begitu menonjol dibanding tersangka utama yang kubahas barusan. Namun kita langsung mempunyai kedekatan hubungan (hadeh bahasanya) sebab persamaan karakter bahasa di antara kita. Bersama dia dan teman-teman lain, kita seringkali mencetuskan olahraga pagi setidaknya seminggu sekali. Pertama, lari-lari pagi hingga GOR Satria, GOR terbesar di Purwokerto, jogging hingga Baturraden, hingga rencana untuk berenang ke KR Langen Tirta, meski aku menolak keras ajakan terakhir ini lantaran aku tak bisa berenang. Anak penggemar futsal ini juga banyak fans-nya. Jujur aku iri dibuatnya, bagaimana anak sekalem itu memiliki fans yang bejibun. Ketika kutanyai apa rahasianya, dia njawab, aku juga tak ngerti bagaimana bisa seperti itu. Benar kata orang kalau inner beauty ini tidak bisa diciptakan, namun muncul dengan sendirinya sehingga menyebabkan orang lain terpesona dengan kebaikan yang tak tampak itu. Di sinilah hebatnya dia.
Ada pula teman baruku berinisial I dan U, mereka berdua fasih dalam mengaji. Sebab keduanya pernah mondok sebelumnya, setidaknya pernah mengenyam pendidikan agama di sekolah, di pesantren atau di rumah mereka masing-masing. R, anak penggila jejaring sosial yang menyebabkan dia nyerempet jadi anak yang anti-sosial, L kecil-keci cabe rawit, IK yang selera humornya selalu ditabrakkan dengan kartun-kartun seperti Rindamen, bahkan aku sendiri tak tahu kartun macam apa itu, IB yang lelucon garingnya hanya bisa disamai dengan kerupuk yang dijual di warung depan dekat jalan raya, UC anak paling subur di antara teman-teman yang lain dan itu berarti dia paling gasik ngoroknya setiap malam dan E, anak berwajah arab namun berbahasa ngapak, ngapak kental sekental-kentalnya. Ada juga T anak pendiam abis, mungkin dia ditakdirkan sebagai kaum Adam sejati, yang tak banyak bicara dan tak banyak cngcong, hanya menjawab jika ditanya dan hanya tersenyum jika diusilin. Maha besar Allah yang telah menciptakan anak sependiam itu. Dan masih banyak lagi anak-anak yang belum kusebutkan lengkap dengan karakter khas mereka.
Menjelang Hari Raya Idul Adha, mereka pulang satu per satu. Ah, rasanya belum terbiasa menyaksikan kamar yang saban harinya penuh sesak seperti tenda pengungsian bencana alam, kini menjadi kamar yang sepi, melompong tak berpenghuni. Tak ada lagi keramaian di dalamnya yang menjadi penyebab utama kami sering kena tegur pengurus lantaran suara candaan kami yang kelewat keras hingga mendekati larut malam. Semoga saja ini tak berlangsung lama.
When you know your friends are miles away,
Remember that you still see the same bright sun, the clear night sky, the same moon, the same sparkling stars with them.

Senin, 22 Oktober 2012

Dancing With A Broken Heart



Terkadang apa yang perlu kita lakukan hanyalah menyetel musik di ponsel atau notebook kita. Lebih diprivasikan dengan memasang headset dan hanya mendengarkan lantunannya seorang diri. Kita mendengarkan lagu kesukaan kita tanpa perlu dicampuri oleh orang lain. Akan lebih menyenangkan lagi ketika kita pergi ke suatu tempat, tanpa diketahui seorang pun di dunia ini. Di tengah areal persawahan, kita berdiam diri di dangau tua. Hanya musik yang menenangkan kita.
Musik, semua orang pasti menyukainya. Semua orang pasti memiliki lagu favorit meski itu hanya berjumlah satu. Entah bahasa dari lagu itu dipahami atau tidak, yang jelas musik adalah sebuah bentuk pelarian dari sebagian orang yang sudah lelah menghadapi cobaan hidup. Musik berbicara lebih banyak cerita yang bisa memperkaya wawasan kita, musik lebih banyak memiliki daya sembuh yang luar biasa jika kita sedang terluka, musik yang memberikan semacam hiburan tanpa perlu kita melanglang jauh meninggalkan rumah kita dan musik menyediakan tempat pelarian yang belum tentu ada duanya di dunia ini.
Bagaimana tentang sebuah lagu dari Delta Goodrem, penyanyi asal Australia yang berjudul Dancing With A Broken Heart?
Tahukah kamu siapa Delta Goodrem? Di Youtube, penyanyi dari benua selatan ini kerap mendapat cacian kalau dia underrated singer, penyanyi yang tak begitu terkenal. Terbukti dari jumlah view videonya di Youtube yang jarang menyentuh angka hingga satu juta view. Namun aku akan marah jika ada orang-orang yang menganggapnya penyanyi tak profesional, tak terkenal, kalah telak dengan Celine Dion atau Shakira, lagu-lagunya underwanted, penjualan keping CD-nya flopped alias gagal secara finansial. Tahu apa mereka soal Delta?
Diakui atau tidak, penyanyi yang tak begitu terkenal biasanya memiliki lagu-lagu yang membangkitkan semangat bagi siapapun yang mendengarkannya. Terutama lagu andalannya yang dijadikan hits dari albumnya. Simaklah lirik di bawah ini:

Dancing With A Broken Heart
Held my breath as the last wave pulled me under, under.
What doesn’t kill you makes you so much stronger, stronger.
Can you feel this pain,
Rushing through these veins,
Driving me insane,
But I won’t break.

I won’t look back tonight,
This is the time of my life,
Underneath these stars,
I’m dancing with a broken heart.
Fight fire with fire,
The truth to a liar,
I’m going higher,
I'm Dancing with a broken heart.

I’m gonna bury all the past that sinks me under, under.
I’m gonna make a storm from lightning and thunder, thunder.
I won’t let dogs lie,
In the peace and quiet,
Moving on to another time.

I won’t look back tonight,
This is the time of my life,
Underneath these stars,
I’m dancing with a broken heart.
Fight fire with fire,
The truth to a liar,
I’m going higher,
I'm Dancing with a broken heart.

Can you feel this pain,
Rushing through these veins,
Driving me insane,
But I won’t break.

I won’t look back tonight,
This is the time of my life,
Underneath these stars,
I’m dancing with a broken heart.
Fight fire with fire,
The truth to a liar,
I’m going higher,
I'm Dancing with a broken heart.

Jujur, lagu ini memang menjadi national anthemku saat ini. Hahaha... untuk apa terpuruk lantaran gagal mempertahankan cinta. Aih, apaan itu cinta? Tai kucing ya tetep tai kucing, tak mungkin berubah menjadi cokelat hanya karena cinta. Cinta tak akan merubah apapun yang tak bernilai menjadi bernilai ekonomis tinggi. Tapi, aku jadi ingat, cinta tak bersalah. Yup, cinta tak pernah bersalah, dalam perkara apapun. Cinta tak pernah membohongi, tapi manusialah yang melakukannya. Cinta tak pernah mengkhianati, namun manusialah yang melakukannya. Cinta tak pernah menyakiti, namun manusialah yang melakukannya. Cinta tak pernah mengecewakan, namun manusialah yang melakukannya.
Apapun itu soal cinta, aku tetap percaya bahwa berdansa meski hati sedang remuk redam dibuatnya, bisa membuat hatiku merasa lebih baik. Aku akan tetap berdansa agar kehidupan ini tidak terus kelabu hanya karena seseorang. Masih ada langit luas secemerlang kristal yang harus aku lihat tanpa harus terhalang awan gelap yang bernama cinta –atau lebih tepatnya orang yang mengatasnamakan cinta saat mencoba menghancurkan hatiku, (Idiiih...).
Ah sudahlah aku tak ingin menggombal lagi soal apapun, aku akan tetap mendengarkan musik. Dari sinilah aku menemukan obat yang tak semua orang bisa memberikannya untukku.

Minggu, 21 Oktober 2012

Hypopituitarism



Maybe i now suffer for hypopituitarism.

The feeling is torturing me because i never let someone love somebody else.

My stained-heart is keeping in rush to warn them not to fall in love.

I’m worried they will turn around from my warning and break it all away.

I’m restless if secretly they sent message for somebody else to share their careness.

I’m not used to feel comfortable if reality ain’t going like i want to.

Although i’ve been trying to scream out to myself that they are none for me.

I keep on telling to myself that they have wider freedom than my perspective.

But, this feeling makes me hurt myself, probably my hypopituitarism’s getting worse day for day

Bright Sky



What happens when the one who broke your heart, is the same person with the one who mends it?
It’s awkward moment when i have to tell this, but this just the way it is. I almost disbelieved it really went out of my control, out of my hope and out of imagination. How someone drove me shattered into pieces carelessly, and the next day they drive me full-charged-person. I felt like whole of the world pushing me down right at my head, none here to save me, even just woke me up from the worst nightmare, sparkled me up with splashing water to aware me up while saying this wasn’t the end of everything. Even i still remembered what occured last night. I got plan to talk to none, all seemed so disgusting, all were annoying due to someone’s act (they no care about this), all i did just spent my time in front of my notebook, accompanied with a glass of tea, no talking, no discussing, no hope to ameliorate that night to be better than it was. One song was overplayed where it sounded, “You make me this way”, whilst blaming somebody out there (which is said) had made me like this. But in the reality, they did nothing, they didn’t break our promise, they did something good like it should be, but me, i was the one who drew storm on my own night. What a moron i was!
Did you know, they were notified that everything wasn’t alright. I posted something explaining three points done while heartbroken’s coming, first no opening Facebook for undefined time, second, eating chocolate ice cream, three, sleep early, good night! And they responsed like this matter should really be cared :D Honestly, i didn’t mean to blame them, place them into uncomfortable zone as punishment from me treated bad. But what i wrote last night, what i spoke out last night, what i raged for last night, all coming out from my deepest. Right from the bottom, with all-stained-heart. Felt like it can never be healed. But, again and again, i got it all wrong. The one who broke me, is the same person with the one who cures me tenderly. The smile, the tease, the speech, the care, the message, all are healing words none even knows they are for me. Let me go laughing, rolling floor saying wow if necessary, i feel like the sky this afternoon coming even brighter than i hoped last night.


Sabtu, 20 Oktober 2012

God's Plan



God always does the things right.

He’s never too early, never too late.

He answers the prayer of ours.

If not, that’s the way of his to say ‘wrong direction’.

And I do believe, God always has plan, the best plan for all of us.

Including why He sent somebody to our life.

Although He doesn’t give an answer of our question.

Someday, He will let us know why He did.

....



Punya urusan apa mereka mengatur hidupku? Hidupku ya hidupku, aku punya kuasa penuh untuk mewarnai, mengendalikan dan mengatur hidupku tanpa perlu memikirkan bagaimana orang lain menilaiku. Toh, selama aku tak melanggar norma agama dan masyarakat, tak ada alasan untukku agar tunduk pada penilaian orang. Aku akan mengatakan apa saja, akan bertindak apa saja, termasuk menuliskan apa saja, sedikit pun aku tak terpengaruh dengan apa kata mereka.

Lagi-lagi soal cinta. Aku juga tak tahu mengapa semuanya terasa begitu subjektif ketika dibenturkan dengan urusan cinta, soal hati dan soal perasaan. Mungkin aku memang ditakdirkan sebagai laki-laki yang perasa. Ah apalah itu istilahnya. Sedikit aku jatuh cinta, sedikit aku merasa ada kesesuaian antara aku dengan seseorang, sedikit aku dibuat bahagia hanya dengan sedikit tindakan yang semua orang menganggapnya itu biasa saja, sedikit aku terbuka matanya kalau dia bukanlah orang biasa, orang yang tiba-tiba mengubah hidupku melalui cara yang tak kuduga sebelumnya, sedikit saja aku dikecewakan meskipun ia tak menyadari itu, sedikit saja ia berubah tak seperti ia dulu lagi, sedikit saja dia tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya, sedikit saja dia tak lagi bersinar sebagaimana biasanya dan kini penuh tanda tanya, sedikit saja semuanya keluar dari jalurnya. Tak lagi berada di lintasan rel seperti harapanku. Orang Purwokerto bilang, ‘mbebeih’, sebuah istilah yang aku sendiri kesulitan menemukan padanannya dalam Bahasa Indonesia. Apapun menjadi tak menyenangkan seperti di awal. Ketika aku berjalan di sebuah jalan setapak dengan sisi persawahan, aku melihat rumput-rumput menaruh cemburu pada serangga-serangga. Serangga-serangga menyimpan dendam kepada hewan melata seperti cacing dan semut. Semut menyampaikan dendam kesumat pada manusia yang menginjaknya. Manusia melaknati pepohonan yang tetap saja meranggas di awal musim penghujan, pohon tak tahu diri dan tak tahu musim. Pepohonan menaruh curiga pada gunung-gunung yang dipenuhi tanaman yang menghijau. Gunung-gunung memarahi dataran rendah yang kian panas setiap harinya. Dataran rendah memaki-maki atmosfer dan udara di bumi yang tak kunjung bersahabat. Hewan-hewan yang ditakdirkan berpasangan menyumpahi hawa panas bumi yang membuat mereka kesulitan bertahan hidup. Alam kacau balau, pun begitu denganku. Aku sedang tak menemukan ketenangan hidup di dunia ini.

Dan ini memang jadi tradisiku selama bertahun-tahun. Setiap kali aku merasa tak enak hati, aku selalu berlari ke depan laptop untuk membeberkan segala keunekan hatiku, yang tak semua orang mau mendengarkannya, yang tak semua orang mau memberikan saran terhadapnya, yang tak semua orang mau menyempatkan waktunya sejenak hanya untuk mendengarkan hatiku berbicara meski sebentar saja, yang tak semua orang mau melakukan apa yang telah aku lakukan ketika mereka memintaku untuk memberi mereka saran di saat mereka sedang dihadapkan masalah. Dipikir-pikir, mungkin di sinilah keanehan diriku jika dibandingkan teman-teman laki-lakiku yang lain. Jika mereka bisa dengan mudahnya menceritakan kisah cinta mereka kepada sahabatnya, itu tak semudah membalikkan telapak tangan bagiku. Selalu ada halangan bagiku untuk memberitahu apa yang sedang terjadi. Kalau pun aku memberitahu mereka kalau aku sedang bermasalah, biasanya aku akan membentak mereka untuk tidak terlalu mencampuri urusanku (bagaimana bisa mencampuri urusanku kalau akar permasalahannya saja mereka tak tahu. Aku memang sudah gila. Sinting stadium akhir).

Sungguh, malam ini aku sedang tak enak hati. Bukan karena ini malam Minggu, bukan karena aku sendiri. Juga bukan karena aku baru saja terlibat perang mulut dengan seseorang. Tidak, bukan perkara itu. Tahukah kamu, bahwa semua perasaan dan semua kejujuran dari hati seseorang yang tertulis secara gamblang di atas kertas, namun pada akhirnya orang itu tak mengirimkan surat itu kepada orang yang ia tuju. Ia membiarkan surat itu usang dimakan waktu, lebur dihancurkan hewan pemakan remah-remah dan tetap tak terkirim sampai ajalnya sekalipun. Aku tak akan mengibaratkan diriku sendiri berada di posisi penulis surat yang malang itu. Hanya saja, sedikit banyak aku bisa memposisikan diriku sendiri seperti halnya orang yang kudeskripsikan di atas.

Kesendirianku di kamar hanya ditemani lagunya Michelle Branch, This Way. Sebuah lagu country yang tak pernah masuk ke dalam jajaran tangga lagu internasional. Tapi aku suka sekali lagu ini, sebab musik country tradisional, terlepas dari Branch memang punya darah Indonesia juga. Akhir-akhir ini, aku sering memutar lagu ini, baik di laptopku atau di playlist ponselku. Lantaran, lagu ini lebih banyak bercerita tentang sesuatu yang mulutku sendiri tak bisa menceritakan.

Yesterday



rasanya, baru kemarin kamu bersinar bersama terbitnya matahari di ufuk timur.
rasanya, baru kemarin kamu mengajak sekawanan burung-burung untuk memeriahkan pagi kita.
rasanya, baru kemarin kamu mengundang peri-peri langit untuk mewarnai seluruh bunga di muka bumi.
rasanya, baru kemarin kamu meniupkan semilir angin, menerbangkan serbuk sari dan dandelion-dandelion halus ke penjuru dunia.
rasanya, baru kemarin kamu mewarnai langit biru muda, dengan segenap harap dan semangat, untukku seorang.
rasanya, baru kemarin kamu mulai menuliskan kalimat pertama di buku kehidupanku.
rasanya, baru kemarin aku melihatmu tersenyum dan mulai bercerita tentang kehidupanmu yang selalu menarik bagiku.
rasanya, baru kemarin kamu mencerahkan langit malam dengan gemerlap bintangmu yang tak pernah redup.
rasanya, baru kemarin kamu menjadi aurora yang menerangi sisi gelap utara dan selatan.
rasanya, baru kemarin kamu mendentingkan gitar untuk mengiringi sepinya hidupku.
rasanya, baru kemarin kamu menyanyikan lagu masa kecil kita untuk mengingatkan betapa bahagianya kita dulu.
setelah itu semua, salahkah aku untuk berharap tentang hari kemarin agar terulang lagi?
kenangan yang selalu tetap, tak berubah dan statis. tak seperti orang yang ada di dalam kenangan itu.

Selasa, 16 Oktober 2012

Tentang Langit Purwokerto di Malam Hari



Menatap langit merah bisa jadi sesuatu yang menyenangkan bagiku. Menyenangkan sekaligus menyimpan kebisuan. Tentang sebuah hari, yang tak sembarang orang bisa merasakan keindahannya. Tentang sebuah cerita yang tak semua orang bisa mengetahuinya dan menjadikannya sebagai pengalaman.

Tiap malam tiba, aku seringkali menyeduh segelas teh melati untuk menemaniku menghabiskan malam. Duduk di sebuah tempat, menyendiri, jauh dari keramaian dan gelap. Aku selalu terpaku dengan langit selatan yang selalu berwarna merah di malam hari. Aku hanya menemukan fenomena ini di sini, tentang langit Purwokerto di malam hari. Sering aku bertanya-tanya, ada apa dengan kejadian ini. Tak seorang pun memberitahuku. Tak seorang pun bertanya-tanya, atau sekedar mengajakku berbicara untuk memecahkan misteri alam yang telah terjadi selama bertahun-tahun.

Aku hanya diam. Bersanding dengan gelas berisi air keemasan yang mengepulkan aroma melati. Kunikmati kesendirian. Tak berbagi sebab tak ada yang diajak berbagi. Dengan segala kesunyian, aku masih terus mencari tahu, mengapa langit di sini berbeda dengan langit di kota kelahiranku.

Kurasa cerita ini hanya menjadi milikku sepenuhnya. Sampai kapanpun.

This Way



I don't know how long it's been going on

I don't know how long colors were changing to gray

It's kinda funny that I act this way

I don't know how long you've been holding on

I don't know how long everything's been my fault

It's getting easier to take the blame

It's getting easier to try and change

Too many times I have told you

That I was okay

But I'm finally feeling like I can explain myself

I'm not claiming that I know everything

No I'm not

Because you made me this way

I don't know how long I can justify

I'm tired of making up reasons you're not on my side

And I would never talk to her that way

No I would never talk to her that way

Too many times I have told you

That I was okay

But I'm finally feeling like I can explain myself

I'm not claiming that I know everything

No I'm not

Because you made me this way

You made me this way

I don't know how long it's been going on



Disappointment


Aku sedang ingin menertawakan diriku sendiri!

Stupid! Moron! Silly!

Aku yang suka sekali membaca beratus-ratus kata bijak.

Aku yang suka sekali mengklik opsi favorit di Twitter pada twit yang bagus dan bermakna dalam.

Aku yang suka sekali menghafal beberapa kata bijak.

Kemudian menyisipkan kata-kata itu di setiap percakapan dengan temanku agar aku kelihatan bijak.

Naif memang kedengarannya.

Aku yang suka sekali dengan berbagai macam wiseword dalam bahasa Inggris dan secara perlahan menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia, kemudian aku terpana dengan arti kalimat itu. Mengapa orang barat bisa sebijak itu?

Aku mencoba untuk menuliskannya kembali di setiap pesan pendek, lalu kukirimkan kepada teman-temanku agar mereka bisa ikut membaca apa yang sudah kubaca dan kuresapi.

Namun semuanya ternyata hanya teori belaka.

Teori sampah yang patutnya dibakar agar tak memperparah polusi tanah.

Teori yang membuat siapapun jengah karena tak ada implementasi terhadapnya.

Teori yang hanya membuat bijak sementara, namun pada akhirnya mereka tahu siapa sebenarnya.

Teori yang hanya berkutat pada itu-itu saja, tulisan, mati dan tak bernyawa tanpa dipraktekkan.

Ternyata aku hanya makan teori selama ini.

Aku benci itu, aku benci diriku sendiri, aku tak suka dengan semua ini.

Malam ini aku baru menyadari, baru menyadari dengan kesadaran dengan tingkat sadar sadar-sadarnya (tak perlulah kamu mengkoreksi kalimatku yang bergenre menyangatkan ini!)

Aku tak akan makan kata bijak lagi. Makan itu semua biar habis sekalian!

Kata bijak hanya seperti bedak yang luntur ketika tersentuh air.

Ketika hanya menempel dan meninggalkan kesan indah di permukaan.

Tak meresap ke dalam hati.

Makan itu make up agar hatimu cantik, seperti wajahmu!

Benar, benar, benar, berharap kepada selain Tuhan hanya akan berakhir dengan kekecewaan.

Senin, 15 Oktober 2012

Go RED


Sebutan alay maupun ababil mungkin langsung disematkan bagi siapapun yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan cinta. Dikit-dikit cinta, senggol sana cinta, senggol sini cinta, cinta yang konon membuat tai kucing serasa keju. Semua hal yang menyedihkan berubah menjadi menyenangkan dalam sekejap mata, jika semuanya bermuara dengan cinta. Biarpun kere tapi tetap oke kalau cinta nimbrung di dalamnya. Biar jelek tapi tetap pede asalkan dalam hatinya bergaung satu kata bermakna cinta. Cinta yang bermakna universal bisa membuat satu insan mabuk kepayang dibuatnya. Cinta tanpa takaran dan terkadang melaju secepat truk gandeng naas sebab rem blong. Membuat bunga perdu seolah mawar yang tumbuh liar di tepi jalan. Sedrastis itukah?

Aku punya sahabat. Kami sudah berteman sejak SMP. Dia dan aku memiliki banyak persamaan. (Jangan dikira gara-gara persamaan itu lalu kami jatuh cinta, membabi buta, sejadi-jadinya, nangis dan ketawa bareng, dunia serasa berdua yang lain cuma ngekos dan bayar uang bulanan. Kalau ini mah sinetron Indonesia banget. Tayangan tak bermutu yang jumlah episodenya mencengangkan itu). Dia pernah diwawancarai oleh staf majalah sekolah SMA-ku waktu itu. Sebab dia adalah salah satu penulis atau lebih tepatnya orang yang rajin mengirimkan tulisan ke majalah sekolah dan hasil karyanya kerap dimuat di sana. Pertanyaan pamungkas dalam wawancara itu adalah tema cerita apa yang sering digunakannya dalam memaparkan idenya ke dalam bentuk tulisan. Secara jujur, sesuai dengan umur kita, dia menjawab cinta dan persahabatan adalah tema umum dan langganan menjadi sumber inspirasi tiada batas baginya. Bagaimana dari sudut pandang laki-laki, semuanya berawal dari persahabatan dan diakhiri dengan cinta. Sedangkan dari sudut pandang perempuan, semuanya berawal dari cinta dan diakhiri dengan persahabatan.

Aku jadi teringat wiseword Damnitstrue! Dalam akun resminya di Twitter, dia pernah menulis, “Most relationships fail not because of absence of love; but because girls love too much and boys love too many” (Kebanyakan sebuah hubungan cinta gagal bukan karena ketidakhadiran cinta, namun lebih karena para perempuan terlalu mencintai (dalam hati) dan para lelaki mencintai terlalu banyak (perempuan). Silahkan telaah sendiri ‘kata bijak’ di atas. Tapi setidaknya, semua cerita cinta yang disodorkan, baik melalui media elektronik ataupun cetak, tak jauh-jauh amat berputar-putar soal permasalahan ini. Biarlah, mereka yang selalu cari aman dalam menggambarkan cinta itu seperti apa. Dangkal, monoton dan tak berani beranjak dari keitu-ituan saja.
Nah, berangkat dari kebosanan itu, (bagaimana ga bosan ketika semua tulisanku bertema cinta, sedikit persahabatan di dalamnya dan sangat sangat jarang menyentuh tema humanisme apalagi kritik sosial), aku akhirnya punya ide untuk menulis cerita dalam bentuk novel. Barangkali bisa disebut sembrono kalau menyebut itu novel, tebalnya sekira hanya 140 halaman dan kutulis dalam jangka waktu kurang dari sebulan. Dalam kurun waktu segitu, aku berkutat menceritakan kisah cinta yang ‘tak wajar’, bermain tema dan jenis deskriptif yang kerap menyerempet dengan gaya kepenulisan Andrea Hirata.

Tak etis rasanya jika aku membeberkan latar belakang mengapa aku membuat novel ini. Pastinya, aku menulis karena aku memang merasa perlu untuk menulisnya. Sebab aku tak ingin membiarkan momen indah berlalu begitu saja, sehingga terlupakan tanpa ada kenangan sedikit pun (cmiiiuw....). perkara isi tulisan, lebih tak etis pula jika aku membongkarnya sekalian di sini. Tak bakalan ada greget, tak bakalan ada sesuatu yang wah sebab semuanya sudah dibahas sebelumnya.

Dilihat dari segi judul, sederhana saja, satu suku kata dan tiga huruf. RED. Itulah judul novelku. Jujur aku terinspirasi dari judul album terbaru Taylor Swift yang juga bernama Red. Merah yang menggambarkan keberanian dalam menantang arus dan tak takut dalam mengungkapkan sesuatu yang telah menggelora dalam dada (hiperbolis maknyaaaak!). Sejak pembuatan RED ini, sudah terpikirkan sebelumnya kalau cerita ini tak akan selesai ditulis dalam satu buku saja. Bisa jenuh penulis dan pembaca dibuatnya. Makanya sudah kurencanakan aku akan membuat serangkaian novel yang jalan ceritanya masih berkaitan satu sama lain namun dalam buku fisik yang berbeda. Orang intelek menyebutnya dwilogi, trilogi atau tetralogi. Untuk perencanaan jangka dekat, aku akan menuliskan cerita aneh ini dalam bentuk trilogi. Semuanya masih berjudul soal warna, warna yang mewakili isi dari novel itu. Celakanya, jangan secara sederhana dan dangkal kalau dalam novel pertamaku aku suka warna merah, novel keduaku aku ganti warna baju jadi warna biru dan novel terakhir dari serangkaian trilogi aku menutup kisah cinta dengan memakai baju kuning. Apaan itu? :D

Sayangnya lagi, aku tak akan mempublikasikan novel ‘warna’ itu ke media online seperti blog atau email. Lebih nyaman kali ya kalau kalian yang meminta langsung kepadaku. Nanti kalian punya kuasa penuh sebagai tim penilai untuk novel ketigaku itu.
Go RED!

Minggu, 07 Oktober 2012

Burning Red



Loving her is like driving a new Maserati down a dead-end street
Faster than the wind, passionate as sin ended so suddenly
Loving her is like trying to change your mind once you're already flying through the free fall
Like the colors in autumn, so bright just before they lose it all

Losing her was blue like I've never known
Missing her was dark grey all alone
Forgetting her was like trying to know somebody you never met
But loving her was red
Loving her was red

Touching her was like realizing all you ever wanted was right there in front of you
Memorizing her was as easy as knowing all the words to your old favorite song
Fighting with her was like trying to solve a crossword and realizing there's no right answer
Regretting her was like wishing you never found out that love could be that strong

Losing her was blue like I've never known
Missing her was dark grey all alone
Forgetting her was like trying to know somebody you never met
But loving her was red
Oh red
Burning red

Remembering her comes in flashbacks and echoes
Tell myself it's time now, gotta let go
But moving on from her is impossible
When I still see it all in my head
Burning red
Loving her was red

Oh losing her was blue like I've never known
Missing her was dark grey all alone
Forgetting her was like trying to know somebody you never met
'Cause loving her was red
Yeah, yeah red
We're burning red

11-11-11

Sebuah cerita menyenangkan yang kutulis di hari yang sama saat merasa kecapekan luar biasa sepulang dari tempat tujuan, Tegal. Kumulai kisah ini dari tujuan mengapa ekspedisi malam ini diadakan. Salah seorang alumni santri putri Al Amin bernama Ismi Noviyanti menyelenggarakan akad dan resepsi pernikahan di tanggal cantik 11-11-11. Perjalanan sehari menuju rumahnya di Talang, Tegal, dimulai ba’da Maghrib. Setelah melalui prosesi saling tunggu menunggu yang konon paling menyebalkan di seluruh penjuru dunia, kami berangkat berdua belas melewati lereng Slamet yang terkenal dingin dan berkabut. Di perjalanan, banyak sekali kejadian aneh yang kujumpai. Tak kurang dari empat kali aku dan Agus mencium bau bunga di tengah perjalanan yang sepi dan minus lampu penerangan. Belum lagi melewati hutan berkali-kali yang membuat nyaliku menciut. Bukan karena takut gelap, hawanya itu, sulit kujelaskan dengan kata-kata. Ibarat kamu datang ke tempat baru yang belum pernah kamu kenal, seperti halnya banyak pasang mata yang menatapmu dengan tatapan sangar. Kurang lebih seperti itu yang kurasakan malam itu. Menyeramkan sekali, bukan? Namun itu tak menyurutkan semangat kita untuk sampai secepatnya di tempat tujuan.
Kita sampai pukul setengah sepuluh malam. Waktu itu, acara belum sepenuhnya selesai. Masih ada penampilan dari grup rebana dari STAIN Purwokerto yang ikut meramaikan prosesi pernikahan sahabat lamaku itu. Tahukah kamu? Vokalis utama putra grup tersebut yang bernama Mas Yayat sebenarnya pernah mengikat hubungan khusus dengan si Ismi. Kini, perempuan berkulit cerah itu malah berdampingan dengan pria tetangga desanya, bukan dengan dirinya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Mas Yayat saat menyaksikan sang mantan berdampingan dengan pria lain di hadapannya sekaligus ia harus menyanyikan lagu-lagu sholawat untuk mereka berdua. Menyakitkan sekali.
Sepulang dari rumah Ismi, kita menyempatkan diri mampir di rumahnya Aini sebentar, dan perjalanan malam kami berakhir di jalur pantura. Aku kaget sekali saat melihat sebuah jembatan yang dibawahnya mengalir sungai besar (yang belakangan kuketahui kalau itu adalah muara), dan beberapa meter ke utara lagi adalah Laut Jawa yang nampak biru misterius diterangi sinar bulan. Jauh di arah utara, nampak kilatan petir yang mengindikasikan di arah sana sedang dilanda hujan lebat. Setelah melewati jalur pantura bersama bus-bus dan truk besar, kami belok arah menuju Warureja. Melewati daerah perkebunan bawang merah dan tebu. Jalan berkelok berakhir di rumah Agus Tegal. Kita bermalam di situ.
Keesokan harinya, kami menuntaskan perjalanan ke rumahnya Mas Umam di Kedungpring, Pemalang. Tak kunyana, rumahnya berada di puncak pegunungan. Suasana yang identik dengan hawa dingin plus musik alam yang didominasi oleh suara tenggeret, hewan yang bentuknya mirip belalang dengan suara mendesing. Suka sekali aku dengan keadaan alamiah seperti ini. Di sana, kita dijamu luar biasa. Makan besar dengan lauk mie instan lengkap dengan jengkol dan pete, sekaligus diakhiri dengan minuman khas pedesaan sesuai dengan pesananku, es kelapa muda. Itupun dibuat dua macam. Baskom pertama es kelapa muda dengan menggunakan gula jawa merah, yang kedua es kelapa muda dengan rasa strawberry. Aneh bukan?
Tak sampai di sini, aku, Agus Tegal, Widhi, Andi, Mas Umam, Toni, Udin, Ahal, Gus Kholil bermain ke bendungan yang letaknya jauh dari rumah Mas Umam. Kita mandi di sana disertai dengan hujan lebat. Anehnya, di saat aliran sungai mana pun berwarna keruh, sungai tempat kita mandi tetap mengalirkan air bening. Sebening air sungai di musim kemarau. Ini yang aku herankan. Kita berteriak-teriak kegirangan seperti orang yang masa kecilnya kurang bahagia. Melompat dan menceburkan diri di aliran bendungan. Belajar berenang seperti aku hingga menyaksikan sarung yang dipakai Toni lepas karena derasnya aliran sungai. Sepulangnya dari mandi di bendungan, kami nekat basah-basahan dengan percikan air hujan yang amat sakit mengenai wajah. Peduli setan soal puluhan pasang mata manusia yang menatap kami dengan pandangan aneh, kami hanya menikmati apa yang jarang-jarang terjadi semacam ini.
Catatan kecil soal perjalanan ke Tegal tanggal 11-11-2011 sampai 12-11-2011, di perjalanan kami menjumpai gunung Gajah. Kata Agus, itu bukanlah gunung secara definisi sebenarnya melainkan sebuah bongkahan batu raksasa yang berbentuk persegi panjang. Entah bagaimana ceritanya bentuk batu semacam itu dianalogikan sebagai bentuk gajah.
Satu lagi, kami melewati sebuah tempat angker nan keramat yang sering menjadi buah bibir bagi masyarakat sekitar Randu Dongkal (Randu Dongkal berarti pohon randu/ pohon kapuk yang roboh). Sebuah jalan raya yang diapit dengan dua pohon randu raksasa berbunga ungu. Padahal, pohon randu biasanya berbunga putih, namun bunga di kedua pohon ini malah berwarna berbeda dari randu kebanyakan. Keanehan tak hanya berhenti sampai di sini. Menurut kabar yang beredar, kalau ada orang yang melewati tempat ini seorang diri pada malam-malam tertentu, maka ia akan ditampaki seekor ular besar yang merupakan penjelmaan dari salah satu dari kedua pohon tersebut. Siapapun yang pernah melewati tempat itu, pasti mempunyai bekal cerita menyeramkan seputar pohon raksasa tersebut.
Selebihnya, rasa cape yang ditutup dengan mie ayam di Padamara terbayar sudah. Setidaknya, uang yang kukeluarkan tidak sebanding dengan pengalaman yang kudapat melalui penjajakan tanah utara Jawa.

What If

Kamu membantuku peletakan batu pertama dan menyiapkan segala doa untuk keselamatan kita bersama. Kamu membantuku membangun tembok dan atap dengan segala keikhlasan. Kamu membantuku mewarnai tembok rumah kita dengan segala kecerahan auramu. Kamu membantuku mengatur kursi, meja dan menata lampu dengan cahayamu. Dan tak hanya berhenti di situ... Kamu membantuku menanam bunga, segala macam warna, segala macam rupa dan segala macam aroma. Kamu membantuku menyiraminya agar mereka tetap tumbuh seperti harapan kita. Kamu membantuku memotongi daun-daun keringnya agar kecantikan mereka tak tertutup oleh kelayuan hidup. Kamu membantuku memupuk mereka dengan segenap kebaikan hati supaya mereka bisa mengharumkan rumah kita, tak hanya sekarang namun sampai esok hari jua. Dan tak hanya berhenti di situ... Kamu meletakkan lampion di depan rumah kita agar setiap orang tahu ada kehidupan dan kehangatan di rumah kita. Kamu membantuku menyapu halaman rumah kita dengan kekuatanmu dan sedikit pun tak meminta pamrih. Kamu membantuku membuang kerikil-kerikil tajam agar siapapun tak terluka karenanya. Kamu membantuku tetap tersenyum, baik di dalam maupun di luar rumah yang kita bangun bersama itu, agar membuktikan kepada setiap orang bahwa kebahagiaan akan selalu menaungi kebersamaan kita sampai kapan pun. Dan tak hanya berhenti di situ... Ketika suatu hari kamu lupa memotong dedaunan kering di antara bunga-bunga itu. Ketika suatu hari kamu lupa menyalakan lampion itu. Dan ketika suatu hari kamu memintaku untuk melakukan semua itu seorang diri. Tanpa bantuanmu, tanpa cahayamu, tanpa kebaikan hatimu dan tanpa senyum darimu. Lalu, bagaimana aku harus melupakanmu ketika kamu memberiku terlalu banyak kenangan bagiku untuk terus diingat?

Fatimah dan Seikat Rumput Kering

1 Kotak Bersuara Sudah tidak terhitung lagi berapa kali aku membuka dan menutup laci meja belajarku. Tentu saja semua ini aku lakukan secara diam diam. Jangan sampai nenek mengetahui apa yang aku lakukan. Apalagi hingga mengetahui apa yang ada di dalam laci penuh rahasia itu. Ya, sebuah laci yang menjadi tempat favoritku menyembunyikan segala sesuatu yang kuingin hanya aku dan Tuhan yang tahu. Banyak hal yang sengaja aku sembunyikan di sana dengan harapan nenek tak mengetahuinya. Mulai dari kertas ulangan yang selalu saja jeblok –terutama untuk pelajaran Matematika-, surat-surat persahabatanku dengan teman-teman sekelas, mobil-mobilan yang diam-diam kubeli dengan uang jajanku, sebuah sisir dan kaca serta sesuatu yang pasti akan membuat nenek marah kalau sampai tahu ada barang tersebut di laciku. Jangan kau katakan hal ini kepada siapapun ya, sobat. Untuk mengisi tempat tersebut, aku rela melanggar perjanjianku dengan nenek. Perjanjian antara manusia beda generasi ini tiba-tiba menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk kulanggar. Padahal hati nuraniku sudah berteriak dengan suara yang melengking agar aku jangan sampai melanggarnya. Namun, setan yang katanya dibelenggu di bulan suci ini, ternyata lebih ampuh godaannya untuk membuatku menjadi sahabatnya pada hari ini. Aku menatap meja belajar triplekku yang berwarna biru laut. Meja itu sungguh hebat desainnya. Di sebelah kiri meja, ada sebuah ruangan khusus yang tingginya hampir menyamaiku. Saking tinggi dan besarnya, seluruh baju dan celana koleksiku muat bila disimpan di situ. Bahkan, kalau aku adalah buronan penjahat kelas satu di negeri ini atas tindak pidana korupsi, aku pasti diselamatkan oleh meja belajar kesayanganku ini. Di sisi luar tempat penyimpanan busanaku itu, ada gambar jerapah dan kucing sedang bermain bersama di sebuah taman penuh bunga. Entah apa yang dipikir oleh si pembuat gambar tersebut hingga memilih dua hewan beda spesies itu untuk menjadi penghias sisi luar lemari. Di depan meja tulis, terdapat rak buku dua tingkat. Sungguh aku memuji kelihaian si pembuat meja belajar ini karena ia benar-benar mengetahui apa yang aku suka dan yang tak kusuka. Di rak tingkat pertama, berjejer buku pelajaran favoritku, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, Atlas, Kesenian dan sebuah buku gambar yang hampir habis masa jabatannya. Sengaja aku meletakkan buku-buku favoritku itu di rak yang mudah diraih tanganku karena memang aku sering berinteraksi dengan mereka. Tak hanya dibaca atau sekedar dibuka tanpa maksud yang jelas. Saking gandrungnya aku dengan deretan rak pertama, hingga membuatku hampir kelihatan seperti orang sinting. Mengelus buku demi buku seolah buku-buku itu adalah harta berharga yang telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman penghuni rak buku kedua. Tahukah kamu apa yang ada di rak buku kedua? Di sana, bertenggerlah buku tulis Matematika, foto kopian rumus Logaritma dan Trigonometri, buku paket Matematika, buku tulis Matematika pinjaman dari teman sebangku yang belum sempat kukembalikan, buku khusus coret-coretan rumus Matematika, buku strimin, dan semua hal yang berkaitan dengan Matematika. Anehnya, koleksi buku dengan judul Matematika tersebut jumlahnya jauh lebih banyak dari rak kedua yang nampak renggang. Di sebelah kanan rak dua tingkat, ada sebuah rak buku tertutup. Di bagian luarnya, ada gambar seekor angsa kecil yang sedang duduk sendirian di pinggir kolam. Dilihat dari raut mukanya, angsa itu nampak gembira dan sedikitpun tak ada garis wajah yang mencerminkan kesedihan meski ia hidup sebatang kara. Rupanya sang pelukis sedang menggambarkan bahwa kesendirian tak selamanya menyedihkan. Atau kalau tidak demikian, penempatan gambar angsa gembira tersebut dimaksudkan agar meja belajar ini laris di pasaran. Kalau hari ini sebuah meja belajar diletakkan pada barisan paling depan di toko furnitur, maka keesokan harinya ada seorang bapak baik hati terpikat untuk membelikan anaknya sebuah meja belajar agar si anak semakin bersemangat belajarnya. Kebetulan bapak yang baik hati itu adalah bapakku. Lagipula, kalau misalkan hewan itu tidak tersenyum, siapa orang yang mau membeli barang yang bergambar hewan yang sedang bermuram durja? Lagi lagi aku tak paham mengapa si pembuat lemari berarsitektur lengkap ini memilih hewan dua dunia ini untuk ditempatkan di situ. Bukankah gajah mini seperti Bona lebih lucu dan lebih memikat anak-anak seusiaku? Di dalam rak yang bergambar multitafsir itu, terdapat buku-buku bekas tahun lalu. Sebagian besar tulisan tangan di buku-buku itu masih ditulis dengan pensil dan sangat kacau bentuknya. Dua kali lebih parah daripada tulisanku sekarang yang sudah mengalami peningkatan, baik dari segi susunan huruf demi huruf maupun diksi yang dipakai. Di bawah tempat tersebut, ada sebuah rak berukuran sedang untuk menempatkan pensil, pulpen dan crayon. Terakhir, sebuah laci penuh rahasia itu. Laci dengan pengaman sebuah gembok membuatku sadar bahwa di situlah tempat teraman sedunia untuk menyembunyikan seluruh rahasiaku. Termasuk surat panggilan yang seharusnya dikirimkan oleh pihak sekolah untuk nenek. Kusembunyikan dengan aman di situ. Aku lihat laci itu sekali lagi. Di dalam tempat yang kugembok itu, mereka pasti sedang meledekku habis-habisan agar aku segera membuka gembok dan mengambil satu, dua atau tiga buah dari mereka. Ejekan yang paling parah datang dari bungkus snack rasa jagung bakar. Biarpun demikian, cokelat pasta, permen karet, minuman rasa jeruk segar dan apel hijau, kerupuk rasa udang dan emping pedas, semuanya bahu membahu menggodaku. Tak berperikemanusiaan sekali. Mereka rupanya tahu kelemahanku di bulan puasa yang panas ini. Kudengar mereka tertawa terkekeh-kekeh melihatku tersiksa sejak 3 jam yang lalu. Perutku serasa dipelintir, krucuk-krucuk tidak karuan. Meminta segera diisi apapun itu, yang penting segar dan mengenyangkan. Pikiranku sudah tidak terfokus lagi dengan ibadah tambahan, apapun itu bentuknya. Setiap kali nenek mengingatkanku untuk nderes1 sebelum dan setelah sholat fardhu, aku selalu saja pura-pura pusing atau mual agar terhindar dari proyek pahala berlipat itu. Tak hanya itu, aku selalu berpose tertidur tengkurap dengan buku Matematika terbuka di tanganku. Sekedar menggambarkan betapa kerasnya usahaku untuk berdamai dengan pelajaran tersadis yang pernah ada dalam mata pelajaran sekolah. Melihatku dengan posisi demikian, nenek pasti tak sampai hati menyuruhku belajar membaca kitab terjemah Ta’Lim Muta’allim yang semuanya tertulis dengan huruf Arab itu. Beliau hanya akan membangunkanku untuk menunaikan sholat Ashar, tanpa diikuti ibadah lainnya. Terdengar licik memang. Asal tahu saja, model penipuan kelas teri ini kupelajari dari sinetron yang kerap ditonton olehku di rumah tetangga setelah sholat Ashar. Pantas saja, nenek selalu naik pitam saat aku meminta ijin untuk pergi ke tetangga untuk sekedar menonton televisi. Bervariasi alasan yang aku utarakan, nenek pasti tidak menyetujuinya. Lebih baik bermainlah sambil menunggu maghrib di lapangan balai desa, daripada menonton kotak bersuara itu. Kotak bersuara adalah istilah yang dipakai nenek untuk menyebut televisi. Godaan dari balik laci itu datang semakin kuat. Iklan-iklan di televisi soal makanan dan minuman favoritku mendadak berhamburan di otakku. Mulai dari yang harus dicelupkan di susu, snack yang kriuk kriuk rasa kentang goreng, cokelat pasta dan keripik rumput laut. 1 Membaca Al Quran Semuanya berteriak-teriak minta dibebaskan dari bungkus menarik yang telah sekian lama membelenggu mereka. Hampir meledak kepalaku dibuatnya. “Lihat, itu akibat kebanyakan nonton kotak bersuara!” hardik nenekku kemarin. Aku hanya bisa mengulum ujung jariku mendengar reaksi nenek saat aku meminta uang jajan kepada beliau. Tak ada receh yang diberikan nenek. Tanganku kosong, sama seperti saat sebelum aku meminta nenek untuk membelikanku wafer stick. Akhirnya, aku berjalan ke ruang depan untuk duduk di sebuah kursi malas peninggalan kakek. Merenungi keinginanku yang tinggal harapan kosong. Langkahku gontai. Kulirik dari balik jendela. Sebuah jalan desa yang lengang sejak jam delapan pagi tadi. Hatiku terkekeh, pasti penduduk desa sini sedang mengalami penderitaan yang sama sepertiku. Kelimpungan di atas kasur dengan mata yang setiap menit tertuju ke arah jam dinding. Namun, aku tidak sedramatis mereka. Aku hanya duduk di dekat jendela kaca yang kotor berdebu. Memandangi pepohonan yang sama menderitanya sepertiku. Musim kemarau mendera desa kami dua bulan lebih lama daripada biasanya. Setelah kucocokkan dengan data di Atlas kolom musim-musim di dunia, memang benar musim kemarau ingin bertegur sapa dengan Ramadhan tahun ini. Mereka berdua pasti gembira karena berhasil reuni setelah bertahun-tahun berpisah. Tak sadar kegembiraan mereka berdampak besar pada kaum seperti kami. Sungguh mengharukan. Setan-setan di dalam laci itu sudah tidak berteriak lagi. Mungkin mereka baru saja diseret oleh para malaikat untuk kembali ke habitat di neraka. Bukankah tempat yang layak bagi mereka hanyalah di sana? Senang hatiku mendengar kabar mereka diperlakukan demikian, dirantai dan dicambuki oleh para punggawa Tuhan. Rasakan itu! “Nek, aku main sebentar” teriakku. “Mau main ke mana?” suara nenek terdengar dari balik kamar. “Ke depan sebentar, nek” Nenek tidak menjawab. Itu artinya, aku harus menunggu nenek menjawab. Kalau aku nekat kabur saat ini juga, siap siap kepulanganku nanti disambut nenek dengan meriah. Saking meriahnya, sampai nenek mengeluarkan senjata andalannya untuk mengajari cucunya yang tak tahu sopan santun. “Ke depan itu mana? Jalan? Lapangan balai desa? Atau menyambangi kotak bersuara itu lagi?” sosok nenek muncul dari balik kordin kamarnya, beliau membenahi kerudungnya. “Lapangan balai desa, nek. Tadi sebelum pulang sekolah, aku dan teman-teman janjian akan bermain di sana” kataku mantap. Nenekku mengangguk. Itu artinya, separuh ijin sudah kukantongi. “Boleh” kata nenek sambil tersenyum. Aku pun bergegas keluar rumah. “Tapi ingat, bukan untuk mendatangi kotak bersuara” kata nenek dengan nada keras. Aku mengangguk. Bukan main gembiranya hatiku. Kuekspresikan gembiraku dengan berlari dan melompat setinggi beberapa senti dari permukaan tanah. Mendapat ijin dari nenek seperti mendengar vonis bebas bagi seorang narapidana. Bebas. Tiba-tiba dadaku bergemuruh. Sebelum kakiku melangkah keluar rumah, tiba-tiba aku teringat kata-kata kakek sewaktu beliau masih hidup dulu. “Tidakkah kamu mendengar rantai pembelenggu setan itu terlepas saat kamu akan melakukan pelanggaran?” kata kakek. “Yang melepas siapa, kek?” tanyaku lugu. “Ya kamu sendiri” jawab kakek sederhana. Suaranya berat dan penuh wibawa. “Tapi aku masih kecil, kek. Sama setan saja aku takut. Masa aku sudah berani melepas belenggu mereka?” Kakek hanya tersenyum. 2 Kompetisi Sinar matahari sore ini terasa masih panas. Padahal, sholat Asharku sudah berlalu setengah jam yang lalu. Barangkali ini adalah keistimewaan musim kemarau. Tidak ada hujan, tidak ada awan, tidak ada mendung, sedangkan sinar matahari melimpah ruah tak terbendung lagi. Aku sudah bersumpah pada diriku sendiri, aku tak akan lari menuju lapangan balai desa. Cukup berjalan kaki, terkadang hanya dengan berjalan saja semua energiku serasa dikuras habis oleh panasnya udara. Kuusap peluh yang mengalir di keningku. Baru berjalan beberapa meter saja, tubuhku mulai lemas. Hampir sama seperti aku tak berdaya setelah sekian lama mengikuti upacara bendera. Cepat-cepat kuambil kesimpulan, pantas saja tak ada seorang pun berani berjalan di jalan desa yang kering nan tandus ini. Pepohonan meranggas, dedaunan bertebaran dan dipermainkan angin timur, rumput-rumput telah kehilangan hijaunya, hewan-hewan tanah hidup enggan mati pun tak mau, suara burung sudah lama tak terdengar lagi, semuanya sunyi senyap. Musim kemaraulah dalangnya. Untuk sampai ke lapangan balai desa, aku harus menelusuri jalan desa sejauh 15 menit perjalanan cepat. Waktu akan bertambah lama sebanyak dua kali lipat kalau jalanku lambat seperti ini. Kalau sudah menjumpai pohon jati bercabang dua tumbuh di sisi kanan jalan, maka aku harus belok ke kiri. Mengambil jalan tikus agar nanti tak perlu memutar jauh melewati rumah Pak Kadir terlebih dahulu sebelum sampai ke tempat tujuan. Tak jauh dari simpang dua dengan pohon jati sebagai maskotnya, aku akan melewati sebuah parit kecil dengan jembatan kayu seadanya. Parit ini sangat unik, bisa mendatangkan bencana sekaligus berkah sekaligus. Di kala musim hujan, surplus air parit itu selalu melebihi kuota. Tak ayal, rumah-rumah sekitarnya akan sibuk tak berperi karenanya. Air parit yang keruh dengan bebasnya menerobos masuk rumah dan mengubah tanah pijakan menjadi berlumpur. Hewan-hewan air dengan mudahnya ditemukan dalam keadaan menggelepar di sekitar rumah. Ikan, lele dan bangkai anak ayam menjadi harta karun dadakan saat parit selebar 2 meter itu sedang murka. Mudah saja ditebak, si pemilik ikan, lele dan peternakan ayam itu tak lain adalah Mbah Haji yang rumahnya di ujung desa. Rumahnya dan kandang piaraannya memang berdampingan dengan parit. Kalau hujan lebat datang dan Mbah Haji serta istrinya terlambat mengevakuasi hewan piaraan tersebut, bisa dipastikan desaku meraup untung lumayan besar. Kalau sudah begitu, biasanya tak ada reaksi apapun dari pihak Mbah Haji. Beliau berdalil, mungkin selama ini kurang bershodaqoh. Sehingga Tuhan membagi-bagikan hartanya dengan cara demikian. Sekali lagi, Mbah Haji tak bereaksi keras atas insiden itu. Sungguh beruntung penduduk desa punya seorang yang dermawan seperti Mbah Haji. Meski dermawan dalam situasi yang kurang mengenakkan seperti itu. Keadaan berbalik 180 derajat kalau musim kemarau. Tak ada air, tak ada ikan apalagi lele. Yang ada hanyalah anak ayam dan biangnya, mengais-ngais makanan yang siapa tahu diselipkan Tuhan di sela-sela rekahan tanah. Aku bisa melihat wajah ayam-ayam sangat memelas. Kalaupun si biang memperoleh makanan, tentu saja ia tak tega melihat anak-anaknya terus mematuki tanah yang kerasnya minta ampun dengan paruhnya yang masih lunak. Ia akan memberikan rejeki hasil temuannya itu untuk keempat anaknya. Dia sendiri, kutebak dia akan berpuasa. Lega hatiku. Setidaknya ada temanku yang sama-sama sedang berpuasa. Meskipun ia bukan dari golongan manusia. Setelah melewati parit mengering itu, tibalah aku di gang sempit sebelum sampai di lapangan balai desa. Rumah di samping kanan kiri gang itu kuhitung ada tujuh rumah. Semuanya berhimpit-himpitan, sepertinya si pemilik ketujuh rumah tersebut memiliki hubungan kekeluargaan. Setiap kali melewati tempat itu, ada saja suara-suara yang membuatku sekedar ingin berhenti sejenak untuk menaruh perhatian kepadanya. Pernah ada suara seorang kakek yang marah-marah karena channel radio dangdut favoritnya diganti oleh cucunya yang suka lagu-lagu barat. Suara ibu-ibu bergosip soal pohon jati bercabang dua yang daunnya bisa mendatangkan awet muda. Senandung yang dilantunkan anak laki-laki seumuranku yang fasih membaca Al Quran (ini sungguh membuatku iri). Kali ini, suara yang tak asing lagi bagiku. Langkahku berhenti di salah satu rumah paling ujung. Rumah sederhana itu berdindingkan batu bata yang dicat merah. Ada sebuah jendela terbuka tak berkordin yang membuat suara apapun dari dalamnya mudah didengar dari luar. Kulongok dari luar, ada seorang anak kecil sedang menonton kotak bersuara. Duduknya tenang, tak bergeming. Ia sedang menonton film kartun buatan Amerika. Seekor kucing yang dari sejak aku menontonnya dua tahun yang lalu sampai sekarang, ia tak pernah berhasil menangkap dan memangsa seekor tikus buruannya. Selalu saja begitu. Namun tayangan itu berhasil membuat anak kecil tersebut tertawa dengan suara khasnya. Orang Jawa bilang cempreng. Aku sendiri tak berminat menonton tayangan itu, yang kutunggu adalah iklan komersial favoritku. Iklan tersebut pasti akan muncul setelah film pendek soal kucing dan tikus itu selesai. Aku terdiam di depan jendela. Dari kejauhan, tampak seperti maling yang sedang menginvestigasi calon rumah korban. Kutunggu datangnya iklan komersil favoritku. Seorang anak kecil yang membuka dua belah biskuit dan mencelupkan salah satu bagiannya ke dalam segelas susu. Dalam bayanganku, jangankan memakan biskuit itu, minum susu adalah sebuah ritual yang amat sakral bagiku. Ibarat ritual malam Jumat Kliwon yang kutonton adalah film horor, kebiasaan tersebut hanya kulakukan sebulan sekali. Yaitu kalau nenek berhasil menjual satu tandan pisang dengan keuntungan yang bisa untuk dibelikan sebungkus susu bubuk. Kalau musim kemarau seperti ini melanda, hancurlah harapanku untuk dapat menikmati segelas susu seperti yang kutonton itu. Kalau aku terus merengek, nenek sudah punya kalimat ampuh untuk membungkamku. “Lihat, itu akibat terlalu sering menonton kotak bersuara!” Iklan favoritku ternyata tak muncul. Sedangkan episode kedua perseteruan kucing dan tikus sudah mulai. Kuputuskan untuk meninggalkan tempat itu. Berjalan beberapa meter lagi, sampailah aku di lapangan balai desa. Sebuah lapangan sepak bola dengan gawang lapuk di sisi utara dan selatan. Di sebelah baratnya adalah kantor balai desa. Sedangkan di sisi timur adalah hutan bambu. Jika kita terus menelusuri hutan itu, maka akan sampai di hutan yang sesungguhnya. Luasnya tak terkira, mungkin bisa lima kali lipat ukuran desa kami. Pohon-pohonnya sangat lebat. Lumut dan tumbuhan paku tumbuh di mana-mana sebagai identitas alamiah hutan hujan tropis. Tapi itu tinggal sejarah. Kemarau hebat saat ini telah melayukan vegetasi hutan hingga meninggalkan pohon-pohon besar saja yang sanggup bertahan melawan musim yang ekstrim. Hutan yang dianggap keramat oleh penduduk desa kini tak ubahnya seperti pekarangan rumah dengan sistem tanam acak. Penduduk tak takut lagi bertandang ke tempat itu. Hutan desa kami sudah berubah total. Tak menyeramkan lagi seperti dulu. Seperti halnya harimau yang baru telah kehilangan taringnya. Dari kejauhan, kudengar teman-temanku berteriak kegirangan. Mereka tengah memberi semangat rekannya yang sedang belajar bermain sebuah permainan baru. Permainan ini menggunakan batang bambu dengan panjang kurang lebih 2 meter, tempat berpijak kaki sekitar 50 cm dari tanah dengan lebar 20 cm. Cara memainkannya sangat sederhana, yaitu dengan berjalan dengan benda tersebut dari satu sisi lapangan ke sisi lainnya, kemudian kembali ke garis start awal. Orang yang paling cepat dan tidak terjatuh, maka dialah pemenangnya. Tahukah kamu permainan apa itu? Ya, egrang. Egrang adalah salah satu tradisi musiman di desa kami. Biasanya, anak-anak seusia kami ramai memainkan permainan yang mengandalkan keseimbangan tubuh ini di lapangan. Gelak tawa dan sorak sorai membuat prosesi menunggu buka puasa menjadi tak membosankan lagi. “Hamid, ayo kemari” teriak salah seorang temanku, Sarah. Aku mengangguk dan berlari kecil menuju ke arah mereka. “Bagaimana puasamu?” tanya Sarah. “Ah, paling puasa bedug lagi” sela Jamil tiba-tiba. Jamil adalah salah satu teman sekelasku. Meskipun dia anak yang rupawan, kata-kata yang keluar dari mulutnya seringkali pedas. Sepedas komentator dalam kompetisi pencarian bakat menyanyi yang mengatakan si calon penyanyi tak becus menyanyikan sebuah lagu. “Tak masalah puasa bedug. Yang penting ‘kan ikhlas” kataku membela diri. Jamil dan Ihsan tertawa kecil. Sedangkan Sarah tersenyum simpul. Sangat jelas mana yang mengejek dan mana yang menghargai. “Mau coba egrang ga, Mid?” tanya Farhan menawarkan egrang yang ada di tangannya. Aku menggeleng. Sebuah penolakan sebelum mencoba. Seperti mundur sebelum maju medan perang atau kabur dari sekolah sebelum mengerjakan ujian akhir. Semuanya bermotif sama. Tapi anehnya aku tak ingin disebut pengecut. “Jangan aku dulu. Aku belum bisa sama sekali” kataku membela diri. “Ya ini kesempatan kamu mencoba” kata Farhan menimpali. Jamil dan Ihsan terkekeh melihat air mukaku yang ragu bukan kepalang. “Biarkan aku melihat caramu bermain. Akan kupelajari dulu melalui visual. Setelah kupahami secara kognitif, akan kucoba kemampuan motorikku” kataku berdiplomasi. Kulihat Jamil dan Ihsan. Mereka berdua saling berpandangan, saling tanya dan jawab lalu sama-sama menggelengkan kepala. Mengakui secara halus bahwa mereka tak tahu maksud kata-kataku tadi. Kulihat Farhan juga berpikir keras menerjemahkan istilah-istilah asing yang baru saja kuucapkan tadi. Ia melihat ke arah langit, mencari bocoran jawaban yang siapa tahu Tuhan menurunkan wahyu untuknya sore ini. Persis seperti waktu di kelas, ia selalu memandangi langit-langit kelas saat guru Geografi menanyakan apa ibu kota negara Filipina. Tanpa banyak bicara, Farhan mengangguk. Rupanya ia tetap tak mengetahui makna kalimatku, tapi aku tahu dia cukup cerdas bahwa kata-kata sulitku tadi adalah sebuah penolakan verbal. Ia lalu naik kepijakan kaki di egrang sebelah kanan, lalu yang sebelah kiri. Susah payah dia menaikinya. Dengus napasnya seolah mewakili isi hatinya yang mengeluh, seharusnya pembuat egrang sudah mengukur tinggi badannya. Atau kalau tidak, si pembeli egrang sudah menaksir, egrang setinggi itu pas tidak jika dimainkan oleh anak 9 tahun seperti dia. Namun, tetap saja temanku itu bersemangat memainkannya di sore ini. Sederhana saja alasannya, benda itu adalah hadiah dari ayahnya karena Farhan berhasil memperoleh nilai 85 pada ulangan harian Matematika kemarin. Mendapatkan nilai setinggi itu bukanlah perkara mudah bagi orang desa seperti kami. Yang terlanjur menerapkan sisi horor pada mata pelajaran hitung menghitung itu, bahkan sejak pertama kali melihat covernya. Covernya saja sudah menampilkan akar kuadrat dan sin cos tan sebagai ciri khas mata pelajaran temuan Al Jabar itu. Memperoleh nilai setinggi itu bisa pula pencapaian tertinggi dalam hidupnya. Karena sudah gampang ditebak. Setelah mendapatkan nilai itu, maka nilai ulangan Matematika selanjutnya akan kembali ke semula. Antara 20 hingga 60. Jika melebihi 60, pasti keberuntungan sedang berpihak padanya. Kalau sang guru tak salah koreksi, pasti ada soal yang dianulir. Selalu saja begitu. Farhan telah berdiri tegak dengan egrangnya bersama kedua temannya, Imam dan Umayah. Ketiganya sedang sibuk menjaga keseimbangan badan sebelum memulai kompetisi berjalan hingga ujung timur lapangan. “Siaaap?” teriak Burhan sambil mengibarkan bendera yang tak jelas lagi warnanya. “Satu…dua…tigaaa” bendera di angkat ke atas. Ketiganya mulai berjalan perlahan sebelum mulai mempercepat ritme gerakan egrang yang mereka naiki. Farhan yang mulai terbiasa dengan egrang kesayangannya itu. Imam mulai khawatir dengan kesehatan egrangnya. Setiap kali benda itu diajak berlari sedikit kencang, seolah anak 8 tahun itu mendengar teriakan dan makian yang terlontar dari bambu tersebut. Suara bambu yang sudah saatnya pensiun namun tetap dipaksa terus bekerja, kamu bisa membayangkan bagaimana mengerikannya suara itu. Sedangkan Umayah, dialah satu-satunya perempuan yang pandai mempercantik egrangnya. Bagian atas egrangnya, terdapat kain berwarna merah jambu yang dililitkan hingga tempat pegangan tangan. Bagian atas egrang diberi rumbai rumbai warna warni dari tali rafia, mirip seperti yang dimiliki para cheerleader di pertandingan basket di sekolah-sekolah perkotaan. Saking cantiknya egrang itu, sampai-sampai Umayah keberatan jika harus meminjamkan benda kesayangannya itu. Bahkan kepada teman terbaiknya sendiri. “Ayo, Farhan… Lebih cepat lagi” teriak Sarah. “Mam, jangan mau kalah dengan Umayah” teriak Jamil tak mau kalah. “Jangan berisik kau” teriak Umayah dari arena perlombaan. Ketiganya semakin mempercepat laju egrangnya. Tak peduli bunyi bambu tua terdengar di sana sini. Gemeretak bahkan hingga retak sudah tak lagi dihiraukan. Semuanya ingin menjadi yang tercepat dalam kompetisi ini. Meski aku tahu tak ada hadiah yang disediakan untuk pemenang. Namun, entah mengapa mereka bertiga semangat seperti sedang mengusir penjajah. Farhan dan Umayah mulai mendekati garis finish, sedangkan Imam tertinggal beberapa meter di belakang. Hatiku sungguh iba melihat keadaannya. Aku tahu, ia pasti sedang memprediksi egrang yang ia naiki sudah minta pensiun sejak minggu lalu. Namun dipaksanya tetap bekerja demi mengikuti kompetisi dalam rangka ngabuburit sore hari ini. Egrang itu tampak mencak mencak. Pijakannya tak mantap seperti dulu kala. Apalagi kalau tuannya terlanjur memilih jalan yang tak rata, semakin hebat batang bambu itu bergoyang. Sialnya, Imam tak melihat bahwa di depannya ada batu sebesar bola kasti di depannya. Matanya sudah dihantui kalau dia sudah jauh tertinggal dengan kedua temannya. Itu berarti dia akan kalah. Telinganya dikacaukan dengan sorakan sahabat-sahabatnya sendiri yang sedang menyemangatinya. Namanya dipanggil puluhan kali membuatnya panik. Ia tak sanggup lagi menjaga keseimbangan dan braak… anak berkulit cokelat itu menangis seketika. Teriakannya melengking seperti anak ayam yang dipisahkan dari induknya. Dia mengusap-usap lututnya. Batu itu pasti mencelakakannya dua kali, menghancurkan pijakan kaki pada egrang dan melumat lututnya hingga berdarah-darah. Sarah dan Umayah dengan sigap datang untuk menghiburnya, sedangkan Jamil, Ihsan dan aku hanya menontonnya. Bukan contoh sahabat yang baik. Berbeda dengan Farhan. Dia justru berlari ke arah pinggir lapangan. Kami bertanya-tanya, apa yang akan dia lakukan. Dengan sigap ia mencari pohon pisang yang paling besar. Setelah yakin dengan pohon sasarannya, ia berusaha menarik serabut yang menyelimuti batang pohonnya. Agak kesulitan bocah sekecil itu untuk mengambil serabut yang menyatu dengan pohonnya dengan kuat. Setelah berhasil mendapatkannya, ia berlari kembali ke arah kita. Segera ia membebatkan serabut pohon pisang itu pada lutut Imam yang terluka. “Itu ‘kan kotor, Farhan” kata Sarah. “Yang penting darahnya berhenti. Ini pertolongan pertama pada luka, terutama luka sampai mengeluarkan darah” jawab Farhan. “Tapi, luka itu perlu…” “Biarkan saja calon dokter yang bekerja” kata Jamil. Sarah bungkam. Kata-katanya kalah pamor dengan kenyataan bahwa Farhan nampak lebih lihai dalam menangani luka. Luka butuh pengobatan, bukan kata-kata belaka. Seperti rakyat yang sekarat menunggu pembuktian janji pemerintah atau ormas-ormas yang berhasil menduduki kursi pemerintah di ibu kota sana. Mereka lelah dan kesakitan menunggu datangnya pengobatan, tapi orang-orang besar sana justru menabur garam di luka-luka rakyat kecil seperti kami. “Bagaimana rasanya?” tanya Farhan. Mata Imam masih merah. Namun air matanya tidak sederas tadi. Emosinya mulai meredam. “Ti..tidak seperih tadi” jawab Imam dengan terbata-bata. “Alhamdulillah, semoga lukamu cepat sembuh ya” kata Farhan. “Terima kasih, teman” kata Imam. Senyumnya tiba-tiba menghiasi bibirnya. Sedikit lebih baik dibanding saat ia menjerit kesakitan tadi. Farhan hanya menjawabnya dengan anggukan. Seolah ia telah belajar bagaimana menjawab sebuah ucapan terima kasih dengan cara yang bersahaja. Sebuah anggukan tanpa banyak kata-kata, salah satu ciri eksekutif muda perkotaan. Rupanya ia telah mempelajari gaya hidup perkotaan yang positif. Satu hal yang perlu kamu tahu, dia adalah kutu buku dalam kelompok kami. Apapun yang tidak kami ketahui, ia pasti sudah mencuri start terlebih dahulu. Saat kami baru hafal bilangan dari satu sampai lima puluh, ia sudah melampaui satu hingga dua ratus. Nama ibu kota negara-negara se-Asia Pasifik bagi dia ibarat menghafalkan nama ibu kota propinsi di Indonesia. Oleh sebab itu, tak heran ketika Sarah bertanya… “Bagaimana kamu tahu kalau getah pisang itu mustajab mengobati luka Imam tadi?” Dengan cekatan, Farhan menjawab soal Sarah yang dianggapnya sederhana itu. Sesederhana menghitung 10 + 5 = 15. “Pisang yang digunakan bisa dari jenis apapun karena kandungan getahnya relatif sama. Getah pisang diketahui mengandung tiga unsur yang berguna mempercepat penyembuhan luka, yaitu saponin, flavanoid dan asam karbonat”. Lanjutnya … “Saponin berfungsi meningkatkan pembentukan pembuluh darah baru pada luka sehingga suplai oksigen dan nutrisi lebih banyak. Asam karbonat memperkuat dan mempercepat pertumbuhan jaringan ikat (kolagen) baru. Serta flavanoid memperpendek waktu peradangan yang dapat menghambat penyembuhan luka” jelas Farhan. “Kamu hafal itu semua?” tanya Ihsan terpesona. Saking terpesonanya, kepalanya menggeleng-geleng tak beraturan. “Ilmu itu bukan untuk dihafalkan, tapi dihayati dan dijadikan keyakinan” jawab Farhan. Kami hanya memberikan sinyal paham kepadanya. Meski sebenarnya, kami cocoknya menyampaikan sinyal kebingungan dan sangat membutuhkan penjelasan panjang lebar untuk bisa diterima akal anak seumuran kami. Tapi, tidak ada waktu lagi untuk meminta kalimat-kalimat penjelas darinya. Kasihan dia yang sudah bekerja keras menolong Imam yang sedang dilanda musibah. Lagipula, hari sudah mulai petang. “Sebentar lagi buka puasa” Inilah kalimat yang terus menggema di kepala kita ketika matahari sudah tak segarang tadi. Sinarnya berubah menjadi merah kejinggaan di ufuk barat. Inilah waktunya pulang ke rumah masing-masing sebelum nanti bertemu lagi di langgar2 desa. “Selamat berbuka puasa, sobat”. 2 Musholla kecil 3 Pemenang Itu Jumlahnya Sedikit “Tarawih kali ini pasti tidak ada perkembangan dari sholat tarawih sebelumnya” celetuk Jamil. “Maksudmu?” tanya Ihsan penuh selidik. “Lihat saja, jamaahnya dari hari ke hari semakin menampakkan tanda kemajuan. Maju dalam arti shof-nya makin maju alias jamaah makin sedikit” “Seharusnya sepuluh hari terakhir ini mengalami kemunduran ya, Mil” kataku menyela. “Nah, tumben kamu pintar, Hamid. Kemunduran dalam jumlah shof alias jamaah makin banyak” jawabnya. “Kata pak ustadz, Ramadhan itu ibarat kompetisi lho” kata Farhan sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah kami. Kami serta merta mengarahkan pandangan ke arah bocah berpakaian gamis biru itu. “Kompetisi lari antarumat Islam sedunia” katanya penuh teka-teki. Tanpa sadar, kami membentuk kelompok di belakang para jamaah yang jumlahnya tinggal dua shof. Itu saja mayoritas jamaah adalah orang tua. Sang Imam yaitu Mbah Haji, yang dulu kuceritakan sering kehilangan ikan dan lele saat parit banjir, sedangkan jamaahnya adalah kumpulan ibu-ibu PKK dan bapak-bapak pengajian. Itu-itu saja. Generasi muda hanya bersemangat di minggu-minggu awal Ramadhan. Seiring berjalannya waktu, jumlah mereka makin sedikit. Sampai tak dijumpai lagi golongan pemuda yang antusias menyambut bulan penuh berkah ini. Kalau di saat sholat tarawih sedang berlangsung tiba-tiba terdengar ledakan mercon, itulah ulah generasi mudanya. Pernah suatu ketika si pembuat onar itu dihardik oleh seorang jamaah yang umurnya empat kali lipat lebih banyak dengan si tersangka, namun si pelaku tak mempedulikan teguran itu. Tetap saja, ketika Mbah Haji baru saja mengumandangkan takbir awal sholat, ledakan demi ledakan mercon beruntun. Mulai dari yang ledakannya kecil sejenis mercon rawit sampai yang menimbulkan efek getar luar biasa di jantung. Alih-alih, ukuran mercon dengan daya ledak mematikan itu ternyata seukuran mentimun. Aku pernah melihat benda mahal itu dijual di warung desa secara sembunyi-sembunyi. Jika para pemuda kurang kerjaan itu sedang berlimpah uang, entah diberi orang tua mereka atau mendapatkannya dengan cara yang tak sah, biasanya mercon seukuran Cucumis sativus ini akan menjadi alat andalan mereka untuk merayakan akhir Ramadhan. Kalau sudah begitu, harapanku hanya satu: semua para bapak dan ibu itu tidak ada yang sakit jantung. Itu saja, sangat sederhana, bukan? “Kompetisi lari?” tanya Jamil nampak serius. “Ya… pada sepuluh bulan pertama, banyak umat Islam yang mengikuti kompetisi lari. Mereka semua mendaftar. Mereka juga yakin badan mereka sangat fit untuk mengikuti lomba bergengsi tingkat dunia ini. Dalam hati mereka, mereka bergumam kalau mereka pasti akan memenangi perlombaan ini sekaligus membawa pulang hadiah utamanya. Saat perlombaan berlangsung, antusias mereka tak bisa diukur dengan apapun. Mereka berteriak gembira, bersorak dan mengumandangkan Asma Allah. Memasuki sepuluh hari kedua, sebagian dari mereka sudah ada yang kalah di tengah perjalanan. Mungkin kaki mereka sakit. Kepala mereka pening, perut mereka terasa ngilu jika terus dipaksakan untuk berlari. Atau… mereka sengaja keluar dari kompetisi itu dengan dalih jalur lintasan terlalu jauh untuk ditempuh dan berkerikil. Sehingga membuat kaki mereka lecet bahkan sampai ada yang berdarah-darah. Oleh karena itulah mereka menyerah, tak peduli resiko mereka kehilangan kesempatan emas untuk mendapatkan piala bergengsi itu lagi. Tak peduli mereka akan kehilangan kesempatan ikut kompetisi yang hanya diselenggarakan sekali setahun ini. Juga tak peduli lagi dengan janji-janji yang mereka ucapkan di awal waktu. Mereka sudah melupakannya”. Suasana hening sejenak. Yang tersisa hanyalah suara Mbah Haji yang sedang membaca surat Al Kafiirun. Suaranya sudah tak semerdu dulu lagi. Terbatuk-batuk, dilanda serak bahkan ada kalanya dia lupa urutan ayatnya. Kasihan sekali. “Apalagi sepuluh hari terakhir. Hanya orang yang bertekad kuat serta takut kepada peraturan si Pembuat Kompetisi yang bisa berhasil menjadi pemenang pada kompetisi lari paling bergengsi ini. Mereka yang ikhlas hatinya, mereka yang patuh pada peraturan kompetisi, mereka yang punya kemauan kuat untuk menjadi pribadi yang lebih hebat dan bijaksana setelah mengikuti pertandingan ini, dan mereka yang akan menjadi pribadi yang baru, lebih baik daripada mereka sebelumnya. Merekalah pemenangnya” jelas Farhan sambil menyelonjorkan kakinya di lantai langgar yang dingin. “Jadi, bisa juga kan orang-orang yang sedang beribadah di depan kita ini disebut sebagai calon pemenang dalam kompetisi hebat setahun sekali itu?” tanyaku. “Insya Allah, pemenang itu jumlahnya sedikit. Dan tentu saja mereka yang tidak menyalakan mercon saat ibadah tarawih sedang berlangsung” jawab Farhan mantap. Kami pun tertawa terbahak-bahak. Mengetahui kalau si penyulut mercon adalah orang yang telah kalah bahkan sebelum kompetisi lari itu usai. Kaki mereka belum terluka selama mengikuti pertandingan ini, kepala mereka bahkan dipenuhi rencana langgar mana saja yang akan dijadikan sasaran keganasan mercon mereka, dan perut mereka pasti sakit menahan tawa sebab telah berhasil mengusili para calon pemenang dalam lomba lari itu. Namun, sekali pemenang tetap pemenang dan orang yang kalah sebelum pertandingan usai tak pantas disebut sebagai pemenang. “Ya Allaaaaah… iki bocah-bocah biso anteng opo ora to3?” keluh salah seorang bapak tua dengan raut muka memerah. 3 “Ya Allaaaaah... anak-anak itu bisa tenang tidak sih?” 4 Nenek dan Seikat Rumput Kering Mbah Haji menghadiahi kami jeweran di kuping kanan satu per satu. “Besok telinga kanan dan kiri kalau masih saja membuat keramaian saat tarawih” kata Mbah Haji sambil mengacung-acungkan jari telunjuknya ke arah kami. Wajahnya berubah menjadi seperti detektif yang mengancam para penjahat kecil yang selalu membuat keonaran di tempat ibadah. Kami meringis kesakitan. Namun itu tak berlangsung lama, aku kira Mbah Haji sudah cukup lihai menakar intensitas jeweran agar menimbulkan efek jera untuk anak-anak bandel macam kami, namun tak perlu sampai menyakiti daun telinga kami. Terima kasih, Mbah Haji. Jamaah tarawih pulang ke rumah masing-masing. Tinggal Pak Muslim, Pak Hanafi dan Mbah Haji yang tersisa di dalam masjid. Mereka bertiga adalah petugas abadi pembaca Quran setelah tarawih hingga pukul 10 malam nanti. Aku katakan abadi karena sejak aku lahir hingga sekarang, hanya ketiga orang ini yang secara sukarela menjadi pembaca ayat-ayat Allah setiap malam Ramadhan. Tak ada yang ditambahi maupun dikurangi. Entah mengapa pengurus masjid tidak melakukan regenerasi untuk kegiatan ini. Pernah suatu ketika, Mbah Haji berniat menambah pembaca Quran sejumlah dua orang. Mereka diambil dari penduduk desa ini saja. Pada malam pertama mereka mulai bertugas, yang satu tak mau datang padahal sebelumnya dia menyetujui mandat itu, sedangkan yang satunya datang dengan penuh kebimbangan. Ia nampak ketakutan mendapatkan tugas yang baginya mungkin maha berat itu. Saat bibir bapak itu sudah di depan mic dan Al Quran telah siap dibaca, bergemertaklah gigi-giginya. Saat membaca ayat demi ayat, makhorijul huruf4-nya bertebaran tak karuan. Bacaan tajwidnya barantakan seperti rambut di kepalanya yang kerap digaruk sebagai ekspresi ketidakmampuan yang dipaksaan. Belum satu ‘ain selesai, ia minta ijin untuk ke belakang. Ditunggu-tunggu selama setengah jam berlalu, ia tak kunjung kembali menyelesaikan tugasnya malam itu. Serta malam-malam selan- 4 Tempat keluarnya huruf hijaiyah yang menyebabkan perbedaan bunyi antara satu huruf dengan huruf lainnya. jutnya. Formasi pembaca Quran tetap ketiga bapak-bapak abadi itu. Pernah suatu ketika Pak Hanafi menawarkan pemuda desa untuk menggantikan kedudukannya. Yang muda yang berprestasi, begitulah slogan yang ia kumandangkan dengan harapan suara tuanya didengarkan oleh Mbah Haji. Namun, hanya segelintir pemuda yang bersedia menjabat kedudukan tersebut. Ada seorang pemuda yang bacaan qurannya bagus dan fasih. Dia bersedia menggantikan jabatan Pak Hanafi. Namun itu hanya berjalan sebulan kurang sedikit. Hal itu karena dia menikahi seorang kembang desa dan memilih untuk transmigrasi ke pulau seberang. Menempuh hidup dengan lingkungan yang benar-benar baru. Dengan berat hati, ketiga pembaca abadi ini rela melepaskan mutiara desa yang suaranya bagai buluh perindu itu. “Bagaimana dengan pemuda RT 01, Mbah Haji?” Kudengar Pak Muslim menyuarakan aspirasinya. “Apa njenengan tidak tahu Pak Muslim?” tanya Mbah Haji dengan nada khasnya. Pelan namun tetap berwibawa. Pak Muslim tertegun dan diakhiri dengan gelengan kepala. “Anak-anak muda yang sering bermain mercon di sekitar masjid ya dari RT 01, sedangkan yang suka nongkrong-nongkrong di pinggir jalan desa ya dari RT 02. Saya juga bingung, bagaimana cara menggali potensi muda di desa ini. Serba bingung dan serba repot” kata Mbah Haji. Ketiganya melepas napas yang terdengar berat. Mbah Haji memegangi keningnya. Pak Muslim meletakkan tangan kirinya di depan mulutnya. Sedangkan Pak Hanafi menatap jam dinding masjid. “Pertemuan ini mendiskusikan satu masalah selama kurang lebih dua jam. Namun, jalan keluar dari diskusi selama itu masih satu dan itu-itu saja: kami bertiga masih menjabat sebagai pembaca Quran abadi untuk desa ini selama malam Ramadhan”. Demikian kurang lebih kata-kata yang bergolak di hati Pak Hanafi. “Jangan khawatir, bapak-bapak yang terhormat. Di bulan Ramadhan ini, Allah berjanji akan melipatgandakan amal baik kita. Satu huruf al Quran yang diberi pahala sepuluh amal kebaikan akan dilipatgandakan hingga tujuh puluh kali. Jabatan ini akan membuat kita panen pahala” kata Mbah Haji menghibur. Pak Hanafi dan Pak Muslim tersenyum. Meski senyuman itu terasa sedikit getir. Suara Pak Hanafi berkumandang melalui toa masjid. Nada suaranya mudah dikenali. Kalau pembacaan sebuah ayat belum selesai dan sudah diselingi batuk hingga lebih dari tiga kali, bisa dipastikan dia. Tak heran, dia adalah salah satu penggemar rokok sejak usia masih belia. Kebiasaan ini bahkan terbawa sampai menjabat kedudukan mulia sebagai pembaca kitab suci umat Islam ini. Kami tak jarang tertawa mendengar suaranya yang tiba-tiba terseok dan dibumbui dengan batuk kecil pada akhirnya. Kalau di akhir surat, beliau biasanya mengeluarkan seluruh batuknya selantang-lantangnya dengan harapan batuk-batuk pengganggu itu telah dikeluarkan terlebih dahulu. Agar nanti tak mengacaukan bacaan selanjutnya. Namun, rencananya itu selalu gagal. Bacaan Quran dan batuknya mungkin 3 banding 4. Tragis sekali. “Kamu tidak pulang, Hamid?” tanya Sarah yang masih mengenakan mukena. “Kupikir nanti dulu. Aku masih ingin berkumpul dengan kalian” tukasku. “Tumben kamu ingin bersama kami lebih lama?” tanya Jamil penuh selidik. “Nenekmu pasti sudah menunggumu di rumah” kata Ihsan. “Dengan ikatan rumput maut itu” tambah Umayah. “Sekali salah, satu pukulan rumput maut akan mendarat di lenganmu” sela Farhan. “Ya, kalian sudah menggantikanku dalam menjawab soal yang kalian sudah tahu jawabannya” jawabku lemas. “Tenang saja, itu semua untuk kebaikanmu nanti” kata Farhan menghibur. Teman-temanku mengangguk yakin. Kulihat wajah mereka satu per satu. Mereka semua mendukungku. Betapa beruntungnya aku memiliki sahabat seperti mereka. Kuakui, mengaji dengan nenek adalah salah satu kegiatan yang membuatku canggung untuk selalu mengikutinya. Sebenarnya sederhana saja, hal yang diwajibkan oleh nenek untukku adalah aku harus menghafal Juz ‘Amma. Hal yang mulai rumit adalah aku harus membacanya dengan tajwid yang benar, makhorijul huruf yang pas, tak banyak mengeluh, semangat yang membara dan yang paling berat adalah tidak meringis kesakitan sewaktu nenek memukulkan satu ikat rumput kering ke lengan kananku kalau bacaanku salah. Dari kelima temanku, minus Imam, hanya aku yang pulang ke rumah dengan langkah yang tak bersemangat. Sejujurnya, aku iri dengan mereka. Bagaimana tidak, Farhan, Jamil dan Ihsan sudah berencana untuk memburu burung hantu di hutan samping lapangan balai desa nanti setelah sahur. Kata Farhan, burung yang masuk ordo Strigiformes ini ampuh untuk mengusir tikus yang bebas merdeka berkeliaran di rumah mereka. Setidaknya, memelihara burung hantu –meski terdengar agak ganjil- setidaknya menekan pengeluaran mingguan yaitu pembelian racun tikus atau jebakan tikus yang tidak murah itu. Sedangkan Sarah, perempuan bermata cokelat itu selalu membantu ibunya membuat kue nastar. Mengingat hari raya tinggal hitungan hari lagi. Kalau Umayah, dia pasti sedang menikmati jajan-jajan yang sudah dia kumpulkan sejak Ashar tadi. Langkahku tak mengalami perubahan sama sekali sejak pertama kali menginjakkan kaki keluar masjid. Hingga depan rumah, ritme kaki kanan dan kaki kiri tak mencerminkan semangat anak muda yang sedang memantaskan diri untuk memperoleh kesuksesan di esok hari. Terbayang di benakku, meja yang digunakan mengaji bahkan sampai bergetar mengimbangi kedua tanganku yang gemetar tak terkendali. Suara nenek yang menghentak tiap kali bacaan panjang kubaca pendek atau sebaliknya, sudah lebih dari cukup untuk memutuskan satu urat yang menahan jantungku. Dua kali bentakan koreksi nenek plus gebukan rumput kering tadi, rontoklah jantungku. Salah satu pertanda jantungku rontok adalah meledaknya tangisku. Aku akan menangis dengan suara sekeras-kerasnya. Agar seluruh tetangga tahu, betapa sulitnya untuk bisa membaca Al Quran dengan baik dan benar. “Assalamu’alaikum” Kubuka pintu rumah yang selalu tak terkunci sebelum aku pulang tarawih. Hatiku masih saja berdebar-debar. Meskipun kebiasaan ini sudah berjalan sejak dua tahun belakangan, tetap saja hatiku tak mau mendengarkan perintah mulutku untuk berhenti berdebar seperti ini. Kulihat meja di ruang utama, masih kosong. Hanya ada dua buah Al Quran dan sebuah ikatan rumput kering yang sangat kutakuti, tanpa nenek. “Wa’alaikumsalam” jawab nenek dengan suara lemah. Buru-buru aku berjalan ke kamar nenek. Setelah kubuka kordin warna merah hati, kulihat nenek sedang terbaring lemah di tempat tidurnya. “Nenek sakit?” tanyaku seraya duduk di samping tempat tidur nenek. Nenek menggeleng, tangan kanannya mengatur syal wol agar lebih erat menghangatkan leher beliau. Aku tarik selimut agar menutup badan nenek dengan sempurna. “Hamid, bisa tolong buatkan nenek teh hangat?” pinta nenek. Tanpa banyak pertimbangan, aku menganggukkan kepala. Tanpa pikir panjang lagi aku berlari ke dapur untuk meracik pesanan nenek. Tak ada yang lebih menyedihkan dibanding melihat nenek terbaring lemah di tempat tidur. Mataku mendadak terasa pedih. Jauh lebih pedih daripada waktu lenganku dipukul dengan seikat rumput kering tak bernyawa itu. 5 Alang-Alang Menuju Surga Kumasukkan satu sendok gula pasir dan sejumput teh merah beraroma melati. Lalu kuseduh dengan air panas yang sudah tersedia di termos. Orang Jawa menyebut seduhan ini sebagai teh tubruk. Ini adalah favorit nenek, favoritku juga. Tahukah kamu? Ada sebuah kisah di balik secangkir teh tubruk yang selalu disediakan nenek setiap pagi. Namun kamu pasti sudah bisa membayangkan betapa sakitnya dipukul dengan seikat rumput kering, bukan? Dulu nenek lah yang punya inisiatif untuk menggunakan alang-alang sebagai pengganti sapu lidi kecil ketika mengajarkan anak membaca Al Quran. Tentu saja dengan alasan sapu lidi itu lebih gahar ketika harus memberi pelajaran bagi anak yang salah dalam proses belajar membaca kalimat Arab. Selain itu, benda itu juga bisa menurunkan mental anak bahkan sebelum proses pembelajaran dimulai. Terbayang-bayang lengan kanan kirinya akan dihadiahi memar merah karena beradu dengan lidi-lidi kecil yang sakti, merosotlah keberanian anak. Sehingga, mereka enggan untuk berguru dengan ustadz yang masih menggunakan sapu lidi kecil sebagai pendamping ngaji. Dicarilah tanaman Imperata cylindrica atau dalam bahasa awamnya alang-alang. Nenek mencarinya seorang diri di seberang sungai Tajum, sebuah sungai terbesar di desa kami. Untuk mencapai lokasi itu, beliau harus melewati tiga sawah dan dua ladang. Jangan ditanya soal kondisi jalan. Waktu itu, belum ada program pengaspalan jalan pedesaan. Sehingga kontan saja mau tak mau harus melewati jalan berdebu dan berbatu. Nenek berangkat pukul tujuh pagi untuk mencari rumput keramat itu. Nanti akan kukisahkan mengapa rumput ini disebut sebagai rumput keramat. Di sepanjang perjalanan, nenek menjumpai berbagai macam kendala. Saat melewati ladang jagung pertama, nenek melihat ada angin puting beliung meliuk-liuk seperti ular dari arah tengah ladang. Heran sekali, mengapa ada angin jenis itu di negeri ini. Padahal baru minggu lalu aku menonton film di televisi yang menayangkan bencana angin berputar itu. Berputar-putar sekaligus merusak tatanan tanaman jagung yang sudah ditata sedemikian rapi oleh pak tani. Melihat bencana yang hampir mencelakakan nyawanya, nenek berusaha lari dengan segenap kekuatan yang masih beliau punyai. Sesampainya di ladang kedua, nenek sudah mempunyai firasat buruk akan adanya ketidakberesan di ladang cabai itu. Suara berdengung terdengar sangat keras dan hampir memekakkan telinga. Namun nenek tak melihat suatu pemandangan ganjil di kanan kiri jalan. Hanya ladang cabai yang luasnya sejauh mata memandang. Seperti karpet hijau yang diselingi dengan warna merah di sana-sini. Warna merah itu tak lain adalah warna cabai yang menjadi komoditi utama petani pemilik ladang tersebut. Semakin lama, suara itu terasa semakin mendekat. Nenek mempercepat langkahnya agar sampai di sawah berikutnya. “Bismilahi tawakkaltu ‘alallah” ucap nenek dalam hati. Suara berdengung di ladang cabai perlahan menghilang. Tibalah nenek di sawah pertama. Sebelum lebih jauh melanjutkan perjalanan, nenek sudah dihadapkan dengan kondisi jalan yang sangat rusak. Irigasi sawah pertama itu sedang jebol. Hal itu berakibat air mengalir tak tentu arah. Tak hanya mengaliri sawah, air itu merembes hingga jalan desa. Sedangkan jalan itu adalah jalan satu-satunya menuju sungai Tajum, tak ada jalan alternatif lain. Nenek pun harus bersemangat baja untuk melewati jalan yang basah dan berlumpur. Dengan hati-hati, nenek melangkahkan kaki di tempat yang dikira aman untuk dipijak. Menghindari tanah yang terlalu berair, karena nenek tahu lokasi itu mengandung lumpur hidup. Lumpur yang bisa menghisap siapapun yang menginjaknya. Kalau tak hati-hati, nama kita bisa tinggal sejarah jalan keramat itu. Susah payah nenek melewati jalan licin dan penuh jebakan itu. Tak ada rintangan yang lebih dahsyat disbanding tantangan ketiga ini. Sementara matahari yang semakin naik, semakin memancarkan sinarnya dengan kuat. Membuat nenek kepayahan dalam menyelesaikan perjalanan maha berat ini. Jangankan nenek, anak muda dengan semangat pemuda saja bisa dipastikan kewalahan menghadapi jalan berlumpur, berbatu dan penuh ranjau yang dapat mengakhiri hidup seseorang kapan saja. Memasuki sawah kedua, perjalanan menuju sungai Tajum sudah tiga seperempat perjalanan dilalui. Sawah di tempat ini masih sama dengan sawah sebelumnya. Ditanami padi yang masih berumur satu setengah bulan. Kalau dilihat dari kejauhan, hamparan hijau ini seperti karpet langgar desa. Di pinggir jalan, nenek menjumpai seorang perempuan separuh baya. Dia memakai baju kebaya yang sudah lusuh. Penutup kepalanya terbuat dari renda berwarna cokelat. Jarit yang ia pakai juga nampak kumal dan terdapat jahitan kain yang tak senada di sana sini. Wajah wanita itu tampak memelas. “Tolonglah saya, nenek yang baik hati” kata wanita tua itu. Nenekku berhenti tepat di depan wanita itu. “Apa yang anda lakukan di sini?” tanya nenek mengiba. “Saya tak punya rumah. Bekal saya habis. Tolonglah saya yang sudah tak makan sejak kemarin” kata wanita itu sambil memegangi perutnya. Nenek kembali melihat raut wajah wanita tua itu. Dilihatnya lekat-lekat. Tak ada unsur dramatisasi dari seorang wanita yang sedang membutuhkan bantuan ini. Nenek kemudian mengambil bekal yang tadi dibawanya dengan selendang batik kesayangannya. Ada dua buah jeruk dan biskuit kering sisa hari raya. Diberikannya lima keping biskuit hambar serta sebuah jeruk kepada wanita itu. “Terima kasih nenek yang baik hati” ucap wanita paruh baya itu. Wajah wanita tua itu semakin berbinar dan senyum mengembang, mempermanis wajahnya yang telah digelayuti kerutan usia. “Semoga nenek bisa memperoleh apa yang nenek perjuangkan saat ini. Dipermudah urusannya oleh Yang Di Atas. Serta semoga cucu nenek kelak tumbuh menjadi generasi penerus Islam yang menegakkan jalan Allah di mana pun ia berada” kata wanita tua itu. “Amiin” jawab nenek sambil menunduk. Betapa ikhlasnya nenek melafalkan kata ‘Amin’ hingga dimasukkannya doa wanita tua itu ke dalam lubuk hatinya. Dengan harapan Allah mendengar serta mengabulkan doa wanita yang tak dikenalnya itu. “Kalau begitu, saya meneruskan perjalanan dulu. Masih jauh”. Nenek pamit kepada wanita tua itu. “Wassalamu’alaikum” kata nenek menutup perjumpaan. “Wa’alaikumussalam” jawab wanita tua itu dengan wajah menunduk. Sebuah tanda penghormatan dan terima kasih. Nenek kembali meneruskan perjalanan. Hatinya bergumam,” Mulia sekali wanita tadi, baru saja bertemu, dia sudah mendoakanku dengan doa terbaik yang pernah didengarnya. Bahkan kami belum saling mengenal. Ya, aku belum tahu siapa nama wanita itu!” Nenek menoleh ke belakang untuk menanyakan nama wanita mulia yang mendoakannya tadi. Tak ada siapapun di sana. Jalan desa tampak lengang, hanya dua petani yang sedang mengurus tanaman padinya. Ke mana perginya wanita mulia itu? Nenek terus bertanya-tanya. Keningnya berkerut hingga menampakkan wajahnya makin tua. “Tak mungkin wanita setua itu bisa menghilang secepat kilat” gumamnya. Perjalanan terakhir nenek harus melewati sebuah sawah lagi. Kali ini, ukuran sawah terakhir jauh lebih luas dan lebar. Jalanan berbatu sekarang bukan jadi masalah utama. Namun jarak antara ujung sawah ke seberang sangatlah jauh. Tak ada pepohonan yang menaungi, kalau pun ada pohon tersebut pastilah hanya pokok tanaman dan ranting-rantingnya saja. Tanaman padi di sawah ini juga menampakkan keanehan. Padi-padi di sini menguning lebih dulu dibanding padi-padi di sawah lain. Di sepanjang jalan desa, terdapat pagar memanjang yang terbuat dari anyaman bambu sederhana. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memagari sawah sepanjang itu. Di tengah perjalanan, matahari semakin garang. Sudah tak terhitung lagi nenek kepanasan dan mengusap peluh di dahinya yang menetes deras membasahi busananya. Di saat genting itu, tiba-tiba anyaman bambu pembatas sawah dan jalan raya tiba-tiba bergerak. Awalnya bergerak-gerak ringan, semakin lama semakin hebat getarannya. Diikuti suara mendesis muncul dari balik anyaman bambu tersebut. Nenek khawatir, jangan-jangan ular sawah sedang bersembunyi di sana. Nenek memang paling takut dengan ular. Ketika beliau masih seumuranku, lengan kiri beliau pernah dipatuk ular sawah ketika sedang bermain mencari keong emas di antara tanaman padi. Sejak insiden itu, nenek panas dingin kalau melihat reptilia tersebut di mana pun berada. Dari lubang anyaman bambu, muncullah seekor ular. Ia tak menampakkan dirinya secara keseluruhan, melainkan hanya kepalanya saja. Ia mendesis dan menjulur-julurkan lidah bercabangnya saja. Namun ia tak sampai menampakkan dirinya secara total dan naik ke jalan desa. Setiap meter berjalan, selalu ada kepala ular hidup yang dijumpai di lubang anyaman bambu. Mereka terus mendesis. Anehnya, tak satu pun dari mereka yang naik ke jalan desa dan mengejar nenek. Seolah-olah nenek adalah makhluk yang paling disegani oleh hewan-hewan melata itu. Dengan perasaan takut, cemas dan bingung berpadu menjadi satu, nenek kembali meneruskan perjalanan. Kepalanya masih pusing, mendengar desisan ular yang terus terngiang-ngiang di telinganya. Diperlukan waktu yang tak sebentar untuk mencapai ujung sawah. Matahari kini condong ke arah barat. Namun panas sinarnya masih menyengat kulit. Energi nenek habis terkuras untuk melawan rasa takutnya sendiri melawan ratusan ular yang dijumpainya di sawah terakhir. Napasnya terengah-engah. Peluhnya membasahi kerudung dan baju broklatnya. Namun itu tak mengurangi semangat nenek untuk mendapatkan rumput kering yang hanya tumbuh di tepian sungai Tajum. Sesampainya di sungai Tajum, kehadiran nenek disambut dengan angin semilir yang bertiup dari arah hutan seberang sungai. Sejenak ia menghentikan langkahnya untuk mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang telah tercerai berai sejak melewati berbagai rintangan tadi. Tanpa disadari, air mata nenek menetes dari kedua sudut matanya. Melihat rumpun alang-alang yang tumbuh di samping sungai yang sangat sepi itu. Itulah tujuan nenek. Apa yang beliau cari sudah ada di depan mata. Nenek berjalan mendekati tepian sungai. Ia duduk di batu-batuan dekat dengan tumbuhnya rumpun alang-alang. Ia pandangi setiap batang ilalang yang tumbuh menjulang. Daun-daunnya cukup lebat. Bergoyang-goyang ditiup angin seperti penari lengger. Tak perlu menunggu lebih lama lagi, nenek mengambil pisau yang ada di ikatan selendangnya. Pisau itu digunakan untuk memotong batang alang-alang, sedikit demi sedikit. Hingga nenek berhenti memotongnya setelah alang-alang tersebut sebanyak satu genggam tangannya. “Semoga kamu dapat mengantarkan keluargaku ke surga” kata nenek seraya memandangi segenggam alang-alang di tangannya. 6 Gadis Cekatan Itu “Jannaaah” teriak wanita paruh baya di suatu pagi. Gadis kecil yang sedang membersihkan meja di warung milik orang tuanya itu terkejut mendengar namanya dipanggil. Seketika ia bergegas menuju ke belakang, tempat ibunya berada. “Ada apa bu?” tanya Jannah. “Meja-meja depan sudah kau bersihkan?” tanya ibunya. “Sudah Bu” “Jendelanya jangan lupa dilap juga. Malu kalau para tamu nanti melihat warung kita kotor seperti tak terurus. Tanaman depan harus disiram pagi ini. Kemarin kamu lupa tidak menyiramnya, bukan? Kasihan itu” “Iya, Bu. Maaf, Jannah lupa. Kemarin kecapaian setelah pulang sekolah, jadi tak sempat menyirami tanaman-tanaman kesayangan ibu. Tapi Alhamdulillah, bunga-bunga itu tidak layu. Tadi Jannah sudah mengeceknya” “Biarpun begitu, kamu tetap harus menyiraminya. Mau kamu kehausan semalam suntuk?” Jannah menggeleng. “Ya sudah, bereskan pekerjaanmu sekarang. Oh ya, persediaan cengkeh di dapur sudah habis. Kamu beli satu ons di warung Pak Irfan. Uang pemberian ibu kemarin masih ada ‘kan?” “Masih Bu. Jannah pergi dulu. Assalamu’alaikum” “Wa’alaikumsalam” jawab ibunya dengan santai. Gadis itu kembali ke kamarnya untuk mengambil uang pemberian ibunya kemarin. Sebenarnya, uang itu adalah uang lelah yang diberikan ibunya setelah seharian penuh membantu melayani para pengunjung warung. Secara hukum, itu adalah haknya secara penuh. Namun, sudah menjadi agenda yang biasa baginya kalau sang ibu menyuruhnya membeli sesuatu ke warung dengan menggunakan uang lelah itu. Tak ada gerutuan maupun protes dari gadis bermata indah tersebut. Dengan langkah yang cekatan, ia berlari kecil ke warung Pak Irfan yang tak jauh dari warungnya. Ia membeli satu ons cengkeh di sana. Warung Ibu Hayati sebenarnya menyediakan berbagai macam jenis jajanan pasar seperti ketimus, lemet, getuk lindri dan yang menjadi fovorit anak-anak desa yaitu putu ayu. Kue berwarna merah muda atau hijau dengan cita rasa lembut karena tambahan parutan kelapa di atasnya ini menjadi jajanan andalan warung Bu Hayati. Baru saja satu jam dipajang di meja makan, hidangan itu pasti ludes dibeli oleh konsumen. Selain itu, warung sederhana itu juga menyediakan rames yang telah dibungkusi kecil-kecil. Orang Jawa menyebutnya sego kucing. peminatnya, jangan ditanya. Mulai dari petani, pelajar, bapak-bapak yang hobi nongkrong di warung tersebut, ibu-ibu rumah tangga, pekerja ladang, kakek nenek, hingga balita yang belum bergigi pun, akan menangis meraung-raung kalau lidahnya belum melumat sego kucing hasil kolaborasi Bu Hayati dan anak gadisnya. Pada suatu hari, ada beberapa ibu-ibu yang menggosip di salah satu teras rumah penduduk. Mereka ramai berspekulasi, mengapa warung bu Hayati dapat sedemikian ramainya. Padahal, Bu Hayati bukanlah seorang janda kembang yang memiliki wajah aduhai. Warungnya pun jauh dari kesan ekslusif. “Mungkin jajanan di sana murah, ibu-ibu” kata seorang ibu yang sedang memegang seikat kangkung. Ia lupa, seharusnya dia segera pulang untuk memasak tumis kangkung. Suaminya pasti sedang kelaparan sekarang. “Mm… pelayanannya di sana baik pasti. Sehingga para pengunjung seperti diperlakukan layaknya makan siang di hotel berbintang lima” celetuk ibu sambil mengibaskan kipas miliknya. “Pokoknya kita harus tahu racikan sego kucing yang fenomenal itu” seru seorang ibu yang berambut keriting. “Caranya?”. “Nah itu, masalahnya kita bukan detektif” tanya ibu dengan gincu paling tebal di bibirnya. “Kita juga tidak mempelajari ilmu halimun” sela ibu yang memakai kaos oblong pink. “Aduh sedang membahas apa sih ini ibu-ibu?” tanya seorang wanita yang berjilbab. “Kita hanya ingin tahu rahasia sukses Ibu Hayati, jeng” jawab seorang ibu sambil berkaca, mengecek polesan lipstick di bibirnya. Wanita berjilbab lebar itu tersenyum. “Ibu-ibu pernah mencoba kopi cengkih di warung Bu Hayati?” tanya wanita berjilbab itu seraya mengambil tempat duduk di antara ibu-ibu itu. Ibu-ibu saling berpandangan. Satu lirikan mata mereka berarti kesepakatan nanti akan menjawab apa. Satu anggukan kepala dan dibarengi dengan kepala-kepala yang hadir dalam majelis gosip itu, menandakan betapa konsep demokrasi dihayati betul oleh ibu-ibu itu. Demokrasi di sini bisa berarti kebebasan mengeluarkan pendapat, mengambil suara terbanyak karena takut jika harus menjadi suara minoritas, menjaga keakraban dengan anggota ibu-ibu yang lain dan sebagai suatu kebanggaan tersendiri akan kekompakan grup mereka. “Pernah, jeng. Tapi tidak sampai mencicipinya. Lha bagaimana tho, kopi itu saya beli untuk menyuguh suami saya” kata ibu yang memakai kalung sebesar buah petai. “Dengar-dengar mahal ya, jeng. Makanya saya enggan membelinya. Lebih baik untuk beli jajan anak saya” kata seorang ibu pembawa kangkung yang sayuran itu mulai melayu karena terlalu lama menunggu tuannya selesai bergosip. “Ah tidak kepikiran untuk mencoba kopi Bu Hayati lah, jeng. Kita juga bisa membuat kopi sendiri. Lebih afdhol dan mantap disajikan untuk keluarga” kipas yang ada di tangan ibu itu bergerak makin kencang. Berputar seperti kipas angin usang milik Bu Hayati yang distel di angka 3. Wanita berjilbab lebar itu tersenyum lagi. “Kopi buatan anak Bu Hayati itu sangat nikmat lho bu” Seluruh ibu-ibu di majlis gossip itu mengernyitkan dahi. Tak percaya dengan omongan yang baru saja didengar. “Anak Bu Hayati itu sudah biasa dilatih kerja keras sejak kecil. Ia mau mengelap meja dan jendela warung setiap hari, menyirami tanaman hias depan warung, menyapu halaman dan lantai dalam rumah, membeli sembako dan keperluan memasak lainnya di pasar. Tak hanya itu, anak sekecil itu sudah diajari memasak dan membuat racikan kopi cengkeh dengan cita rasa yang luar biasa” Kernyit di dahi ibu-ibu belumlah menghilang. “Anak yang membantu orang tuanya, itu berarti mempermudah dan memperluas pintu rejeki untuk orang tuanya” tambah wanita berjilbab dengan senyum termanis mengembang di bibirnya. “Bagaimana dengan anak-anak ibu?” Tanya wanita itu dengan nada menantang. Jamaah ibu-ibu lalu saling memandang dengan tatapan penuh tanda tanya. Kopi racikan Jannah memang tidak ada bandingannya di desa ini. Buktinya, sudah banyak warung yang gulung tikar karena tak mampu menarik pelanggan seperti halnya warung Bu Hayati. Banyak orang yang meniru membangun warung kopi di desa kami dengan harapan dapat meraih keuntungan yang besar, seperti warung Bu Hayati yang kini sedang berada di puncak kesuksesan. Namun anehnya, warung abal-abal itu paling lama bertahan selama dua bulan. Memasuki bulan ketiga, biasanya mereka memasang tulisan “Tutup, sampai waktu yang belum ditentukan” di pintu warung mereka. Tinggallah warung Bu Hayati yang masih berdiri dengan menu andalannya, putu ayu dan kopi cengkeh racikan dua Hawa bertangan dingin itu. Sejak mereka ditinggal pergi figur ayah untuk selama-lamanya, Bu Hayati memang menggantungkan penghidupannya melalui warung peninggalan ayahnya itu. Awalnya, warung itu hanya menjual sego kucing dengan pertimbangan menu masakan ini banyak diminati oleh pekerja maupun pelajar yang akan memulai akhtivitas di pagi hari. Namun, pendapatan tak seberapa dari hasil penjualan menu ini menuntut pemikiran yang kreatif untuk menambah menu lagi agar keuntungan yang didapat lebih banyak. Bu Hayati mencetuskan jajanan pasar sebagai calon menu tambahan untuk warung mereka, sedangkan Jannah mengajukan opsi kopi cengkeh sebagai menu andalan untuk melariskan warung kesayangannya itu. Dikatakan menu andalan karena belum ada warung satupun di desa ini yang sudah menyajikan menu minuman seaneh itu. Orang desa sini masih berpikir konservatif dan tak mau neko-neko. Minum kopi ya hanya minum kopi, sedangkan cengkeh hanya cocok ditambahkan pada lintingan5 rokok agar memunculkan cita rasa semriwing6 saat dinikmati. Namun, gadis itu berani mengambil langkah revolusioner untuk memecahkan kedua teori kuno itu. Dipadukannyalah antara secangkir minuman kopi dengan sepucuk sendok teh bubuk cengkeh yang ditumbuk halus. Hasilnya, menu andalan ini menjadi buah bibir seluruh desa. Setiap kali ada pengunjung yang datang ke warung ini, mudah ditebak mereka pasti akan bertanya, “Kopi cengkehnya masih ada, ‘kan?” Saking larisnya, hidangan kopi cengkih pasti habis selepas tengah hari. Kalau sudah begini, banyak pelanggan yang kecewa karena mereka datang terlambat sehingga hilanglah kesempatan untuk menikmati kopi dahsyat hasil racikan gadis cekatan itu. Sebagai obat kecewa, mereka kemudian membeli sego kucing atau putu ayu untuk dinimati di tempat. “Bapak-bapak bisa kembali besok untuk bisa mendapatkan secangkir teh cengkih. Lebih baik lebih awal agar bapak-bapak tidak kehabisan persediaan lagi” kata Jannah 5 Gulungan rokok yang dibuat sendiri. 6 Rasa isis, seperti daun mint di depan bapak-bapak yang hati mereka sedang dilanda kekecewaan. Mendengar kata-kata yang mirip propaganda untuk minuman khas limited edition itu, akhirnya wajah mereka tak lagi memancarkan aura kekecewaan yang teramat dalam. Senyum sumringah khas orang desa yang menerima pemakluman muncul di wajah-wajah yang sudah terlebih dahulu lelah menghadapi kerasnya kehidupan ini. 7 Senandung Warung Jannah seharusnya masuk museum rekor MURI. Dari sekian banyak warung di negeri ini, barangkali hanya warung dia yang tutup lebih awal. Jam tiga sore, warung sederhana berdindingkan anyaman bambu yang dicat hijau itu sudah tidak menerima pengunjung. Tak peduli pengunjung itu akan memberi uang si pemilik warung sebanyak satu juta atau lebih dari itu asalkan warung tersebut jangan ditutup dulu, tetap saja itu tak bisa menggoyahkan pendirian Bu Hayati. Rupanya, itu adalah wasiat ayah dari Bu Hayati alias kakek Jannah. Sebelum beliau meninggal, beliau meminta Bu Hayati untuk meneruskan usaha warungnya itu. Dua pesan penting yang diutarakan dan mewajibkan anak cucunya untuk melaksanakannya. Pesan pertama, carilah rejeki dengan cara yang halal. Jangan menipu pembeli dengan cara atau alasan apapun. Walaupun sedang dalam situasi keuangan yang amat genting, jangan sampai mengorbankan keimanan dan kejujuran hanya demi mencari sesuap nasi. Sungguh, harta yang diperoleh dari jalan yang tidak diridhoi Allah, akan membawa orang itu menuju jalan yang dimurkai Allah. “Jangan sampai mengorbankan imanmu ya, cah ayu, hanya demi mencari keuntungan keduniawian. Akhiratmu itu lebih penting” kata sang kakek. Pesan kedua, jangan biarkan warung masih buka setelah waktu Ashar. Itu berarti, setelah terdengar adzan Ashar, warung tersebut harus ditutup. Bu Hayati pernah bertanya mengapa warung harus ditutup pada jam tersebut. Sang kakek terdiam sejenak sambil menerawang jauh ke pepohonan depan rumah. “Seharian penuh engkau melayani manusia. Bahkan masih melakukannya di tengah hari, lalu kapan kamu menghadap Allahmu?” tanya sang kakek. Bu Hayati dan Jannah menundukkan kepala mereka. “Biarpun kita punya usaha warung. Jangan sampai itu melenakan kita. Jangan kita mengejar dunia terus menerus, sampai lupa waktu yang diwajibkan menghadap Dia. Mau jadi apa kita kalau urusan perut kita nomor satukan?” Sejak wasiat sang kakek, warung Bu Hayati tak pernah membiarkan warungnya masih buka setelah waktu Ashar. Pintu warung pasti sudah tutup, sedangkan penghuninya sibuk membereskan warung setelah seharian buka untuk melayani kebutuhan tamu. Mendekati waktu Maghrib, Bu Hayati dan Jannah sudah siap untuk berangkat ke langgar. Mereka menunaikan sholat Maghrib berjamaah. Setelah itu, mereka mengikuti pengajian kitab tafsir Al Quran bersama Mbah Haji. Pengajian tersebut, seperti biasanya dihadiri oleh para orang tua. Kalaupun ada anak muda, itu pun bisa dihitung dengan jari. Mereka berada di sana sampai waktu Isya’, sekaligus sholat berjamaah bersama penduduk desa lainnya. Setelah sholat usai, mereka kembali ke rumah untuk menghabiskan malam di sana. Bu Hayati sibuk menghitung berapa banyak keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan hari ini. Sedangkan Jannah menyendiri di dalam kamarnya yang hanya diterangi oleh lampu bohlam 5 watt. Ia masih mengenakan mukenanya. Sambil memegang kitab suci Al Quran, ia membaca ayat demi ayat secara pelan dan sangat hati-hati. Ia memang belum begitu lancar membaca Al Quran. Namun itu tak menyurutkan tekadnya untuk terus melancarkan bacaannya dan bertanya kepada Mbah Haji kalau menemukan huruf atau tanda baca yang sulit baginya. Suara televisi cukup terdengar dari jalan desa. Malam ini dan seperti malam-malam sebelumnya, penduduk lebih suka menghabiskan waktu untuk menonton televisi. Acara favorit mereka pada malam hari tak jauh dari jenis tayangan sinetron. Antusiasme mereka langsung berubah seperti halnya supporter Indonesia yang menyemangati tim nasionalnya melawan Bahrain kalau menjumpai peran protagonis bertengkar dengan antagonis. Mereka akan menyalahkan ini itu dan berkomentar setiap busana atau peran yang ada di dalam sinetron tersebut. Riuh sekali. Di salah satu sisi, ada sebuah rumah yang penghuninya paling suka menonton sepak bola. Teriakan para bapak dan anak muda akan melebihi suara televisi selama pertandingan berlangsung. Tak hanya itu, beberapa dari mereka taruhan, tim mana yang akan memenangkan pertandingan tersebut malam ini. Kepulan asap rokok dan kopi murahan dengan sedikit gula menemani mereka bergadang di depan televisi hingga larut malam. Setelah mendekati Subuh, baru teparlah mereka semua. Selalu saja seperti itu. Rumah Mbah Haji berbeda lagi. Lampu ruang tamunya akan segera padam setelah beliau pulang dari masjid. Meninggalkan lampu halaman depan yang masih menyala menerangi jalan menuju rumahnya. Orang-orang mungkin mengira bahwa laki-laki tua 78 tahun itu sudah terlelap tidurnya. Namun hanya segelintir orang yang tahu kalau Mbah Haji saat itu sedang sibuk berdzikir di kamarnya. Jarang sekali aku menjumpai tangan Mbah Haji lepas dari tasbih. Ke manapun beliau pergi, tasbih kecil berwarna cokelat yang terbuat dari kayu kokka itu selalu menemaninya. Asal kamu tahu, tasbih itu dibeli beliau saat naik haji pertama kalinya ke tanah suci 30 tahun yang lalu. Jangan heran mengapa tasbih sekecil itu bisa awet bahkan masih bisa digunakan sampai sekarang. Itu lantaran kayu yang digunakan bahan dasar pembuat tasbih tersebut adalah kayu yang digunakan oleh nabi Nuh AS saat membuat bahtera, kayu kokka. Hanya rumah Bu Hayati yang menyenandungkan bacaan Quran malam ini. Meskipun bacaan gadis cekatan itu masih terbata-bata, tak seorang pun menyangkal kalau bacaannya dapat menenangkan hati siapapun yang mendengarkan. Pernah ada seorang musafir yang berhenti di depan rumah Bu Hayati. Ia duduk di bawah pohon mangga. Di sampingnya ada seikat pakaiannya yang dibungkus dengan kain sarung. Ia tampak menopang dagunya, menikmati suara yang merdu. Tak peduli rumah si pemilik suara itu sangat sederhana. Sebab, yang terpenting dari sebuah sangkar burung bukanlah sangkarnya, melainkan burung yang ada di dalamnya. Allah pasti mencintai burung yang pandai bernyanyi itu. 8 Venus Anak laki-laki bernama Najmudin itu mencium tangan ibunya. Sang ibu sudah paham ke mana anaknya akan pergi, ia memberikan ijin kepada anak semata wayangnya itu. “Hati-hati di jalan” pesan sang ibu. Najmudin berlari keluar rumah. Ia sangat bersemangat pagi ini dan tak ada seorangpun yang bisa menghalangi langkahnya. Ia segera menengadahkan kepalanya ke arah langit. Kedua mata binarnya mencari ke setiap sudut langit, seolah ada sebuah benda yang sangat ia ingin lihat di awal hari ini. Hari masih sangat pagi. Pengajian subuh Mbah Haji untuk sementara waktu diliburkan. Pak Hanafi-lah yang ditunjuk sebagai imam sholat Subuh tadi, menggantikan Mbah Haji yang berhalangan hadir. Setelah selesai sholat dan dzikir, jamaah langsung pulang. Tak ada pengajian, tak ada pengumuman dari kepala desa maupun dari organisasi desa. Sehingga kesempatan baik ini dimanfaatkan oleh Najmudin untuk berpetualang ke lapangan balai desa. Menerka-nerka dari sekian milyar bintang yang tersebar di langit, manakah yang disebut sebagai bintang timur? Sesungguhnya, ada hubungan antara pengamatannya pagi ini dengan tugas mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang diberikan gurunya kemarin. Tugas IPA itu adalah mengamati planet Venus beberapa saat sebelum matahari terbit dan tenggelam. Setelah itu, siswa diminta menceritakan bagaimana hasil pengamatannya itu di depan kelas. Bagi sebagian besar murid, tugas mengamati kemunculan Venus bukanlah perkara yang memberatkan, kecuali bagi mereka yang malas bangun pagi. Masalah yang harus mereka hadapi adalah mereka harus menceritakan hasil pengamatan mereka itu sekaligus menceritakan definisi planet Venus lengkap dengan komposisi gas yang menyusunnya. Materinya saja sudah cukup membuat murid tak tidur semalaman untuk menghafalkan, apalagi ditambah menceritakannya di depan teman-temannya sendiri. Menyampaikan materi di depan banyak orang bagi anak seumuran kami ibarat harus mengisi pidato di depan bapak presiden dan para menteri. Tanpa alasan yang jelas, orang-orang yang ada di hadapan kita seolah-olah menjadi orang yang serba tahu banyak hal. Mereka bisa mendeteksi setiap kesalahan ucap dan pelafalan kita. Mereka tahu materi yang kita bawakan sudah sesuai dengan teori atau melenceng dari garis besar tema. Mereka sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan mematikan yang akan dilontarkan kepada kita dan membuat kita mati kutu di depan kelas. Mereka punya segala macam trik untuk membuat kita grogi bukan main pada saat presentasi nanti. Terlepas dari itu semua, sesungguhnya kita tahu mereka masih teman kita. “Waaah…” Najmudin terpukau dengan pemandangan yang dilihatnya. Ia telah menemukan Venus. Itu artinya, ia sudah menyelesaikan satu tugas yang diberikan oleh pak gurunya. Ia pandangi bintang yang paling terang yang terletak di arah barat laut tempat ia berdiri. “Pantas Venus dilambangkan sebagai dewi kecantikan. Pendaran sinarnya tampak lebih cantik disbanding bintang-bintang lainnya” katanya dalam hati. Tak biasanya kelas sesunyi ini. Suara yang terdengar hanyalah suara lembaran buku yang dibuka oleh anak manusia yang sedang dilanda kekalutan luar biasa. Suara buku jatuh dan buku yang diletakkan di meja dengan keras, semua itu melengkapi suasana kepanikan kelas pada suatu pagi. Bahkan salah satu dari mereka sedang mengutuki dirinya sendiri karena semalaman ketiduran sehingga tak sempat belajar. Seorang lagi mengeluh sebab bangun kesiangan, “Tak ada Venus pagi ini” katanya. Padahal, ia mengamati keberadaan Venus pukul setengah tujuh pagi tadi. Seorang gadis berambut kepang mengeluhkan kepada sahabat dekatnya kalau dia selalu mengalami demam panggung kalau sudah berada di depan banyak orang. Jika demam itu sudah datang, kacaulah kata-kata yang keluar dari mulutnya. Susunan bahasanya akan sekacau jalan pikirannya. Sedangkan seorang anak laki-laki yang selalu mendapatkan teguran dari guru BP karena baju seragamnya selalu dikeluarkan dari celananya mengeluhkan tugas yang diberikan gurunya terlalu berat baginya. Kata-kata itu serentak diaminkan oleh anak-anak satu geng-nya. Dua baris dari tempat duduk kepala geng itu, seorang anak laki-laki pendek berkata kalau sang guru sebaiknya memberikan tugas tersebut satu per satu. Kalau tugas ini dobel, berarti sang guru seharusnya menyediakan nilai dobel untuk para siswanya. Itu berarti, kalau ada ulangan IPA dan hasilnya jeblok, nilai dobel itulah yang bisa menyelamatkannya. “Assalamu’alaikum, anak-anak, selamat pagi” sapa Pak Guru sambil memasuki ruangan kelas. “Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, Pak” jawab para murid serentak. Pak Guru meletakkan tiga buah buku di meja guru. Dia tak langsung duduk di meja guru, ia berdiri sejenak sambil mengamati kelas. Rupanya para murid sedang tenggelam dalam kesibukan mereka masing-masing. Pak Guru tersenyum simpul. Dalam hatinya terbersit, “Apa tugasku hari ini memberatkan mereka?” “Sudah siap maju hari ini?” Tanya Pak Guru memecah keheningan kelas. “Beluuum, Pak” jawab para murid kompak. Sebagai murid, mereka pasti memiliki kesepakatan dan harapan yang sama, “Semakin kompak sebuah suara, ia dapat merubah keadaan sesuai dengan yang diinginkan”. “Sudah belajar materi?” “Beluuum, Pak” seru sebagian besar murid laki-laki. Beberapa detik kemudian… “Sudah, Pak” seru sebagian murid perempuan. Mendengar ada jawaban yang berbeda, kepala geng laki-laki melihat ke arah geng perempuan dengan penuh nada ancaman. Tak kehabisan akal, kepala geng perempuan menyambutnya dengan juluran lidah. “Sudah mengamati Venus pagi ini?” “Beluuum, Pak” seru sebagian besar murid laki-laki. Seperti kejadian sebelumnya, aspirasi pertama langsung disanggah oleh aspirasi kedua yang datang dari kaum Hawa. “Sudah, Pak” seru sebagaian besar murid perempuan menimpali. “Siapa yang sudah?” Tanya pak Guru penuh rasa ingin tahu. Sesorang gadis kecil berjilbab renda kuning mengacungkan jarinya. Mulanya, ia agak ragu untuk mengangkat tangannya. Sadar ia menjadi orang pertama yang menunjukkan identitasnya, ia pun akhirnya pelan-pelan memberi tahu seisi kelas melalui bahasa nonverbal tersebut. Benar-benar berbeda dengan yang lain, ia celingukan. Tak ada seorang pun yang mengacungkan jarinya. Gadis kecil itu panik. Jangan-jangan dia akan didaulat menjadi orang pertama yang harus menceritakan pengalamannya mengamati Venus sekaligus deskripsinya seperti yang tercantum dalam buku paket IPA. Posisinya sungguh benar-benar terancam. Pak Guru akan segera menunjuknya maju di depan kelas. “Gawat. Aku bisa menjadi yang pertama” gumam gadis kecil itu dalam hati. Di saat genting itu, seorang anak laki-laki kecil menyelamatkan posisi gadis tersebut. Ia mengacungkan jarinya dengan mantap. Dialah Najmudin. Dia tersenyum pada teman sekelasnya itu. Melalui senyumannya tersebut, seolah ia ingin mengatakan melalui bahasa bisu. “Tenanglah kawan. Takkan kubiarkan kamu sendirian menunjukkan kejujuran. Kalau kita harus maju di depan kelas, kita bisa maju bersama. Kita akan melakukan berduet yang spektakuler” Gadis kecil itu membalas senyum. Sama, lengkungan bibir itu juga sarat memuat makna. “Terima kasih, kawan. Kau adalah salah satu kawan terhebatku” Pertunjukan drama di kelas IPA pagi ini dimulai. Senyum antara dua makhluk Allah ini membawa pengaruh yang cukup besar. Tak hanya mereka, anak-anak yang lain mulai menunjukkan kejujuran mereka. Tak peduli dengan konsekuensi di balik itu. Tak peduli jika mereka akan ditunjuk pak guru untuk menceritakan materi yang sebenarnya belum mereka kuasai dengan baik. Tak peduli jika mereka akan demam panggung di depan kelas nanti. Mereka hanya ingin mengatakan bahwa mereka sudah melaksanakan tugas pak guru dengan baik. Mereka siap dengan akibat dari kejujuran itu. “Bagus… bagus. Saya tahu kalian anak-anak yang hebat” kata pak guru dengan raut muka yang meyakinkan. Sebagain anak dalam kelas telah menunjukkan kejujuran bahwa mereka telah mengamati Venus pagi ini. Sebagian besar dari mereka adalah anak perempuan. Hanya tiga anak laki-laki yang berani mengacungkan jari mereka. Seorang dari mereka adalah anak pak carik, dia memang memiliki minat yang besar dalam pelajaran sains. Buku favoritnya adalah buku paket Fisika kelas 1 SMA. Seorang lagi adalah anak penjual jamu keliling. Dan anak yang terakhir adalah Najmudin. Si pencetus kejujuran dan pemecah teori bahwa anak laki-laki itu identik dengan kemalasan. “Ya sudah” kata Pak Guru. Murid-murid kemudian menurunkan tangan mereka. Sekarang giliran yang paling menegangkan. Siapa yang akan ditunjuk untuk bercerita sains di depan kelas. Tak seorang pun yang berani bersuara saat ini. Bersuara berarti menunjukkan kesediaan untuk maju di depan kelas. Hampir semuanya diam, sebab diam bagi mereka berarti aman. Sesuatu yang lebih dramatis lagi, lukisan wajah-wajah cemas mulai nampak. Lagi-lagi, melalui air muka mereka, seolah mereka ingin berteriak melalui bahasa bisu. “Tolong, Pak. Jangan pilih saya, hafalan saya kacau sekali setiap kali membuka buku paket mata pelajaran bapak” “Najmudin” kata Pak Guru. Najmudin terkejap. Hatinya bergemuruh hingga telinganya sendiri bisa mendengarnya. Bibirnya mendadak tak bisa digerakkan. Darahnya seakan berhenti mengalir selama beberapa detik. “Kamu anak laki-laki pertama yang menunjukkan kejujuranmu. Kamulah anak pemberani. Ayo, maju ke depan kelas untuk menceritakan pengalamanmu pagi tadi” kata pak guru. Najmudin menganggukkan kepala. Ini adalah pengalaman pertamanya ditunjuk guru IPA untuk maju di depan kelas. Apapun yang akan terjadi, ia bertekad ingin menciptakan kesan yang mendalam bagi guru dan teman-teman sekelasnya. Anak laki-laki berkulit putih itu bangkit dari tempat duduk. Ia berjalan menuju depan kelas dengan langkah kecil namun mantap. Ia kemudian mengambil posisi dekat dengan tempat berdiri Pak Guru. Dengan harapan, kalau saat presentasi nanti ia lupa sesuatu, ada pak guru di sampingnya yang siap membantu. Ia membalikkan badan. Di hadapannya adalah teman-teman sekelasnya yang berjumlah 35 anak. 24 anak perempuan dan sisanya anak laki-laki. Sadar dirinya sedang disorot 34 pasang mata, jantungnya berdegup makin kencang. Tak terasa, keringat dingin mulai merembes dari pori-pori rambutnya. Menetes dan jatuh tepat di baju seragamnya. Ia tak bisa berkata-kata selama beberapa menit. Tatapan dari para sahabatnya itu entah mengapa dikonversikan oleh otaknya sendiri menjadi sebuah ancaman serius. Ancaman yang berarti, ‘Lihat dirimu di sana. Kamu akan mati kutu di depan kelas. Sedangkan materi yang kamu pelajari semalaman akan menguap bersama keringat dinginmu’. “Ayo mulai, bapak yakin kamu anak yang hebat” kata pak guru menyemangati. Najmudin tergugah. Suara bersahaja seorang yang berdiri di sampingnya itu terasa sangat kuat pengaruhnya dibanding bahasa bisu bermuatan negatif yang didapatnya dari tatapan para sahabatnya. Ia meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bukankah ia sudah berjanji akan mempuat kesan pertama yang menawan? “Bismillahi rahmanirrahim” “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” kata Najmudin memulai presentasi. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” “Pagi ini…” Lidah anak ini mendadak beku. Pasti ada yang salah dengan lidahnya. Celakanya, lidah berkonspirasi dengan pita suara untuk mengacaukan presentasinya hari ini. Tapi Najmudin tak kehabisan akal. Ia sengaja batuk kecil untuk membereskan masalah serius tersebut. “Pagi ini, saya sudah mengamati planet Venus. Indah sekali” kata Najmudin memulai presentasi tunggalnya. Nada bahasanya terdengar polos. “Planet Venus seringkali disebut sebagai bintang timur, karena dia muncul pertama kali sesaat sebelum terbitnya matahari. Ia juga muncul terakhir kali sebelum matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat. Sinarnya paling terang daripada bintang-bintang yang lain. Hal ini disebabkan planet ini diselimuti awan panas yang terdiri dari gas CO2 dan nitrogen dalam jumlah yang sangat besar, membentuk senyawa mayoritas. Oleh sebab itu, tak ada makhluk yang bisa bertahan hidup di sana. Akan tetapi, aku sangat ingin terbang ke sana. Mengamati Venus dari dekat sekaligus mencari tahu mengapa planet sepanas itu dijadikan lambing dewi kecantikan. Aneh sekali” kata Najmudin penuh percaya diri. Pak guru menggeleng-gelengkan kepala tanda kagum mendengar kata-kata anak kecil itu. Tak bisa disembunyikan lagi, senyumnya beliau adalah ekspresi terpukau kepada anak sepuluh tahun itu. Ia adalah orang pertama yang memberikan aplaus untuk presentasi Najmudin. “Teruskan…” kata pak guru. “Sudah, Pak” jawab Najmudin. “Baik. Kau sudah membuktikan kalau kau laki-laki yang hebat dan pemberani” sanjung pak guru. “Terima kasih pak guru, terima kasih teman-teman atas perhatiannya. Wassalamu’alaikum” kata Najmudin mengakhiri penampilan pertamanya. Ia berjalan kembali ke tempat duduknya. Hatinya bergemuruh. Namun gemuruhnya kali ini berbeda dengan gemuruh saat dia akan berdiri di depan kelas tadi. Gemuruh kali ini kurang lebih berarti, kesan pertama kali ini tidak begitu memalukan lah… 9 Teh Perdamaian Nenek adalah salah satu hadiah terbesar yang diberikan Allah kepadaku. Beliau yang mengasuhku sejak kecil sekaligus mengajariku berbicara dengan baik. Salah satu nasehat nenek yang paling kuingat sampai sekarang adalah, pastikan lidahmu terhubung dengan otakmu setiap kali akan berbicara. Nenek juga memerintahku agar selalu bertindak sesuai dengan ajaran agama, jangan memperburuk citra agamamu di depan orang lain terutama orang yang berbeda keyakinan. Tak hanya itu, beliau adalah pahlawanku sebab beliaulah orang pertama yang akan membelaku jika aku diganggu oleh teman-temanku yang nakal. Beliau tak segan-segan lagi mengacungkan subluk ke arah anak-anak nakal itu agar mereka berhenti membuatku menangis. “Jangan sampai kepala kalian dicium benda ini” seru nenek mencak-mencak. Alhasil, anak-anak jalanan itu lari terbirit-birit. Keesokan harinya, mereka tak berani lagi menggangguku. Mereka pasti tahu bahwa nenekku sakti mandraguna. Sekali aku diganggu, maka sinyal negatif itu segera terkirim ke rumah dan menggetarkan antena dalam hati nurani nenek. Kemudian nenek akan datang ke tempatku berada, seperti pahlawan dengan senjata subluk andalannya. Subluk adalah alat memasak yang dipakai terutama untuk mengaduk masakan berkuah. Benda ini terbuat dari bilah bambu sebagai pegangan dan tempurung kelapa di ujungnya. Bisa dibayangkan betapa sakitnya kepalamu dipukul dengan tempurung kelapa. Hal yang kusukai adalah ketika nenek mengajakku memetik kangkung di sawah tak jauh dari rumah. Sawah itu dulunya milik kakek dan diwarisi turun temurun sebanyak 4 generasi. Kalau sedang musim penghujan, satu petak sawah ditanami kangkung. Sepetaknya lagi ditanami bayam. Kalau sudah memasuki masa panen, maka nenek akan mengajakku turun ke sawah untuk menuai hasil jerih payah kita. Nenek bertugas memetik kangkung dan bayam dengan pisau kecil di tangannya. Sedangkan aku dimandati untuk mengikat kangkung itu dengan serat bambu yang dipotong kecil-kecil. Hasil panen kita hari itu cukup banyak, 24 ikat kangkung dan bayam. 20 di antaranya kita jual untuk tambahan membeli keperluan dapur, sisanya kita masak sendiri. Jangan salah, masakan nenek mempunyai kelezatan yang tak bisa ditandingi oleh warung-warung makan manapun, juga tak kalah dengan masakan para chef yang sering muncul di kotak bersuara itu. Kala itu nenek beristirahat di pinggir sawah. Di sampingnya terdapat nampan dengan teko berisi air putih dan gelas. Tak lupa kue putu ayu yang dibeli di warung Bu Hayati. “Istirahat dulu, Hamid” seru nenek sampil mengibas-ibaskan ujung bajunya. Aku tak begitu mempedulikan seruan nenek. Aku masih asyik bergelut dengan lumpur sawah. Mencari keong emas yang kerap sembunyi di balik gagang bayam dan kangkung. Setiap kali aku menemukan hewan itu, kumasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah kusiapkan dari rumah. Rencananya, masakan tumis kangkung buatan nenek pasti akan terasa lebih berkelas jika ditambah dengan irisan daging keong ini. Sedikit mendekati masakan seafood, ujarku dalam hati. Tak berhenti sampai situ. Saat aku sedang tidak bersekolah, nenek pasti mengajakku ke pasar. Di hari Minggu yang ramai, nenek sengaja mengajakku untuk mengetahui dunia luar selain di sekolah. Biasanya kami berangkat dari rumah pukul setengah tujuh pagi. Di saat matahari belum naik sehingga udara pun masih terasa sejuk. Waktu yang ideal untuk olahraga, terutama lari atau jalan santai, begitu kata guru olahragaku. Jarak pasar dari rumah kami cukup jauh. Kami harus melewati jalan desa seperti biasa. Jalan terus sampai menjumpai persimpangan dengan pohon jati bercabang dua. Masih ingatkah kamu, kalau kita mengambil jalan ke kiri, maka kita akan sampai ke lapangan balai desa. Tapi kalau kita belok ke kanan, maka jalan itu membimbing kita menuju pasar. Nah, ambillah jalan yang belok ke kanan. Di sepanjang jalan, kita akan menjumpai perkebunan kopi milik Pak Dulmatin. Perkebunan seluas itu hebatnya hanya mempekerjakan kedua anak laki-lakinya. Tak perlu merekrut orang lain untuk mengurusi perkebunan yang luasnya 10 menit perjalanan itu. Kata Pak Dulmatin, biarlah keluarga mereka yang bekerja, agar keuntungan dapat dinikmati sendiri. Tak perlu dibagi-bagikan kepada orang lain. Setahun yang lalu, tak ada angin tak ada badai, seluruh kopi masak di perkebunan itu ludes dimangsa luwak. Tak bersisa. Kalaupun bersisa, itupun hanya bijih kopi yang sudah koyak. Tak layak untuk dijual kembali. Sejak saat itu, Pak Dulmatin mengangkat tiga orang pekerja dari penduduk desa yang menganggur. Sampai saat ini, tak kudengar lagi ada gara-gara di perkebunan kopi terbesar di desa kami ini. Perjalanan kita sampai ke sebuah sungai. Sungai ini bernama sungai Kemuning. Menurut sejarah, dahulu kala di sepanjang sungai ini banyak tumbuh pohon kemuning (Murraya paniculata). Tanaman yang berbunga sepanjang tahun dengan daun mirip daun jeruk ini memiliki wangi bunga yang khas. Konon, campuran daun serta bunga kemuning bermanfaat untuk memelihara kecantikan dan kehalusan wajah. Oleh sebab itulah penduduk sekitar memburu bunga dan daun kemuning ini secara besar-besaran. Mereka lupa untuk meregenerasikan pohon tersebut. Alhasil, banyak pohon kemuning yang dijarah sampai gundul. Keadaan ini dibiarkan begitu saja selama beberapa bulan hingga datanglah musim kemarau panjang seperti saat ini. Matilah pohon-pohon ikon kecantikan itu. Tak heran, wajah-wajah ayu penduduk sini perlahan kembali ke wajah semula. Wajah orang-orang yang suka membuat kerusakan di muka bumi ini memang selalu tak sedap dipandang mata. Sungai Kemuning belum memiliki jembatan. Pernah diwacanakan untuk membangun jembatan untuk mempermudah mobilitas penduduk desa dengan desa seberang. Namun entah mengapa wacana itu selalu berakhir dengan wacana dan rencana, belum nampak akan adanya tanda realisasi. Sepuluh bulan lalu, kami dengar ada bantuan dari pemerintah pusat untuk pembangunan jembatan. Anehnya, lokasi di sekitar sungai ini masih tenang-tenang saja. Seperti dua puluh tahun yang lalu. Kata nenek, tak ada perubahan bagi rakyat kecil seperti kita. Karena jembatan tak kunjung dibangun, terpaksa kita harus menyeberangi sungai dengan menggunakan sampan. Kebetulan nenek kenal betul dengan pemilik sampan, Mbah Darmaji, demikian penduduk desa menyebutnya. Saat aku dan nenek menaiki sampannya yang sudah dipenuhi lumut di sela-sela bambunya, aku sempat mengamati wajah laki-laki paruh baya itu. Kasihan dia. Umur setua itu namun masih bekerja mencari nafkah seorang diri dengan menyeberangkan orang lain menggunakan sampan tuanya itu. Belum lagi anak-anak muda tukang penyulut mercon di langgar desa itu, mereka memang benar-benar kurang ajar. Sering mereka tak membayar biaya penyeberangan saat akan berangkat sekolah. Mbah Darmaji hanya geleng-geleng kepala memaklumi tingkah anak-anak muda jaman sekarang itu. “Mbah marah?” tanyaku ingin tahu. “Buat apa marah. Mungkin uang mereka hanya cukup buat jajan di sekolah. Jadi belum ada rejeki Allah yang dititipkan melalui mereka untuk Mbah” kata Mbah Darmaji dengan suara paraunya. Aku hanya memandangi wajah orang tua itu. Kasihan sekali. Ingin aku berkata kepada nenek untuk memberikan seluruh uang yang dibawa beliau hari ini untuk Mbah Darmaji. Tak perlulah kita ke pasar dahulu. Sesampainya di seberang, kita harus melewati lahan kosong yang luasnya hampir menyamai lapangan bola. Nenek menganjurkanku membaca taawudz dan ayat kursi. Bukan hal aneh lagi bagiku mendengar nenek berkata demikian. Aku pernah melihat seorang bapak memegang tasbih yang besarnya seperti tasbih milik biksu Tong Sam Chong. Mulutnya komat kamit dengan mata jelalatan seperti seorang mata-mata. Ia pasti sedang membaca doa tolak balak. Seminggu yang lalu, aku juga menjumpai dua orang perempuan memakai seragam SMA sedang membawa Al Quran. Keduanya membuka kitab suci itu dan membaca surat Aj Jiin. Tak sopan sekali mereka, membaca kitab suci mereka sendiri tanpa memakai pakaian yang menutup aurat. Akibatnya, ketika mereka sampai di tengah-tengah lahan kosong, seorang dari mereka merasa ada yang menarik-narik rambut kepangnya. Tarikan itu begitu kuat hingga dia menjerit kesetanan. Untungnya, kejadian ganjil itu tak berlangsung lama. Sesaat kemudian, cengkeraman gaib itu terlepas dan keduanya bisa melarikan diri dari tempat paling angker di desa ini. Baru-baru ini, aku mendengar dari cerita temanku bahwa ada seorang ibu meletakkan sesaji di lahan kosong itu. Sesaji itu lengkap sekali. Ada segelas kopi, teh, air putih dan sirup rasa frambozen, rokok dua batang, daun sirih beserta kapur sirihnya, uang receh lima ratus rupiah 6 buah dan jajanan pasar termasuk putu ayu, jajanan fenomenal di desa ini. Mereka, teman-temanku diam-diam mengamati gerak-gerik ibu tersebut. Setelah dia pergi meninggalkan sesajinya, maka beraksilah teman-temanku itu. Mereka memakan seluruh hidangan sesajen itu tanpa meninggalkan bekas. Sedangkan nampan, gelas dan daun sirihnya mereka buang ke sungai. Nakal sekali. “Apa kalian tidak takut dimarahi penunggu lahan kosong itu?” tanyaku sambil bergidik ketakutan waktu itu. “Hah… takut?” kata Jamil dengan nada sedikit mengejek. Meledaklah tawa Imam, Ihsan, Jamil, Sarah dan Umayah. Mereka seakan tak mempedulikan kekhawatiranku akan keselamatan mereka. “Takut itu sama Allah SWT saja, Mid. Bukan sama yang lain” kata Sarah yang masih menahan tawa. Jelek sekali wajahnya saat itu. “Sesaji itu…” kataku dengan penuh ketakutan. “Orang ada rejeki kok ditolak” jawab Ihsan enteng. Namun demikian, aku tetap mematuhi saran nenek. Kubaca taawudz dan ayat kursi dalam hati. Bukan karenaku takut dengan makhluk-makhluk gaib yang sering diceritakan penduduk desa ini, namun lebih kepada menjaga-jaga diri saja dari hal yang tak diinginkan. Bukankah lahan kosong seperti ini bisa saja menimbulkan bencana? Dalam hatiku, semoga saja tak ada ular yang menampakkan diri dan menakut-nakuti nenek. Setelah menempuh perjalanan jauh, sampailah kita di pasar tradisional. Pasar itu tidaklah besar. Hanya terdiri dari sepuluh kios yang berjejer membentuk dua baris yang saling berhadapan. Sekilas, nampak seperti warung biasa. Namun banyak penduduk desa yang tidak setuju tempat tersebut disebut sebagai warung. Haruslah disebut pasar. Pasar satu-satunya di desa. Rupanya, penduduk sini belum cukup nyali untuk mengakui bahwa sesungguhnya desa ini belum memiliki pasar. Sama menyedihkannya karena desa ini juga belum memiliki jembatan. Nenek membeli perlengkapan dapur. Beliau hafal betul daftar bahan-bahan masakan apa saja yang sudah menipis persediannya di rumah. Beliau juga lihai menaksir harga-harga sembako di pasar ini. Kalau ada penjual yang mematok harga terlalu tinggi, maka nenek tak tanggung-tanggung lagi untuk menawarnya dengan kisaran harga yang seharusnya. Kalau kedua-duanya ngotot mempertahankan patokan harganya masing-masing, jadilah aku dan penjual yang lain menonton perhelatan terakbar di pasar pagi ini. Karena sama-sama memiliki dalil yang kuat, si pedagang berdalil bahwa harga lombok naik karena mengimbangi permintaan pasar yang tinggi serta menipisnya stok gudang. Sedangkan nenek juga memiliki dasar bahwa harga lombok tidak setinggi itu. Pemerintah telah menentukan harga eceran tertinggi untuk bahan dapur kesukaanku itu. Di tengah-tengah pertempuran sengit itu, akhirnya nenek mengeluarkan jurus maha saktinya. “Jujur itu membawa daganganmu makin laris lho, mak” Seketika pedagang cabai dan bawang itu mengibarkan bendera putih tanda damai. Nenek memang seorang yang amat kucintai. Selain pandai menawar harga, beliau juga paling setia membelikanku jajan pasar. Salah satu alasan mengapa nenek tak pernah memberiku jajanan modern seperti yang ditayangkan di kotak bersuara itu, karena jajanan jenis itu penuh dengan tipuan. Di bungkus snack itu, tertulis ‘Temukan uang sekian rupiah jika anda beruntung. Namun setelah dibuka, bahkan sampai isinya habis tak bersisa, tak ditemukan uang sepeser apapun. Tak hanya itu, banyak undian hadiah yang tertera di bungkus luar snack modern itu. Apabila mengirimkan sekian bekas bungkus jajan merk ini dan dikirimkan ke alamat itu, maka akan memenangkan sejumlah hadiah ini itu. Setelah kucoba bolak balik ke kantor pos mengirimkan persyaratan itu, tak satu pun hadiah yang kuterima. Berbagai pengalaman inilah nenek tak suka membelikanku makanan yang indah luar tapi penuh kebohongan di dalamnya itu. Itulah nenek. “Jajanan pasar lebih jujur dari apapun, Hamid, biarpun tak pernah masuk kotak bersuara itu” kata nenek sambil menggigit jenang ketan menggunakan dua giginya yang masih tersisa. Seluruh kebaikan nenek itu bukan berarti tiada luka. Memang sedikit menyakitkan untuk diceritakan di sini. Satu hal yang kurang kusuka dari nenek adalah caranya mengajariku membaca Al Quran. Seperti yang sudah kuceritakan tempo itu, sobat. Nenek akan memberiku sebuah Al Quran untuk kubaca. Setelah aku membuka halaman pertama kitab suciku itu, beliau mulai membacakan surat Al Fatihah. Kemudian beliau menyuruhku untuk menirukannya. Di tangannya kanannya terdapat Al Quran, sedangkan di tangan kirinya ada seikat rumput kering. Benda yang di tangan kiri beliau itulah yang tak kusuka. Sekali aku salah baca, maka benda maut itu akan menghampiri jariku. Dua kali aku salah baca, maka ia akan menghajar punggung tanganku. Jika tiga kali baca, maka ia akan mencambuk lengan tanganku. Jika keempat kalinya, maka tempat hukuman kembali ke jari-jari tanganku sebelah kiri, begitu seterusnya. Menghadapi cara mengajar nenek yang ekstrim tersebut, tak jarang sampai aku menangis dibuatnya. Setelah mengaji selesai, biasanya aku langsung berlari ke kamar tidurku. Kukunci pintu dari dalam dan kulangsung bersembunyi di balik bantal sambil menangis sesenggukan. Basah semua bantalku hingga aku sendiri tak bisa tidur. Seperti bantal kehujanan, basah kuyup. Sedangkan otakku terus memekikkan seruan, “Jahat sekali nenek padaku malam ini”. Keesokan harinya, nenek mengetuk pintuku dengan lembut. Membangunkanku untuk menunaikan sholat Subuh. Jujur, hatiku masih sakit mengingat perlakuan nenek padaku semalam. Namun, nenek selalu mengingatkanku agar jangan sampai meninggalkan sholat, terutama sholat Subuh. Maka, terpaksa kubuka pintu dan kuambil air wudhu di belakang rumah. Kulaksanakan sholat Subuh seorang diri di kamar (aku tak berani sholat Subuh di langgar karena orang-orang pasti memergokiku mataku merah menyala habis menangis semalaman karena ulah nenekku sendiri). Kupanjatkan doa kepada Allah agar Dia melunakkan hati nenek yang kejam kepadaku. Sungguh permintaan ini adalah doa utama yang pernah kuucapkan dalam hidupku. Sampai menangis lagi aku karenanya. Saat itulah nenek datang ke kamarku membawa segelas teh hangat. “Untuk cucuku tersayang. Jangan menangis lagi ya, nanti kamu tidak manis lagi. Jangan mau kalah dengan manisnya teh ini” kata nenek dengan senyuman tulusnya. Remuk redam hatiku mendengar kata-kata nenek tadi. Terima kasih Allah, cepat sekali Kau kabulkan doaku? 10 Pendowo Suara bedug itu bergema di seantero desa. Suaranya terdengar istimewa. Mantap dan meyakinkan, bahkan hati ini ikut bergetar karena suaranya. Bedug itu berada 10 kilometer jauhnya dari desaku. Namun suaranya bisa merambat sampai kediamanku karena ada pengeras suara yang dipasang di sampingnya. Pengeras suara itu adalah alat yang kesembilan sejak pemakaian mic untuk menggemakan panggilan suara agar lebih keras. Sedangkan ke delapan mic terdahulu sudah almarhum lantaran tak kuat menahan dahsyatnya suara bedug lengkap dengan getarannya yang mampu merontokkan jantung itu. Aku, Ihsan, Farhan, Jamil dan Imam berangkat bersama-sama ke masjid Darul Muttaqin untuk melaksanakan sholat Jumat. Kita berjalan kaki sampai masjid itu, berbeda dengan orang-orang kota yang naik motor bahkan memakai mobil untuk sampai ke rumah Allah tersebut. Rupanya pahala kita jauh lebih banyak disbanding orang-orang kota itu. Terlebih, kita memudahkan para malaikat untuk menghitung pahala yang akan kita peroleh. Sebanyak langkah kaki kita dikalikan sekian ribu pahala. Sederhana saja. Namun akan menjadi masalah baru bagi para malaikat, bagaimana mereka akan menghitung pahala penghuni kota sedangkan mereka tidak berjalan kaki? Padahal tidak ada hadits yang menjelaskan cara menghitung pahala yang didapat jika seorang muslim berangkat sholat Jumat dengan menaiki motor. Pernah suatu ketika aku tanyakan hal ini kepada Mbah Haji. Beliau pusing lima keliling dibuatnya. Pertama, dia kaget mengapa anak kecil sepertiku bisa melontarkan pertanyaan sesulit itu. Kedua, dia sendiri belum pernah naik motor untuk berangkat sholat Jumat –motorpun beliau tak punya. Ketiga, dia belum menemukan hadits soal pahala orang yang berangkat sholat Jumat dengan naik motor. Keempat, sewaktu beliau mondok di Jawa Timur selama dua dasawarsa, belum pernah dia menemui kejadian berangkat ke masjid naik motor. Kelima, beliau paling tak suka pelajaran berhitung. Sama sepertiku. Bangunan masjid Darul Muttaqin sangatlah megah. Terletak di pusat kota Purworejo. Masjid ini luasnya sekira lima kali lipat sawah nenek. Di bagian depan masjid, terdapat satu buah menara segi delapan berwarna putih marmer setinggi 15 meter. Di puncak menara, terdapat ruangan khusus untuk muadzin mengumandangkan adzan. Ruangan ini diberi lampu berwarna hijau. Entah mengapa pengurus masjid memilih warna ini, bukankah biru lebih cantik menurutku. Dulu, sebelum adanya kemajuan teknologi, para muadzin memang harus naik ke atas menara itu untuk mengumandangkan adzan. Hal ini dilakukan agar suaranya bisa terdengar sampai jauh. Namun, hal ini tak dilakukan lagi sejak pengurus masjid memasang mic untuk mempermudah kinerja para muadzin. Di serambi masjid, ada sebuah undak-undakan memanjang sekitar 10 meter. Undak-undakan ini terdiri dari 7 tingkat. Memasuki ruang pertama masjid, kita akan sampai di ruangan berkeramik warna krem bintik bintik merah. Dingin sekali keramik di sini. Kebetulan, masjid sudah mulai ramai. Kami terus berjalan menuju ruang utama di sebelah barat. Ruang utama masjid didesain lebih indah dan mewah dibanding ruang pertamanya. Dinding masjid dipenuhi keramik berbentuk belah ketupat berwarna hijau lumut. Warna senada juga ditemukan pada tiang penyangga masjid berjumlah empat buah di tengah-tengah bangunan. Bentuk tiang penyangga ini dipermanis dengan hadirnya ukiran kayu bermotif tumbuhan paku yang menjalar dari bawah hingga langit-langit. Di bagian tembok di samping pengimaman, terlukis kaligrafi bertuliskan huruf Arab yang belum bisa kubaca –inilah alasan utama mengapa tanganku selalu memar-memar karena seikat ilalang kering itu. Sedangkan ruangan pengimaman itu sendiri, dihias oleh ribuan batu-batu kecil mengkilat berwarna putih dan cokelat muda. Pikirku, batu itu pasti bukan sembarang batu. Bisa jadi batu yang jatuh dari langit atau dibawa langsung dari Mekkah. Tak mungkin batu semolek itu ditambang dari sungai Kemuning, mustahil semustahil-mustahilnya. Kami mengambil shof ketiga dari depan. Bagian ini masih kosong. Biasa, orang-orang Indonesia memang suka mengisi tempat duduk di bagian yang paling belakang dulu. Tidak hanya di masjid, tetapi juga di resepsi pernikahan desa, acara rapat RT/ RW, pertemuan di balai desa hingga acara imunisasi balita maupun penyuluhan lansia. Kursi-kursi di barisan paling belakang pasti penuh terlebih dahulu. Sedangkan barisan paling depan dibiarkan sunyi senyap. Hanya orang-orang yang tahu berapa banyak pahala yang akan diberi secara cuma-cuma oleh Yang Kuasa yang mau menempati barisan keramat ini. Soal banyaknya, yang pasti banyak sekali. Janganlah kamu memeributkan perkara itu. Itu adalah hak Allah dalam menentukan pemberian pahala tersebut –alasan agar aku tak berjumpa lagi dengan angka dan bilangan perkalian yang memusingkan kepala itu. Sebelum prosesi sholat Jumat dimulai, seorang pengurus masjid memukul bedug terbesar itu sekali lagi. Lima meter dari posisi bedug, kami sudah ancang-ancang menutup telinga kami rapat-rapat agar gendang telinga tak robek dengan sia-sia karena dentumannya yang maha dahsyat. Namun ternyata itu tak cukup membantu. Getaran bedug itu masih mengacaukan seisi masjid, memporakporandakan letak jantungku, menggetarkan lantai masjid hingga menggoyangkan lampu hias gantung yang penuh permata sebesar kelereng. Satu hal yang kuheran, petugas pemukul bedug itu seolah tak masalah ditugasi menghajar bedug yang konon terbesar di dunia itu. Dia nampak baik-baik saja, seperti halnya Pak Hanafi memukul bedug mungil di langgar desa kami. Dia juga kelihatan tak bergeming saat getaran maha keras dari bedug itu mengagetkan seluruh orang di masjid ini. Saat khotbah pertama berlangsung, aku masih meraba-raba dada kiriku. Khawatir jantungku pindah posisi dari letak semula. Kulihat imam yang sedang berkhotbah di atas mimbar, nampak sekali dia berkedip-kedipkan matanya. Sesekali dia memegangi kepalanya yang seakan mau lepas. Isi khotbahnya pun pada kalimat-kalimat tertentu terdengar sedikit rancu, kacau lebih tepatnya. Kutebak, ini pasti akibat dentuman bedug yang sangat hebat itu. Rasa penasaranku menggelayuti otak. Tak habis pikir, bedug seukuran sapi itu memiliki daya dentum dan daya getar yang luar biasa. Kalau aku hidup pada jaman kemerdekaan Republik Indonesia ini, mungkin aku bisa membandingkannya dengan kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki. Perbedaannya dalam skala angka mungkin berkisar 3:4. Tak lebih dan tak kurang. Aku pun bertekad, aku harus mencari tahu mengapa bedug itu memiliki kekuatan yang sangat berbeda dibanding bedug-bedug yang lain. Oleh karena itulah, aku harus bertanya kepada pengurus masjid tentang asal usul bedug itu. Seusai sholat Jumat, aku harus menemukan jawabannya. Setelah sholat Jumat dan berdzikir sejenak, aku dan teman-teman menemui pengurus masjid. Mudah sekali membedakan mana pengurus masjid dengan yang bukan. Pengurus masjid agung ini memiliki ciri khusus. Mereka diwajibkan memakai baju putih dengan sebuah tasbih yang selalu berputar di tangan kanannya. Satu lagi, mereka biasa memakai wewangian khusus, yaitu wangi misik. Khusus petugas pemukul bedug, tasbih itu dikalungkan di lehernya dan wewangian yang dipakai adalah aroma cendana. “Pernahkah bedug ini memakan korban jiwa, pak?” tanyaku kepada petugas masjid yang pakaiannya beraroma cendana itu. Ia nampak terperangah dengan pertanyaan konyol yang sengaja kulontarkan itu. “Sebentar, mari kita duduk di sana saja” kata petugas itu sambil menunjuk lantai di dekat bedug besar. Kami mengikuti usulan orang tua itu. “Nama saya Hamid, pak. Saya hanya ingin tahu jawaban pertanyaan saya tadi” kataku memulai pembicaraan. Bapak itu tersenyum. Mungkin aku bukanlah orang pertama yang mengajukan pertanyaan aneh seperti ini. Sehingga ia tak kehabisan akal menjawab pertanyaan yang jawabannya sudah ditemukan tempo dulu. “Perkenalkan, nama saya pak Said. Saya petugas pemukul bedug di masjid ini” kata Pak Said sambil mengarahkan tangannya ke bedug besar di sampingnya. “Sudah berapa tahun pak menjadi pengurus masjid ini?” Tanya Farhan. “Mmm… tepatnya bapak lupa. Tapi bapak yakin, sebelum kalian lahir, bapak sudah menjadi bagian dari pengurus masjid agung ini” “Hebat ya Bapak. Tapi bapak sehat wal’afiat ‘kan?” sambung Imam. “Oh tentu…” jawab lelaki itu dengan senyuman tulusnya. Suasana hening sejenak. “Bapak belum menjawab pertanyaan saya tadi” kataku memecah keheningan. “Pertanyaan? Yang mana ya?” “Yang… soal korban bedug besar ini, pak” tukas Imam dengan sigap. Pak Said terperanjat lagi untuk kedua kalinya. Raut mukanya sama persis seperti waktu ia mendengar pertanyaanku untuk pertama kalinya tadi. “Tidak ada, ini ‘kan bedug istimewa. Tak ada korban, tumbal atau semacam itulah” “Namun suaranya memekakkan telinga, pak. Untung sampai saat ini saya masih bisa berbincang-bincang dengan bapak di samping bedug ini. Saya rasa hidup saya khatam saat bedug itu ditabuh bapak tadi” kataku sambil memegang dada kiriku. “Lho memangnya mengapa?” tanya pak Said dengan kening berkerut. “Bom Nagasaki, pak. Bom Nagasaki, pak” kata Jamil. “Bom Nagasaki?” tanya pak Said penuh rasa ingin tahu. Sontak kusadar, jangan-jangan Pak Said belum pernah membaca buku Sejarah sehingga tak tahu sejarah kehancuran Jepang melawan Sekutu. “Maksudnya suaranya keras sekali hingga hampir merontokkan jantung dan hati kami, pak” terangku. Pak Said tiba-tiba tertawa lepas mendengar penjelasanku. Kami terpaku dengan gelak tawanya. Pikirku, sebelah mana dari kata kami yang dianggapnya lucu? “Apa ada unsur magisnya, Pak?” tanya Farhan. “Ada isinya, Pak?” tambah Ihsan. “Ada penghuninya, Pak?” seru Imam dengan nada bersemangat. “Aaah…?” jawab Pak Said dengan menggeleng-gelengkan kepala. Sisa-sisa tawa lepasnya masih terlihat di wajahnya. “Lalu bagaimana sejarahnya, Pak?” tanyaku singkat. “Sebentar… “ kata Pak Said sambil memegangi perutnya. Salah satu tanda seseorang yang model tertawanya melampaui batas adalah Allah menghukumnya dengan ngilu di bagian perut. Kurasa Pak said baru saja dihukum Allah. Cukup lama kami membiarkan Pak Said mengatur suasana fisiknya agar benar-benar siap untuk berbagi cerita dengan kami yang sedang diliputi rasa penasaran ini. “Sejarahnya panjang, nak” kata pak Said. “Sepanjang apa, pak? Tak sampai malam kalau diceritakan sekarang, ‘kan?” tanya Imam sambil memegangi dagunya, wajahnya seperti eksekutif muda yang sedang berpikir untuk menyelesaikan masalah kantor. “Diringkas saja, pak. Dulu bapak pernah ada pelajaran meringkas kan?” kata Farhan menambahkan. Pak Said tersenyum lagi. Ia melepas tasbih yang ada di lehernya lalu meletakkan benda itu di lamtai. Tangan kirinya mulai mempermainkan setiap manik-maniknya. “Bedug ini dibuat pada abad ke-18 oleh Raden Adipati Cokronagoro I, bupati Purworejo waktu itu. Beliau berinisiatif membuat bedug ini sebagai alat pelengkap untuk masjid, sekaligus penanda datangnya waktu sholat fardhu. Nah, bahan pembuat bedug ini adalah kayu jati bercabang lima. Istimewanya, pohon ini hanya tumbuh di dukuh Pendowo, Kecamatan Bagelen. Makanya kayu itu dinamakan kayu Pendowo” kata pak Said sambil matanya menerawang ke arah tembok masjid. “Kayu itu utuh seperti ini, Pak?” tanya Jamil penasaran. “Ya, sejak pertama kali ditebang sampai dibawa ke Purworejo, ya ukurannya memang seperti ini. Bisa dibayangkan betapa beratnya kayu ini” “Memangnya, dukuh Pendowo dan Purworejo sendiri jaraknya jauh?” tanya Imam. “Sangat jauh, nak. 9 kilometer. Tak hanya itu, jalan di sepanjang Bagelen sampai Purworejo belum sebagus sekarang. Keadaan waktu itu masih tertutup hutan lebat dan rumpun bambu. Menurut cerita para kyai imam masjid ini, membawa kayu gelondongan ini bukanlah perkara yang mudah. Ada saja gangguannya. Terutama yang datang dari makhluk halus” jawab pak Said dengan mimik serius. “Wah, aku pasti menolak jika harus membawa kayu seberat itu” seloroh Imam tiba-tiba. “Ah kamu memang tak pernah bekerja keras, Mam” kata Jamil meledek. “Tapi, kalau misal kalian ditugasi memikul kayu Pendowo ini, tak usahlah ragu dan menolak” kata pak Said sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah kita. “Mengapa, Pak?” tanya kami serempak. “Karena sudah ada hiburan di setiap pos pemberhentian” “Pos pemberhentian Pak? Gaul sekali seperti pramuka?” tanya Farhan. “Memang begitu. Setiap jarak dua puluh meter, pekerja pembawa bedug akan berhenti di sebuah pos. Di pos itu sendiri, sudah tersedia beragam macam makanan dan minuman yang disediakan oleh penduduk desa secara sukarela. Tak hanya itu, petugas yang kelelahan itu akan dihibur dengan pertunjukan ledek7. Cantik-cantik lho penarinya” “Yang benar, Pak” tanya Ihsan menuntut kepastian. “Bapak dapat cerita ini turun temurun dari sesepuh masjid ini. Mereka bercerita kalau penari-penari ledek Purworejo memang cantik-cantik” Aku dan teman-temanku manggut-manggut. “Terus kulit bedug terbuat dari apa, pak?” “Dulu di Purworejo banyak terdapat banteng. Karena ukuran kulit banteng diperkirakan bisa menyamai besarnya bedug ini, maka dipilihlah kulit hewan bertanduk itu sebagai kulit penutup bedug. Namun pada tahun 1936, kulit banteng itu mengalami penurunan kualitas. Dikhawatirkan semakin lama semakin rusak, maka digantilah kulit banteng tersebut dengan kulit lembu Ongale yang didatangkan dari sukarelawan asal Cilacap. Akan tetapi, karena bedug ini dipukul lima kali sehari setiap masuk waktu sholat, kulit lembu ini akhirnya aus dan mulai berlubang. Sehingga pada tahun 1993, kulit bedug diganti lagi menjadi kulit sapi biasa. Belajar dari pengalaman pengalaman sebelumnya, agar bedug ini tak mudah rusak, maka waktu membunyikannya pun harus dijadwal. Hanya pada hari Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha saja bedug ini boleh dibunyikan. Inilah kebanggaan warga Purworejo. Sudah seharusnya kita ikut menjaga warisan leluhur Islam ini” kata Pak Said. 7 Tarian tradisional yang penarinya semua wanita dengan memakai pakaian adat Jawa. Sedangkan musik pengiringnya yaitu karawitan, seperangkat alat musik Jawa seperti gamelan, seruling, kenong, gong dll. 11 Jangan Memakai Istilah “Ortodoks” Tinggal di desa ini memberikan pemahaman yang sangat berbeda dengan apa yang diajarkan di sekolah. Kalau di sekolah kita diajarkan untuk mengandalkan logika kita untuk membaca setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Sedangkan di lingkungan sini, justru sebaliknya. Jangan sekali-kali memakai logika untuk menjelaskannya kepada orang-orang sekitar, terutama orang tua. Mereka seperti yang disebut dalam bahasa keren sebagai kaum ortodoks. Contoh mudahnya, kaum ortodoks berkeyakinan duduk orang hamil dilarang keras duduk di pintu sambil makan. Sebab hal ini akan mendatangkan bencana yang sangat mengerikan, seperti nyawanya akan tercabut sore harinya atau meninggal sewaktu tidur. Sedangkan kaum logis berpendapat, jelas saja akan mendatangkan bahaya. Pintu itu bukan tempat duduk, melainkan untuk orang lewat. Tak hanya orang hamil, orang tua sampai anak-anak pun memang jangan duduk di pintu kalau tidak ingin ditabrak oleh orang yang sedang lewat. Satu lagi, legenda soal pohon jati bercabang dua seringkali menjadi buah bibir di masyarakat desa. Konon, pernah ada seorang pedagang sate keliling yang mangkal di tempat itu menanti pembeli. Tiba-tiba di tengah lamunannya, datang seorang perempuan berpakaian serba putih minta dibuatkan sate 20 tusuk. Mirip cerita dalam film-film horror Indonesia tempo dulu rupanya. Setelah pesanannya jadi, wanita itu membayar dengan sejumlah uang yang sangat banyak. Saking banyaknya, sampai pedagang itu tak memiliki uang kembalian. Kata wanita cantik itu, uang kembalian itu untuk si penjualnya saja. Sebab si penjual berwajah tampan dan baik hati. Mendengar kata-kata manis dari seorang wanita yang manis pula, melayanglah hati pedagang sate itu. Dirinya bagai diangkat sampai ke langit tujuh. Sanjungan itu membuatnya terbang hingga sulit lagi turun ke bumi. Diciuminya uang dari wanita itu sampai lelah bibirnya. Keesokan harinya, ia menemukan uang yang dia peroleh tadi malam sudah berubah menjadi daun jati muda. Itulah cerita kaum ortodoks. Lalu bagaimana dengan kaum logis menjelaskan satu cerita yang paling terkenal di desa ini? Pedagang sate itu adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya 5 tahun yang lalu. Setiap hari, dia selalu terkenang akan istrinya yang telah almarhumah itu. Mulai dari parasnya yang menawan, halus tutur katanya, hingga perangainya yang membuat siapapun akan jatuh hati padanya. Singkat kata, beruntung sekali seorang pedagang sate macam dirinya bisa memperoleh wanita idaman setiap lelaki. Kebiasaan si pedagang yang selalu melamunkan istrinya itu ternyata berdampak buruk padanya. Bahkan saat ia sedang menjajakan dagangannya. Ia melamunkan bahwa setiap perempuan yang membeli satenya adalah istrinya yang cantik. Nenek-nenek sekalipun pasti dianggapnya sebagai reinkarnasi sang istri. Tak terelakkan lagi, parah sekali bukan imajinasinya? Sampai dia menjajakan satenya itu di bawah pohon jati bercabang dua itu, khayalannya masih saja melayang ke mana-mana. Hingga dia merasakan seolah-oleh didatangi istrinya di tengah malam untuk memesan sate. Sebagai informasi saja, sang istri paling doyan dengan sate buatan suaminya itu. Menu inilah yang terhidang saat pesta pernikahan mereka. Semuanya serba sate. Lalu, soal uang yang berubah menjadi daun jati. Kaum logis akan sangat mudah menjelaskannya. Imajinasi seseorang akan membuat dia melakukan hal apapun yang berkaitan dengan khayalannya itu. Sebagai contoh, orang yang bermimpi kencing biasanya ia akan mendapati kasurnya basah kuyup sebab dia sendiri ngompol. Analoginya, karena pedagang sate itu sedang berimajinasi, suka berimajinasi lebih tepatnya, maka secara tak sadar akan memetik daun jati pada pohonnya. Seolah-olah ia sedang menerima uang dari sang istri. Diciuminya daun jati tersebut seolah-oleh itu adalah uang yang diberikan istri tercinta. Soal pesanan 20 tusuk sate, nenek pernah menceritakan kepadaku. Ketika beliau akan pergi ke pasar dan melewati pohon jati bercabang dua itu, nenek melihat seekor kucing sedang menikmati satu porsi sate yang diceritakan itu. Gugur sudah teori ortodoks di hadapan kaum logis seperti kami. Istilah ortodoks memang pertama kali aku kenalkan kepada teman-teman sepermainanku. Aku memperoleh istilah itu dari pelajaran Sejarah bab perkembangan agama Nasrani di kawasan Eropa. Setelah kucari arti di kamus, definisi kata ortodoks itu sendiri bermakna berpegang teguh pada peraturan agama, kepercayaan, berpikiran kuno dan kolot. Sesuai dengan watak penduduk desa ini yang masih memegang tradisi kolot itu. Ironisnya, sebagian besar masyarakat desa sini sudah menyatakan memeluk agama Islam. Namun prakteknya, mereka masih mempercayai adanya hal-hal yang gaib yang dapat membawa manfaat maupun mudharat bagi seseorang. Pernah suatu hari aku sedang berbincang dengan temanku di samping pohon jati bercabang dua itu. Tak ada hal yang aneh atau setidaknya dapat membuat bulu kuduk merinding. Padahal saat itu hari sudah menjelang Maghrib. Alih-alih kami ketakutan, kami justru menyimpulkan bahwa penunggu pohon ini takut kepada orang-orang berpikiran logis seperti kita. Mereka lebih suka menghantui pikiran kaum ortodoks. Secara sederhana, Allah akan mengikuti persangkaan hamba-Nya. Kalau hamba-Nya yakin takkan ada kejadian aneh-aneh yang menimpa kita, maka takkan datang sesuatu yang ganjil itu. Berbeda kalau kita berpikiran macam-macam, mendengar seseorang menyebut pohon jati bercabang dua saja, bisa membuat kita terkencing-kencing bahkan hingga tidak tidur semalaman. Orang yang berpikiran kuno semacam itu, secara tak sadar mereka akan dikejar-kejar bayangan yang mereka ciptakan sendiri. Kuceritakan hal ini kepada Mbah Haji setelah pengajian beliau usai menjelang Isya’. Tanpa basa basi, Mbah Haji mengganjarku dengan dua jempol. “Bagus-bagus, pemuda Islam harus berpikir logis. Karena Al Quran mengajarkan kita untuk selalu berpikir logis” “Namun tak semua perkara bisa dijelaskan dengan pemikiran logis ya, Mbah” sela Farhan, anak ini adalah salah satu sahabatku yang otaknya cemerlang. “Tepat sekali. Allah, para malaikat, kodrat dan sebagainya adalah perkara yang tidak boleh dilogiskan. Namun kita harus mempercayainya. Sebab itu yang diajarkan oleh nabi kita supaya kita beriman dan mengesakan-Nya” jelas Mbah Haji. “Kami paham, Mbah” jawab aku dan seluruh teman laki-laki sepermainanku. “Ya...ya…ya… satu hal lagi. Meskipun kamu sudah memiliki pemikiran yang sesuai dengan ajaran agama, jangan sampai kau menjelek-jelekkan golongan lain” kata Mbah Haji sambil merapikan sajadahnya. “Mengapa, mbah? Bukankah mereka perlu diluruskan cara berpikirnya?” tanya Imam. “Namun bukan dengan cara yang mendadak dan terkesan frontal seperti itu. Harus pelan-pelan mengubang cara pandang mereka. Beri penjelasan masuk akal agar mereka tidak tersakiti oleh kebenaran. Kalian harus ingat, bahwa nabi kita mengajarkan toleransi dan saling menghormati sesama. Kewajiban kita adalah meniru perilaku mulia beliau” jelas Mbah Haji. “Jadi…” “Tetap saling menghormati perbedaan, itu kuncinya” kata Mbah Haji sambil beranjak dari tempat duduk. Beliau ingin segera pulang ke rumah karena hari sudah malam. “Baik Mbah” jawab kami. Mbah Haji manggut-manggut sambil mengelus-elus cambang yang tak seberapa panjangnya itu. “Sebentar, Mbah pernah mendengar kamu menyebut orang-orang yang berpikiran kolot itu dengan sebutan apa ya?” Mbah Haji membalikkan badan, meminta penjelasan kami soal kata asing bagi beliau itu. “Yang mana mbah?” tanya Farhan. “Halah… yang itu, yang doks, odoks. Yah…yang semacam itulah” jawab Mbah Haji seraya memegangi kepalanya. Itu pertanda beliau sedang mengingat-ingat sesuatu. Meskipun usahanya tersebut terkadang tak membuahkan hasil. “Oh… ortodoks. Saya menyebut mereka ortodoks. Namun setelah mendapat wejangan dari Mbah, kami akan mengubah sebutan itu. Sebab, kalau menggunakan kata ortodoks kok kesannya bukan Islami. Mbah punya sebutan khusus untuk menyebut mereka?” jelasku. “Wah, Mbah tak pandai mencari istilah keren seperti yang kau temukan itu” kata Mbah Haji merendah. Wajah beliau tertunduk malu. Mbah Haji mulai gusar. Beliau terlihat khawatir ketika kumintai mencari istilah berbahasa asing. “Jangan susah-susah lagi ya. Kita sebut saja mereka golongan yang semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada mereka, tanpa terkecuali” kata Mbah Haji sambil senyum. Meskipun kalimat beliau ini tidak mengandung kata-kata asing, setidaknya susunan kata beliau tersebut mengandung doa. Sekarang giliran aku yang manggut-manggut. “Semoga temanku tidak memprotes istilah yang sangat panjang itu. Istilah ampuh ini adalah bikinan Mbah Haji langsung. Jangan main-main” 12 Sorot Mata Tajam Angin semilir bertiup mesra menyapa baju gamisku. Tak terasa hari sudah sore. Lama betul aku berada di sini, Di sebuah tanah lapang dekat dengan sungai. Di sinilah biasanya aku merindukan masa kecilku. Masa di mana aku gegap gempita di lapangan balai desa bersama teman sebaya. Lamunanku ini ditemani gemericik air sungai, mengingatkanku pada kebersamaan bersama nenek saat menyeberangi sungai Kemuning yang wingit itu. Kudengar pula teriakan anak-anak kampung menyemangati rekan sepermainannya agar menjulangkan layang-layang lebih tinggi. Hampir seperti masa-masa ketika aku tak kunjung berani naik egrang dan Jamil menghinaku habis-habisan. Katanya, laki-laki itu tak sepantasnya takut ketinggian. Aku pun hanya nyengir membalas ejekannya. Kulihat matahari tertutup awan di sebelah barat. Sinarnya tak sanggup menembus pekatnya awan gelap yang menghalanginya hingga sampai ke bumi. Sinar tersebut hanya menyemburatkan sinar warna kejinggaan ke seantero langit yang maha luas. Burung-burung camar pun mulai sibuk kembali ke sarangnya. Aku sadar, aku harus pulang sekarang. Aku bangkit dari duduk lamaku. Pegal semua terasa badan ini. Aku sendiri lupa, sudah berapa jam aku berada di tempat ini seorang diri. Segera kuberlari kembali ke pesantren, tempat di mana aku menghabiskan dua tahun berada di sana. Gawat! Aku linglung, apakah aku sudah sholat Ashar atau belum. Aku juga baru saja sadar kalau sore ini ada jadwal mengaji bersama Ustadz Arif. Betapa kacaunya pikiranku sore ini. Sekejap aku teringat pesan seorang santri senior. Kebiasaan melamun di tempat sepi dapat mengacak-acak lurusnya pikiran kita. Terlebih jika dilakukan seorang diri, maka daya destruktif dari perilaku itu akan memperparah ingatan seseorang. Atau dengan kata lain, hal itu dapat melemahkan daya ingat seseorang. Bukti telah teruji, aku tak ingat apapun setelah lamunan panjangku itu. Bahkan aku tak ingat, kapan terakhir kali mandi. Astaghfirullah… Gerbang pesantren putra masih dibuka. Untung saja tak terkunci seperti biasanya. Pada hari-hari aktif sekolah, setelah Ashar biasanya gembok sudah terpasang di gerbang ini. Ada apa ini? Otakku berpikir keras memikirkan kemungkinan apa saja yang bisa terjadi. Namun, rupanya benar kata seniorku tadi. Terlalu banyak melamun dapat mengacaukan konsentrasi. Parahnya, otakku kini tak bisa diajak berpikir. Entahlah, kutak ingin berpikir lebih lama lagi. Aku berlari ke kompleks pondok putra yang terletak agak jauh dari pintu gerbang. sebelum sampai di kamarku yang paling ujung komplek A, terpaksa aku harus melewati kelas 1 dan kelas 2. Saat melewati kelas 1, kulihat ruangan tersebut sudah penuh santri. Hanya saja ustadz pengajar belum terlihat di sana. Salah satu hal yang tak kusuka saat masih berada di kelas itu setahun yang lalu adalah kelas tersebut tak mempunyai jam dinding. Alasannya, adanya jam dinding hanya akan membuyarkan konsentrasi santri dalam belajar. Setiap menit mereka pasti akan memusatkan perhatian pada jam dinding, bukan pada pelajaran yang tertulis di papan tulis di bawahnya. Sehingga keputusan meniadakan jam dinding disetujui oleh segenap ustadz dan dewan pengajar pesantren. Lain halnya dengan kelas 2. Kelas yang diisi oleh para santri tahun kedua ini memerlukan jam dinding sebagai penanda waktu. Sebab, beberapa santri di kelas ini memiliki jadwal lain di luar kelas. Kebanyakan dari mereka punya jadwal mengajar, baik di dalam maupun di luar pesantren. Kalau di dalam pesantren, biasanya santri kelas 2 ini mengajar pelajaran ilmu alat di kelas 1. Sedangkan jadwal di luar pesantren, kebanyakan mereka mengajar les privat Iqro’ yang didatangkan oleh orang tua si anak. Keberadaan jam dinding di kelas 2 inilah yang membuatku berhenti sejenak di depan pintu kelas 2 untuk sekedar mengetahui waktu, jam berapa sekarang. Kulirik jam dinding putih bulat yang dipasang di atas papan tulis. “Jam setengah 6!” teriakku dalam hati. Sial! Aku kembali mengingat-ingat, sudahkah aku sholat Ashar? Namun hatiku cenderung berkata bahwa aku belum melaksanakannya. Kalau otakku sudah bebal berpikir, aku masih bisa mengandalkan hatiku untuk menyuarakan sebuah kebenaran. Kata Ustadz Faqih, meskipun hati terletak di sebelah kiri, namun ia tak mungkin mengarahkan si pemiliknya untuk memilih ‘jalan kiri’. Jalan kiri di sini bermakna jalan yang salah atau jalan yang tidak diridhoi Allah SWT. “Hey… kamu!” seru seseorang dari dalam kelas. Aku terkejut bukan buatan. Mataku jelalatan mencari sumber suara. Seorang ustadz yang sangat kukenal sedang memanggilku dari dalam kelas. “Dari mana saja kamu?” Tanya Ustadz Arif dengan nada tegas khasnya. Seluruh santri di dalam kelas 2 mengarahkan pandangannya ke arahku. Aku panik. Sangat panik untuk sekedar membalas pandangan anak sekira 25 orang itu, apalagi menjawab pertanyaan ustadz yang baru saja terlontar itu. Keadaan mendadak serba salah. Menjawab pertanyaan ustdaz itu membutuhkan keberanian dan kejujuran. Padahal di situasi biasa pun aku sering tak memiliki dua modal tersebut, apalagi di situasi genting seperti ini. Di sisi lain, aku belum melaksanakan sholat Ashar. Bagaimanapun alasannya, urusan Allah tetap nomor satu. Kalau aku menunda-nunda lagi, bisa kena murka diriku karena melanggar aturan-Nya. Sehingga dengan berbagai pertimbangan tadi, aku memilih untuk melarikan diri dari depan kelas 2. Aku berlari dengan kecepatan sekuat-kuatnya. Menghindari kemungkinan Ustadz Arif mengejarku meski itu sedikit tak mungkin. Tapi kamu bisa percaya padaku kali ini, aku sangat takut meninggalkan sholat fardhu. Setibanya di kamarku, jam dinding makin tak bersahabat. Setengah enam lebih sepuluh menit. Kepanikan semakin menjalar karena mengetahui waktu Ashar sebentar lagi akan segera habis. Aku langsung menuju tempat wudhu pesantren yang terletak di sebelah barat komplek A, tak jauh dari kamarku. Segera kuambil air wudhu dan kembali ke kamarku lagi untuk sholat Ashar. Sekarang juga! Sholatku kali ini seolah dibayangi berbagai macam kesalahan. Pertama, aku melamun di tempat yang sepi. Kedua, aku melanggar perjanjianku dengan nenek agar aku memanfaatkan waktu sebaik-baiknya di pesantren. Ketiga, aku meninggalkan sholat Ashar berjamaah. Keempat, tidak mengikuti pengajian ba’da Ashar. Kelima, sholatku tidak tenang karena keempat kesalahan tadi. Peluhku menetes tak terbendung lagi. Suasana kamarku tiba-tiba berubah menjadi sepanas gurun pasir. Meskipun aku pribadi belum pernah menginjakkan kaki di tempat yang katanya terpanas sedunia itu. Setelah sholatku kututup dengan salam, belum sempat kupanjatkan doa untuk memohon ampun khusus untuk kelima dosaku tadi, seseorang datang mengetuk pintu kamar. “Assalamu’alaikum” “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” jawabku. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan menuju pintu untuk membukanya. “Mengganggu sholatmu?” Kang Jabir berserta dua personelnya muncul dari balik pintu. “Tidak kang” jawabku singkat. Kang Jabir tersenyum mendengar jawabanku. Namun di balik senyuman seorang Ketua Dewan Keamanan Pesantren, pasti beliau sedang membawa kabar buruk. Sedangkan sebaik-baiknya kabar buruk yang dibawa dewan khusus menjaga keamanan dan stabilitas pesantren adalah hukuman berdiri sambil menghafalkan Juz ‘Amma. Dari surat An Naba’ hingga An Naas. Mantap pokoknya. “Ada apa, kang?” tanyaku seolah memposisikan diri sebagai santri yang tak tahu apa-apa. “Tadi saya mendapat pesan dari Ustadz Arif, beliau berkata ada satu santrinya yang ghoib8 dari pengajian kelas sore ini. Saya pikir, kamu seharusnya ada di kelas itu, bukan di sini” Kedua mataku tiba-tiba kehilangan keberanian untuk menatap langsung wajah kang Jabir. Kini, wajahnya yang tadi selembut Malaikat Ridwan, berubah memerah seperti Malaikat Malik. “Dari mana saja kamu sejak siang tadi?” nada pertanyaan kang Jabir sekarang entah mengapa berubah seperti nada malaikat Munkar dan Nakir saat melontarkan pertanyaan, “Man robbuka9?” kepada seorang mayit. 8 Tidak hadir 9 Adalah pertanyaan pertama yang diberikan oleh Malaikat Munkar dan Nakir kepada si mayit di dalam kubur. Man Robbuka berarti siapa Tuhanmu. Lidahku kelu, sulit sekali melafalkan sepatah katapun. Padahal aku sudah menyiapkan jawaban atas pertanyaan ini ketika aku sholat tadi. Kini, baru aku tahu bahwa dosa besarku hari ini bertambah satu lagi. Dan dosa keenam adalah aku melupakan bacaan sholatku untuk memikirkan alasan yang nanti akan kuberikan kepada dewan keamanan pesantren kalau saja aku tertangkap basah tidak mengikuti pengajian kelas. “Dari lapangan, kang” jawabanku singkat. “Lapangan? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Kang Jabir setengah percaya. “Pacaran mungkin, kang” kata Ghufron menyela. Ghufron adalah anggota baru dewan keamanan pesantren yang diangkat awal tahun ini. Obsesinya sejak masuk pesantren empat tahun lalu adalah menjadi bagian dari dewan yang paling disegani seluruh santri setelah pengasuh, para ustadz dan pengurus pesantren yaitu dewan keamanan. Apapun akan dia lakukan untuk bisa menduduki jabatan yang diidam-idamkannya ini. Termasuk berusaha keras menemukan fakta kasus kehilangan terbesar yang pernah terjadi di komplek A tahun lalu. Dialah penemu sekaligus orang pertama yang memberikan pelajaran bagi tersangka kasus pencurian uang dan baju milik santri. Entahlah sistem intel serta investigasi macam apa yang ia gunakan untuk menemukan tersangka kasus tersebut. Yang pasti, sejak kejadian heroik itu, ketua dewan keamanan pesantren yang tak lain adalah Kang Jabir tak keberatan ketika Ghufron ditunjuk sebagai salah satu staf barunya. Bersama Syaeful, mereka mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan khas dewan keamanan. “Tidak kang” kataku mengelak dengan ekspresi khas orang tak bersalah. “Jangan bohong kamu dengan dewan keamanan” bentak Syaeful tiba-tiba. “Buat apa saya bohong? Apa keuntungan yang bisa saya dapatkan dengan berbohong” kataku membela diri. “Lepas dari hukuman tentunya” kata Ghufron sambil memicingkan kedua matanya. “Kalau saya tak berbohong, toh saya juga tetap akan dihukum bukan?” kataku sambil menentang santri yang lebih tua tiga tahun denganku itu. “Ya, tapi hukuman itu pastinya lebih ringan dibanding hukuman bagi orang yang dekat-dekat dengan zina” tegas Syaeful dengan mimik muka setengah marah. “Tapi saya tidak melakukan apa yang kamu tuduhkan itu” jawabku. “Bagaimana caramu membuat kami yakin atas kata-katamu itu” sela Ghufron. Aku terdiam sejenak. Pertanyaan ini belum sempat kupikirkan sebelumnya. Matang sudah aku dengan satu pertanyaan sederhana ini. “Tanya saja kepada anak-anak yang bermain layang-layang di lapangan kampung. Saya baru saja di sana. Saya yakin mereka bisa mengatakan hal yang sebenarnya” kataku dengan sedikit kemantapan. Diriku tak berani menjamin jawaban ini akan menghentikan ketiga orang di depanku ini untuk tidak menginterogasiku dengan kalimat-kalimat tegas tadi lagi. “Bagaimana ini kang?” tanya Ghufron sambil meminta pendapat Kang Jabir. “Apa kita perlu pergi ke sana untuk mengetahui fakta di lapangan?” usul Syaeful dengan gaya bahasa intel. Jujur, aku agak kurang sreg dengan lelaki itu. Kang Ghufron berpikir sejenak. Saat itu, hatiku ketar ketir melihat perangai salah satu senior di dewan keamanan pesantren itu. Aku tahu aku tidak sedang berhadapan dengan orang sembarangan. Di kepalanya, pasti beratus-ratus ide beterbangan untuk memberi pelajaran santri nakal sepertiku. Yang dia perlukan hanyalah satu ide yang paling cocok diterapkan jika situasi sudah mendesak seperti ini. Akhirnya dia menentukan cara mencari kebenaran dengan gayanya sendiri. “Percuma kalian pergi ke sana. Hari sebentar lagi Maghrib. Keluar dari pesantren waktu Maghrib adalah larangan mutlak di pesantren ini” kata Kang Jabir menengahi. “Lalu, kang?” tanya Ghufron meminta kepastian. Dari nada bicaranya, nampak ia ingin kembali menjadi pahlawan untuk memecahkan masalahku sore ini. “Hamid” kata Kang Jabir sambil mengarahkan pandangan kepadaku. “Ya kang” aku masih mempertahankan posisi kepalaku yang menunduk. “Maju satu langkah lebih dekat” kata Kang Jabir menginstruksi. Rasa canggung menyelinap ke dalam diriku. Rasa ini semakin tak karuan saat kang Jabir memegangi kedua lenganku dengan kuat. Seperti tak akan membiarkanku melarikan diri dengan cara sekecil apapun. “Lihat mata saya, Mid” kata Kang Jabir dengan nada tegasnya. Hatiku bergolak. Kuingat sekarang, ilmu andalan Kang Hamid terletak pada matanya. Terdengar ganjil memang. Namun, metode yang mirip ilmu hipnotis yang ditayangkan di televisi dan kerap dipraktekkan oleh orang tak bertanggung jawab di luar sana ini sudah berkali-kali membantunya menemukan fakta tanpa banyak kata-kata. Akhirnya, kuturuti kehendaknya tanpa perlu banyak alasan lagi. Kutatap mata tajam kang Jabir. Awalnya, aku mengira semuanya akan berubah setelah aku mengikuti perintahnya itu. Ia akan memberiku pelajaran melalui kontak langsung dengan mata setajam pandangan elangnya. Lalu aku akan tersihir dengan kekuatan yang dahsyat. Perlahan namun pasti, energiku seolah tersedot. Diriku lemas dan akhirnya jatuh terkulai tak berdaya di lantai. Ketiga orang di depanku kemudian berlalu dari depan kamarku seraya tertawa terkekeh-kekeh karena telah memberiku pelajaran. Salah satu dari mereka yang tak kusukai pasti berkata,”Rasakan itu. Itu akibat orang yang tak terlalu banyak akal untuk melanggar peraturan pesantren ini”. Akan tetapi, semuanya ternyata berjalan biasa saja. Aku pun tetap tersadar sejak pertama kali sorot mata Kang Jabir melakukan kontak hingga sekitar satu menit waktu berjalan. Jantungku tak berhenti berdegup, rupanya organ vitalku itu tahu ia tak mempunyai pengaruh apapun saat berbagai macam informasi di dalam otakku sedang ditransfer melalui kontak mata antara aku dan kang Jabir. Ketua dewan keamanan melepaskan kedua genggaman tangannya di lenganku setelah adzan Maghrib berkumandang. Napasku terengah-engah seperti baru saja dilepaskan dari genggaman liar burung garuda. “Hamid mengatakan yang sebenarnya” kata Kang Jabir dengan tenang. Nada tegasnya sudah tak dipakainya lagi setelah beliau tahu apa yang sesungguhnya terjadi. “Apa kang?” tanya Ghufron. “Kang Jabir yakin?” tambah Syaeful. Keduanya seolah tak terima kebenaran hanya diperoleh dengan tatapan mata saja, tanpa tindakan apapun. Bagi keduanya, metode pencarian fakta seperti ini terkesan kurang memenuhi prosedur yang wajib ditempuh dewan keamanan pesantren saat menelusuri fakta dan kebenaran di balik suatu masalah. “Ya, dia tidak berbohong” kata Kang Jabir dengan nada seperti saat beliau mengucapkan salam tadi. Halus namun tetap berwibawa. Kedua makhluk bernama Syaeful dan Ghufron itu tercekat tak berbahasa lagi. “Tapi kita harus tetap menghukumnya kang” kata Syaeful mengusulkan. Kang Jabir menganggukkan kepala. “Kamu sudah tahu konsekuensi tak mengikuti jamaah Ashar dan absen pengajian sore, ‘kan?” tanya Kang Jabir sambil menatap kedua mataku. Aku pun menunduk lesu. 13 Melakukan Kebaikan Itu Seperti… Suara lebah kembali berdengung di masjid pesantren. Anehnya, saat aku berada di tengah-tengah kawanan lebah itu, aku ingin segera menjauh dari mereka. Namun, jika aku sedang tak bersama dengan mereka, aku merindukan indahnya suasana di antara sekawanan lebah tersebut. Istilah suara lebah ini kugunakan untuk menggambarkan betapa ramainya para santri saat membaca Al Quran bersama-sama di masjid. Kini aku rindu berada di tengah-tengah mereka. Namun, konsekuensi dari pelanggaran yang kulakukan hari ini menuntutku untuk tidak boleh lari dari tanggung jawab. Kang Jabir menugasiku (istilah yang kupakai untuk menggambarkan ‘hukuman’ untukku) membersihkan bak mandi komplek A. Karena aku melakukan tindak pelanggaran seorang diri, maka hukuman ini kujalani seorang diri. Kalian perlu tahu. Luas bak mandi ini 3x10 meter. Dengan tinggi bak 1 meter. Bak yang berumur puluhan tahun ini dipenuhi lumut di bagian luar. Sedangkan kondisi air di dalamnya mulai keruh dan endapan lumpur dari air pancuran serta bribik10 pasti sudah lebih dari setengah senti. Bak ini sungguh memprihatinkan. Malam ini, prioritasku adalah menyelesaikan tugas berat ini sebaik-baiknya. Sebagai pengingat agar aku tak mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari. Sekaligus menjadi latihan fisikku. Namun, setelah melihat kondisi fisik bak, semangatku mendadak kendur ke posisi level terparah. Ibarat semangatku seperti tali pengikat gelondongan kayu jati yang diangkut di truk tronton, maka kondisi tali itu sudah terlepas dan gelondongan kayu jati berharga mahal itu sudah jatuh menggelinding di jalan raya. Sekarang, otakku sudah bisa diajak berpikir, mengira-ngira lebih tepatnya. Bak sebesar itu jikalau dibersihkan seorang diri pasti akan memakan waktu berjam-jam. Bisa jadi anak-anak yang lain sudah terbuai di kamar pesantren, aku masih sibuk menyikat setiap senti bak seraya menyumpahi diri sendiri atas kebodohan yang kulakukan tadi. 10 Serbuk kayu yang muncul/ berjatuhan karena kayu tua yang sudah rapuh. “Oh tidak” keluhku saat memandangi kondisi bak. Bahkan sebelum aku mulai bekerja. Di saat yang sama, seorang santri datang menghampiriku. Dia adalah Fani. Zulfani nama lengkapnya. Kukira dia tak tega melihatku bekerja sendiri di tempat pemandian ini sehingga ia berniat membantuku membersihkan bak. “Mau membantuku, Fan?” tanyaku penuh semangat. “Oh tidak bisa, kang. Saya sibuk” kata santri kelas 1 itu. “Sibuk apa?” tanyaku ingin tahu. “Sibuk mau ke belakang” Santri berperawakan tinggi itu tertawa kecil, namun diriku menerjemahkan tertawanya itu sebagai tertawa penuh penghinaan terhadap diriku yang sedang mengerjakan tugas. Secepat kilat, Fani berlari ke arah WC. Meninggalkanku seorang diri yang masih mematung di dekat bak. Tak tahu, bagian mana dulu aku harus mulai dan bagaimana langkah-langkah selanjutnya sampai bak ini benar-benar bersih, seperti permintaan Kang Jabir dan kedua punggawanya yang arogan itu.s Akhirnya kuputuskan, aku harus menyikat bagian luar bak dulu sebelum mulai menguras dan membersihkan bagian dalamnya. Ya, ini langkah pertama yang terbaik. Aku mulai mengambil pisau untuk memotong tumbuhan paku liar yang tumbuh di bagian pojok bak serta mengiris lumut-lumut kecil yang menempel di sepanjang bak. Saat mengiris lumut kecil inilah tiba-tiba aku teringat ketika aku sedang mengiris kue lapis kesukaan nenek. Ya Allah, kalau saja lumut di depanku ini adalah kue lapis, dan gayung yang ada di depanku ini adalah nampannya, maka aku rela pulang saat ini juga ke desa untuk mengantarkan kue lapis ini untuk nenek. Tak peduli hari sudah gelap dan tak kuhiraukan jauhnya jarak antara pesantren dan rumahku. Aku akan melakukan apapun juga untuk melepas rinduku kepada nenek. Setiap kali memisahkan lumut yang menempel di dinding bak (kuhindari kata ‘mengiris’, karena itu hanya akan membuatku semakin sedih), aku selalu menghitung, sudah berapa senti aku membersihkan bak dari gangguan tanaman yang tumbuh tak diundang itu. Semakin lama kusadari tugasku makin banyak dan makin berat. Sekali lagi, seorang diri. Masya Allah banyaknya. Di saat penuh derita itu, kudengar langkah kaki datang dari arah WC. Pelakunya masih aktor yang sama, Fani. “Sudah selesai, Fan?” tanyaku memulai percakapan. “Sudah selesai Kang Hamid?” tanya Zulfani balik dengan nada sedikit mengejek. “Jangan kau ejek seniormu ini dong” kataku sedikit bernada protes. “He he he, maaf kang. Bercanda. Kakang tahu sendiri kan, kalau orang sedang cape itu, obatnya ya makanan dan minuman. Berhubung tidak ada makanan dan minuman, ya kakang tak beri candaanku saja” kata Fani dengan wajah lugunya. “Kamu ini…” kataku sambil melihat wajah santri yang doyan bergurau itu. “Ini apa, kang. Ini itu? Itu Budi?” tanya Fani dengan aksen khasnya. Kutak sanggup lagi menahan tawa. Anak pak lurah itu memang pandai membuat banyolan. Beruntung malam ini banyolannya tidak sekering biasanya. Namun lucunya banyolan Zulfani seakan termakan habis oleh kewajiban membersihkan bak sebesar ini. Mulutku seketika berhenti tertawa. Hanya Zulfani yang masih memiliki sisa-sisa tertawa dan kedengarannya sedikit aneh. “Mengapa kang? Soal hukuman itu?” tanya Fani mulai serius. Aku mengangkat bahuku. Semoga saja dia langsung paham maksudku. “Ikhlas saja kang menjalaninya” kata anak berambut cepak itu sambil menyandarkan tangan kanannya di bak. “Berat, Fan. Tak ada yang menemaniku pula” kuletakkan pisau yang tadi kupegang di pinggir bak dengan keras. Sebagai bukti bahwa pekerjaan ini bukan main beratnya. “Berarti kakang belum ikhlas itu” sergah Fani dengan gayanya yang sok analis. Aku duduk di bibir bak yang basah. Tak peduli sarung yang kukenakan ikut basah. “Bisa dikatakan seperti itu. Ya, tak ikhlas ya iri, semuanya jadi satu. Aku ingin pergi ke masjid dan nderes bersama santri yang lain. Tapi, kenyataan menahanku di sini. Di bak yang kotor dan bau” protesku kepada juniorku itu. Zulfani mendekatiku dan menepuk pundak kananku. “Kang Hamid tahu ikhlas?” tanya Fani. “Maksudmu?” “Tahu ikhlas nggak?” tanya Fani lagi menegaskan. Aku berpikir sejenak. Sibuk menyusun kata-kata agar tak terkesan amatir di depan juniorku ini. “Suatu sikap tak mengharapkan imbalan dan tak mengingat-ingat lagi kebajikan yang pernah kita lakukan” jawabku mantap. Tak memalukan pasti kedengarannya. “Tepat sekali. Tak meleset” Fani mengganjarku dengan dua jempolnya. Aku tersenyum dengan sedikit bangga. Sebangga-bangganya aku sekarang, tetap saja memalukan, dihukum di depan juniorku sendiri. Meski juniorku hanya seorang, namun keahlianku menjawab tak cukup menutup rasa maluku di depannya. “Kalimat kedua perlu digarisbawahi” tambahnya. Aku menggelengkan kepala. Bukannya aku lupa dengan kalimat kedua yang kuucapkan tadi, namun aku belum mendapatkan ide, mengapa kalimat kedua itu perlu digarisbawahi. “Tak perlu mengingat-ingat lagi kebajikan yang pernah dilakukan. Penting itu, kang” katanya dengan wajah serius. Aku mengangguk-angguk seolah meyakinkan Fani bahwa aku bukanlah senior yang menderita penyakit telat dalam berpikir. “Lakukan saja tugas ini, kang. Pahalanya melimpah lho. Kakang bisa membayangkan, berapa banyak santri yang akan mandi di bak ini. Mereka akan senang karena bak ini sudah bersih. Kakang juga telah menyelamatkan kesehatan mereka. Tak ada lagi penyakit kulit yang seringkali menjadi horor tersendiri bagi kaum bersarung seperti kita ini. Tak ada lagi ancaman vampir terbang penghisap darah setiap malam itu. Kakang itu berjasa besar lho. Masa kakang tidak merasakan itu?” tanya Fani dengan nada sedikit menginterogasi. “Berarti aku hebat dong, Fan” timpalku sekenanya. Zulfani menggeleng-gelengkan kepala. Dia pasti sedang berteriak, ”Bahlul11 sekali seniorku ini” “Bukan itu yang kumaksud kang. Kakang memang hebat dan berjasa besar kepada seluruh santri di komplek ini, namun yang terpenting bukan itu. Jangan sampai kakang melakukan hal kedua, yang tadi kuminta untuk digarisbawahi. Setelah kakang selesai melaksanakan tugas membersihkan bak, jangan kakang ingat-ingat lagi kebaikan ini. Segera lupakan. Karena kalau tidak, kakang akan menjadi orang yang sombong, yang membangga-banggakan kebajikan yang belum seberapa ini. Nah, dengan melupakan jasa membersihkan bak mandi, jika suatu saat nanti kakang diminta membersihkannya lagi, kakang tak berkeberatan untuk melakukannya lagi. Khoirunnas anfa’uhum linnaas12” Aku memandangi air bak yang bergelombang karena aliran air mancur di ujung bak sebelah utara. “Melakukan kebaikan itu sebaiknya seperti orang buang hajat kang. Jangan diingat-ingat lagi apa yang telah kita berikan kepada orang lain. Orang yang selalu mengingat-ingat kebaikan yang pernah dilakukan, harga orang itu sama halnya sedang menangisi kotorannya yang telah dibuang. Tragis sekali bukan?” kata Fani dengan tatapan serius. 11 Bodoh 12 Sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang mendatangkan manfaat bagi sesamanya. Aku mengangguk-angguk paham sekarang. “Melakukan kebaikan itu adalah sebuah kebutuhan. Bukan karena tuntutan apapun. Nah, sekarang ‘kan kakang sedang berbuat kebaikan. Lakukan saja kang. Allah tidak tidur” senyuman Fani mekar bersama dengan kata-kata bijaknya. Aku kagum dengan Zulfani yang mendadak menjadi penceramah terfasih malam ini. Dari kejadian ini, aku mendapatkan pelajaran bahwa senior dan junior itu hanyalah perkara istilah. Sedangkan kualitas ilmu tidak dipengaruhi oleh istilah-istilah asing itu. Percayalah padaku. 14 Mbako Benar sudah perkiraanku. Aku telah melewatkan pengajian bersama abah kyai malam ini. Bersama itu pula aku juga melewatkan kebersamaan bersama sekawanan lebah yang kurindukan sejak aku menyelesaikan tugas maha berat: membersihkan bak mandi komplek A seorang diri. Di saat santri sudah selesai mengaji, aku masih bergelut dengan lumut kerak. Di saat santri sudah sholat Isya berjamaah, aku masih menguras air bak. Di saat santri sudah pulang dari masjid, aku masih menyikat bak bagian dalam dengan sikat baju sekecil pegangan tangan. Di saat santri sedang makan malam, aku masih menguras bak mandi bagian mandi untuk kedua kalinya sekaligus memastikan tidak ada lumpur lagi yang menjadi biang keladi air bak keruh. Di saat santri mulai berangkat ke peraduan, aku masih mengalirkan air mancur yang tadi kusumbat agar proses pembersihan bak lebih mudah. Di saat santri masih terlelap, pekerjaanku selesai sudah. Tragis bagiku. Entah bagaimana kamu mendefinisikan kondisiku malam ini. Kunekatkan mandi saat itu juga. Pesan nenekku dulu agar jangan mandi di malam hari, khusus hari ini aku abaikan. Badanku sungguh tak bersahabat jika aku tidak mengguyurkan air segar ke sekujur tubuhku. Benar juga, dingin merasuk melalui pori-pori kulitku. Menit demi menit, dingin itu menyelusup ke kulit ari, menembus pembuluh darah dan menjangkau sumsum tulang. Tak berperi rasanya. Karena itu, sedikit pun aku tak berniat untuk mengusapkan busa sabun ke tubuhku. Biarlah aku begini adanya. Hal yang terpenting ialah tak ada lagi kotoran yang menempel di tubuhku. Tak ada lagi bekas peluh khas pekerja keras yang tersisa. Perkara bau keringat, itu perkara beda lagi. Toh aku masih punya stok minyak wangi yang handal menutupi bau khas manusia yang malas mandi. Aku kembali ke kamarku. Di sana, seluruh rekan sekamarku sudah tidur dengan posisi favorit mereka masing-masing. Tiada lagi ruang kosong yang tersisa untukku. Lengkap sudah penderitaan lahir batin sejak Maghrib tadi hingga 1 jam mendekati tengah malam ini. “Belum tidur, Mid?” Suara seseorang dari belakang mengejutkanku. “Eh, kang Imron. Belum kang” kataku sambil menggeser posisi dudukku. “Ada apa belum tidur sampai jam segini?” tanya Kang Imron sambil menempatkan posisi duduk ternyamannya di sampingku. “Anu kang” jawabku diliputi kebingungan. “Anu apa? Anu baru saja diputus pacarnya ya?” tanya Kang Imron penuh selidik. Aku mengernyitkan dahi keheranan. “Ya karena laki-laki sepertimu lebih pantasnya diputus, bukan mutusin pacar” sindir seniorku itu. “Ah, Kang Imron ini, sotoy13 lah” kataku malu-malu. Kang Imron adalah seorang ustadz gaul yang pandai memprediksi kisah cinta para santri di sini. Meskipun aku pribadi belum pernah berhubungan dengan seorang perempuan, rupanya ustadz berambut sebahu itu sudah pandai mengira-ira kalau orang sepertiku memang segan terhadap perempuan. Rikuh14 bukan main kalau aku bertatapan muka dengan kaum Hawa. “Cerita sama kakang” pinta Kang Imron. Posisi duduknya berubah menjadi menghadap ke arahku, sepertinya beliau sudah siap mendengarkan cerita apapun dariku. “Bukan soal perempuan kok kang” jawabku dengan masih canggung. “Lha lalu soal apa?” “Biasa kang. Kakang sendiri tahu kalau aku ini langganan kena hukuman” kataku sambil melempar pandangan jauh ke depan. “Jadi kamu baru saja memperpanjang daftar hukuman yang kamu terima?” tanya Kang Imron memastikan. 13 Sok tahu (bahasa gaul). 14 Segan, enggan (bahasa Jawa). Jawaban yang kuberikan cukup dengan satu kali anggukan kepala. “Masya Allah, suka sekali kamu kena hukum”. Ekspresi kang Imron untuk menunjukkan sesuatu yang benar-benar keterlaluan yaitu dengan menggeleng-gelengkan kepala sambil memejamkan mata. “Bukan seperti itu kang” kataku membela diri. Kang Imron mengalihkan pandangannya dariku. “Aku secara tak sengaja meninggalkan sholat Ashar berjamaah. Serta tak mengikuti pengajian sore” jelasku. “Tak sengaja? Kamu tertidur apa?” tanya Kang Imron sambil melihat mataku. “Bukan. Aku teringat nenekku, kang” jawabku dengan lirih. Kang Imron menghela napas sekali. Beliau mengulum bibir bawahnya dan kemudian menepuk pundakku dengan mantap. “Sudahlah. Sekarang kamu istirahat dulu sana. Lupakan soal hukuman tadi, semoga besok keadaan kembali baik seperti sedia kala” “Kakang tidak lihat kamarku seperti apa?” kataku sambil menoleh kea rah pintu kamarku yang masih terbuka. Kang Imron melongok ke kamarku dan mulai nyengir. “Kalau bukan sepenuh itu, namanya bukan pesantren, Mid” kata Kang Imron sambil merapatkan jaket yang dipakainya. “Kamar kakang penuh juga?” tanyaku. “Jangan tanya lah, bukan kamarku kalau tidak sepenuh kandang sapi milik abah kyai. Lah kamu mau tidur sekarang?” “Tidak kang”. Rasanya, mala mini aku sedang kehilangan nafsu tidurku. “Khoir... aku punya ide” kata Kang Imron dengan wajah berbinar. “Ide soal apa kang?” tanyaku antusias. “Pokoknya ide bagus. Kamu harus ikut”. Kang Imron beranjak dari duduknya dan berjalan dengan semangat menuju suatu tempat. Aku pun mengikuti ajakan kang Imron. Ia berjalan menuju komplek pesantren B. Letaknya berseberangan dengan komplek A. Antara keduanya, terdapat sebuah kolam lele yang panjangnya sama dengan panjang kamar santri yang berjejer. Malam ini, bulan mendekati sempurna. Kukira ini tanggal 14 penanggalan Jawa. Esok, bayangan bulan di air kolam pasti bulat penuh. Cantik sekali. Kalau sekarang, bolehlah dikatakan sedikit cantik. Sedikit kurang penuh dan dipengaruhi oleh suasana hatiku yang sedang tak bersahabat. Di depan kamar B2, kami berdua berhenti. Pintu kamar memang sengaja dibuka karena suasana panas malam ini tidak bisa ditoleransi lagi. “Belum tidur juga kang?”sapaku pada seseorang yang sedang mengaduk kopi di depan kamar. Ia duduk beralaskan tikar dengan dua cangkir kopi di sampingnya. Tak lupa sebungkus rokok filter. “Eh kamu. Belum nih, Mid” jawab Kang Rosyid sambil mencicipi sesendok kopi yang kelihatannya enak itu. “Kasihan ini Syid. Baru saja dihukum sama Dewan Keamanan” kata Kang Imron sambil duduk di samping Kang Rosyid. “Hah?” Kang Rosyid terperangah dengan sedikit unsur tertawa. Tertawa mengejek definisi pastinya. Aku menggelengkan kepala pelan. Bukan bermaksud menafikan fakta kalau aku baru saja dihukum. Namun lebih kepada, ‘tidak, kumohon jangan memintaku untuk menceritakan awal mula kejadian sampai aku dihukum’. “Lupakanlah Mid. Jangan dipikir lagi. Ayo duduk sini” kata Kang Rosyid sambil menepuk tikar di sampingnya. Aku melihat keadaan sekitar pesantren yang telah sepi. Hanya beberapa kamar yang masih menyala lampunya. Sisanya, pasti penghuninya sudah berada di alam lain. Di balik jajaran kamar kompleks A, terdapat siluet pohon kelapa. 3 buah pohon tinggi menjulang yang bergoyang-goyang diterpa sang bayu. “Kamu takut melihat pohon itu, Mid?” tanya Kang Rosyid yang ternyata beliau sudah mengamati gerak gerik mataku yang selalu tertuju pada sekelompok pohon kelapa itu. “Tidak kang. Biasa saja”. Aku alihkan mataku dari pohon tinggi itu. “Lalu mengapa dari tadi kamu toleh sana toleh sini? Takut ada dewan keamanan yang patroli?” tanya Kang Imron “Itu baru kujawab iya, kang” jawabku dengan tenang. Kang Imron dan Kang Rosyid seolah sepakat untuk tertawa. Tertawa lirih, seolah urat tawa mereka sudah tersetting otomatis untuk mengatur keras lemahnya tawa sesuai dengan situasi sekitar. “Kalau misal nanti kamu tertangkap kamera dewan keamanan sedang bergadang bersama kami di sini. Jawab saja, kamu diminta oleh saya untuk menemani kita berdua” kata Kang Imron dengan tegas. “Sesederhana itu?” tanyaku setengah percaya. “Mereka pasti memakluminya” tambah Kang Rosyid. “Baik kang. Semua masalah sepertinya menjadi enteng kalau sudah berhadapan dengan Kang Imron dan Kang Rosyid” kataku dengan senang. Sepertinya, aku memang patut gembira karena baru saja aku mendapatkan kedekatan hubungan dengan dua orang ustadz terpandang di pesantren ini. Kang Imron tersenyum simpul. “Khoir...khoir...khoir” “Kamu merokok, Mid?” tanya Kang Imron. Tangannya mengambil satu buah rokok dari bungkusnya yang cantik. “Tidak, kang” jawabku pasti. “Tapi tak apa-apa kan kalau kami merokok?” tanya Kang Rosyid. “Silakan kang” Kang Imron menyulut korek api yang ternyata tinggal satu-satunya untuk membakar ujung filternya. Dihisapnya dalam-dalam nan penuh perasaan. Sesaat kemudian, disemburkannya asap dari dalam mulutnya. Mengepul pekat di depan mulutnya. Saat itu juga ia teringat sahabatnya, ia memberikan filter yang baru dihisapnya itu ke Kang Rosyid. Kang Rosyid yang membawa rokok sendiri di sakunya itu kemudian meletakkan rokok tersebut di bibirnya. Kemudian dihisapnyalah rokok tersebut dengan tangan kirinya yang ujungnya ditempelkan ke ujung bara rokok di tangan kanannya. Sama seperti sahabat kentalnya, dihisapnya penuh perhatian dan dibuangnya penuh perhitungan. Dari pengamatanku sejak bertahun-tahun lalu, begitulah kebiasaan perokok aktif dalam menikmati setiap batang rokoknya. “Dulu...” kata Kang Imron terhenti. Ia terbatuk-batuk beberapa saat. “Dulu sewaktu aku SMA, aku pernah bergabung dengan geng, Mid” lanjut Kang Imron. Aku manggut-manggut menyimak permulaan cerita ustadz eksentrik itu. “Ketika jam pelajaran sekolah, aku pernah nongkrong di warung belakang sekolah. Ngudud bareng teman-teman satu geng-ku di sana. Kebal-kebul nikmatnya tiada tara. Kamu tahu, kebiasaan ini selalu kami lakukan kalau kami mengetahui bahwa guru mata pelajaran tertentu sering absen di kelas kami. Atau guru tersebut sudah segan masuk ke kelas kami karena kenakalan kami. Nah saat saat emas itu kami pakai buat nongkrong di warung itu” kata Kang Imron seraya menjentikkan ujung rokoknya yang sudah menjadi abu ke sebuah bungkus rokok. “Pernah ketahuan kang?” tanyaku penuh rasa ingin tahu. “Ngga cuma ketahuan lagi. Seorang teman kami yang antirokok malah yang melaporkan kami ke BP. Berangkatlah guru BP itu ke warung kami nongkrong. Saat itu aku sedang asyik-asyiknya merokok. Mengisap rokok dengan penuh penghayatan, sama seperti ini” kang Imron sekali lagi mempraktekkan gaya khasnya mengepulkan asap rokok secara dramatis dan dinamis. Sebagai catatan saja, Kang Imron adalah salah satu ustadz yang paling pandai memodifikasi bentuk asap rokok yang keluar dari mulutnya. Bentuk favoritnya adalah bundar dan persegi empat. Sedangkan bentuk limited edition-nya yaitu belah ketupat dan segi lima. “Aku tak tahu waktu itu guru BP sudah ada di belakangku. Teman-temanku sudah memperingatkanku bahwa aku sedang berada dalam bahaya besar. Namun tetap saja aku mengepulkan asap rokok dengan santainya” jelas Kang Imron menghilangkan rasa penasaranku sedikit demi sedikit. “Lalu?” “Imron!!” seru kang Imron menirukan suara guru BP-nya. “Aku langsung membalikkan badan dan menahan asap rokok dalam mulutku. “Kamu merokok ya?” seru Kang Imron menirukan logat bicara guru BP-nya dulu. “E... e...enggak kok pak” “Bulll...asap rokok yang susah payah aku sembunyikan secara tak sengaja menyembur dari mulutku. Ujung-ujungnya, BP lagi, BP lagi” kata Kang Imron sambil geleng-geleng kepala. Makna gelengan kepalanya ini kurang lebih ‘betapa nakalnya aku dulu’. Aku tertawa mendengar cerita itu. Sedangkan kang Rosyid, dia tak bergeming sedikitpun. Tak tertawa, senyum pun tidak. Barangkali ia sudah kebal dengan cerita sahabatnya yang sudah berkali-kali diceritakannya itu. “Dihukum apa waktu itu kang?” tanyaku lagi. “Dihukum apa tidak penting, Mid. Julukan apa yang melekat setelah kejadian itulah yang paling penting” “Julukan?”. Aku tak bisa menyembunyikan rasa ketertarikanku tentang kelanjutan cerita Kang Imron yang unik itu. “Ya, semenjak peristiwa memalukan itu, aku mendapat julukan ‘Mbako’15. Orang yang suka merokok, orang yang suka dengan asap tembakau, orang yang tak bisa lepas dari bau tembakau dan...semuanya yang berbau temabakau. Semua lari ke aku, Mbako” Aku tertawa. ”Sekarang aku baru tahu kang, mengapa njenengan16 dapat sebutan nyentrik itu. Rupanya nama dan orangya masih sekufu17” kataku menyimpulkan. Kang Imron mengepulkan asap rokok untuk menjawab pernyataanku tadi. Asap rokok berbentuk lingkaran itu kurang lebih bermakna, “Ya, begitulah” “Tapi kamu jangan merendahkan kang Imron, Mid” sela Kang Rosyid tiba-tiba. “Tidak kang. tidak pernah sama sekali. suul ‘adzab18 kalau saya sampai berbuat demikian” jawabku. Kang Rosyid mengibas-ibaskan jari telunjuknya di depan wajahnya. “Bukan itu maksudku” tambahnya. Aku menundukkan badanku untuk mendengar penjelasan kang Rosyid lebih seksama. “Diminum kopinya dulu, Mid. Santai saja kalau sama kami” kata Kang Imron menengahi. 15 Kata yang digunakan orang Jawa untuk menyebut tembakau. 16 Merupakan sebutan yang berasal dari bahasa Jawa Krama Halus yang bermakna kamu. 17 Satu golongan, sama kedudukannya, tidak timpang. 18 Mendapatkan adzab/ siksaan yang buruk dari Allah SWT karena melanggar larangan/ berbuat tidak sopan kepada orang yang terhormat. Kuraih secangkir kopi yang sudah hangat. Kunikmati seteguk air berkafein itu, sebuah hidangan yang dipersilakan dengan senang hati oleh dua ustadz yang dekat denganku itu. “Biarpun Kang Imron itu gaul, hobi merokok, sering tidur seenaknya, doyan seni seperti drama, menulis buku dan kegiatan yang mungkin jarang dilakukan ustadz-ustadz yang lain, beliau termasuk salah satu ustadz termasyur di pesantren ini. Terutama di bidang nahwu dan shorof. Jangan lupakan hal ini, anak muda” kata Kang Rosyid sambil menjetikkan rokoknya yang sudah berabu panjang di sebuah asbak. “Saya juga sudah tahu itu, kang. Saya juga heran, mengapa kakang bisa mengimbangi dua kepribadian yang unik itu” kataku memuji Kang Imron. “Tak ada yang istimewa, Mid” jawab Kang Imron sambil mengepulkan asap rokok berbentuk segi tiga. Beliau melanjutkan,…“Hal yang perlu digarisbawahi adalah lakukan dulu kewajibanmu, belajar ilmu agama yang mantap. Setelah itu, baru kamu boleh mengeksplorasi hobimu. Tak ada batasan untuknya, hanya saja sejauh tidak ada larangan agama yang kaulanggar. Itu akan membentuk kepribadian khasmu” kata Kang Imron berdiplomasi. Sekali lagi ia menyemburkan asap rokok berbentuk persegi empat. Kali ini asap rokok itu tidak bermakna sebab makna sesungguhnya telah dikatakan semuanya lewat kata-kata bijaknya tadi. “Apa nanti saya juga perlu merokok kang?” tanyaku santai. “Oh tidak!” seru Kang Imron sambil menggoyang-goyangkan rokok di sela-sela jarinya. Seolah rokok itu ikut protes terhadap dangkalnya jalan pemikiran dan kesimpulanku. “Kamu suka apa, jalani saja. Itu akan membentuk identitasmu” kata Kang Rosyid menjelaskan. Aku kini paham akan maksud kedua ustadzku ini. Kang Imron adalah figur ustadz yang mahir di bidang ilmu shorof dan nahwu. Dialah sosok yang ahli di ilmu alat, sekaligus pribadi uniknya yang berkaitan dengan rokok. Akan tetapi, haram baginya merokok saat mengajar di kelas. Akan tetapi, rokok akan menjadi perkara sunah bahkan sunah muakkad baginya kalau ada acara kumpul-kumpul seperti ini. Beliaulah pelopornya. Sedangkan Kang Rosyid adalah ustadz tajwid dan tafsir Al Quran. Beliau pernah menjuarai MTQ tingkat propinsi Jawa Tengah bidang tafsir Al Quran. Asal tahu saja, seorang mufassir19 haruslah hafal ayat-ayat yang ditafsirinya. Itu artinya, beliau punya jabatan rangkap. Hafidz juz 29 dan 30, sekaligus mufassir kedua juz terakhir dalam Al Quran. Mengenai sisi khasnya, dia juga termasuk penulis yang lihai membuat karya sastra. Tulisannya sudah sering dimuat di media massa dan majalah pesantren. “Kamu sudah punya bayangan ke depannya?” tanya Kang Rosyid ingin tahu tentang cikal bakal prestasiku. Aku tersenyum simpul. Semoga saja kedua ustadzku yang baik hati ini bisa menerjemahkan maksud senyumanku ini. kurang lebih ini bermakna, “Ijinkan saya meniru semboyan hidup njenengan kekalih20, kang. Gaul tapi sembodo21” 19 Orang yang menafsirkan isi dan kandungan Al Quran 20 Kalian berdua 21 Sembodo bermakna tanggung jawab. 15 Seratus Batang Raihan Pagi ini terasa datang lebih cepat dari hari biasanya. Mataku masih berat untuk diajak melihat dunia. Semalam, aku dan kedua ustadzku tertidur di depan kamar B2. Menjelang Subuh, kita dibangunkan oleh Kang Jabir, ketua dewan keamanan yang paling disegani di pesantren ini. Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju bak pemandian komplek A. Saran dari Rizal, teman sekamarku, duduklah sebentar setelah kamu bangun tidur. Itulah saat pengumpulan nyawamu. Namun, tak sempat kulalui prosesi penting itu. Kubiarkan badanku berjalan dengan persentase nyawa belum penuh 100%, meski ancaman nyemplung kolam lele menghantui setiap langkahku. Satu alasan yang mendasari kenekadanku ini. Aku tak ingin dihukum lagi. Titik. Pengajian pagi bersama abah kyai kali ini masih membahas kitab yang sama. Al Ibriz karya Syeikh Bisri Musthofa dari Rembang. Sebuah tafsir Al Quran yang dijadikan bahan kajian utama di pesantren Al Quran ini. Rupanya aku tak sendirian di masjid ini. Banyak yang bernasib kurang bersahabat untuk menuntut ilmu, mengantuk. Meski tidak mendominasi para santri yang mengaji, namun boleh dipastikan, satu baris ke samping kananku adalah kawanan yang entah mengapa begitu kompaknya mengantuk. “Rizal, baca surat Shaad ayat 44” kata abah kyai membuka pengajian. Kami, sekawanan langganan ngantuk terkejap. Abah baru saja memerintahkan seorang santri untuk membacakan sebuah ayat yang bisa dipastikan akan menjadi bahan kajian tafsir Al Quran pagi ini. Seorang temanku yang duduk tepat di sampingku mendadak sibuk membolak-balikkan mushaf Al Quran. Namun, sepertinya nyawanya belum mengumpul seluruhnya, halaman demi halaman nampaknya lebih tebal daripada biasanya. “Pinjam kang” kata Rizal dengan nada lirih. Seorang santri baru di sampingnya memberikan terjemah Al Quran kepada Rizal. “Yang mana, kang?” tanya Rizal yang mulai dihantui kepanikan. Santri itu lalu menunjukkan ayat yang harus dibaca. Beberapa saat kemudian, Rizal membacakan ayat tersebut dengan suara khasnya. Penuh dengan deheman dan koreksi terhadap pita suaranya yang belum mengeluarkan suara terbaiknya. Sampai saat ini pun, 20% nyawanya masih tertinggal entah di mana. Tajwid-nya bertebaran tak karuan. “Bagaimana bacaanmu itu?” tanya abah kyai mengoreksi bacaan Rizal yang tak indah itu. Rizal hanya terdiam, tak berani menjawab. “Sampingnya. Itu yang berbaju biru, baca lagi ayat dan terjemahannya” kata abah. Sudah kukira sebelumnya, efek domino seringkali berlaku di pengajian abah. Baju biru yang duduk di samping Rizal adalah aku, tak ada yang lain lagi. Kubaca ayat itu dengan perlahan. Aku hanya khawatir kalau membacanya dengan cepat akan mengacaukan tajwid yang sudah kupelajari selama di pesantren ini. Belum lagi 10% nyawaku masih belum kembali ke tuannya. Sungguh tak sopan. Setelah membaca ayat tersebut, kusambung dengan terjemahannya. “Seungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. dialah sebaik-baiknya hamba. sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya” Alhamdullillah, tak ada halangan berarti dalam membaca ayat dan terjemahan ayat yang diminta abah. Semuanya beres. Kini aku tak perlu mempermasalahkan nyawaku yang masih melayang sebesar 10% itu. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” salam abah terdengar berat. Itulah ciri khas suara abah yang berwibawa. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” jawab semua santri. “Ayat tadi menjelaskan tentang kesabaran nabi Ayyub AS” kata abah memulai pengajian ini. “Nabi Ayyub as adalah sosok nabi yang memiliki kesabaran yang luar biasa. Saat beliau masih memiliki kekayaan dan kesehatan, beliau tak pernah sedetik pun lupa untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Bahkan saat beliau mulai mengidap penyakit kulit yang sangat parah, itu tak menghalangi beliau sedikit pun untuk tetap bersyukur dan bersyukur. Kalau misalkan kita ada di posisi nabi Ayyub, bisakah kita lulus ujian itu?” Abah memperhatikan semua hadirin pengajian. Seluruh jamaah masjid terdiam. Namun diam kali ini pasti bukan bermakna ya. “Saking parahnya sakit kulit yang diderita, bahkan sampai beliau ditinggalkan istrinya. Masya Allah. Apa yang akan kalian lakukan kalau kalian ditinggal istri kalian di saat-saat sulit seperti itu?” “Diceraikan saja, bah” seorang santri bernama Rifat memberanikan diri menjawab pertanyaan kyai. Abah kyai hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Sulit memaafkan istri yang tidak baik itu, bah” kata seorang santri senior bernama Azhar. “Kalau saya dipukul saja, bah” seseorang yang duduk di depanku menyampaikan pendapatnya. “Ya, betul. Siapa namamu, nak?” tanya abah sambil menunjuk ke arah teman di depanku. “Angga, bah” “Betul kata Angga. Mengetahui istrinya membangkang, maka Nabi Ayyub kemudian bersumpah untuk memukul istrinya itu dengan tongkat sebanyak seratus kali kalau sang istri kembali setelah beliau sembuh” jelas abah. “Lalu, apakah nabi Ayyub melakukan sumpahnya itu? Ada yang tahu kisah selanjutnya?” tanya abah menambahkan. Kang Rosyid mengangkat tangannya. “Kemudian nabi Ayyub diperintah Allah untuk mandi di sebuah sungai untuk menyembuhkan penyakit kulitnya. Setelah kulitnya sembuh seperti sedia kala, istrinya kembali sambil membawakan makanan untuk sang nabi dengan harapan suaminya itu tak marah. Akan tetapi, Allah mengingatkan nabi Ayyub untuk tetap melaksanakan sumpahnya dan tidak menjadi hamba yang melanggar sumpahnya sendiri. Karena waktu itu nabi Ayyub tidak bermaksud untuk menganiaya istrerinya, maka nabi Ayub mengambil seratus batang rumput bunga rayhan dan memukulkan seratus ikat rumput itu kepada istrinya, sekali saja. Berapa?” “Sekali” jawab para santri. “Itu adalah bukti bahwa nabi Ayyub tak pernah berbuat jahat kepada siapapun. Beliau adalah contoh nabi yang patut kita contoh kesabarannya, kasih sayangnya dan rasa syukur kepada Allah yang tak pernah putus” kata abah menyarikan isi pengajian pagi ini. “Kisah beliau dalam Al Quran ini juga mengajarkan kepada kita agar kita memenuhi sumpah yang kita ucapkan. Sama saja seperti nadzar yang harus dipenuhi. Sebab, sekali kita melanggar janji kita kepada Allah, maka Ia tidak akan lagi mengganggap sakral ucapan dan permintaan kita. Naudzubillahi min dzalik” Suasana masjid sepi. Hanya terdengar burung-burung kecil yang beterbangan di langit-langit masjid, disertai dinginnya pagi yang tak terelakkan. Tiba-tiba aku teringat momen saat nenek memukul lenganku dengan seikat rumput kering. Dan yang kulakukan saat itu hanyalah menangis. 16 Hujan Di Gurun Gobi Ranting pohon duku selatan pondok pesantren terlihat sangat lentur. Ia tak retak dan patah meskipun ditunggangi oleh empat ekor burung prenjak. Sesekali ranting tersebut bergerak-gerak diterpa angin pagi. Menyebabkan keempat prenjak bersahabat itu melarikan diri, meninggalkan ranting yang sebenarnya tak akan patah karena mereka. Setelah pengajian subuh usai, Abah kyai memerintahkan seluruh santri untuk membersihkan lingkungan pesantren. Hari ini adalah Minggu. Jadwal rutin di Minggu pagi adalah bersih-bersih, bersih-bersih kamar, besih-bersih taman, bersih-bersih bak mandi, bersih-bersih ndalem untuk santri putri. Namun ironisnya, otak tak kunjung dibersihkan. Bagaimana tidak? Pemandangan memukau bagi sebagaian ‘santri belum hafal makna An-Nisa’ serta merta akan meracuni otak mereka. Membuat mereka tak semangat lagi bersih-bersih lingkungan, menjadikan mata mereka jelalatan, membuat konsentrasi mereka buyar dan parahnya, menimbulkan angan-angan setinggi langit. Meskipun angan-angan itu sebatas perkiraan tanpa dilandasi ilmu yang mumpuni. “Kamu lihat itu, Zal?” tanya Najib sambil menunjuk seorang santri putri yang sedang menyapu halaman ndalem. Meski aku bukan bernama Rizal, aku tertarik untuk ikut menikmati hasil temuan Najib yang terkenal casanova22 di pesantren ini. Mataku memandang objek yang jaraknya sekitar 20 meter dari tempat kita berada, komplek putra A. Di depan kita ada komplek putra B dan di samping kiri kita adalah lingkungan ndalem. Ndalem adalah sebuah ungkapan yang seringkali digunakan para santri untuk menyebut rumah sang kyai. Halaman ndalem memang sangat luas. Bahkan luasnya halaman berbanding terbalik dari luasnya ndalem itu sendiri. Ndalem hanya terdiri dari tiga buah kamar dan sebuah ruang tamu. Sedangkan halaman depan ndalem sebenarnya bisa dijadikan lapangan voli. Namun tentu saja hal itu takkan pernah terjadi. Bisa dipukul habis-habisan oleh abah kalau hal itu benar-benar terjadi. 22 Laki-laki mata keranjang, playboy, suka mempermainkan perempuan. Bagi kami, halaman ndalem adalah senyaman-nyamannya kompleks pesantren. Tanahnya tertutup oleh rumput Jepang. Banyak pohon duku, tanjung, ketapang, mangga dan jambu air yang membuat siapapun betah berlama-lama berada di sana di siang hari. Kompleks C yang merupakan barisan kamar santri putri berada di sebelah kanan ndalem. Ada sekitar 22 santri di sana. Mereka diberi kebebasan penuh oleh abah untuk menanam tanaman kesukaan mereka. Perempuan, biasanya dekat dengan bunga. Tak ayal, ndalem tak pernah sepi dari bunga-bunga yang bermekaran, macam-macam warna. “Bunga bougenville ungu itu nampaknya sesuai jika dipasangkan di telinganya ya Zal” kata Najib penuh sensasi. Mimiknya berubah seolah ia sedang dirundung asmara dengan tingkat radiasi tinggi. “Kamu tertarik dengan Izza, Jib?” tanya Rizal setengah tak percaya. Aku tahu betul yang bernama Izza. Perempuan dengan hijab warna ungu itu memang seringkali menjadi sorotan utama santri-santri putra sejak beberapa bulan belakangan ini. Lantaran, ia sering diminta abah untuk membeli obat-obatan yang dibutuhkan beliau ke pasar. Sehingga, ia sering nampak bolak-balik keluar masuk pesantren. “Cantik ya Zal” kata Najib dengan ekspresi penuh kekaguman. “Kamu itu aneh. Di mana-mana perempuan itu cantik, Jib” jawab Rizal sambil terus memotong rumput di depannya dengan menggunakan sabit. “Tapi orang yang kau sukai itu tidak terlalu cantik menurutku, Zal” protes Najib menanggapi pendapat sahabatnya yang tidak sejalan dengan pendapatnya itu. “Cantik muka bisa luntur, kang. Ini yang terpenting” kata Rizal sambil menepuk-nepuk dadanya, penuh kemantapan. “Hoyyy, kerja bakti” seru Kang Jabir dari komplek B. Teriakan kang Jabir seolah seperti alarm pengingat yang berbunyi di saat keadaan tak berjalan seperti yang seharusnya. Tak hanya Rizal dan Najib yang semula ramai membahas masalah pribadi mereka sendiri, banyak juga santri putra lain yang mangkir dari tugas mereka. Hal dengan persentase tertinggi adalah merokok. Kedua membicarakan penghuni komplek C, sisanya membahas uang saku mereka yang tak lagi setebal awal bulan. Atau dengan kata lain, mereka saling meminta pinjaman sana-sini. Perkara yang menyebabkan mulut lebih mendominasi kerja bakti, bukan tangan seperti yang diharapkan. Keadaan semakin tak terkendali saat dua orang santri putri mengantarkan senampan minuman pelepas lelah dan kue dari ndalem. Wajah mereka sedikitpun tak berani menatap wajah-wajah kami. Sejak mereka melewati pohon ketapang yang besar menjulang itu, mereka langsung menunduk. Seperti sudah disepakati sebelumnya. “Tundukkanlah pandanganmu sebelum serigala berbulu gamis itu menyerangmu tanpa ampun dan mulai mengalihkan duniamu”. Beginilah kurang lebih isi perjanjian di bawah pohon ketapang itu. Jantungku berdegup tak terkendali saat mereka berdua meletakkan dua nampan sarat jajanan tersebut. Mereka meletakkannya tepat di sampingku. Di tanah datar tempat aku mencabuti rumput liar yang tumbuh mengganggu keindahan pandangan. Kulihat tangan putih mereka yang halus. Tangan seputih itu pasti tak pernah tersentuh oleh tanah serta daki seperti kami. Hanya tepung serta lotion pemelihara kelembutan yang dibolehkan menyentuh kedua tangan Hawa itu. Kuberanikan menatap wajah mereka yang menunduk. Rona merah di pipi melengkapi wajah santun mereka. Selintas, hampir tak kutemukan cela di wajah mereka, setidaknya sejak dari mereka melangkahkan kaki keluar ndalem sampai berada di dekatku sekarang. Mengetahui ada satu serigala yang sedang mengamati mereka dari jarak dekat, kedua Hawa itu makin menundukkan pandangan. Barangkali dagu dan leher mereka sampai bertegur sapa. “Terima kasih mbak” kataku pelan. Salah satu dari mereka yang berhijab cokelat menganggukkan kepala. “Nanti kalau sudah selesai, nampannya dikembalikan ke ndalem ya, kang” kata perempuan berhijab putih kepadaku. “Baik” jawabku singkat. Ramai sekali sahabat-sahabat santri putra menyorakiku. Padahal, aku sendiri tak bermaksud berkenalan apalagi mengganggu mereka berdua. Aku hanya kebetulan berada di sini dan kedua santri putri itu juga kebetulan meletakkan jajanannya di sampingku. Tak kurang dan tak lebih dari itu. Beberapa dari mereka malah ada yang mengataiku bodoh dan tak mau diuntung. Mereka bilang aku tak mau mengambil kesempatan emas untuk sekedar bertegur sapa dengan kedua makhluk asing di komplek putra ini. Seperti yang diketahui, menunggu untuk berjumpa atau berpapasan dengan santri putri di pesantren ini seperti menanti hujan di Gurun Gobi, Mongolia sana. Sangat jarang dan hanya santri yang beruntung yang bisa mendapatkan kesempatan ‘diguyur hujan’ di pagi hari ini. Mereka bilang, aku tak tahu arti kedatangan rejeki. Namun, aku hanya diam saja. Aku tahu dalam diri mereka, mereka pasti sedang mengutuki diri, mengapa mereka tidak mengambil posisi seperti keberadaanku di sini. Itu saja sudah cukup membuat mereka menyesali mengapa mereka tak siap-siap untuk menghadapi ‘hujan di Gurun Gobi’. Kedua santri putri membalikkan badan dan segera berlalu dari hadapanku. Langkah mereka kulihat lebih cepat daripada langkah mereka tadi saat menghampiriku. Samar-samar, aku membaca langkah cepat mereka, kurang lebih berarti, “Cepat lari. Serigala itu hampir saja menggoda kita. Hanya lari yang bisa menyelamatkan diri kita dari terkaman mautnya”. Kemudian satu dari mereka mengamini pernyataan itu. Saat itu juga, abah kyai keluar dari ndalem dan melihat-lihat pekarangannya. Untung saja pekarangan beliau sudah bersih lantaran kerja bakti putri tadi memang serius, tak seperti kita di komplek putra yang terkesan ogah-ogahan. “Jajannya disambi, le23” kata abah dengan suara lantangnya. “Nggih24, bah” jawab santri putra serempak. Tak seorang pun mendekati dua nampan di sampingku ini. Tanganku pun terasa amat berat untuk sekedar mengambil jenang ketan yang terkenal manisnya itu. Kamu mau tahu alasannya? Sederhana saja, masih ada abah kyai di sana. Mengambil makanan di depan abah kyai adalah sesuatu hal yang tabu bagi santri, meskipun makanan itu sudah dipersilakan oleh beliau. Ini adalah salah satu anggah ungguh25 dan sopan santun santri bila ada di depan kyai. 23 Sebutan untuk anak laki-laki dalam masyarakat Jawa. ‘Le’ merupakan kependekan dari thole. 24 Ya (bahasa Jawa). 25 Tata karma (bahasa Jawa) “Ojo isin-isin. Koyo nek ora ono abah kae lho26” kata abah kyai menyindir. Kami hanya mengangguk. Malu-malu kucing kalau di depan abah. Kuberanikan diri mengambil teko dan menuangkan isinya di sebuah gelas berukuran sedang. Teko itu ternyata berisi secangkir kopi. Aromanya sedikit berbeda dengan aroma kopi biasanya. Pasti kopi ini bukan sembarang kopi. Kopi yang berasal dari ndalem, rasanya pasti berbeda dibanding kopi yang dibuat santri. Bahkan gelas dari ndalem pun, rasanya sedikit berbeda dibanding gelas milik santri meskipun wujudnya sama saja. Jangan memintaku untuk menjelaskannya mengapa, sebab aku sendiri juga tak mengetahui alasannya. Dan yang paling utama, menjadi yang pertama menikmati hidangan ndalem bagiku adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa. Jauh dariku, teman-temanku pasti sedang iri, mengapa mereka tadi tidak berada di sini sejak tadi? Terbukti, kerja bakti secara bergerombol belum tentu mendatangkan rejeki yang bergerombol pula. Sengaja aku menawarkan segelas kopi itu ke hadapan teman-temanku, definisi lebih tepatnya menggoda mereka. Kuangkat gelas itu tinggi-tinggi hingga nampaklah di mata mereka, minuman hangat hitam pekat dan manis yang membuat kerongkongan mereka merana menanti tegukan segelas kopi. Mulai aku menikmati seruputan pertama dan kubuat sedramatis mungkin, seperti iklan-iklan minuman di televisi. Kubiarkan teman-temanku tenggelam dalam kedengkian, jauh di sana. Aku hanya tersenyum merayakan kemenangan, menikmati gelas pertama kopi bercita rasa luar biasa ini. Setidaknya, ada tiga hal yang membuat kopi ini terasa istimewa. Pertama, aku menjadi orang pertama yang menikmatinya. Kedua, kopi dan cangkir ini berasal dari ndalem, (sekali lagi jangan memintaku untuk menjelaskannya mengapa. Terima kasih). Ketiga, kopi ini bukan kopi biasa. Melainkan kopi cengkih dengan rendaman kayu manis. Kurasa sekarang aku tahu salah satu nama dari dua orang yang mengantarkan kopi istimewa ini. 26 Jangan malu-malu, (lakukan saja) seperti kalau tidak ada abah itu lho (bahasa Jawa). 17 Lega Bukan Kepalang Sore ini aku termangu di depan kamarku. Duduk seorang diri tanpa melakukan sesuatu yang berarti. Menatapi kolam lele yang debit airnya makin surut sejaknya datangnya kemarau. Puluhan lele timbul dan tenggelam ke permukaan, mencari udara segar di luar dunia air mereka. Timbul dalam pikiranku, kapan aku mencari udara segar di luar pesantren? Sudah lama aku tidak menegok nenek di desa. Apa kabar nenek hari ini? Dua pertanyaan terakhir ini mendadak menghantui pikiranku. Kapan aku kesempatan pulang ke desa dan sekedar minta maaf kepada nenek. Terlalu banyak salah dan khilaf sehingga aku tak mampu lagi membuat daftar bilangannya. Yang kuinginkan sekarang hanyalah kepastian kapan aku bisa meninggalkan pondok pesantren selama dua atau tiga hari untuk menengok wanita yang sangat berarti dalam hidupku ini. “Memikirkan santri putri itu lagi, Hamid?” Aku menoleh, Kang Rosyid ternyata sudah berada di sampingku. Aneh sekali, bahkan aku sampai tak mendengar suara langkah kakinya. Tahu-tahu beliau ada di sampingku. “Bukan, kang” jawabku enteng. “Lah, mengapa sampai termenung seserius itu?” tanya Kang Rosyid sambil menatap wajahku. Beliau pasti sedang berusaha menangkap ekpresi wajahku. Aku terdiam, belum memiliki jawaban yang pas dan tidak mencurigakan. “Kalau tidak sedang memikirkan santri putri itu, kamu pasti sedang memikirkan kapan kejadian pagi itu terulang lagi. Iya, ‘kan?” goda Kang Rosyid. “Sama saja berarti dong kang” selorohku. Kang Rosyid tertawa. Beliau memang pandai memutarbalikkan kata. Kata-kata serumit apapun, ujung-ujungnya pasti memiliki makna yang sama. Satu makna itu bertujuan untuk menyindir atau memberi pelajaran komunikan yang diajaknya bicara. “Ada hal yang ingin kau bicarakan dengan kakangmu ini?” tanya Kang Rosyid. Sore ini, rupanya ustadzku itu sedang ingin mengembangkan bakat terpendamnya, menjadi konsultan masalah hidup. Atau bahasa medisnya, seorang terapis. Keren sekali, bukan? Aku membisu. Sibuk menakar, akibat jika aku meluapkan kisah rinduku kepada nenekku. Sibuk menimbang-nimbang bagaimana reaksi beliau jika aku jujur menceritakan apa yang kurasa sekarang. Akankah ustadz ahli bahasa itu akan membuat rangkaian kata-kata rumit untuk mengkritisi rasa kangenku ini. “Hanya kangen dengan nenek kang” kataku dengan nada datar. Kang Rosyid langsung melemparkan pandangannya ke arahku. “Bagus. Kamu pasti dekat dengan nenekmu” kata Kang Rosyid. “Beliau itu telah menjadi kakek, ayah, ibu, kakak, adik, guru sekaligus sahabatku, kang. Sudah lama aku tidak bersua dengan beliau” kataku dengan pandangan mata tertuju ke wajah Kang Rosyid. Hanya memastikan bahwa aku mengatakan hal ini dengan serius. “Kalau begitu mengapa kamu tidak ijin pulang saja?” usul Kang Rosyid. Kedua mataku kembali menatap kolam lele berair keruh di depan komplek. Lele-lele itu masih timbul dan tenggelam, tak ada yang konstan, tak ada yang stabil. Labil. “Kakang lihat lele itu?” tanyaku sambil menunjukkan jari ke arah kolam lele. Kang Rosyid mengikuti perintahku. “Ya. Ada apa dengan lele-lele itu?” tanya Kang Rosyid dengan dahi berkerut. “Kemantapan hatiku untuk pulang masih seperti lele itu. Kadang keinginan itu timbul dan tenggelam. Dari dalam hatiku, sesungguhnya sudah ingin pulang. Namun, ketika saya masih belum bisa apa-apa di pesantren ini, rasanya saya belum pantas untuk mengambil ijin pulang. Nanti abah pasti memberiku saran agar jangan pulang dulu. Lebih baik menimba ilmu dulu di sini” jawabku. “Hebat sekali kamu” ucap Kang Rosyid tiba-tiba. “Hebat kenapa kang?” tanyaku penasaran. “Bahkan kamu bisa memprediksi apa yang akan terjadi” jelas Kang Rosyid. Tangan kanannya menengadah dan ditarik sejajar dengan dadanya. “Itu hanya perkiraanku, kang. Bukan prediksi atau ramalan yang kakang katakan tadi” sergahku. “Berarti itu masih belum pasti kan?” balas Kang Rosyid. Aku mengangguk. “Kalau begitu mengapa kamu diliputi keraguan seperti itu? Di sisi lain kamu belum tahu secara pasti apa yang akan terjadi di masa depan. Yang dalam hal ini kamu belum bisa menjelaskan, keputusan apa yang akan dikatakan abah kyai, mengijinkanmu pulang atau tidak” jelas Kang Rosyid. “Jadi aku harus bagaimana, kang?” tanyaku minta masukan. “Lha…apa yang diinginkan hatimu sekarang?” tanya Kang Rosyid membalikkan pertanyaan. “Berjumpa dengan nenek” jawabku. “Lakukan” kata ustadzku itu mantap. “Soal ijin dengan abah kang?” tanyaku dengan gusar. Kekhawatiranku memuncak jikalau Kang Rosyid menolak untuk menemaniku menghadap abah kyai. “Kamu mengira aku akan mau mengantarkanmu menghadap abah?” tanya Kang Rosyid dengan muka malas. Gawat! Orang yang sejak tadi menyemangatiku, kini mulai tidak mendukung rencanaku. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika aku ber-khusnudzon. Kujawab saja… “Iya. Kakang mau menemaniku menghadap abah. Kang Rosyid adalah ustadz sekaligus kakang yang baik untukku” “Mengapa kau begitu yakin dengan kata-katamu itu?” tanya Kang Rosyid dengan nada yang sedikit tidak bersahabat. Aku mulai kehilangan kata-kata amunisi untuk membungkam kata-kata serangan sang ahli bahasa ini. “Hatiku berkata demikian kang” Kang Rosyid tiba-tiba tertawa. Sekarang aku mulai dihinggapi kebingungan. Tawanya kini memiliki makna yang bercabang. Menertawakan kata hatiku yang masih memprihatinkan, menertawakan ke-GR-anku, menertawakan kelancanganku karena meminta seorang ustadz untuk memenuhi permintaan santrinya, menertawakan rendahnya sopan santunku kepada ustadz, menertawakan semuanya tentangku. “Maaf, kang” kataku sambil menundukkan kepala. “Aku hanya ingin bilang. Kali ini kata hatimu itu benar. 100%” kata Kang Rosyid gembira. Wajahnya tiba-tiba berseri-seri. Rupanya beliau sudah berguru banyak dengan Kang Imron soal berdramaturgi di depan orang yang belum pernah belajar soal itu, misalnya aku. Hanya ada satu kata yang bisa menjelaskan perasaanku sekarang: lega bukan kepalang. 18 Roichatul Jannah “Perempuan itu, kang” kataku memulai berimajinasi. Rasanya aku tak akan salah orang mengeluarkan isi hatiku kepada Kang Rosyid. Seseorang yang sudah mengetahui seluk belukku, luar dalam. “Ada apa? Mulai mengatakannya kalau dia cantik?” goda beliau setelah mendengar kalimat yang mengindikasikan kekagumanku dengan penghuni komplek C itu. “Tidak kang. Itu adalah ungkapan yang salah dari orang yang sedang dimabuk cinta” jawabku tanpa pertimbangan. “Nah akhirnya kamu tahu sendiri” tandas Kang Rosyid. “Berkat kakang tentunya. Tidak ada lagi ungkapan ‘perempuan itu cantik’. Yang ada aku kagum dengan kecantikannya kang” kataku dengan jelas. “Wow aku baru tahu kamu yang sebenarnya, Mid” ucap Kang Rosyid dengan keterkejutan. Entah itu asli atau dibuat-buat. “Hanya kepada njenengan saja kok kang saya menceritakan hal ini. Kurasa tak ada yang salah lagi dengan keputusanku” kataku penuh percaya diri. “Ok ok… tak masalah” jawab Kang Rosyid. “Lalu soal perempuan itu, kakang tahu soal dia?” tanyaku. “Yang mana?” Beliau melihatku. “Yang tadi pagi itu kang. Si pengantar nampan berisi kopi cengkih dan jenang ketan” kataku berusaha mengingatkan kejadian tadi pagi. Kang Rosyid tak bersuara. Matanya melihat jauh ke atas, entah apa yang beliau lihat. Ketiga pohon kelapa itu, burung prenjak yang beterbangan di antaranya, komplek B yang tak kunjung selesai berantakannya, seorang santri yang sedang duduk-duduk di pintu kamarnya atau… dia sedang mengingat-ingat nama seseorang yang membuat hatiku bergetar dengan kuatnya pagi tadi. Entahlah, orang ahli sastra dan drama memang sulit ditebak. “Perempuan berhijab ungu tadi, kang” kataku menyemangati proses penggalian memori di otaknya. “Hidangan tadi kopi cengkih, bukan?” tanya Kang Rosyid memastikan. “Betul, kang” “Itu adalah minuman favorit abah kyai. Beruntung sekali kita bisa menikmati minuman sakral tersebut” jelas Kang Rosyid. “Jadi, nama dia siapa kang?” tanyaku membabi buta. Kang Rosyid memutar otak untuk kedua kalinya. Terlukis di wajahnya betapa berat penggalian memori yang beliau lakukan demi memenuhi rasa ingin tahuku. “Yang pasti, si pembuat kopi cengkih itu bukan orang sembarangan. Orang yang menyeduh kopi cengkih untuk abah kyai dengan yang kau minum tadi pagi pasti orang yang sama” kata Kang Rosyid berspekulasi. “Bagaimana kakang bisa tahu?” tanyaku dengan kebimbangan. “Hanya seorang yang bisa melakukan tugas mulia itu” tegas Kang Rosyid pasti. Aku sanggah dahuku di tangan kananku. Terlintas terlihat seperti orang yang sedang berpikir keras. Namun, definisi sesungguhnya adalah,”Bisakah njenengan berpikir lebih cepat lagi, kang?” “Hanya seorang” tambah Kang Rosyid sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sekedar membuktikan bahwa spekulasinya ini tidaklah main-main. Kerutan di dahiku mulai bermunculan. Bisa kurasakan sesaat jadi orang yang sangat serius seperti ini. Namun sekali lagi, makna yang terkandung pada setiap kerutan yakni, “Saya tak suka menunggu terlalu lama seperti ini kang” “Dia berasal dari desa, Mid” kata Kang Rosyid memulai deskripsinya. “Salah seorang santri kesayangan abah kyai karena kopi cengkih buatannya langsung menjadi minuman favorit abah kyai. Belum pernah ada santri yang memiliki keahlian seperti dia sebelumnya” lanjut Kang Rosyid. “Jadi?” tanyaku menimpali. “Jannah” jawab Kang Rosyid. “Jannah?” tanyaku meminta kepastian dan kelengkapan nama perempuan itu. “Roichatul Jannah. Itu namanya” Aku pegangi dadaku. Gemuruh di dalamnya tak kunjung mereda. Mengguncang seenaknya tak mempedulikan kemungkinan jantungku terlepas dari tempatnya. “Nama yang cantik. Secantik orangnya” kataku setengah sadar. Pegangan di dadaku belum kulepas. Masih terpukau diri ini kepada nama seorang perempuan yang menimbulkan guruh di dadaku. Bahkan mengetahui namanya saja membuat guruh itu semakin memekakkan jantungku. Sampai kewalahan aku dibuatnya. “Kamu bilang namanya cantik, memangnya kamu tahu makna nama itu, Mid?” tanya Kang Rosyid dengan nada persis seperti waktu beliau memberikan pertanyaan di kelas. Aku tercekat. Kini gemuruh di dadaku mereda. Giliran otak di dalam tempurung kepalaku bergolak. Kupaksa otakku untuk berpikir apa arti nama perempuan dalam bahasa Arab itu jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Namun otakku malah memarahiku, salah siapa aku tak belajar sampai sejauh itu. Jawaban sederhana memang menggelengkan kepala, tanpa memaksa otak untuk berpikir. Namun, tahukah kamu? Cara seperti ini terkadang bisa menjadi bukti otentik betapa malasnya dirimu untuk belajar bahasa dari jazirah Arab itu. Aku pun akhirnya menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan dari kang Rosyid. “Bagaimana kamu bisa mengartikan namanya cantik? Bahkan mengerti maknanya pun tidak. Apalagi sampai mengkait-kaitkan kalau namanya secantik orangnya” sindir Kang Rosyid. “Kumohon kang, jangan membuat Minggu sore ini seperti pengajian kelas” pintaku. Lagi-lagi Kang Rosyid tergelak. Aku lupa, bahwa kita perlu meragukan keseriusan orang yang ahli dalam bermain drama. Aku kalah lagi bermain emosi dengan beliau. “Kamu kalau serius nampak tampan, Mid” “Nggak lucu kang. Sama sekali ga lucu” kataku sambil tersenyum. “Tapi tetap saja kamu kena permainanku, ‘kan?” “Ini hari keberuntungan kakang saja. Lain kali aku tak akan tertipu lagi permainan kang Rosyid” “Yakin sekali kamu?” “Sudahlah kang. Saya sedang tak mau bermain yakin atau tak yakin” “Santai Hamid” kata kang Rosyid seraya menepuk pundakku. Aku menatap wajah kang Rosyid, kupastikan tak ada lagi gurat-gurat kepalsuan nampak di wajahnya. Dia membalas tatapanku dengan bahasa mata yang kucoba mengartikannya. ‘Jangan kamu marah padaku anak muda. Kamu belum tahu makna perempuan itu,’kan? Kamu perlu bertanya padaku soal itu” “Terjemahkan untukku, kang” pintaku. “Apa imbalannya buatku?” tanya Kang Rosyid menawarkan persyaratan. “Imbalan?” “Ya, tak ada sesuatu yang gratis di dunia ini. Bahkan satu huruf yang diajarkan gurumu tak cukup hanya dengan dibayar seribu dinar. Berapa kamu bayar aku karena menerjemahkan nama itu untukmu?” “Jangan bergurau lagi, kang” kataku dengan nada malas. Kang Rosyid rupanya tahu level keputusasaanku yang sudah mencapai titik nadir. Ia pun tak tega melihatku penuh derita hanya karena ingin mengetahui nama dan makna dari nama itu. Dua hal yang membuat hati dan otakku kebat kebit tak menentu. Ini masih awal, entah bagaimana jika aku menghadapi orangnya nanti. “Kau janji akan memberiku imbalan jika aku memberitahu makna namanya?” tanya Kang Rosyid memastikan. Aku menopang daguku di kedua lututku. Kalau kang Rosyid sudah belajar bahasa tubuh, ia pasti tahu arti bahasa bisuku ini, “Peduli hantu terhadap permintaanmu itu kang?” “Roichatul Jannah bermakna…” Aku menajamkan pendengaranku kini, tak perlu kamu tahu bagaimana bahasa tubuhku untuk fase ini. “Aroma surga” “Masya Allah. Apa kataku, namanya bukan main-main” seruku dalam hatiku. Aku sangat bergembira karena Allah mengirimkan seseorang perantara seperti Kang Rosyid untuk membantuku mengetahui nama perempuan itu. Namun di sisi lain ada hal yang sedikit tak kusukai, “Aku ingin kamu mengabulkan satu permintaanku, Mid” kata Kang Rosyid mulai menuntut imbalan. Aku melepas napas yang panjang. Bagian ini yang sangat kusukai. Entahlah mengapa Kang Rosyid mendadak matre seperti ini. Dia ibarat seorang ustadz ahli bahasa yang bekerja sebagai penerjemah di kedutaan besar Indonesia untuk Arab. Dan setahuku, gaji menjadi duta besar tidaklah sedikit. Tak ada ilmu yang dibayar sedikit, apalagi ilmu itu dicari dengan susah payah dan penuh pengorbanan. Dengan pertimbangan ini, tak apalah aku mengabulkan permintaannya kali ini. Lain kali, aku mungkin tak perlu meminta bantuannya lagi dalam hal apapun. Sebab, dia akan meminta imbalan ketika permintaan itu sudah dikabulkannya. Cukup ini pertama dan terakhir kalinya. “Satu saja permintaanku, Hamid. Kamu tak perlu khawatir banyaknya permintaan yang kuajukan” kata kang Rosyid dengan senyuman penuh kemenangan. Kututupi kedua telingaku. Jika kamu ingin tahu bahasa tubuhku ini, dengan senang hati aku akan menerjemahkannya untukmu. Gratis, tak ada biaya atau imbalan atau apalah itu namanya. Satu lagi ikhlas, tanpa embel-embel apapun. Maknanya kurang lebih,”Satu saja sudah membuat aku menyesal mengapa aku menceritakan isi hatiku pada njenengan, kang” Kang Rosyid menarik tangan kananku dengan pelan. “Bagaimana kamu bisa mendengar permintaanku kalau kau menutup telingamu seperti itu?” tanyanya dengan nada penuh kelicikan. Akhirnya kujauhkan kedua tanganku dari telingaku. Aku pun pasrah. “Permintaanku sederhana saja. Kalau kamu mencintainya, jangan pernah kau membuatnya kecewa. Itu saja” Aku menatap wajah Kang Rosyid dengan penuh keterkejutan. Jari jemariku bergetar. Mulutku tiba-tiba kaku, tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan suasana hatiku kini. Dalam hatiku, aku mengakui bahwa diri ini bodoh. Kelewat bodoh karena entah untuk ke sekian kalinya aku termakan mentah-mentah drama kang Rosyid. Dia bukanlah seorang yang mata duitan. Dia bukanlah orang yang gila imbalan meski dia adalah sosok yang kaya ilmu. Dia juga bukan figur yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Dia hanyalah seorang yang memiliki hati, yang tak semua orang memiliki hati indah tersebut. “Insya Allah, kang” Kurasa, kedua mataku berair. Aku harap Kang Rosyid mengira aku sedang belajar drama darinya. 19 Sekufu Malam ini suara burung hantu menyusup melalui tembok pesantren. Orang-orang bilang, burung hantu terkait dengan hal-hal yang mistis dan dekat dengan aroma kematian. Seperti keyakinan orang-orang di desaku bahwa burung hantu dipersepsikan sebagai pertanda akan datangnya kematian. Jika seekor burung hantu bertengger di dahan sebuah pohon sebuah rumah penduduk. Maka itu dimaknai kematian dekat dengan keluarga itu. Oleh sebab itulah sang pemilik rumah buru-buru mengusir burung hantu itu agar tak membuat ‘kekacauan’ di sana. Namun, tetap saja. Keesokan harinya, bendera putih berkibar di halaman depan rumah penduduk tersebut. Sang pengusir burung hantu pun bersumpah serapah akan membunuh burung hantu di mana pun ia menemuinya. Kebencian tak beralasan itulah yang membuatnya lupa bahwa takdir itu di tangan Allah SWT. Apapun yang terjadi. Seperti itulah salah satu gambaran desaku. Masyarakatnya masih mempercayai akan adanya kekuatan gaib yang mempengaruhi atau setidaknya mendampingi kehidupan mereka sehari-hari. Anehnya, mereka mengakui bahwa agama mereka Islam. Hanya saja, mereka juga memiliki ketakutan selain kepada Allah. Mbah Haji pun memberi komentar atas perilaku budaya masyarakatnya saat aku bertanya kepada beliau. “Islam itu bukan hanya identitas, cah bagus. Tapi lebih pada pengamalan ajaran agama. Jangan sampai ada hal lain yang membuatmu takut kecuali kepada Sang Kholiq. Dialah yang patut kamu sembah, bukan yang lain”. Demikianlah kata-kata bijak Mbah Haji yang selalu kuingat. Termasuk saat kumendengar suara burung hantu di samping komplek A. Barangkali burung itu memang senang hinggap di salah satu pohon kelapa yang tinggi menjulang itu. “Semuanya akan baik-baik saja, Hamid. Tidak ada yang boleh kamu takutkan selain Allah” kataku menyemangati diriku sendiri. Kutarik selimut agar badanku tidak kedinginan malam ini. Sebentar, benda penghangat badan ini bukanlah selimut. Melainkan hanyalah sarung yang biasa kupakai untuk menutupi badanku di saat tidur. Secara formal, sarung ini memang aku angkat secara khusus sebagai pengganti selimut karena sifat bahannya yang hangat dan tebal. Inilah selimut kesayanganku. Dan inilah kehidupan pesantren, apapun bisa disubstitusikan menjadi barang yang awalnya tidak tersedia. Mataku masih sulit terpejam malam ini. Bukan karena suara burung hantu itu, sobat. Akan tetapi lebih kepada kejadian sore tadi yang aku sendiri tak menyangka bisa terjadi. Percakapan panjang bersama ustadz Rosyid yang dibumbui dengan adegan drama. Drama-drama itulah yang membuatku kalah telak dibanding beliau, sekaligus memposisikan aku sebagai orang yang mudah dikibulin dengan sedikit penambahan emosi di setiap gerak tubuh. Ironisnya, aku pernah menobatkan diri sendiri sebagai orang yang ahli membaca bahasa tubuh. Nyatanya, ilmuku belum mencapai seujung jarinya ustadzku itu. Di saat sunyi inilah, suara yang awalnya tak menjadi masalah serius di siang hari, menjadi perkara yang cukup mengganggu di malam harinya. Aku sudah tahu tersangkanya. Seorang anak yang memiliki kebiasaan mendengkur di saat tidur, sedang menikmati tidurnya dengan lelap. Dalam tidurnya, mungkin dia adalah salah seorang yang beruntung, tidurnya lelap dan bertemu dengan kekasih dalam mimpinya. Siapa tahu? Namun, ia secara tak sadar telah mengganggu kenyamanan orang di sekitarnya. Terutama orang yang belum tertidur, contohnya aku. “Punya masalah dengan tidur?” kata Musthofa memecah kesunyian malam. Wajahnya tiba-tiba menyembul di balik selimut. “Masalahnya ada di sampingmu, Pa”. Nama panggilan akrab Musthofa adalah Opa. Meskipun ia tahu bahwa Opa berarti panggilan untuk kakek, namun ia merasa baik-baik saja dengan panggilan ganjil itu. “Fatah? Berbulan-bulan kamu sekamar dengannya, ternyata belum membuatmu terbiasa dengan suara dengkurannya ya?” Aku terdiam. Seketika percakapan singkat putus. Yang kuinginkan hanyalah ketenangan sebelum tidur. Agar aku bisa berdoa dan merencanakan mimpi apa yang kuinginkan muncul di saat aku tidur. Allah Maha Mendengar dan Dia tak pernah mengecewakan hamba-Nya. Malam beranjak makin larut. Mimpi yang kurencanakan sudah sedemikian tertata dengan rapi, menunggu kedua mataku terpejam. Tragis, mataku masih terbelalak. Ditemani suara dengkuran Fatah yang memenuhi seluruh ruangan. Heranku, tidakkah anak itu lelah mendengkur dari tadi sampai sekarang? Opa, berkali-kali aku melihat ke arahnya. Berharap wajahnya tiba-tiba muncul di balik selimut dan menanyakan mengapa aku belum kunjung tidur sampai selarut ini. Aku menyesal memutus percakapanku dengannya tadi. Sekarang, aku hanya menatap langit-langit kamar yang penuh dengan sawang27. Kotor sekali. Kalau nenekku berkunjung ke kamarku ini, beliau pasti memprotes kemalasanku memelihara kebersihan kamar. Jangankan sawang, melihat satu buah kulit kacang jatuh dan kutak membersihkannya saja sudah cukup membuat nenek mencak-mencak. “Mau kamu besok punya istri malas seperti kamu? Bisa habis persediaan piring di rumahmu” seru nenek. Beginilah komentar nenek jika penyakit malasku kambuh, bahkan hanya karena aku segan tidak membuka jendela kamarku di pagi hari, sekedar tidak menyapu lantai rumah, dan perkara terkecil tadi, membuang satu kulit kacang tak berharga itu. Berbicara soal nenek, rasa kangenku akan desaku kembali menyesakkan dadaku. Aku hitung-hitung, sudah setahun lebih aku tidak menjenguk nenek. Waktu selama ini memang karena aku mematuhi peraturan pesantren. Setiap santri baru belum bisa memperoleh ijin pulang kalau dia belum ikut khataman Juz ‘Amma. Sedangkan aku, adalah satu dari beberapa santri baru yang paling bandel hafalannya. Aku juga heran. Nenekku adalah sosok wanita yang dibesarkan di lingkungan yang taat beragama. Sejak kecil, beliau sudah diajar mengaji oleh Mbah Sanusi, ayahnya. Cara mengajar mengaji mbah Sanusi bahkan lebih keras daripada cara mengajar nenek kepadaku. Nenek bercerita, dulu mbah Sanusi selalu membawa tongkat yang terbuat dari bambu gading. 27 Sarang laba-laba. Setiap kali nenek akan mulai mengaji dan melihat tongkat tersebut terletak di tepi meja, berkilat-kilat saking halusnya, gemetarlah badan beliau. Hal ini berdampak pada cara membaca ayat-ayat Al Quran, sama-sama bergetar dan makhorijul huruf-nya kacau dari bacaan seharusnya. Kalau sudah begini, mbah Sanusi akan menghardik nenek untuk berkonsentrasi penuh pada apa yang dibacanya. Jangan sampai tongkat keramat itu mendarat di salah satu atau kedua tangannya sekaligus. Jika bacaan nenek tak kunjung benar, atau justru makin berantakan, maka tongkat bambu gading yang terkenal kerasnya itu dilayangkan tepat di punggung tangan nenek. Aku pun tak tahu seberapa sakit hal itu. Akan tetapi, satu pukulan mematikan itu cukup membuat seisi rumah dipenuhi oleh suara tangisan nenek. Namun di balik semua itu, tujuan akhir dari model pembelajaran yang tegas nan keras itu berhasil dengan memuaskan. Kalau waktu itu sudah ada sistem pendidikan di perguruan tinggi, maka nenek pasti lulus dengan predikat cum laude. Buktinya, nenek pernah menjuarai lomba tahfidz dan qiro’ dalam perlombaan tingkat pesantren. Pernah kubertanya kepada nenek. Mengapa ayah beliau begitu tegas dalam mengajarkan cara membaca Al Quran dengan baik dan benar. Kemudian nenek terlihat sedang membongkar ingatan yang tersisa di dalam memori. Merangkai-rangkai kata agar sesuai dengan alasan yang dikemukakan oleh Mbah Sanusi puluhan tahun yang lalu. Untuk seumuran nenek, hal ini mungkin terasa sulit. Namun selalu ada alasan yang membuatku bangga dengan nenek. “Setiap huruf itu memiliki hak. Tunaikanlah hak-hak mereka, jangan sampai kurang apalagi berlebih” begitulah jawaban nenek. Awalnya aku tak memahami makna yang diucapkan nenek itu. Beliau lalu menjelaskan, setiap satu huruf Al Quran itu dijaga oleh ribuan malaikat. Pengucapan yang salah terhadap huruf-huruf tertentu akan membuat para malaikat itu tak terima dengan pelafalan yang tidak tepat itu. Oleh sebab itulah, mereka akan menuntut tanggung jawab si pembaca di akherat nanti: mengapa si qori’ tidak menunaikan hak-hak huruf yang dulu dibacanya sesuai dengan ketentuan tajwid. Ia selalu memberikan hak berlebih kepada satu huruf, misalkan peng-qolqolah-an huruf yang seharusnya dibaca idzhar. Namun ia juga tak jarang mengurangi hak-hak huruf, contohnya pengucapan tak jelas pada huruf-huruf yang seharusnya dibaca jelas, misalkan hamzah yang diharokati fathah, ‘A’. Oleh karena kelalaian inilah si qori’ kemudian diberi hukuman terlebih dahulu sebelum ia memperoleh haknya yaitu pahala membaca Al Quran. Satu pengertian mendalam dari nenek yang membuatku berhenti menangis setelah ikatan rumput kering menghajar punggung tangan kananku itu yaitu, ”Daripada nanti kamu diberi hukuman oleh para malaikat yang pastinya lebih berat, lebih baik kamu nenek hukum. Karena nenek tak pernah menghukummu karena nenek benci kamu. Nenek hanya ingin kamu selamat dunia akherat. Itu saja” Semakin aku besar, nenek akhirnya menitipkan aku ke pesantren Daarul Iman, asuhan abah kyai Toha. Pesantren ini letaknya sangat jauh dari rumahku di desa. Sengaja nenek memilih pesantren ini karena kakek dari abah kyai Toha adalah guru mengaji mbah Sanusi, ayah dari nenek, dulu. Alasan kedua, agar aku semakin mantap membangun kemandirian di pesantren ini. Namun semandiri apapun seorang anak, ia tetap merindukan masa di mana ia dibesarkan. Itu adalah hal pasti. Akhirnya, aku tak bisa tidur sampai pagi. Adzan Subuh pun bahkan tak mampu menerbitkan rasa kantuk. Aku bersama teman-teman yang lain, bergegas mempersiapkan diri menuju masjid. Semoga abah kyai memberikan petuah agama yang penting untuk kehidupan kami kini dan nanti. Saat pengajian abah kyai, seperti biasanya abah memulai dengan sebuah pertanyaan. “Siapa yang pernah jatuh cinta?” tanya abah sambil mengamati setiap wajah santri. Seisi masjid tiba-tiba riuh. Kini aku tak bisa menyebut suara sekumpulan orang yang sedang membaca Al Quran sebagai suara sekawanan kumbang. Suara para santri yang terkejut dengan pertanyaan kontroversial abah sekarang juga membuat masjid seolah dipenuhi oleh sekawanan lebah yang mengerubuti sarangnya. “Acungkan jari kalian kalau mau menjawab” kata abah dengan wajah berbinar. Keadaan masjid kembali sepi. Kulihat di sekeliling, tak seorang pun yang mengangkat jari mereka untuk menjawab pertanyaan abah. Ingin kuangkat jariku, namun layakkah aku menceritakannya di majelis ilmu yang mulia ini? Cukuplah Kang Rosyid saja yang tahu. Toh, dia saja sudah lebih dari cukup untuk menampung gejolak dalam hatiku soal makhluk yang bernama perempuan. “Wah payah. Santri segini banyaknya belum pernah ada yang jatuh cinta. Wheladhalah…” Abah menggeleng-gelengkan kepala. Raut wajah beliau nampak tak seserius biasanya. Pagi ini, abah pasti sedang bahagia. Kegembiraan ini setidaknya nampak dari dua hal yang berhasil kumaknai secara independen. Pertama, abah sempat tersenyum kepada kami tadi sebelum memulai pengajian. Bahkan abah tetap memberikan senyuman meski tahu ada santri yang tidur di barisan paling belakang, bersandaran di tembok masjid paling belakang, bahkan yang duduk terdepan pun tertidur dengan posisi terduduk. Sekilas seperti orang yang kelewat khusyuk dalam berdzikir. Kedua, pengambilan tema yang khas remaja menjadi sinyal positif, pengajian kali ini pasti berbeda dengan pengajian-pengajian sebelumnya. Para santri tertawa mendengar abah mengucapkan ‘wheladhalah’. Inilah maskot abah jika beliau keheranan pada suatu hal. Misalkan beliau punya santri yang sudah mondok selama 2 tahun namun belum kunjung khatam Juz ‘Amma, maka abah tak perlu banyak kata-kata untuk mengomentari ketidakwajaran ini. Cukup ‘wheladhalah’ yang beliau ucapkan. Sedangkan kata itu, aku, Kang Rosyid dan Kang Imron bersepakat, kurang lebih ungkapan khas Jawa itu berarti ‘Masya Allah, mengapa bisa sampai seperti itu anak muda?” “Jatuh cinta kepada laki-laki untuk perempuan, dan jatuh cinta kepada perempuan untuk laki-laki adalah suatu kewajaran” kata abah memulai pengajian pagi. Santri-santri yang tertidur lalu dibangunkan oleh teman yang ada di sampingnya. Kudengar mereka menggunakan password “cinta” untuk membangunkan sahabatnya yang sedang tertidur di waktu yang tak tepat ini. “Berhentilah bermimpi, sobat. Abah akan memberi petuah cinta untuk kita. Kalau kita beruntung, abah mungkin akan memilihkan satu bidadari terpilihnya untuk kita pinang” “Namun tak semua laki-laki dan perempuan bisa memperoleh jodoh sesuai dengan keinginan mereka. Banyak penyebab mengapa perceraian muncul akhir-akhir ini, misalkan mereka lupa tidak beristikharah saat akan memilih pendamping hidup. Mereka tidak memperhatikan kriteria dalam Islam dalam memilih jodoh. Seperti bagaimana pemahaman mereka terhadap agama (Ad-Diin), nasab atau garis keturunan mereka, harta mereka dan yang terakhir, jamal-nya. Cantik dan tampan tidaknya mereka. Perlu digarisbawahi, jamal di sini bukan mengarah pada tampilan wajah. Namun lebih pada hati. Hati itu penting. Orang Jawa bilang, sebelum nikah itu perlu mempertimbangkan antara bibit, bebet dan bobot. Bibit berarti rupa, asal usul atau keturunan. Bebet bermakna siapa keluarganya, lingkungan dan teman sepergaulannya. Sedangkan bobot meliputi nilai pribadi atau diri yang bersangkutan. Termasuk di dalamnya baik tidaknya kepribadiannya, pendidikannya, pekerjaannya dan nilai pribadi yang terpenting yaitu iman” kata abah dengan wajah yang merona. Nampaknya abah juga sedang bersemangat membahas perkara ini. “Silakan kalian yang di sini baca tafsir surat An Nisa ayat 2 dan tiga. Abah hanya membacakan makna ayatnya secara ringkas. Orang yang buruk akan mendapatkan jodoh yang buruk pula. Al Quran memberikan permisalan dalam ayat tersebut yaitu pezina. Pezina laki-laki akan mendapat jodoh pezina perempuan. Di ayat selanjutnya dijelaskan pezina laki-laki tak akan memperoleh jodoh wanita yang sholihah. Begitu pula sebaliknya, pezina perempuan tidak akan mendapatkan jodoh laki-laki yang sholeh. Inilah hukum Allah” jelas abah. “Sudahkah kalian berkaca pada diri kalian sendiri?” tanya abah sambil meratakan pandangannya ke seluruh jamaah. Setiap wajah di dalam masjid ini mendongak. Yang semula mengantuk, kini lenyaplah kantuknya. Yang awalnya menunduk, sekarang berani menunjukkan wajahnya. Yang tadinya sudah sempurna menatap wajah abah kyai sejak awal pengajian tadi, nampak berkerutlah keningnya. “Hanya kalian sendiri yang tahu kapasitas diri kalian. Sampai di tingkatan mana iman kalian berada. Dan secara tidak langsung pula, kalian sudah bisa menebak. Jodoh kalian nanti akan seperti apa” kata abah dengan bahasa yang mantap. “Jadi, kami akan memperoleh jodoh sesuai dengan kepribadian diri kita. Bukan begitu, abah?” tanya kang Zain Beliau pasti sedang meyakinkan perkiraan beliau dengan jawaban abah. “Betul. Jodoh kalian pasti sekufu dengan kalian” kata abah. Sinar mentari pagi menyemburat dari arah timur. Menembus pintu gerbang masjid yang terdiri dari puluhan teralis besi yang dicat hijau. Cahaya hangat itu, menerpa wajah abah kyai yang teduh dan kharismatik. Nenek tak salah mengirim aku ke pesantren ini. Sehingga aku bisa berjodoh bertemu dengan laki-laki mulia ini. 20 Sepucuk Surat Aku rebahkan tubuhku di atas tikar. Dinginnya lantai kamarku yang menembus tikar menjadi obat yang paling mujarab saat ini. Meredakan segala rasa lelah yang menjalar di sekujur punggungku. Tak kuhiraukan bentuk tikar yang berlubang, seratnya lepas sana sini dan warnanya tak lagi jelas. Ingin kupejamkan mata sejenak sebelum tiba waktu Dhuhur agar saat berjamaah nanti aku tak terlalu kecapaian seperti ini. Kesadaranku tiba-tiba berkurang sedikit demi sedikit. Cericit burung gereja di luar pesantren menjadi lagu pengantar tidur siangku. Semilir angin yang menembus tirai sarung yang menutup sebagaian jendela satu-satunya di kamarku seperti belaian tangan nenek yang begitu menenangkan. Beruntung sekali aku bisa menikmati kenyamanan di tengah kesepian seperti ini. Mataku telah termanjakan untuk tidur. “Hamid” suara seseorang menyela tidur siangku. Dia mengetuk pintu kamarku dan belum sempat kuijinkan masuk, dia sudah menyelonong seenaknya sendiri. “Ada apa, Tah?” tanyaku dengan posisi tertidur. “Ada surat” jawab Fatah sambil memperlihatkan sepucuk surat ke arahku. “Untukku?” tanyaku lagi. Aku bangkit dari tidurku dan meraih surat itu. Fatah kemudian mengambil posisi duduk di sampingku. Kulihat-lihat amplop polos sederhana dengan namaku yang tertulis dalam huruf Arab di bagian depan. Seumur-umur, baru pertama kali ini aku mendapakan sepucuk surat. “Siapa pengirimnya, Tah?” tanyaku penuh rasa ingin tahu. “Aku juga tak tahu. Tak tertulis di situ” jawab Fatah. Aku terdiam. Tak ada salahnya mencari jawaban sendiri. Bukankah hanya dengan membuka amplop, seketika aku mengetahui siapa pengirimnya? “Aku hanya khawatir surat ini salah kirim” kataku. “Seseorang yang tadi mengirimkan surat ini berkata, surat ini untuk Hamid bin Awwaluddin, pesantren Daarul Iman. Bukankah nama Hamid di pesantren ini hanya kamu seorang?” tanya Fatah memastikan bahwa surat itu sudah jatuh di tangan yang tepat. Keraguanku kini tak beralasan lagi. Surat ini memang untukku. Kubuka secara perlahan amplop tersebut, agar sobekan itu tak mengoyak surat di dalamnya. Dengan hati-hati, aku tarik surat yang dilipat tak rapi itu. Sepertinya, si penulis surat perlu belajar cara origami agar orang lain tak hilang rasa dulu sebelum membaca isi suratnya lebih lanjut. Kubuka lipatan kertas pelan-pelan. Purworejo, 16 Agustus 1998 Kapan kamu pulang Hamid? Nenek sudah kangen dengan kamu. Salam untuk abah kyai di sana. Fatimah Jari jemariku mengelus kertas tersebut. Tak ingin kulepas surat itu meski sedetik pun. Inilah surat yang ditulis nenek, wanita yang menjadi hadiah terbesar dari Allah untukku. Fatah menatapku dengan pandangan nanar. Sedangkan aku tak berani wajah sahabat dekatku di pesantren ini. Aku tak ingin terlihat menangis di depan sahabatku sendiri. Bisa kaubayangkan kawan, betapa sulitnya menyembunyikan emosi yang sudah lama terpendam di dada? Fatah merangkul pundakku. Rasanya aku sudah tak kuat lagi bermain sembunyi-sembunyian seperti ini. Apalagi yang disembunyikan itu adalah rasa cintaku kepada nenek. Orang yang membesarkanku sejak kecil seorang diri. Nenek yang membiayai pendidikanku di pesantren ini dengan menjadi buruh batik kecil-kecilan. Nenek, satu orang yang tak cukup kutulis jasa baiknya meski habis satu novel kutulis. Gemuruh dalam dadaku makin menjadi-jadi. Fatah pun tanggap dengan keadaanku yang sedang ada di titik terapuh ini. Dia menepuk-nepukkan tangannya ke pundakku. 21 Sedihku Tak Berair Mata Waktu Dhuhur baru saja terlewati. Aku masih duduk termenung di dalam masjid pesantren. Santri-santri lain sudah banyak yang kembali ke kamar mereka masing-masing. Ada beberapa yang masih tinggal di dalam masjid, sebagaian tertidur sambil terduduk. Lantunan seorang membaca Al Quran terdengar sayup-sayup dari shof paling belakang masjid. Suaranya tak begitu istimewa, namun bacaan tajwidnya beres. Kalau dia berguru mengaji bersama nenek, tangannya pasti akan tetap halus sejak mulai mengaji pertama hingga dia khatam Al Quran. Aku berani menjamin itu. Kupanjatkan doa untuk nenek. Sebuah doa yang sederhana, tidak dalam bahasa Arab sebab kamu tahu sendiri bahwa hafalanku sangat buruk dalam menghafalkan doa-doa sehari-hari. Doa itu tersusun dalam kalimat berbahasa Indonesia. Doa yang mudah dipahami bagi siapapun di pesantren ini, tak perlu ilmu alat untuk membedahnya. Aku hanya ingin Allah tahu bagaimana isi hatiku ketika dihadapkan masalah seperti ini. Menggunakan bahasa ibu mempermudahkanku dalam mengekspresikan emosi jiwaku secara lebih lugas dan tegas. Doa agar nenek diberi umur panjang dan kesehatan. Sehingga aku memiliki kesempatan yang luas untuk bertemu dengan nenek. Aku tak berlama-lama berada di masjid. Setelah doa selesai kuutarakan kepada Sang Pengabul Doa, aku bangkit dari dudukku dan kembali ke kamar. Di perjalanan, suasana pesantren sangat sepi. Hanya dua orang santri putra yang terlihat duduk-duduk di komplek B. Kutak hiraukan keberadaan mereka. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai di kamarku. Kamarku rupanya sudah penuh dengan manusia kelelahan. Seorang yang senang duduk di pojokan kamar adalah Najib, entah apa yang dia lakukan di sana. Kebanyakan saat aku memergokinya, dia sedang membaca kitab yang tertulis di dalam huruf Arab namun bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Tak ayal, kebiasaannya ini menjadikan dia juara pertama dalam lomba membaca kitab berjenggot tingkat pesantren yang diadakan dua bulan lalu. Kitab berjenggot adalah istilah yang mengacu pada kitab terjemahan. Kitab ini menyertakan kalimat-kalimat asli dalam bahasa Arab, sekaligus arti dalam bahasa Jawa di bawah setiap katanya. Arti dari kata ini ditulis miring ke kiri bawah, sepintas seperti jenggot. Inilah asal muasal mengapa kitab itu disebut demikian. Sebaliknya, orang yang paling setia dengan kitab kuning bernama Fikri. Dia adalah contoh santri teladan. Tak ada hari tanpa nderes kitab kuning. Begitulah password hidupnya. Meski aku seringkali menjumpai anak berambut keriting itu menggeleng-gelengkan kepala dibanding manggut-manggut saat berhadapan dengan kitab tak ada terjemahan itu. Jangankan terjemahan, harokatnya pun entah raib ke mana. Kalau Fikri adalah contoh santri teladan, maka Rizal siap menanggung label santri gadungan. Inilah sebutan terjahat yang pernah kuberikan kepada orang lain. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari aku tak pernah menggunakan sebutan itu untuk memanggilnya. Secara kepribadian, Fikri dan Rizal ibarat bumi dan langit. Sedangkan aku berada di lembah suatu gunung. Tidak terlalu bodoh, namun belum pantas disebut pandai. Satu temanku yang paling tampan yaitu Jamal. Doa kedua orang tuanya benar-benar dikabulkan oleh Allah sehingga dia tumbuh menjadi remaja yang memiliki wajah yang mengesankan, sesuai dengan namanya. Banyak orang desa yang mengira Jamal berasal dari kota. Wajah proposional dengan tatanan rambut yang mirip pemain sineton kejar tayang seringkali menipu sebagian besar orang yang melihatnya. Kalau dia sudah berbicara, maka tampaklah dengan jelas, dari logat bicara saja bisa disimpulkan dia hanyalah anak desa, sama denganku. Satu anggota terakhir kamarku adalah Muamar. Dia adalah anak paling berkicau di kamar kami. Hobinya bercerita tentang kehidupan pribadinya, kehidupan di pesantren ini dan soal santri komplek C, adalah tema-tema membosankan yang saban hari selalu kami dengar keluar dari mulutnya. Tapi baginya, ketiga tema ini ibarat air laut yang tak akan surut untuk ditimba. Selalu saja ada sudut pandang baru di setiap tema usang yang menjadi topik pembicaraannya. Aku duduk bersandarkan dinding kamar yang begitu dingin. Tiba-tiba aku teringat perkataan salah seorang teman sepermainanku dulu waktu kecil. “Pesantren itu adalah penjara suci”. Kalimat soal pesantren ini terus bergema di dalam otakku. Berkecamuk tak mau lepas barang sedetik pun dalam anganku, apakah benar anggapan itu? Aku sempat bertanya kepada nenek, nenek hanya menjawab singkat atas pertanyaanku tadi. “Mereka pasti belum pernah mengenyam dunia pesantren”. Saat itu, hatiku bagai dibelah menjadi dua. Masing-masing bagian dipegang oleh dua kubu yang sama kuat dan saling bertentangan. Hati kananku dikuasai oleh malaikat. Malaikat tersebut mengembuskan kabar bahwa pesantren itu ibarat rumah pesinggahan sementara menuju jalan Allah. Di rumah itu, aku dijanjikan akan diberi bekal obor penerang kegelapan, makanan-makanan surga dan sahabat-sahabat yang mendukung perjalananku menuju surga kelak. Sedangkan hati kiriku, digenggam erat-erat oleh iblis. Iblis meneriakkan yel-yel yang mendeskripsikan pesantren sebagai rumah penuh derita. Penyakit kulit, kelaparan, ketertinggalan teknologi dan informasi, pengap, sempit dan tak tersentuh dunia luar. Kebimbangan demi kebimbangan mulai menghantui diriku. Hampir aku menyerah dibuatnya. “Nek, punyakah waktu sebentar untukku?” tanyaku pada nenek yang sedang membatik di ruang belakang. Nenek kemudian mengangkat canting dari kain. Diletakkannya canting itu di atas wajan berisi cairan malam. “Mau bicara soal apa?” jawab nenek sambil melepas kaca mata yang beliau pakai. Tangan kanannya kemudian mengucek kedua matanya. Nenek sudah dua jam lebih membatik. Mata beliau pasti sangat lelah. “Tapi… nenek janji jangan marah padaku” kataku mengajukan persyaratan. “Kelihatannya serius” kata nenek menatap mataku dengan pandangan yang menyejukkan. Hanya nenekku lah yang mempunyai sorot mata seteduh itu, bahkan di saat beliau lelah sekalipun. “Kalau mau cerita, lebih baik di depan saja. Banyak udara segar di sana. Nyaman untuk saling bercerita” kata nenek sambil tersenyum. Aku membantu nenek berdiri. Beliau sedikit mengeluh soal badannya yang mulai rapuh. Semangat kerja beliau patut diacungi jempol. Bahkan anak muda pun bisa kalah bila dibandingkan dengan kemauan beliau untuk mencari nafkah. Namun, tingginya semangat itu mulai tidak didukung oleh badannya yang semakin menua. Sedih aku melihat keadaan ini. “Di sini, nek?” tanyaku. “Ya boleh” jawab nenek singkat. Beliau kemudian duduk di sebuah kursi teras rumah. Memandang langsung jalan desa yang baru saja diguyur hujan. Keadaan sekarang menjadi lumayan dingin. “Nek, bagaimana kalau, kalau aku tidak jadi dikirim ke pesantren?” tanyaku ragu-ragu. Satu hal yang kutakutkan adalah nenek bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumah. Kemudian dia mencari seikat rumput kering itu dan menghantamnya ke tanganku. Tak perlu banyak bicara, kedua tanganku yang memar itulah jawabannya. “Itulah akibat anak yang tak patuh dengan kemauan orang tua. Tak tahukah kamu, tak ada orang tua yang mau mencelakakan anaknya. Tidak ada” kubayangkan nenek akan berkata demikian. Nenek menghela napas. Kalau sudah begini, aku tak berani menatap wajah beliau. Takut bukan main. “Mengapa kamu berkata seperti itu?” tanya nenek sambil melihat wajahku. Aku kebingungan mencari alasan. Kulihat benda di sekelilingku. Berharap ada satu objek atau dua maupun tiga hal yang dapat membangkitkan kreativitasku untuk menjawab pertanyaan nenek ini dengan jawaban yang tak mencurigakan. “Aku hanya ingin menemani nenek di sini. Aku khawatir akan keadaan nenek” jawabku sambil membalas tatapan mata nenek. Kurasa inilah jawaban terbaik yang pernah kubuat untuk mengubah keputusan nenek soal jalan hidupku. Semoga ini berhasil. “Nenek itu sudah tua” kata nenek sambil menepuk-nepuk lututnya. “Justru itu, nek. Aku tak ingin nenek kesepian di sini, aku mau kok menemani nenek sampai kapanpun” kataku memulai mengeluarkan jurus persuasi. “Justru itu juga yang tak nenek inginkan” balas nenek. “Nenek tak ingin aku di sini?” tanyaku. “Bukan…bukan itu” kata nenek sambil menyentuh kepalaku. Mengelusnya dengan lembut. Nenek terdiam sejenak. Nenek pasti sedang memikirkan alasan terbaik untuk mengubah keputusanku. Sama seperti saat aku mati-matian mencari alasan tadi. “Kau lihat petani itu?” tanya nenek sambil mengarahkan telunjuknya ke seorang petani yang sedang berjalan di jalan desa. Petani itu membawa cangkul yang diletakkan di bahunya. Ototnya nampak perkasa dan kulitnya gelap, terlalu lama disengat matahari. Kulihat petani itu. Itukah alasan terbaik nenek? “Tak semua orang bisa menjadi petani” kata nenek mulai berargumen. Aku menatap wajah nenek. Kini gurat-gurat umur di wajahnya mengeluarkan aura keseriusan. “Orang yang mau jadi petani harus punya ilmu bertani. Ia harus bisa mencangkul, ia harus menguasai cara mengalirkan air dan mengatur volume air yang dibutuhkan suatu lahan, ia harus paham memilih benih yang sesuai dengan musim, ia harus pandai mengatasi hama tanaman yang kemungkinan menyerang dan berpotensi merusak tanaman dan pastinya, ia juga harus lihai merawat tanaman” jelas nenek. “Lalu?” “Sama dengan kehidupan ini. Tanpa nenek bertanya kepadamu, nenek pasti menjawab jawaban yang benar, yang sesuai dengan hati nuranimu. Bahwa kamu menginginkan keselamatan dunia akherat” kata nenek sambil menundukkan kepala dengan tetap mempertahankan pandangannya ke arahku. Hal ini berarti nenek sedang menunggu jawabanku. “Nenek benar” jawabku. “Dunia ini adalah tempat menanam amal kebajikan. Suatu saat nanti kamu pasti akan menuainya di akherat. Nah, masalahnya kamu belum tahu cara menanam amal kebajikan sesuai dengan ajaran agama kita. Kalaupun kamu sudah tahu, kamu belum mendalaminya. Kamu baru bisa membedakan amal baik dan buruk. Namun, kamu pasti belum tahu secara lebih jauh mengenai kedua hal ini. Bagaimana cara membuat Allah ridho dengan sikapmu dan bagaimana cara agar Allah jangan sampai murka dengan perilakumu” tambah nenek. Sekarang giliran aku yang terdiam. “Tapi aku bisa belajar dengan nenek. Bukankah nenek dulu pernah nyantri, tentunya nenek bisa menularkan ilmu tersebut kepadaku” usulku. Nenek menggelengkan kepala. “Beda sayang. Belajarlah dengan ahlinya. Kalau kamu mau bertanya bagaimana kualitas buah jeruk yang baik, kamu bisa bertanya dengan siapapun. Seorang tukang besi pun bisa memberikan jawaban, entah jawaban itu benar, salah atau masih meragukan. Akan berbeda jika kamu bertanya hal tersebut kepada petani jeruk atau pedagang jeruk. Jawaban memuaskan pasti akan kau peroleh dari mereka” kata nenek sambil tersenyum. Tak ada alasan lagi untuk menyangkal pernyataan nenek. Aku hanya ingin memeluk nenek, seerat mungkin. Suara riuh muncul dari luar pesantren. Ada apa yang sedang terjadi di luar sana? Aku kemudian bangkit dari dudukku dan berjalan keluar. Di depan ndalem, kulihat sebuah keluarga yang akan berpamitan kepada abah. Seorang wanita paruh baya itu mungkin ibu dari seorang anak laki-laki dan anak perempuan itu. Kedua anak itu nampak tak rela berpisah dari ibu mereka. Mereka menangis tersedu-sedu saat pegangan wanita itu dilepas oleh sang ibu sendiri. Ibu itu juga nampak sedih meninggalkan kedua buah hatinya di pesantren ini. Kulihat ia mengusap air mata yang mengalir di pipi dengan kedua tangannya. Sedangkan kedua anak itu membiarkan air mata mereka mengalir deras, membasahi pipi mereka. Seolah air mata itu adalah perlambang kondisi hati mereka yang tercabik-cabik karena akan berpisah dengan ibu mereka. Tak tega aku melihat pemandangan ini. Melihat itu, aku jadi teringat masa ketika nenek menitipkanku ke pesantren ini. Bedanya hanya, tak ada air mata saat genggaman tangan nenek terlepas dari tanganku. Kedua pasang mata kami kering, air mata kami barangkali terkuras sehari sebelum hari perpisahan itu. Akan tetapi, aku bisa merasakan kedua hati kami pasti sedang remuk seremuk-remuknya karena perpisahan itu. Bahkan hancurnya hati kami bisa lebih parah dan akut dibanding hati kedua anak itu. Sebab, kesedihan dalam kebisuan terkadang lebih menyakitkan dibanding kesedihan yang terungkapkan. Bahkan sampai hari inipun, aku masih merasakan hatiku masih belum sempurna tersusun. Ada bagian yang hilang, dan bagian itu adalah kebersamaanku bersama nenek. 22 Malam Ini Mengintimidasiku Aku mengatakan bahwa aku adalah teman sedesanya dulu. Hanya saja, waktu itu aku tidak mengenalnya dengan dekat. Yang kutahu hanyalah dia anak seorang pemilik warung bernama Bu Hayati. Kamu sudah tahu sebelumnya bukan kalau warung itu adalah warung yang paling laris di desa kami? Meskipun warung tersebut dari pertama kali dibangun sampai terakhir kali aku mengunjunginya untuk membeli putu ayu masih mempertahankan kesederhanaannya. Itu saja. Aku memberanikan diri menulis surat untuk perempuan yang kutemui di halaman pesantren pada suatu pagi itu. Kamu pasti masih ingat ceritaku soal ini. Inilah surat pertama yang kutulis untuk seorang perempuan. Sampai gemetar aku saat merangkai huruf-hurufnya, khawatir akan terjadi kesalahan kepenulisan yang berujung pada penolakan dengan alasan yang masuk akal: laki-laki itu tak cakap dalam bidang tulis menulis. Tak hanya itu, aku pun sudah berkonsultasi dengan dua guru besarku. Kuharap ideku ini bisa diterima dengan tangan terbuka oleh keduanya. Tanpa basa basi, dua guru besarku itu menerima dan mendukung penuh rencana besarku. Kang Imron dan Kang Rosyid memang tak cukup diganjar dua jempol. Entah harus bagaimana lagi aku memberikan pujian terbaikku untuk kedua ustadz sekaligus guru besar multitalenta itu. Surat ini kutulis dengan tinta hitam di atas kertas putih bergaris. Setelah berpikir berjam-jam disertai rasa pening karena ide berjejalan di otakku, kumulai menuliskan kalimat pertama dengan penuh kehati-hatian. Kupilih kata pertama yang sesuai sebagai kata pembuka. Kemudian kurangkai dengan kata-kata lain yang harmonis agar tidak terasa ganjil saat dibaca. Susunan kata-kata itulah yang akhirnya membentuk kalimat. Kalimat demi kalimat berhasil kususun dengan otakku sendiri. Hingga akhirnya aku merasa cukup sampai di kalimat terakhir ini. Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Sejenak aku menikmati kegelapan di dalamnya. Terasa syahdu dan menenangkan. Namun, aku harus segera mengecek keindahan isi surat itu. Astaga, hanya lima baris kalimat yang berhasil kutulis. Aku pun terheran-heran dengan pencapaianku ini. Padahal aku bisa membuat tulisan yang lebih banyak dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Kini aku menarik kesimpulan, mengarang dalam mata pelajaran itu sangatlah berbeda dengan menulis surat untuk seseorang yang memiliki makna penting dalam hatimu. Kutaruh surat itu di lubang pohon ketapang. Lubang itu untungnya terhalangi oleh tumbuhnya dahan berukuran cukup besar. Ini sangat menguntungkan kami berdua sebab tak sembarang orang bisa mengetahui bahwa ada lubang penuh manfaat ada di situ. Dan yang lebih penting lagi, di tempat rahasia itu ada surat yang menjadi tali penghubung antara dua insan manusia. Lubang di pohon ketapang ini adalah tempat kesepakatan kita berdua tempo hari. Aku sempat bertemu dengan Jannah saat ia baru saja pulang dari pasar. Sedangkan aku sedang berada di pintu gerbang pesantren, menanti Muamar yang sedang membelikanku buku dengan kualitas kertas terbaik. Kertas buku itu nantinya akan kugunakan untuk menulis surat yang nantinya kukirimkan kepada perempuan bermata cokelat itu. Anehnya, tak seperti adegan-adegan di sinetron yang ditayangkan setiap malam di kotak bersuara. Pertemuan pertama kami tak ada adegan gugup mendadak, kehilangan kata-kata, speechless, gagu, bingung, minder, malu dan perasaan satu aliran lainnya. Semuanya berjalan biasa saja. Aku menyapanya pertama kali. Meminta waktunya sebentar untuk mengatakan satu hal yang penting diketahuinya. “Aku hanya ingin menjadi temanmu” inilah kalimat inti dari pertemuan yang tak begitu mengesankan itu. Aneh. Dari pertemuan itu pula, kami sepakat akan memanfaatkan lubang di pohon ketapang itu untuk saling berkomunikasi. Melalui media tertulis itu, semoga tak memunculkan fitnah yang lebih besar. Sebab, hubungan kedua kami hanyalah sebatas teman. Tak lebih dari itu. (Namun aku tak berani menjamin bagaimana perkembangan hubungan kami nanti). Keesokan harinya, tak kujumpai lagi kertas di lubang ketapang itu. Kertas tersebut pasti sudah diambil oleh Jannah. Begitulah perkiraanku. Sekarang yang perlu kulakukan tinggal menunggu surat balasan darinya. Duduk di lantai sambil menatap pohon ketapang saja sudah membuatku tersenyum-senyum sendiri. Apakah gerangan isi surat yang akan ditulisnya nanti? Tak sabar aku menanti sebuah lipatan kertas teronggok di lubang pohon yang tiba-tiba kulihat dengan penuh keindahan itu. Sejak surat yang kutulis itu raib tadi pagi, aku jadi sering melihat pohon ketapang itu. Kapanpun aku melihatnya, pohon itu tampak lebih menakjubkan dibanding hari-hari sebelumnya. Di saat pagi hari, pohon itu ibarat penari yang menampilkan tarian selamat datang dengan pakaian serba orange yang menghangatkan. Di siang hari, pohon ketapang tersebut berubah peran menjadi seorang ibu yang bijaksana. Ia rela memayungi siapapun yang berteduh di bawahnya dengan ikhlas. Di saat sore hari, pohon itu kembali berubah menjadi seorang gadis dengan senyum yang paling menawan di muka bumi ini. Ia menebarkan lengkung bibir terindahnya untuk mengantarkan matahari ke peraduannya serta mengingatkan seluruh manusia di dunia ini untuk bersiap-siap menyambut datangnya malam. ”Lebarkanlah sajadahmu wahai manusia di penghujung sore ini” begitulah kira-kira makna goyangan daun-daun ketapang yang lebar itu. Sedangkan di malam harinya, pohon itu berubah menjadi suatu hal yang mendebarkan. Bukan karena sesosok makhluk halus berbadan tinggi besar yang bisa saja muncul dari balik dahan atau makhluk kecil plontos berlarian di bawahnya dengan tawa cekikikan. Bukan, bukan itu. Hatiku berdebar-debar, kapan perempuan itu meletakkan surat balasan itu untukku? Semoga hari cepat malam. Malam ini datang lebih lama daripada malam sebelumnya. Pengajian sore tadi juga terkesan membahas materi yang lebih sulit daripada biasanya. Apalagi pengajian setoran Maghrib tadi, aku sama sekali tak bisa berkonsentrasi dengan apa yang ada di hadapanku. Di depan kitab yang kubaca, semua yang kulihat adalah rindangnya pohon ketapang. Kamarku yang berantakan tak karuan itu tiba-tiba nampak seperti daun-daun ketapang yang berserakan di bawah pohonnya. Inikah namanya jatuh cinta? Cintaku mengapa seperti ini? Bukan wajah perempuan yang kukagumi yang muncul di setiap detik kumemikirkannya? Malah bayangan pohon itu yang berkeliaran di otakku. Mungkinkah gara-gara pohon itu bertindak sebagai perantara hubungan kami berdua? Imajinasi yang aneh. Malam telah datang. Harapan yang kuimpikan sejak tadi pagi tiba-tiba keluar dari skenario. Ibarat aku adalah aktor amatiran yang diminta untuk berimprovisasi oleh sang sutradara. Aku akan gelagapan harus berkata apa saja kepada lawan mainku. Sebab, percakapan yang diminta tak tertulis di skenario. Padahal, aku baru saja direkrut kemarin pagi dan itu berarti aku belum menguasai hal-hal yang berbau akting, apalagi menguasai panggung. Dipecatnyalah aku hari itu juga. Sama. Keadaan yang kugambarkan di atas itu mirip dengan situasi sekarang. Skenario yang sudah kusiapkan sejak tadi pagi adalah, malam ini aku akan keluar kamar dan melangkah menuju pohon ketapang yang lebat itu. Aku amati lubang di balik dahan, apakah sudah ada sepucuk surat untukku di sana? Kalau ada, aku pasti akan melompat kegirangan. Akan kuciumi surat balasan pertamaku itu dengan penuh semangat. Seperti anak rantau yang memperoleh kiriman wesel dari orang tuanya. Akan kudekap surat itu berkali-kali di dekat dadaku agar semakin lekat dengan hatiku. Akan kubaca berkali-kali sampai aku hafal isi surat itu dengan sendirinya. Akan kubawa tidur surat itu agar si penulis benar-benar muncul di dalam mimpiku. Aduhai, indah sekali skenario ini. Si penulis skenario pasti akan segera memperoleh penghargaan penulis skenario terbaik tahun ini. Dan itu pasti aku. Film yang mengangkat skenarioku itu juga akan menjadi film yang mendapat sambutan sangat positif dari masyarakat. Aduh, aku bisa mandi uang karenanya. Tapi skenario itu kini tercabik-cabik. Suara tangisan di luar kamarku lah biang keladinya. Apalagi malam telah larut, mendekati satu jam sebelum pergantian hari. Sengaja aku memilih waktu selarut ini agar tak seorang pun tahu akan gerak gerikku di malam hari. Supaya tak ada yang curiga kepadaku serta hubungan antara aku dan pohon ketapang itu. Kupikir, siapa yang menangis malam-malam begini? Apakah anak setan atau anak manusia? Diriku kini sibuk menimbang-nimbang. Kuraih gagang pintu kamarku dengan penuh pertimbangan dan kebimbangan. Setelah kurasakan dingin besinya, seketika kuurungkan niatku. Tangisan itu terdengar menyayat-yayat hati. Berpadu dengan suara dengkuran teman sekamarku, Fatah, menjadi kolaborasi yang paling mengerikan untuk malam ini. Kupegang gagang pintu lagi dan bersiap membuka pintu, tangisan itu kini berubah menjadi sesenggukan. Terdengar pula ia mengusap ingusnya dengan punggung tangan, seperti anak kecil ingusan di musim pancaroba. Layaknya musik pengiring pergantian musim. Dramatis dan menyeramkan. Beragam cerita mistik yang pernah dipaparkan oleh santri senior kembali berputar di otakku. Kebun kosong di belakang bangunan komplek A menyimpan kisah-kisah yang bisa membuat bulu kuduk berdiri. Konon, dulu sebelum pesantren ini dibangun, tempat itu digunakan oleh penjajah Belanda untuk membuang pejuang tanah air yang gugur. Mayat mereka dibuang begitu saja tanpa penghormatan, tanpa prosesi keagamaan. Hal yang paling tak bisa kuterima, mengapa arwah mereka menangis tepat malam pertama aku akan mengambil surat balasan dari Jannah? Tidakkah mereka tahu pentingnya malam keramat ini? Bukankah mereka bisa memilih malam-malam yang lain, yang tak ada hubungannya dengan rencanaku malam ini? Setan memang tak pernah bisa bersahabat dengan manusia. Amarahku ini nyatanya malah membangkitkan keberanian dalam diri ini. Kutarik gagang pintu yang kini sudah berubah hangat. Lantaran aku kerap memegangnya tanpa melakukan hal apapun, tidak membuka, tidak menutup tidak pula mengunci. Tapi sekarang aku tak mau menunda-nunda lagi. Kulihat jam dinding yang menunjukkan waktu tengah malam kurang lima menit. Masya Allah, 25 menit aku diliputi kebimbangan untuk membuka pintu ini atau tidak. Inilah keraguan terlama dan terkonyol yang pernah terjadi dalam hidupku. Angin malam bertiup lebih kencang saat aku keluar dari kamar. Lingkungan pesantren sudah sepi. Tak seorangpun lalu lalang di halaman tempat aku berdiri. Semuanya pasti sudah terlelap dalam tidur. Lampu-lampu kamar pun telah padam. Hanya menyisakan lampu ndalem yang masih menyala. Abah kyai pasti sedang dzikir sekarang. Kulihat di sekelilingku. Sekedar memastikan aku tak akan dianggap sebagai sosok yang mencurigakan dengan gerak gerik di malam yang pekat ini. Tak perlu menunda-nunda waktu lagi, aku berlari kecil menuju pohon ketapang seorang diri. Sesampainya di bawah pohon itu, perasaanku mendadak tak karuan. Kulihat pohon itu dari bawah, pohon yang kugambarkan sebagai sosok yang mempesona di pagi, siang dan sore kini berubah menjadi seperti monster yang akan menerkamku secara perlahan-lahan. Daun-daunnya yang rimbun bergerak-gerak ditiup angin, membangkitkan halusinasiku seolah daun-daun itu memiliki tangan dengan cakar di setiap ujungnya. Cakar-cakar itu siap menerkamku kapanpun mereka mau. Tapi aku tak kalah cerdik, sebelum mereka memberiku pelajaran karena terganggu kedatanganku, aku melongok ke arah balik dahan. Sebuah benda putih bertengger di lubang tersebut. Tak salah lagi, itu pasti surat balasan dari Jannah untukku. Dengan sigap kuraih benda itu dan aku berlari secepat mungkin menjauhi pohon ketapang tersebut. Menjauhi kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi di luar dugaanku. Menjauhi makhluk-makhluk bewajah dan bersuara aneh. Menyelamatkan diriku dari bayangan-bayangan seram yang tiba-tiba mengerubuti anganku. Suara tangis itu bahkan masih terdengar ketika aku masuk ke dalam kamarku. Aku sudah kehilangan cara bagaimana untuk mengendalikan kecemasan ini. Dari sekian banyak skenario yang sudah kususun jika surat itu sudah ada di tanganku, semuanya bubar. Hafalanku hilang bahkan terhadap skenarioku sendiri. Yang kulakukan hanyalah mencium surat itu, menempel di kedua bibirku dan dekat dengan hidungku. Karena sejak awal, aku penasaran dengan aroma surat ini. Apakah benar aroma melati yang kucium sejak berada di bawah pohon ketapang itu berasal dari benda di tanganku ini atau bukan. Aroma melati kemudian menyebar di seluruh ruangan. Musik malam ini pun masih berputar dengan sendunya, tangisan yang penuh tanda tanya. 23 Untuk sahabatku, Hamid Untuk sahabatku, Hamid Aku bukanlah penulis yang hebat. Bakatku bukan menuliskan kata-kata yang membuatmu terpaku melihat susunan kata-kataku. Bukan pula menjadikanmu rela menunggu surat balasanku. Seperti inilah aku yang tak biasa bermain rima dan sajak. Aku hanya ingin menjawab pertanyaanmu. Itu saja. Tak ada maksud lain di balik semua itu. Sekarang, kamu boleh memanggilku sahabatmu. Barangkali, aku tak selalu ada setiap kamu membutuhkanmu. Namun, kamu boleh memegang kata-kataku, selalu akan ada balasan di setiap surat yang kau titipkan di pohon ketapang itu. Inilah janji persahabatan pertama kita. Jannah “Dia sudah menganggapku sebagai sahabatku, kang” kataku menggebu-gebu pada Kang Rosyid. Kang Rosyid sedang terbuai dengan semilir angin di kebun belakang pesantren. Sedangkan aku menanti jawaban beliau. Gusar dudukku karena alas yang digunakan hanyalah tikar usang pesantren yang umurnya mungkin sudah menyamai umurku. Sedangkan tidak ada tikar lain selain tikar itu untuk melindungi duduk kita dari rumput-rumput liar yang ada di kebun belakang pesantren. “Kang” kataku sambil menyentuh lengan Kang Rosyid. “Iya, ada apa?” kang Rosyid terkejap. “Tumben kakang melamun?” tanyaku dengan nada menggoda. “Oh… aku ini tidak sedang melamun, Hamid. Melainkan sedang bernostalgia” jawab Kang Rosyid seraya memandangi kebun pesantren yang luas. “Nostalgia?” tanyaku penasaran. “Ya, nostalgia dengan mengingat-ingat saat indah bersama teman-teman seangkatanku dulu. Lebih dari 5 tahun yang lalu” jawab Kang Rosyid. “Di sini, kang?” tanyaku dengan mengarahkan jari telunjukku ke arah tikar yang kami duduki. “Betul. Dulu di sini adalah base camp kita. Kita bahkan pernah membangun gubuk kecil-kecilan di sini. Gubuk yang beratapkan daun kelapa yang dianyam. Asal kamu tahu, gubuk itu sangatlah sederhana, namun menyimpan banyak cerita tentang persahabatanku dengan teman-teman lawasku” jelas Kang Rosyid sambil menerawang pandangan ke arah tingginya pohon kelapa. “Sejak aku di sini, aku tidak pernah melihat gubuk ada di sekitar sini, kang” protesku menanggapi perbedaan antara cerita Kang Rosyid dengan kenyataan di lapangan. “Gubuk itu sudah kami robohkan” jawab Kang Rosyid dengan nada sendu. “Mengapa, kang? Bukankah bangunan itu bisa dijadikan tempat kenangan buat kakang?” “Justru itu. Dari kami bertujuh, hanya aku yang masih tinggal di sini. Keenam temanku sudah keluar dari pesantren dan beberapa dari mereka sudah membangun keluarga baru” kata beliau. Aku menatap wajah Kang Rosyid yang sedang dirundung duka mengenang cerita lamanya. “Mereka sudah punya jalan hidup sendiri-sendiri. Jauh dari hidupku yang begini-begini saja” kata-kata beliau makin menggambarkan betapa sedihnya beliau sekarang. Kulipat surat dari Jannah, rasanya sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas ini di saat hati Kang Rosyid sedang sepilu itu. “Mengapa kakang tidak mengikuti jejak mereka?” Kang Rosyid diam. Aku pun tak berani mengeluarkan pertanyaan lebih jauh lagi. Kami berdua hanya memandang semak-semak yang ada jauh di depan kita. Sedangkan lahan kosong yang ada tepat di depan kita, konon dulu adalah perkebunan ketela pohon. Hasil dari perkebunan tersebut,bahkan pihak pesantren sampai menggunakan ruang kosong di belakang ndalem untuk menyimpan ketela-ketela yang berjumlah sangat banyak itu. Entah berapa kuintal hasilnya, yang jelas persediaan sebanyak itu bisa tak habis dimakan selama seminggu berturut-turut. “Oh ya, kang, semalam aku mendengar seseorang menangis. Kira-kira siapa ya kang?” kataku mencoba mencairkan suasana. Kang Rosyid menatapku dengan penuh tanda tanya. “Maksudmu?” “Tangisan seseorang tadi malam kang. Membuatku tak bisa tidur” keluhku. “Kamu pasti salah dengar, Mid. Tak pernah terjadi hal-hal aneh di pesantren ini” tandas sang ustadz dengan mimik tidak percaya. “Soal korban-korban kekejaman Belanda itu, kang?” tambahku dengan nada menuntut kebenaran. “Itu memang benar. Kewingitan tempat ini memang terkenal sejak dulu. Tapi, semenjak abah membuka pesantren ini, abah turun tangan langsung dalam mengatasi isu tersebut. Lokasi ini kemudian didoakan oleh abah kyai agar aman. Terlebih, ini ‘kan pesantren. Banyak orang yang menuntut ilmu dan beribadah, rasanya sebangsa mereka tak akan mau tinggal bersama orang-orang yang dekat dengan Allah” jelas Kang Rosyid dengan penuh kepastian. “Aku tak mungkin salah dengar, kang. Tepat tengah malam tadi, aku mulai mendengar keganjilan itu. Bahkan aku sempat keluar kamar dan jalan-jalan sebentar. Sekembalinya ke kamar, suara itu masih ada” kataku meminta pendapat. “Kamu sudah berusaha mencari tahu dari mana sumber suara itu?” tanya Kang Rosyid. “Anggapan pertamaku itu berasal dari arah kebun ini, kang. Tepat di belakang kamarku” tanganku menunjuk arah belakang kamarku. “Kau mengeceknya?” Aku menggelengkan kepala. “Bagaimana dengan teman-teman sekamarmu? Mereka juga mendengar?” kata Kang Rosyid menginvestigasi. “Mereka sudah tidur, kang. Hanya aku seorang yang masih terjaga” Percakapan terhenti sejenak. Kubiarkan Kang Rosyid berpikir sejenak, mendefinisikan kira-kira apa yang telah terjadi semalaman di sekitar kamarku itu. Setelah sekian lama berkontemplasi, beliau angkat bicara. “Aku tak tahu soal itu” “Kakang mau nanti tidur di kamarku. Sekedar membuktikan omonganku kalau aku tidak sedang membual di siang hari seperti ini” usulku. Kang Rosyid menyangga dagu di tangan kanannya. “Boleh. Sekaligus mencari tahu siapa gerangan suara itu” jawab beliau dengan wajah cerah. Untuk sahabatku, Jannah Ada kabar aneh dari komplekku. Bisa jadi kamu tak percaya dengan apa yang kuceritakan ini, namun aku tak pernah berbohong dengan sahabatku. Semalam, aku mendengar suara tangisan di belakang kamarku. Tak tahulah suara apa itu. Aku jadi sempat terpikirkan, bagaimana kalau cara mengirimkan surat kita diganti saja. Jangan di pohon ketapang itu. Aku juga merasakan hal yang aneh di pohon rimbun itu. Sahabatmu, Hamid. Malam berikutnya, Jannah mengirimkan surat balasan untukku. Untuk sahabat terbaikku, Benarkah kabar mengenai suara tanpa wujud itu? Mungkin, itu hanyalah bayanganmu belaka… Tak sadarkah kamu, kamu tidak tidur hanya untuk mengambil suratku di lubang pada pohon ketapang itu. Padahal kamu sendiri sudah mengantuk. Sehingga karena rasa kantuk yang melanda itu, bisa menimbulkan semacam halusinasi. Tahukah kamu apa halusinasi itu? Gambaran sederhanaku yaitu bayangan aneh yang muncul ketika seorang manusia dalam kondisi tertentu. Biasanya, orang yang sedang dirundung kabut cinta, ia selalu berhalusinasi seolah kekasihnya berada di sampingnya. Tak peduli ia dan kekasihnya terpaut ribuan mil jauhnya. Sedangkan ceritamu itu, hmmm…aku hanya mengia-ira, malam yang kelam disertai dengan ketakutanmu akan pohon ketapang itu, ditambah rasa kantuk yang teramat sangat, menjadikan otakmu memikirkan sesuatu yang tak nyata. Terkait soal penggantian cara mengirimkan surat, aku belum punya ide soal itu. Maaf, untuk sementara kamu harus sedikit berkorban ya untuk mengatasi rasa takutmu akan gelapnya malam. Ini tidak akan lama, sobat… Jannah. Satu hal yang kuherankan, tidakkah perempuan itu takut ketika akan mengirimkan surat untukku? Untuk Jannah sang pemberani Baiklah kalau begitu, aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mengatasi rasa takutku itu. Hanya, aku ingin mengutarakan satu pertanyaan. Tidakkah kamu takut keluar malam-malam hanya untuk mengirimkan surat balasan itu untukku? Hamid Suara tangisan itu masih terdengar ketika malam hari. Selalu saja muncul, meratap-ratap dari balik kamarku. Bekas kebun singkong itu, mendadak penuh misteri jika malam tiba. Saat itu pula, aku dilanda kepanikan luar biasa. Tidakkah ia rela membiarkanku semalam saja untuk keluar dari kamar dengan perasaan tenang dan pergi tidur setelahnya tanpa merasa terancam sama sekali? “Jib, kamu pernah mendengar suara aneh di malam hari?” tanyaku pada Najib pada suatu malam. “Suara hewan maksudmu?” tanya balik Najib sambil membenahi selimutnya. “Bukan. Suara itu bahkan lebih mengerikan dari suara hewan malam sekalipun” jawabku semangat sambil menepuk-nepuk bantal yang akan kugunakan untuk tidur. “Lebih menakutkan daripada suara burung hantu?” tanya Najib penasaran. “Tiga kali lebih dahsyat untuk menegakkan bulu-bulu romamu” tandasku pasti. “Bisa kupercaya kata-katamu itu?” rupanya sahabat sekamarku ini masih mempertanyakan keaslian cerita yang kualami sendiri ini. “Jangan… jangan pernah kamu percaya pada kata-kataku ini. Kamu perlu membuktikannya sendiri”. Inilah kalimat yang kupelajari dari kang Rosyid. Untuk membuat seseorang melakukan sesuatu seperti kehendak kita, maka janganlah kita meminta mereka untuk mempercayai kita. Akan tetapi, tantanglah dia untuk melakukan apa yang kita minta. Dengan tantangan itu, maka mereka seolah diminta untuk mengetes keberanian mereka sendiri. Di sisi lain, metode ini tak membuat kita seperti orang yang memelas minta bantuan. Manjur sekali. “OK. Nanti malam aku akan berjaga-jaga” jawab Najib menyetujui tantanganku. Mustajab ‘kan resep dari Kang Rosyid? Masjid pesantren sudah sepi. Kegiatan tadi sore adalah setoran hafalan Juz ‘Amma kepada para ustadz sampai datangnya waktu Isya’. Kegiatan dilanjutkan dengan sholat Isya’ berjamaah. Setelah itu, abah kyai mengisi pengajian tafsir Al Ibriz sampai jam 9 malam. Najib dan aku sengaja duduk di depan kamar untuk mencegah rasa kantuk menyergap lebih awal. Di dalam kamar, teman-temanku sudah memposisikan diri sedemikian rupa sehingga seolah mereka siap mempersilakan rasa kantuk datang merambat perlahan-lahan. Mengikis kesadaran mereka. Sehingga, mereka sampai kini tak mengetahui ada perkara yang lebih penting untuk diketahui dibanding hanya tidur awal dan bangun di keesokan harinya. “Malam ini berhawa lain daripada biasanya” kata Najib mengawali dialog. Aku merapatkan jaketku. Jika Najib berkata demikian, aku malah merasa biasa-biasa saja. Aku sudah terbiasa terbangun di tengah malam seorang diri dan menemukan kenyataan teman-temanku sudah terbuai di dunia lain. Terbiasa keluar kamar dan berlari ke pohon penuh misteri itu. Sekali lagi, seorang diri. Jadi, malam yang belum selarut ini bukanlah perkara yang patut dibesar-besarkan soal suasana mistisnya. “Kamu merasakannya, Mid?” tanya Najib kepadaku yang sejak tadi diam. Aku menimbang-nimbang, jawaban apa yang harus kuberi agar Najib tak beranjak dari tempat duduknya. Kuharap dia akan berada di sini saja, membuktikan kebenaran ceritaku dengan telinganya sendiri. Sekali aku memberikan jawaban yang salah, dia pasti langsung berpikir aku hanyalah seorang pembual ulung. “Malam ini lebih dingin dan aroma kegelapan terasa makin pekat menyengat” jawabku mengimbangi pernyataannya tadi. “Kamu berbicara seperti sedang baca puisi di lomba tujuh belasan” tukas Najib menilai gaya bicaraku yang mungkin terdengar aneh di telinganya. Aku mengangkat kedua alisku. Kuharap itu adalah jawaban yang bisa menahannya, setidaknya untuk satu dua jam ke depan. Beberapa menit kemudian, temanku itu kembali melontarkan pertanyaan. “Kamu mencium wangi bunga tidak?” Hidungku mendengus-dengus berusaha menyaring setiap inci udara yang melewati depan indra penciumanku. “Wanginya seperti…” kataku sambil terus berusaha memahami aroma yang bahkan sampai saat ini aku belum merasakannya. “Bunga…” “Bunga anggrek” lanjutku. “Siapa yang memakai parfum anggrek malam-malam seperti ini?” tanya Najib penasaran. Aku melihat wajah Najib yang mulai diliputi rasa takut yang datang secara perlahan. “Betul bukan apa kataku? Ada yang tidak beres di pesantren ini kalau malam hari” gumamku. Kuawasi keadaan sekitar, lampu-lampu kamar masih menyala. Maklumlah, jam masih menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Ranting-ranting pohon bergerak-gerak seolah ada lutung yang sedang bermain bersama temannya. Dari kejauhan, nampak titik-titik putih di pohon mangga depan ndalem. Kukira itu adalah tempat di mana aroma anggrek itu berasal. “Lihatlah sebelah sana, Jib” aku menunjukkan tangan ke arah titik-titik putih itu. “Ya”. Najib tampak memicingkan mata demi menangkap objek yang kutunjuk. “Aroma anggrek itu pasti berasal dari sana” kataku berspekulasi. “Kau yakin itu bunga anggrek yang beraroma tajam ini?” “Setidaknya aku belum pernah mendengar ada setan atau hantu yang memakai wewangian anggrek. Janggal sekali hantu negeri ini yang berlaku demikian” jawabku asal. Kulihat kang Imron berjalan keluar dari ndalem. “Kang” aku mengangkat tangan agar beliau melihat kami berdua. Kang Imron melihat sinyal lambaian tanganku, beliau kemudian berjalan menuju ke arah kami. “Dari ndalem, kang?” tanyaku. “Ya, ada hal penting dibicarakan dengan abah” kang Imron mengambil tempat duduk di sampingku. Najib tiba-tiba tersenyum mendengar jawaban ustadz shorof itu. Senyumannya mirip seperti anak yang bersedia melakukan permintaan orang tuanya namun dengan suatu syarat. “Kita boleh tahu, kang?” tanyanya menambahkan. Ustadz yang lebih akrab dipanggil Mbako itu mengusap bibir bawahnya. Aku tak tahu itu bermakna apa, sebab pelajaranku dalam membahas bahasa tubuh bagian bibir belum pernah kusentuh sebelumnya. “Tidak untuk hari ini ya. Sebab rencana ini masih mentah. Belum ada tindak lanjut. Makanya tadi aku sowan abah untuk mendapatkan ijin untuk rencana itu. Alhamdulillah abah sudah memberikan lampu hijau. Jadi, tinggal pembahasan lebih lanjut agar rencana tersebut terealisasi dan hasilnya memuaskan” jawab Kang Imron. “Rencana?” tanyaku menimpali jawaban sang ustadz. Kang Imron mengangguk-anggukkan kepala dengan slow motion. Seperti ada per antara kepala dan lehernya. “Dua hari ke depan, akan saya bahas bersama santri-santri lain” Kalau keputusan Kang Imron sudah demikian, maka kami tak punya alasan lagi untuk terus mendesak beliau agar buka mulut soal rencana rahasia itu. Namun bisa dipastikan rencana tersebut pasti rencana besar yang melibatkan seluruh elemen pesantren. Tak ada gunanya lagi sekarang membahas rencana rahasia itu. Kini, aku ingin mengganti topik pembicaraan yang sesuai dengan rasa ingin tahuku. “Kang, bolehkah saya bertanya sesuatu?” tanyaku. “Ya, tentu” jawab beliau. “Dosa tidak ya kang kalau kita takut kepada setan?” tanyaku sambil menggigit bibir bawahku. Kang Imron tersenyum. Senyumannya penuh makna. Setelah aku takar-takar, senyumnya itu kurang lebih bermakna, “Bukankah pengajian tafsir Al Ibriz oleh abah kyai sudah pernah membahas soal itu, anak muda? Kamu pasti tertidur saat pengajian penting itu” “Dosa atau tidak, nanti kamu simpulkan sendiri ya” pesan Kang Imron. “Maksudnya, kang?” “Begini. Di awal surat Al Baqoroh, disebutkan bahwa Nabi Adam pernah diminta oleh Allah untuk menyebutkan nama-nama benda di depan para malaikat. Karena nabi Adam dikaruniai akal dan ilmu pengetahuan, maka dia bisa menentukan nama-nama benda itu. Akan tetapi, berbeda dengan para malaikat. Mereka hanya dikaruniai akal, tanpa ilmu pengetahuan. Jadi, sewaktu Allah meminta malaikat untuk menyebut nama-nama benda di depan mereka, mereka tidak bisa menyebutnya barang satu benda pun. Inilah bukti Allah memuliakan nabi Adam karena ilmu pengetahuan yang dikaruniakan dari-Nya. Setelah itu, Allah meminta malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam sebagai tanda hormat. Mereka mematuhi perintah Allah. Kecuali iblis. Iblis tak mau patuh terhadap perintah Allah. Mereka gengsi karena mereka diciptakan dari api, bukan seperti manusia yang tercipta dari tanah. Sehingga mereka diusir dari surga. Karena ketidakpatuhan mereka kepada Allah” jelas Kang Imron panjang lebar. Najib mengangguk-angguk, sedangkan aku diam saja. Pasti ada penjelasan lebih lanjut dari Kang Imron. “Kalau misalkan dulu iblis diminta menyebutkan benda-benda sebagaimana yang disebutkan Nabi Adam, kira-kira mereka bisa melakukannya tidak?” tanya Kang Imron. Kami menggelengkan kepala. “Mengapa?” “Iblis tidak diberi akal, hanya nafsu yang mereka punyai” jawab Najib. “Betul sekali. Sekarang kakang meminta kalian untuk membandingkan antara malaikat, manusia, dan iblis dengan skala perbandingan kepemilikan akal dan nafsu” pinta Kang Imron. Hal ini mengingatkanku saat mengikuti pengajian beliau di sore hari. Siapapun yang bisa menjawab pertanyaan beliau dengan benar, maka dia diperbolehkan meninggalkan kelas terlebih dahulu. “Malaikat hanya diberi akal. Manusia dikaruniai akal dan nafsu” jawab Najib. “Dan iblis hanya diberi nafsu” tambahku. “Lebih detailnya lagi, karena manusia dikaruniai akal, maka dengan akal itu manusia bisa memperoleh ilmu pengetahuan yang tersebar di muka bumi ini. Nah, bagaimana dengan iblis?” tanya Kang Imron menguji seberapa jauh pengetahuan kami berdua. “Iblis tak memiliki akal dan…tentunya mereka tak punya modal untuk mempunyai ilmu pengetahuan seperti manusia” jawabku. “Dan itu berarti iblis…” Kang Imron menundukkan wajahnya beberapa senti, menunggu jawaban brilian keluar dari salah satu mulutku atau sahabat dekatku. “Lebih rendah kedudukannya daripada manusia” tukas Najib penuh percaya diri. Kang Imron mengacungkan kedua jempolnya untuk kita berdua. “Masih takut dengan makhluk yang kedudukannya lebih rendah daripada kita?” goda Kang Imron. Aku melihat di sekelilingku. Apa kata Kang Imron benar-benar menyemangatiku, buat apa takut dengan makhluk yang bahkan ilmunya tak seberapa dengan yang kita miliki. Kalau ‘makhluk’ itu menangis lagi, sebenarnya aku bisa membentaknya agar berhenti menangis. Bisa saja aku melakukan hal itu. 24 Kabar Dari Intel Pesantren Adzan Subuh belum berkumandang. Inilah saatnya aku beraksi. Aksi seperti biasanya, hanya waktu pelaksanaannya mengalami penundaan. Semalam, sejak berbincang-bincang dengan Kang Imron soal malaikat-manusia-iblis, membuat Najib tak berminat lagi untuk membuktikan suara tangisan itu. “Buat apa mengorbankan tidur malam hanya untuk mendengarkan suara tangisan makhluk yang lebih rendah kedudukannya dibanding manusia?” Inilah dalilnya, sekaligus dalil itu yang membuat aku memaklumi keputusannya. Menjelang waktu Subuh, keadaan sudah tak semistis malam-malam sebelumnya saat aku berburu sepucuk surat di lubang pohon ketapang itu. Sebab, kata-kata Kang Imron semalam membuatku sadar bahwa tak ada alasan yang dibenarkan mengapa aku harus berlari di tengah kegelapan. Tak ada pemakluman pula mengapa aku merasa gentar melihat suatu tempat yang gelap itu yang dianggap sebagai base camp golongan makhluk tak berilmu itu. Kita, manusia yang lebih tinggi derajatnya dibanding bangsa lelembut itu. Tak ada alasan lagi untuk takut dengan mereka. Titik. Bahkan pohon ketapang yang waktu malam itu kulihat sebagai seorang raksasa yang mengerikan dengan tangan yang akan mencengkeram tanganku erat-erat, kini yang kulihat hanyalah daun-daun berukuran lebar, hijau dengan kombinasi warna merah karena faktor usia daun yang sebentar lagi akan gugur menuju bumi. Sekali angin bertiup, gugurlah dedaunan yang memang sudah takdirnya bertemu dengan sahabat lamanya, yaitu bumi. Perasaanku sekarang lebih tenang untuk mengambil surat yang diselipkan di lubang pohon ketapang itu. Bukankah seharusnya aku memiliki perasaan seperti ini sebelumnya? Sahabat terbaikku, Hamid Takut dengan bangsa lelembut?  Bisakah kamu mencari alasan yang dapat mengubah pendirianku, mengapa kita harus takut dengan makhluk yang lebih rendah kedudukannya dibanding kita? Sahabat terbaikmu, Jannah Aku tersenyum membaca surat itu. Untuk sementara waktu, aku tidak akan mengiriminya surat dulu. Terus terang aku malu dengan Jannah. Dia lebih dulu berhasil memaknai rasa takut secara hakiki. Bukan kepada makhluk apapun, bukan kepada siapapun. Hanya kepada Allah-lah kita patut takut. Pagi ini, jamaah sholat Subuh dilaksanakan sesuai biasanya. Hanya dua shof dibelakang imam sholat yang menjumpai takbiratul ihram sang imam. Sesaat kemudian datang sekira lima santri masbuk. Di saat sujud, datang lagi beberapa santri. Aku tak sempat menghitungnya. Setelah sholat sampai di rakaat kedua, datanglah santri lebih banyak lagi sehingga shaf menjadi empat baris. Setelah sholat sampai di duduk attahiyyat, barisan shof lengkap menjadi lima baris. Tak pernah sempurna sholat Subuh kami jika ditinjau dari kekompakan memulai sholat sejak takbiratul ihram. Sejak pertama kali aku masuk hingga detik ini, jamaah sholat Subuh hampir tidak mengalami perubahan. Kalaupun ada, biasanya perubahan itu mengarah kepada kemunduran. Kemunduran yang paling parah ketika jamaah hanya diisi dua shaf, itu pun tidak penuh. Kalau sudah demikian, aku tiba-tiba kasihan dengan dewan keamanan. Tugas mereka menjadi lebih berat. Pagi ini abah kyai tidak mengisi pengajian. Untuk mengisi waktu, kang Imron duduk di barisan baling depan dekat dengan pengimaman untuk memberikan tausiyah untuk kita semua. Tema pengajian beliau pagi ini adalah tema yang dibicarakan beliau kepadaku dan Najib semalam. Mengenai kedudukan manusia jika berhadapan dengan iblis. Bahkan, di akhir tausiyah beliau, beliau dengan tegas memberikan contoh yang bagiku cukup menohok,” Takut kepada makhluk halus itu ibarat tuan rumah takut dengan pembantu rumah tangga”. Begitu jero28-nya beliau menganalogikan masalah ini, sampai-sampai aku tak berani mengangkat wajahku untuk sekedar melihat wajah kang Imron saat mengisi pengajian. Aku pun mulai mengira-ira, Jannah pasti senyum-senyum mendengar permisalan itu. Selepas pengajian subuh, banyak santri yang menetap tinggal di dalam masjid. Tak seperti biasanya. Di hari-hari biasa, mereka akan langsung kembali ke komplek masing-masing setelah pengajian usai. Apapun hal penting yang mereka tak kuasa menahan untuk berbagi, akan tetap mereka bicarakan di kamar masing-masing. Mulai dari tugas hafalan Juz ‘Amma, cara membaca kitab kuning, mendalami ilmu Nahwu dan Shorof, belajar menerjemahkan kitab Al Ibriz, menyalin isi kitab Fathul Qorib, dan sebagainya, semuanya dilakukan di kamar santri. Masjid hanya digunakan untuk sholat berjamaah, pengajian bersama abah atau ustadz-ustadz dan membahas masalah penting yang berkaitan dengan pondok pesantren. Namun pagi ini sangat berbeda. Tak ada acara resmi yang telah dikonfirmasi oleh pihak pesantren bahwa ada pertemuan di masjid setelah pengajian subuh. Namun, hampir semua santri terlibat dalam diskusi yang makin lama makin hangat untuk dibicarakan. Aku sengaja duduk di antara mereka. Mencari tahu ada informasi apa yang menarik untuk digali. “Yang benar kang akan diadakan pertengahan bulan depan?” “Ya betul, aku mendengarnya sendiri dari komandan” jawab si ketua kelompok. “Komandan?” tanyaku dalam hati. “Komandan itu siapa, kang?” tanyaku memberanikan diri. “Wah, maaf, kang. Aku tak mau membocorkan identitas informan. Ini menyalahi kode etik saya sebagai intel” “Wah hebat sekali ada santri yang belajar menjadi intelijen di pesantren ini?” gumamku. 28 Dalam, perumpamaan yang dalam/ sangat menyindir. “Kita harus siap-siap untuk menyambut acara itu, kawan” tambah ketua kelompok dengan genggaman tangan yang dinaikkan ke atas. “Betul, ini menyangkut nama baik pesantren kita. Jangan sampai abah kyai dipermalukan dengan prestasi kita yang jeblok” “Biasanya dites, ya, kang di depan panggung?” “Biasanya demikian. Namun tak pasti juga. Tergantung situasi dan kondisi. Kalau abah kyai sedang bersemangat, itu menjadi tugas yang lumayan berat bagi kita” “Aku khawatir bagian itu, kang” kata seorang santri sambil mengelap peluh di dahinya. Padahal, suhu pagi ini belumlah terlalu panas. “Semua dari kita memang mengkhawatirkan bagian itu. Aku pun juga tidak pernah mengklaim bahwa hal tersebut adalah ajang untuk pembuktian diri bahwa aku ini bisa. Naudzubillah” “Takutnya grogi, kang” keluh seorang santri seraya memukul-mukul lantai masjid. “Betul. Di depan kita, tak hanya penduduk desa. Namun juga para kyai kondang, syeikh kenamaan, para habib dan ulama-ulama ternama di desa ini” Sang komunikator terdiam. Jelas yang sedang dibahas ini bukanlah acara main-main. “Menurut informasi, rapat pembentukan panitia akan diselenggarakan kapan, kang?” seorang santri bertanya dengan wajah serius. Matanya sedikitpun tak berkedip. “Awalnya pengumuman akan segera disosialisasikan minggu depan. Namun setelah ditimbang-timbang, pengunduran waktu tidak mendatangkan keuntungan bagi kita. Jadi, kata komandan mungkin sore nanti akan ada pertemuan besar di masjid ini yang melibatkan seluruh santri di komplek A, B, dan C” “Hebat kang. Kita semua sudah tahu rencana pengurus pesantren bahkan sebelum pengumuman resmi dikeluarkan dari pihak pengurus” “Kedekatan hubungan dengan pengurus inti kadang menawarkan kemudahan dan cepatnya informasi itu mengalir” tukas ketua kelompok penuh percaya diri. “Sebentar, kang” kataku menyela pembicaraan. Terus terang, aku masih meraba-raba, apa sebenarnya yang sedang didiskusikan oleh kelopok ini. “Rencana besar, acara besar dan melibatkan seluruh pesantren, kita akan mengadakan itu semua?” tanyaku. “Ya, tentu. Rencana besar ini kadang ditanggapi dengan respon yang bermacam-macam dari kalangan santri. Ada yang antusias, pesimis dan biasa-biasa saja. Kamu golongan yang mana?” “Apa rencana itu khataman pesantren kang?” Kang Miftah mengangguk. Bagai disambar petir di pagi buta. Kabar ini sungguh membuatku terkejut. Acara khataman ini bukanlah perkara yang sepele. Diperlukan pengorbanan demi lolos mengikuti khataman. Sedangkan aku sendiri belum pernah mengikuti acara tersebut sama sekali, yang itu artinya aku harus mengikuti khataman tahun ini. Meskipun belum ada keputusan dari pihak pesantren bahwa aku diwajibkan mengikuti prosesi sakral itu, namun aku pribadi bisa memprediksikan bahwa aku pasti ‘diminta’ pengurus untuk sedikit berkorban waktu dan perasaan untuk bisa mengkhatamkan sisa hafalan surat yang belum aku kuasai. Lantaran, aku sudah menjadi santri di sini selama dua tahun dan belum khatam sama sekali. Sesungguhnya hal ini adalah perkara yang memalukan. Idealnya, setengah tahun atau lebih sedikit, santri sudah hafal seluruh surat-surat juz terakhir itu. Dengan berat hati, kuakui hafalanku memang masuk dalam kriteria di bawah standar. 25 15 September Rumput-rumput liar berayun-ayun di pertengahan hari. Warnanya hijau kekuningan. Mengingatkan film cowboy dan musik country yang menjadi background musiknya. Film yang membuat aku dimarahi nenek gara-gara film itu bukan buatan negeri sendiri. Tak ada manfaat yang bisa diambil dari menonton film barat. Budaya yang berbeda adalah salah satu alasan mengapa nenek melarang keras aku menonton hiburan di kotak bersuara itu. Rasa ingin tahuku semakin memuncak. Sebenarnya, mengapa nenek melarangku menonton televisi? Bukankah guru sekolah dasarku pernah berkata bahwa selain membaca buku, para siswa bisa memperoleh informasi global melalui media elektronik, misalkan televisi. Sehingga, anak negeri ini tidak ketinggalan informasi yang baru saja terjadi di dunia ini. Pernyataan guru dan nenek bertentangan satu sama lain, membuatku bingung. Lama kelamaan, rasa penasaranku menggerogoti ketenangan pikiranku. Harus ke manakah aku harus condong? Apakah guruku atau nenekku? Guru yang mengajariku banyak hal, mulai dari ilmu hitung, meskipun akhirnya aku tak suka dengan pelajaran ini, ilmu sejarah, ilmu bahasa termasuk bahasa Inggris yang sulit itu, dan ilmu tentang alam serta sosial. Akan tetapi, nenek lebih berjasa untuk kehidupanku. Beliau sudah merawatku bahkan sejak aku belum mengetahui siapa beliau sebenarnya. Yang kutahu waktu itu adalah wanita baik hati yang menyanyikan aku sebuah lagu sebelum aku tidur, menggendongku ke mana pun beliau pergi, menyuapiku bubur dan pisang sebagai makanan favoritku ketika kecil, menjarang air hangat untuk aku mandi, membuatkanku teh perdamaian di pagi hari dan... beliau satu-satunya orang yang aku rindukan selama keberadaanku di pesantren ini. Aku coba mencari referensi sebanyak-banyaknya di perpustakaan pesantren. Semua rak buku aku telusuri satu per satu. Melewati rak-rak yang berisi kitab-kitab kuning. Mendadak aku merasa buta huruf jika berhadapan dengan kitab-kitab dengan huruf tak berharokat itu. Tak lama aku berada di situ, aku mengamati barisan buku-buku sejarah, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosiologi, matematika, bahasa Inggris, dan biologi. Tak kunjung jawaban itu naik ke permukaan sehingga aku bisa dengan mudah menangkapnya dan kupelajari secara cermat sehingga bisa menyimpulkan keraguan akan pendapat dua orang yang sangat berpengaruh dalam hidupku itu. Harapan terakhirku tertuju pada sebuah rak yang terletak menyendiri di dekat pintu pesantren. Rak tersebut diisi dengan kumpulan surat kabar hari ini, majalah Islami, jurnal-jurnal dan selebaran yang biasa dibagikan saat sholat Jumat. Kuambil salah majalah dengan cover seorang ulama besar. Pandangan sekilas, aku belum mengenal tokoh agama tersebut. Namun di bagian bawah cover majalah tersebut, tertulis nama ‘Buya Hamka’. Itu pasti nama ulama tersebut. Judul majalah edisi itu adalah Buya Hamka, Ulama Bertutur Sastrawi. Entah apa yang mendorongku untuk mencari tahu isi majalah tersebut lebih jauh. Aku mengambil tempat duduk yang tak jauh dari rak majalah itu. Berusaha mendalami sejarah kelahiran dan kehidupan Sang Buya yang sangat berkaitan dengan sastra Islami. Di bagian akhir artikel, tertulis bahwa Buya Hamka adalah ulama yang menghargai toleransi beragama. Keterbukaannya ini tercermin dari kegemarannya membaca buku karya Albert Camus, William James, Sigmund Freud dan sebagainya. Sekaligus ia menunjukkan bahwa seorang Muslim tidaklah anti-Barat. Aku tutup majalah itu dengan perasaan seperti baru saja mendapatkan pencerahan. Seorang Muslim tidaklah harus bersikap antipati terhadap Barat, misalkan memakai produk Barat, menikmati tayangan dari Barat maupun menuntut ilmu di negeri Barat, Amerika misalkan. Nah, seandainya majalah ini adalah seorang manusia, aku harus berterima kasih kepadanya. Lain kali, aku pasti akan membawakan parsel untuknya sebagai tanda terima kasih yang sangat mendalam. Tak ada yang salah apabila aku membawakannya parsel kan? Innamal a’malu binniyyat. Sepulang dari pesantren, aku mendapat kabar bahwa nanti malam akan ada rapat akbar. Rapat itu pasti akan membahas mengenai sosialisasi khataman pesantren. Jasa dari intel pesantren ternyata membuat kita tak perlu deg-degan saat mendengar akan diadakannya rapat, kapanpun itu. Satu parsel lagi rasanya tak berlebihan diberikan kepada intel itu. Harga sebuah parsel tidaklah seberapa dibanding senam jantung bahkan sebelum rapat yang sesungguhnya itu diadakan. Benar. Setelah sholat Isya’ berjamaah, abah tidak mengadakan pengajian. Kang Imron pasti sudah koordinasi dengan beliau untuk meminta waktu malam ini agar diisi dengan rapat akbar yang melibatkan seluruh santri. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Seluruh santri baik putra dan putri berkumpul di aula pesantren. Ramai sekali sekarang. Sebagian besar dari mereka pasti sudah mengetahui alasan mengapa mereka dikumpulkan. Untuk membahas mengenai rencana pelaksanaan khotmil Al Quran. Rapat dipimpin oleh Kang Imron dan didampingi oleh Kang Rosyid. Keadaan ruangan memanas ketika Kang Imron memberikan opsi kapan tanggal pelaksanaan Khotmil Al Quran. Banyak pendapat yang masuk. Satu per satu santri mengacungkan jari demi menyampaikan aspirasinya, kapan sebaiknya hari sakral itu dihelat. Banyak jari yang meski ditunjuk hingga Kang Imron kebingungan di depan panggung, yang mana yang harus dipilih dulu. Dengan pertimbangan apa, dan mungkinkah semua jari ditunjuk dan diberikan kesempatan untuk berbicara meskipun hanya dua menit? Kang Rosyid menengahi. Ia memilih hari Sabtu, tanggal 15 September sebagai hari pelaksanaan khotmil. Beberapa alasan beliau kemukakan, hari Sabtu adalah hari yang paling banyak dipilih oleh para santri sebagai hari yang tepat untuk pelaksanaannya. Selain itu, hari tersebut tepat sebulan lagi. Waktu sebulan cukup ideal untuk menggenjot hafalan mereka. “Bagaimana dengan tanggal 15 September?” tanya Kang Rosyid. Ruangan dipenuhi dengan suara riuh, sekawanan lebah ternyata tak hanya terjadi di masjid, namun kini beralih ke aula pesantren. “Tenang… tenang. Seperti yang Kang Rosyid katakan tadi bahwa pemilihan tanggal tersebut melalui berbagai macam pertimbangan. Njenengan semuanya sudah dengar ‘kan bahwa pertimbangan waktu tersebut tak terlalu lama dan terlalu dekat. Jadi kalau keputusan sementara kami berdua tanggal 15, siapa yang setuju?” Satu per satu santri mengacungkan jari. Makin lama jumlahnya makin banyak. “Sebentar ustadz, apakah tanggal 15 itu adalah hari yang baik?” Mendengar pertanyaan seorang santri itu, perlahan-lahan jumlah santri yang mengacungkan jari berkurang sedikit demi sedikit. Kang Rosyid meraih mic, sebelum memberikan jawaban, beliau tersenyum dengan gaya khasnya. “Dalam Islam, semua hari itu baik. Tidak ada istilah hari baik apalagi hari buruk. Kita sengaja memilih tanggal tersebut karena berbagai pertimbangan, misalkan tanggal itu tepat sebulan ke depan, dilaksanakan hari Sabtu sehingga diharapkan banyak penduduk desa maupun kota yang berkunjung, abah kyai juga kemarin mengusulkan agar acara tersebut diadakan pada akhir minggu agar tak membebani beberapa pihak. Seperti itu keputusannya” Perlahan, jari-jari yang awalnya tenggelam di tengah-tengah wajah para santri, satu per satu mulai menunjukkan eksistensinya. Mereka setuju tanggal 15 September sebagai hari yang pas diadakan hari sakral itu” Setelah penentuan hari pelaksanaan khotmil, pembentukan susunan divisi pun dibentuk malam itu juga. “Jam masih pukul sembilan lewat sedikit. Bagaimana kalau kita membentuk divisi atau seksi-seksi yang bertugas untuk khataman besok?” tanya Kang Rosyid. “Sekarang, ustadz. Bagaimana dengan prosedurnya?” usul Kang Imron. “Maksud saudara dengan prosedur?” “Ya, cara pemilihan anak yang sesuai menjabat divisi tertentu itu. Apa ditunjuk secara langsung oleh pengurus pesantren, atau voting, atau bagaimana?” Kang Imron dan Kang Rosyid terlibat dialog kecil. “Maaf, bolehkah saya masuk?” Kang Imron menoleh ke arah hadirin dan mempersilakan santri tersebut untuk berbicara. “Menurut saya, kalau pemilihan santri dipilih secara langsung oleh pengurus pesantren, bisa jadi santri tersebut merasa keberatan atau tak cocok berada di suatu divisi di mana dia ditugaskan. Ia sebenarnya ingin menjadi seksi acara, namun dia justru dimasukkan ke dalam seksi peralatan dan perlengkapan. Alhasil, dia tak bersemangat dalam bekerja karena seolah ia berada di tempat yang salah dengan keinginan dan bakatnya” kata perempuan berjilbab ungu itu. “Solusinya?” tanya Kang Imron. “Solusinya… dari pihak pesantren, menyediakan kertas kosong. Kertas itu kemudian dibagikan kepada seluruh santri. Nah, santri memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memilih divisi mana yang ia ingin terlibat di dalamnya. Tanpa paksaan dan tanpa pengaruh pihak lain” jawabnya dengan ritme yang teratur, indah sekali. Semua santri di dalam ruangan itu manggut-manggut. Aku juga mengakui kehebatan cara berpikir perempuan itu. Tahukah kamu siapa dia? Perempuan yang seringkali menitipkan tulisannya di lubang pada pohon ketapang. Kecerdasannya entah berapa tingkat di atasku. Subhanallah. “Ide yang bagus. Ditolak atau diterima?” seru Kang Imron. Seluruh santri putra bersorak. Wajah cantik yang duduk di barisan paling depan itu terbukti memiliki otak yang cantik pula. Dalam bahasa awan, otak yang cantik diartikan sebagai otak yang cerdas. Bangga betul aku pernah mengenalnya. Bagiku, tak hanya cantik wajah dan otak, bahkan dia perempuan yang ahli dalam membuat minuman kopi yang bercita luar biasa. Dia ahli merangkai kata-kata indah meskipun ia pribadi mengklaim ia bukanlah penulis yang hebat. Dia adalah perempuan pemberani dalam menghadapi kegelapan malam sekaligus berbicara di depan umum dengan suara yang jelas dan tak ragu sedikitpun. Kurang apa lagi dia? 26 Cokelat Bergambar Beruang Salah satu alasan mengapa aku harus bersyukur bisa mendapatkan pendidikan di pesantren yang terletak di kawasan pedesaan adalah aku bisa menikmati rasa cintaku kepada alam pedesaan. Alam pedesaan bagiku adalah sebagian kecil kavling surga yang Allah turunkan di bumi ini. Penuh dengan kedamaian dan ketenangan. Sebagaimana yang aku rasakan ketika masih ada di rumah bersama nenek. Tak berbeda jauh dengan keadaanku di sini. Sebelumnya aku sudah ijin dengan Kang Jabir. Hal ini aku lakukan agar pencekalan tempo itu tak terulang lagi. Untuk saat ini, aku ingin menyendiri untuk menghafalkan surat-surat di Juz ‘Amma di alam lepas. Jauh dari lingkungan pesantren yang selalu bising sejak penentuan hari akan diadakannya khataman. Bayangkan saja, setiap kamar dipenuhi dengan anak-anak yang nderes Al Quran. Bagi santri baru, mereka sibuk menghafalkan Juz ‘Amma, sedangkan santri lama yang akan mengikuti haflah tersebut, mereka juga memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk menghafalkan surat-surat pilihan seperti Surat Ar-Rahman, Al-Mulk dan Al Waqi’ah. Tak ada lagi waktu untuk bermain-main apalagi bersantai-santai. Mereka ingin memberikan yang terbaik saat hari H nanti. Di mana orang tua mereka menyaksikan anak-anaknya ikut dalam acara khotmil tersebut, bersama-sama sahabat santri lainnya dan yang paling penting mereka didoakan oleh ribuan malaikat. Point terakhir inilah yang menjadikan mereka bersemangat untuk menyelesaikan hafalan mereka. Sebab, mereka tahu, hanya keseriusan yang pantas dibayar dengan keberhasilan yang memuaskan. Sejak pengajian Subuh usai, hampir semua santri putra tinggal di masjid untuk hafalan surat bersama-sama. Dilanjutkan pendalaman materi soal nahwu dan shorof hingga pukul 9 pagi. Setelah Dhuhur, tidak ada kegiatan sehingga bisa dimanfaatkan para santri untuk beristirahat. Setelah Ashar, mereka kembali hafalan surat-surat sampai waktunya pengajian ba’da Ashar sekitar jam 5 sore. Waktu Maghrib dan Isya, dihabiskan untuk pengajian setoran bersama abah kyai dan pengajian yang diisi oleh beliau sampai jam 9 malam. Beginilah rutinitas di pesantrenku setiap hari. Melelahkan? Munafik jika aku tidak mengatakannya tidak. Pukul setengah sepuluh pagi, aku sedang duduk di sebuah dangau di tengah sawah milik penduduk. Sawah ini adalah milik Mbah Joyo. Aku sudah mengenal beliau dengan baik lantaran beliau sering melihatku dulu bermain ke sungai di samping sawahnya. Sekarang entah di mana beliau sedang berada. Sawahnya kering tak ditanami apapun. Menyisakan rumput liar tumbuh di mana-mana dan tak sebatang pohon budidaya bisa ditemukan di situ. Sedangkan dangau ini sudah ada sejak dua tahun yang lalu aku pertama kali berkunjung. Tak ada perubahan yang berarti. Bahkan batang bambu sebagai penyangganya mulai memasuki masa uzur. Setiap kali aku bergerak untuk mengubah posisi duduk, maka muncul suara berderit kayu yang sudah sangat tua. Apabila gerakan yang kubuat kencang, misalkan aku nekat melompat-lompat di gubuk itu seolah sedang merayakan punya spring bed baru, maka tamatlah riwayat gubuk tua itu. Atap gubuk ini terbuat dari jerami yang ditumpuk-tumpuk. Di bagian paling bawah atap tersebut, terdapat anyaman bambu sebagai penopang jerami di atasnya. Memang tak menjamin selamat seratus persen dari basah jika kita bernaung di bawahnya saat hari sedang hujan. Namun, aku aman mengatakan kalau dangau ini sudah lebih dari cukup untuk berlindung dari panasnya sinarnya matahari terutama di musim kemarau. Seraya bercanda dengan angin sawah yang menjadi teman sejati kita menikmati penghabisan hari. Aku sengaja memandang buku Juz ‘Amma dan terjemahannya yang sengaja kuletakkan di samping tempatku duduk. Belum ada kehendak kuatku untuk membuka buku itu dan menghafalkan ayat-ayatnya. Diriku masih sibuk menikmati kesendirian, jauh dari kehidupan pesantren. Dari kejauhan, aku melihat dua orang manusia sedang berjalan dari arah sungai. Seorang nenek dan seorang cucu laki-lakinya. Nenek itu membantu cucunya yang nampak kesulitan menaiki anak tangga alami di pinggir sungai. Pakaian sang cucu terlihat baru dan warnanya masih mencolok, sedangkan busana sang nenek tampak biasa saja. Baju broklat warna cokelat muda dengan kain jarit yang sudah pudar warnanya. Keduanya nampak akrab. Meski ini pertama kalinya aku melihat keduanya, aku bisa membaca kedekatan hubungan emosional antara nenek dan cucunya itu. Tangan kanan sang nenek tak pernah lepas menggenggam lengan cucunya yang terus meracau. Sedangkan tangan kirinya memegang tas jinjing yang mungkin digunakan untuk membawa barang belanjaan. Entah apa yang anak kecil itu katakan. Tapi berdasarkan pengamatanku selama aku melihat perilaku anak kecil seumuran itu, permintaan anak-anak seperti dia pasti tak jauh dari hal yang berkaitan dengan makanan ringan dan mainan. Sang nenek mengiyakan permintaan cucunya itu, meski dalam hatinya dia pasti dilanda kebingungan. Uang yang dimilikinya sekarang hanya cukup untuk membeli bahan pokok makanan untuk sampai besok lusa, sedangkan si cucu meminta macam-macam. Permintaan anak jaman sekarang tentunya tak bisa dianggap remeh. Membeli satu macam jajan atau mainan saja, baangkali bisa untuk menebus beras satu kilo atau gula pasir setengah kilo. Bukankah harga-harga kebutuhan pokok di negeri ini selalu merangkak naik dan enggan turun? Manja sekali rupanya. Untuk sampai di pinggiran sawah menuju pasar, nenek dan cucu itu hanya bisa melewati satu pematang. Pematang itu tepat berada di depan dangau tempat aku bernaung. Kebetulan sekali, jadi aku bisa mengetahui apa permintaan cucu itu saat mereka berdua berjalan di depanku. “Nek, nanti Rafi dibeliin cokelat dan balon, ya” rengek anak kecil itu. Wajah sang nenek mulai menampakkan kebimbangan untuk menjawab. “I…Iya. Nanti Rafi bisa memilih cokelat kesayangan Rafi di pasar nanti” kata nenek dengan wajah ceria. “Cokelat yang bergambar beruang ya nek. Cokelatnya enak” “Cokelat gambar beruang?” Nenek itu nampak bingung dengan permintaan cucu yang satu ini. Bahkan ia tak tahu seperti apa wujud cokelat dengan merk tersebut. Cokelat dengan label hewan lambang negeri tirai bambu itu adalah merk snack favorit anak-anak saat ini. Rasanya memang enak, karena aku sendiri pernah mencicipinya saat teman sekamarku membelinya. Sejujurnya, aku belum pernah membeli snack itu dengan uangku sendiri. Masalah harga, selalu menjadi alasan klasik bagi santri sepertiku. “Iya, cokelat itu paling enak, nek. Nanti nenek harus ikut mencobanya. Nenek pasti menyukainya” kata si cucu dengan riang. “Iya, nenek pasti akan membelikan Rafi cokelat itu” kata nenek itu sambil tersenyum. Sang cucu melompat kegirangan. Sebentar lagi keinginannya akan segera dikabulkan oleh neneknya yang baik hati. “Tak tahukah kamu, nak? Nenekmu itu sangat mencintaimu”. Sang nenek tersenyum saat lewat depanku. Aku membalas senyumannya. Senyum yang mengingatkanku dengan nenekku di rumah. Sedang apa nenek sekarang? Apakah, dulu aku sama menyebalkannya seperti si cucu bernama Rafi ini? Aku terus mengarahkan pandanganku kepada mereka berdua. Bukan main gembiranya si cucu mengetahui neneknya sedang banyak uang sehingga ada jaminan apapun keinginannya segera terpenuhi. Ibarat meminta kepada om jin, hanya dengan sekali kedipan semua keinginan bisa terealisasi tanpa usaha apapun. Sekali lagi, kurang baik apa nenek itu? Bahkan aku bisa merasakan kebahagiaan anak itu. Rasanya kurang lebih seperti saat aku diijinkan bertemu dengan nenek oleh abah kyai dan aku memperoleh uang saku untuk sampai ke desaku. Kebahagiaan yang berlipat. Seperti kebahagiaan anak itu yang juga berlipat, mendapatkan cokelat bergambar beruang dan memiliki nenek yang hebat. Di sisi hatiku yang lain, aku juga bisa merasakan kegetiran luar biasa. Barangkali seperti yang dirasakan nenek itu. Bahkan beliau rela hanya mengenakan pakaian seadanya demi sang cucu bisa memakai pakaian yang bagus. Bisa jadi pula, hanya untuk membelikan si cucu cokelat bergambar beruang, nenek itu tak bisa membeli kebutuhan pokok yang nilainya bahkan jauh lebih penting daripada hanya satu potong cokelat seharga selangit itu. Hatiku makin teriris-iris ketika melihat jalan nenek itu yang sudah goyah dan tak mantap lagi jalannya. Napasnya pasti terengah-engah setelah membantu si cucu naik tangga samping sungai tadi. Apalagi mengendalikan sang cucu agar berhati-hati meniti pematang yang tak lebar ini, terlebih menopang berat tubuhnya sendiri. Hatiku bergetar melihat dua manusia beda generasi itu. Aku kembali duduk di dalam dangau dengan buku terjemah Juz ‘Amma masih di sampingku. Belum kusentuh sama sekali. Padahal, hari mulai siang. Cericit burung sawah meramaikan suasana tempat ini yang kelewat sepi. Aku perhatikan kawanan burung itu yang terbang dari pohon satu ke pohon yang lain. Beberapa dari mereka turun ke bawah dan menukik tanah, mencari rejeki yang bisa saja tertinggal di situ. Kepulan asap dari kejauhan menjadikan pemandangan makin syahdu dan menegaskan, inilah budaya pedesaan yang eksotik itu. Hanya di desa aku bisa menikmati kedamaian ini. Selang beberapa jam kemudian, aku melihat nenek dan cucu itu tadi. Keduanya pasti baru saja dari pasar. Aku amati cucu itu terlebih dahulu. Dari kejauhan, rupanya sulit bagi mataku untuk berdiafragma sehingga penglihatanku masih tak sebaik harapanku. Yang kulihat hanyalah si cucu memegang benda bulat biru yang bisa terbang. Jalannya pun tak tenang. Ia terus melompat-lompat kegirangan, seperti halnya aku dulu ketika nenek baru saja membelikanku gula-gula rasa apel kesukaanku. Setelah mereka berdua cukup dekat denganku, astaga, aku bisa melihat dengan jelas. Apa saja yang menjadi permintaan si cucu saat berada di pasar tadi? Tangan kanan anak kecil itu memegang sebuah cokelat bergambar beruang permintaannya tadi. Sedangkan tangan kirinya menggenggam dengan erat sebuah balon biru bergambar tokoh animasi ciptaan Hollywood. Riang betul wajah anak kecil itu. Sang nenek juga mengimbangi kesenangan si cucu. Beliau tersenyum saat aku melihatnya dan senyum itu masih dipertahankannya saat sang cucu kembali meracau di sepanjang perjalanan. Lalu, bagaimana dengan tas jinjing yang dibawa nenek itu? Aku tak bisa melihat isi tas itu dengan seksama. Namun dilihat dari cara tas itu dibawa, tas itu masih seringan saat sebelum mereka sampai di pasar. Sekarang, aku hanya ingin pulang ke rumah dan menanyakan kepada nenek,”Apakah aku dulu banyak tingkah dan banyak pinta seperti si Rafi itu, nek?” “Maafkan Hamid, nenek” 27 Untung Ada Cabe Rawit Sore ini, daftar divisi bersama santri-santri yang masuk di dalamnya ditempel di papan pengumuman pesantren. Para santri selang-seling melihat pengumuman, aku pun tak mau ketinggalan. Dari kejauhan, kita nampak seperti orang yang sedang melihat pengumuman penerimaan CPNS. Banyak tangan yang menelusuri setiap garis yang penuh dengan nama-nama santri. Besar harapan namanya tercantum di daftar divisi yang sesuai mereka inginkan. Biasanya divisi acara berada di bagian paling atas. Kang Imron berkata, divisi acara adalah divisi inti dalam sebuah event. Berhasil tidaknya sebuah acara, tergantung bagaimana acara itu disusun dan diprogram dengan baik. Selebihnya, pelaksanaan acara itu dibantu dengan kerja sama divisi-divisi lainnya. Jadi, jangan heran dan iri mengapa divisi acara berada di posisi teratas. Namaku pun ada di barisan kelima kolom itu. Sedangkan di bagian paling atas, terdapat nama Kang Rosyid. Beliau lah koordinator divisi acara. Bagai ember yang bertemu dengan tutupnya. Satu divisi bersama orang yang sudah kukenal dengan dekat, benar-benar menguntungkanku. Tak salah aku berada di sini, di divisi ini. Meski secara pribadi aku belum khatam Juz ‘Amma, tak masalah, tak ada halangan untuk mengabdi kepada pesantren tercinta. Di bawah papan pengumuman tersebut, terdapat kertas kecil yang tertulis keterangan bahwa rapat kedua akan diadakan tiga hari lagi. Sebelum hari itu, masing-masing divisi harus sudah pernah mengadakan pertemuan intern divisi. Siap! Aku akan belajar menjadi seorang yang turut mensukseskan acara akbar ini. “Divisi apa, Mid?” tanya Rifat, santri komplek A kamar sebelah. “Acara. Kamu?” aku menunjuk papan pengumuman dengan perasaan sedikit bangga. “Abadi, Mid” jawabnya singkat. “Abadi jadi divisi keamanan?” tanyaku memastikan. “Terkadang postur fisik sudah mewakili jawaban mengapa aku masuk ke dalam divisi tersebut” jawab Rifat sambil berjalan menjauhi kerumunan. Aku tersenyum. “Kamu sedih?” tanyaku sambil mengikuti langkahnya. “Bukan. Aku hanya bosan dengan divisi tersebut. Setiap kali ada acara besar ini, aku selalu ditunjuk menjadi anggota divisi keamanan bersama Kang Jabir” Rifat duduk di kursi panjang depan kelas 1. Aku kemudian duduk di sampingnya. “Memang ada yang salah dengan beliau?” tanyaku serius. “Bukan itu masalahnya. Aku hanya ingin sesuatu yang baru. Bukan berada di tempat yang sama dengan tahun yang lalu” katanya sambil menengadahkan kedua tangannya seperti orang yang sedang berdoa. “Misalkan?” “Ya, divisi perlengkapan, usaha dana atau dekorasi. Terserahlah. Divisi konsumsi juga tak masalah” kata Rifat bersemangat. “Yakin dengan divisi terakhir yang kau ucapkan itu?” godaku. “Tukang angkut-angkut makanan. Postur besar identik dengan pekerjaan yang membutuhkan fisik yang prima” jawab santri berperawakan perkasa ini. “Sambil menikmati apa yang kau bawa itu tentunya” “Boleh juga. Keuntungan sekunder dari menjadi bagian dari konsumsi itu, ya paling banyak berinteraksi dengan santri putri” “Pesantren tidak akan pernah mengijinkan hal itu, Fat” Rifat menyandarkan punggungnya di tembok kelas. “Ya aku tahu. Makanya aku dipilih di divisi ini” Aku manggut-manggut. “Kau sendiri punya rencana apa dengan acara akbar itu?” Aku diam sejenak. Bahkan otakku belum terlintas sedikitpun soal ini. Peresmian diangkatnya aku sebagai bagian dari divisi acara juga tadi sore. Mana mungkin dalam waktu sesingkat ini, otakku sudah bisa mencetuskan ide yang berilian demi acara khataman itu. MUSTAHIL, ditulis dengan huruf kapital. “Belum ada bayangan. Mungkin nanti kutemukan ide hebat itu bersama teman-teman satu divisi” kataku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Boleh ikut memberikan ide?” tanya Rifat seraya melihat ke arahku. “Wah, itu pasti menjadi sesuatu yang keren” sanjungku. Rifat membenahi kerah bajunya. Padahal tak ada yang salah dengan kerahnya. Alih-alih, itu adalah lagaknya ketika sedang tinggi hati. Dasar manusia. “Bagaimana kalau... acara itu diselenggarakan di malam hari, Pertimbangannya agar banyak warga yang bisa menyempatkan diri untuk mendatangi acara kita ini. Nah, soal pembicara bagaimana kalau kita mengundang Kiai Mahfudz, pengasuh Pesantren al Hikmah. Mau’idhotul Hasanah29 beliau pasti disukai oleh hadirin. Kocak pasti” kata Rifat dengan suara lantangnya, penuh dengan ambisi. “Mengapa kamu tidak masuk ke divisi acara saja?” usulku. “Bukankah aku sudah ditunjuk, Mid” jawabnya dengan nada lemah. “Oh ya” Kutepuk jidatku. Bagaimana aku bisa lupa seperti ini? “Lalu bagaimana dengan sahabatmu itu?” tanya Rifat sambil mengubah posisi duduknya. “Sahabat yang mana?” tanyaku. “Pembuat kopi cengkih favorit abah kyai itu” 29 Nasehat kebaikan yang disampaikan pada pengajian inti. Aku tertegun. Bagaimana Rifat bisa tahu hubunganku dengan Jannah? Bukankah kami berdua tidak pernah membocorkan hubungan ini kepada siapapun? “Sebentar, aku dengan Jannah?” tanyaku pura-pura tidak mengetahui hal yang sedang Rifat bicarakan. “Sudahlah, kamu jangan pura-pura linglung” Rifat menepuk pundakku. Rupanya ia tahu hubungan kami berdua. Kalau sudah begini, apa lagi yang harus disembunyikan? “Oh, dia bukan di divisiku. Aku tak kepikiran untuk mencari namanya di papan pengumuman tadi. Barangkali dia masuk di divisi konsumsi. Bukankah dia memang ahli di bidang itu” jawabku sambil ikut-ikut menyandarkan diri ke tembok. “Terkesan kamu memojokkan golongan perempuan yang selalu identik dengan urusan dapur” kata Rifat dengan wajah penuh rasa ingin tahu. “Kata siapa?” tanyaku dengan kata sedikit meninggi. “Dari pernyataanmu tadi, sudah cukup mendefinisikan jalan pemikiranmu” sanggah Rifat dengan jari telunjuknya mengarah ke wajahku. Sejenak aku memandang kerumunan santri yang mulai berkurang animonya. “Begini. Pernahkah kamu mendengar kata bijak,’serahkan segala sesuatu kepada ahlinya?” tanyaku dengan nada sedikit seperti Kang Rosyid saat melontarkan pertanyaan di pengajian sore. Rifat mengangguk. Ia pun menimpali pertanyaanku. “Jika segala hal jatuh pada orang yang salah, maka tunggulah datangnya kehancuran dunia. Bukankah demikian?” Aku mengangguk sambil mengacungkan jempol kepada Rifat. “Lalu apa hubungannya antara kopi cengkih itu dengan divisi konsumsi?” tanyanya dengan kerut di keningnya. Dia keliatan jelek sekali saat ini. “Kita lihat saja nanti. Seperti yang kau tahu, perempuan bernama Jannah itu mahir menyajikan sesuatu yang disukai oleh semua orang. Nah, hadirin acara khataman nanti semoga akan suka dengan makanan yang kita sajikan nanti. Tapi, ya serahkan saja semuanya kepada ahlinya. Kita tak perlu turut campur” kataku penuh dengan nada optimis. Mendengar pernyataanku, Rifat mengangguk-angguk. Sama seperti dia yang selalu melakukan bahasa tubuh tersebut setelah mendengarkan penjelasan ustadz tentang pelajaran hari tersebut. Setelah pengajian usai, aku iseng bertanya kepadanya soal materi kelas sore itu. Dia nampak kebingungan. Kebingungannya pun menular ke arahku. Bukankah dia tadi mengangguk yang mengindikasikan dia paham dengan materi bahasa Arab itu? Mengapa dia sekarang bingung? Akhirnya, setelah kami berdua sama-sama bingung, dia tersenyum. Senyumnya itu bukanlah senyum biasa. Senyum itu menandakan kejujuran, bahwa anggukan kepalanya dalam kelas tadi itu hanyalah bohongan, agar dia tidak ditunjuk Kang Rosyid untuk menjelaskan materi yang dipelajari. “Oh ya, dari mana kamu tahu kalau aku dan Jannah dekat?” tanyaku penasaran. “Haruskah aku menjawabnya?” tanya Rifat balik. “Tentu!” jawabku tegas. Rifat kembali mengangguk-angguk. Anggukan bermakna apa lagi kali ini? “Lihat itu!” kata Rifat sambil menunjuk pohon ketapang depan ndalem. Aku mengikuti perintahnya dengan melihat objek yang ditunjuknya. Sesekali mengalihkan pandanganku ke Rifat. Dia pasti akan menjelaskan hal yang lebih dibanding hanya dengan melihat pohon rimbun itu. “Pohon itu yang menceritakan semuanya” kata Rifat mantap. Lampu kamar masih menyala di tengah malam ini. Aku dan Najib menghabiskan sisa hari ini dengan segala macam bahasan mengenai khotmil, hafalan kita, soal perempuan itu dan tentang kamar kita ini. Di tengah malam ini, tiba-tiba aku teringat soal tangisan yang membuatku ketakutan saat akan mengambil surat dari Jannah di pohon ketapang itu. Bagaimana jika aku menceritakan hal ini kepada Najib? “Ada yang ganjil dengan malam ini, Jib?” tanyaku memulai percakapan. “Seperti biasanya. Sunyi dan tak ada hal lain yang lebih menarik dibanding tidur” kata Najib sambil menata tikar dan bantal. “Janganlah kamu tidur dulu” “Mengapa?” “Untuk malam ini saja, temani aku sampai lewat tengah malam. Ada sesuatu yang mungkin kamu perlu tahu” “Tentang apa?” Aku melihat di sekeliling kamar. Memastikan tak ada orang lain yang ada di sekitar kami. Agar aku ‘aman’ menceritakan rahasia ini kepada teman sekamarku ini. “Tangisan seseorang di tengah malam. Suara itu benar-benar memecah keheningan di setiap malam. Sudah seminggu terakhir aku selalu mendengarnya di malam hari” kataku serius. “Kamu yakin dengan pendengaranmu itu”. Najib mengambil posisi duduk yang menggambarkan model orang yang sedang penasaran tingkat tinggi. “Aku tak bisa yakin mengatakannya ‘ya’. Barangkali ada orang lain yang pernah mendengar suara itu. Tapi… sejauh ini hanya aku yang mendengarnya” “Mungkin dia memang ingin berteman akrab denganmu saja, Mid” goda Najib. Aku tersenyum sinis. “Tak lucu, Jib. Lebih baik aku memilih teman yang berasal dari golongan manusia. Yang sama sepertiku, baik asal usul, wujud dan syukur-syukur memiliki hobi yang sama” Najib beranjak dari tempat duduknya. Dia mengambil buku terjemah Juz ‘Amma di atas meja. Lalu dia mulai membaca surat tertentu, dia pasti lebih tertarik menutup malam ini dengan hafalannya, bukan dengan rasa penasaran soal ceritaku tadi. “Sampai mana hafalanmu?” tanya Najib. “Surat ‘Abasa” jawabku. “Cepat sekali”. Rona kekaguman terpancar dari temanku itu. “Aku menyetorkan hafalanku setiap hari kepada Kang Rosyid atau Kang Imron setelah sholat Maghrib. Setiap hari harus ada setidaknya satu ‘ain yang aku hafalkan. Wajib dan tak boleh ditunda-tunda lagi kalau ingin mengikuti khataman tahun ini” jawabku mantap. “Hebat” “Kamu lebih hebat dariku, Jib. Bahkan kamu sudah sampai Al Quran, padahal kita masuk pesantren ini kan bersamaan” “Orang itu beda-beda, Mid. Kalau aku dikaruniai hafalan yang kuat sedangkan kamu tidak, kamu pasti punya hal lain yang bisa dibanggakan” “Hal yang dibanggakan?” tanyaku. “Ya, kamu pasti memilikinya. Atau, kalau kamu belum tahu itu apa, kamu tinggal perlu untuk menemukannya” Kemudian, Najib kembali berkonsentrasi untuk hafalannya. Mulutnya komat kamit membaca surat An Naba’. Serius sekali. Dan kalau sudah begini, aku tak boleh mengganggunya dengan cara apapun. Lupakanlah soal tangisan anak kecil itu. Lupakan juga soal membahas khataman atau perempuan pembuat kopi cengkih itu, untuk malam ini saja. Sampai Najib tertidur, bahkan tak ada yang mampu memberatkan mataku. Seandainya mataku sebuah daun ketapang, maka bentuk daun itu masih lebar dan segar. Hijaunya klorofil tak ada yang mampu menandingi daun-daun yang lain, yang sudah dulu menguning dan memerah. Sebelum akhirnya gugur di dalam tidur panjang mereka. Mataku masih segar bugar. Aku ambil buku kosong di dalam laci meja belajar sederhana. Meja ini milik pesantren. Sekilas, meja ini tak sebanding dengan meja belajarku di rumah yang penuh dengan gambar warna-warni lengkap dengan berbagai macam fungsinya. Meja kayu yang sudah tua ini banyak membantu belajar kami di pesantren. Ia selalu bersedia menemani lembur kami saat menyelesaikan tugas dari abah kyai untuk menyalin Al Quran dengan target satu hari satu juz. Ia tak akan berpaling dari tugasnya untuk membantu kami dalam mempelajari shorof yang sangat sulit itu sampai larut malam. Dan sekarang, ia satu-satunya benda yang bisa kuajak berbicara melalui kesunyian. Apa yang harus aku lakukan di tengah malam seperti ini. Aku menuliskan beberapa kalimat di halaman pertama buku kosong itu. Kalimat itu kususun sedikit demi sedikit hingga membentuk sebuah paragraf. Sebelum aku melanjutkan ke paragraf berikutnya, aku membaca paragraf yang sudah kubuat itu. Ini adalah sebuah cerita. Cerita soal pengalaman pertamaku memasuki pesantren dan berjumpa dengan wajah-wajah baru. Berkenalan dengan mereka satu per satu, terutama dengan teman sekamarku. Ada hal yang kurang jika aku menghentikan tulisanku sampai di sini. Aku melanjutkan kalimat-kalimat di paragraf sebelumnya ke paragraf yang baru. Di paragraf ini, aku punya rencana untuk menceritakan soal betapa baiknya teman sekamarku ini, Najib. Setiap kali salah seorang dari kami punya rejeki, maka ia akan membeli bakmi goreng dua porsi yang dibeli di warung Pak Karso. Bakmi goreng itu katanya bakmi terenak yang ada di desa kami. Sebuah kebahagiaan jika kita bisa berbagi dengan teman-teman yang lain, begitulah kata si penraktir. Maka, kamar kami menjadi kamar terheboh dibanding kamar-kamar yang lain. Najib mengambil daun pisang yang pohonnya tumbuh di belakang kamar kami. Daun pisang itu kemudian dicuci dan dijadikan alas untuk makan bersama kami. Menunya bakmi goreng bersama irisan cabe rawit. Meski dua porsi bakmi terkesan terlalu sedikit bagi ukuran kami, ukuran anak pesantren yang kerap kelaparan daripada kekenyangan, namun tetap saja bakmi goreng itu ibarat makanan surga bagi kami semua. Nikmatnya makan bersama-sama sahabat santri yang lain hampir tak ada duanya. Setelah makanan surga itu habis, Fikri nyeletuk, “Untung kamu dulu menanam lombok rawit, Mal. Tambah enak bakmi nih jadinya” Jamal membenahi kerah bajunya. Ia nampaknya lupa, tangannya masih belepotan minyak dan sisa-sisa mie. Pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini, orang kalau sudah sombong, ia lupa akan keadaan sekitar, bahkan lupa dengan tangannya sendiri yang masih masih kotor. Paragraf berikutnya, aku akan menceritakan tentang culture shock. Hmm… bagaimana aku harus menjelaskan tentang hal ini ya, agar mudah kamu pahami. Istilah itu bermakna kejut budaya. Secara sederhana, di pesantren ini aku punya banyak kegiatan baru seperti mengaji bersama ustadz atau abah kyai. Hafalan yang setiap hari semakin banyak juga menjadi agenda harian baruku. Semuanya serba baru, serba berbeda dengan kegiatanku di rumah yang lebih banyak santainya. Terkadang aku terasa terbebani, merasa senang, kewalahan, kecapaian, merasa nyaman bahkan tertekan. Perasaan yang bercampur aduk inilah yang aku katakan culture shock. Keren bukan istilah tersebut? Untung si Fatah berbaik hati, jika aku sudah mencapai level ini, ia akan memintaku untuk menemaninya membeli gorengan di pasar. Gorengan itu adalah makanan favoritnya. Ibarat gorengan adalah ikan asin, maka anak yang terkenal karena dengkurannya itu adalah kucingnya. Di acara apapun dan kondisi apapun, ia tak pernah lupa untuk menyantap cemilan berminyak ini. Namun sayang, yang tersisa di warung gorengan itu tinggal tempe goreng dan tahu isi. Tak ada menu lain seperti ketela goreng, pisang goreng, munthul goreng dan resoles. Bahkan cabe rawit sebagai menu pendamping wajib saat memakan gorengan tadi pun absen. Mahalnya harga cabe rawit pantas dituding sebagai biang keladi di balik semua ini. “Tak apalah tak ada cabe rawit. Kita beli saja gorengan itu” kataku memaklumi. “Tapi akan terasa kurang lengkap, Mid” protes Fatah. “Tenang saja. Jamal tak akan keberatan kita meminta cabe rawitnya” “Masih ada banyak di pohonnya kah?” tanya Fatah memastikan. Aku menggangguk. Dibelinyalah gorengan yang tersisa itu sampai tak tersisa satu pun. “Untung dulu dia nanam cabe rawit” 28 Eh Mas, Jimat Ini Sakti Tahu Rapat divisi acara pertama diadakan di aula, pukul sepuluh pagi. Dipimpin oleh Kang Rosyid dan dihadiri oleh sepuluh orang santri putra dan tiga santri putri, termasuk aku. Kami membahas susunan acara, tugas masing-masing divisi, dan pembicara. Untuk pembicara, kami perlu mengkonsultasikan dengan abah kyai langsung. Hal ini menjadi tradisi agar abah bisa ikut mengambil keputusan dalam penentuan siapa pembicara yang nanti dipilih. Mengenai latihan khataman, kami akan menyeleksi santri-santri yang sudah khatam Juz ‘Amma maupun yang sudah khataman Al Quran. Namun, kami juga menyertakan santri yang akan selesai dalam waktu dekat. Misalkan aku yang diikutkan dalam daftar yang kedua. Dari penyeleksian itu, tercatat ada lima belas santri putra dan sepuluh santri putri yang akan ikut khataman tahun ini. Dengan bangga, aku termasuk di dalamnya. Meskipun secara ketentuan, aku belum khatam. Latihan khataman dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah latihan mengkompakkan bacaan surat dari surat Adh-Dhuha hingga An-Naas. Yang kedua yaitu latihan berjalan di atas panggung. Sekaligus kami menentukan koordinator latihan pertama dipegang oleh Kang Zain, sedangkan latihan kedua dipegang oleh Kang Arif. Waktu pelaksanaan kedua latihan tersebut akan dimulai akhir pekan ini. Latihan bacaan khataman mengambil waktu ba’da Subuh dan ba’da Maghrib. Jika waktu memungkinkan, atau tidak ada pengajian abah, maka ba’da Isya akan dipakai untuk latihan berjalan di panggung. Jadwal kegiatan kita selama sebulan ke depan pasti akan penuh. Aku suka itu! Itulah hasil rapat pertama divisi acara. Hasil rapat ini nantinya akan dibahas di rapat akbar yang melibatkan seluruh divisi, dua hari ke depan. Siang ini, setelah waktu Dhuhur, aku mengajak Muamar ke pasar. Kebetulan, ia ingin memesan baju dan sarung untuk acara khataman. Sedangkan aku ada perlu dengan seorang pedagang kain di pasar tersebut. Kami berangkat ke pasar di saat matahari sedang ada di posisi puncak, panas-panasnya hari adalah saat ini juga. Bagi kami, tak masalah lah. Kami rela mengorbankan waktu istirahat kami daripada harus absen pengajian sore dan latihan khotmil di malam harinya. Kami berjalan dengan santainya. Dulu, pernah ada cerita soal seorang santri yang menjadi bahan perbincangan di pasar itu. Kang Imron menceritakan kisah itu kepadaku. Kata beliau, saat pondok pesantren ini baru dibangun dan jumlah santrinya masih sedikit, belum banyak santri yang berani keluar lingkungan ponpes dengan memakai pakaian gamis. Padahal peraturan pesantren menentukan bahwa siapapun wajib memakai pakaian gamis untuk putra yang akan keluar di lingkungan pesantren. Termasuk ketika akan pulang ke rumah atau kembali ke pesantren. Karena peraturan itulah, seorang santri tetap pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Tentu saja ia memakai baju gamis sebagaimana yang disyaratkan oleh peraturan pesantren. Namun, apa yang terjadi kemudian? Waktu itu belum banyak orang yang paham soal agama di desa itu. Masyarakatnya masih digolongkan sebagai kaum abangan. Mereka mengaku Islam namun masih melakukan ritual atau tradisi yang bertentangan dengan Islam, misalkan meletakkan sesaji di bawah pohon besar, di perempatan jalan desa maupun di pojok-pojok kios pasar. Beberapa orang di pasar juga tampak memakai jimat yang dijadikan sebagai kalung. Dengar-dengar, hal itu untuk menghalau kekuatan gaib yang bisa membangkrutkan dagangan mereka. Bahkan ada juga jimat-jimat dengan rajah tertentu diletakkan di bawah dagangan mereka. Seorang pedagang dengan jujurnya menjawab hal itu untuk melariskan dagangan mereka. Orang-orang di pasar itu masih mempercayai hal-hal gaib yang bisa menguntungkan dan membangkrutkan dagangan mereka. Memang sulit mengubah kepercayaan masyarakat seperti itu. Nah, kembali soal santri berpakaian gamis itu. Sesampainya di pasar, semua mata memandang santri tersebut. Kontan hal itu membuat santri bernama Sugeng itu tak nyaman dengan perlakuan itu. Dia mengecek pakaiannya, mulai dari baju, sarung hingga sandalnya. Tak ada yang salah dan aneh. Tapi, mengapa orang-orang di pasar ini melihatnya seperti melihat alien yang turun di tengah-tengah kota. “Bu, beli grontol30 nya seribu rupiah” kata Sugeng. “Masnya ngomong-ngomong dari mana? Saya baru pertama kali melihat njenengan ke sini” kata ibu penjual sambil menyiapkan pesanan jagung rebus pesanan Sugeng. “Saya dari Pacitan, bu. Di sini nyantri di pesantren Daarul Iman” jawab Sugeng dengan nada penuh hormat. “Nyantri? Di pesantren? Apa itu mas?” tanya ibu penjual penasaran. “E… nyantri itu belajar ilmu agama, bu. Jadi, di sana kita tinggal di komplek bersama teman-teman yang lain untuk belajar ilmu agama bersama abah kyai” kata Sugeng. Sesekali dia menunduk. Salah satu ilmu yang dia amalkan selama dia mondok di pesantren adalah anak muda wajib menundukkan pandangan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua sebagai tanda penghormatan. “Oh, apa pesantren itu mewajibkan njenengan untuk memakai pakaian seperti itu mas?” tanya ibu penjual seraya menunjuk baju gamis dengan jempolnya. “Iya bu” “Jaan…kelihatan beda lho mas dengan orang-orang sini. Seperti orang Arab” kata ibu penjual keheranan. “Memangnya ibu pernah pergi ke Arab?” tanya Sugeng. “Ya belum. Cuma pernah mendengar cerita dari orang-orang yang pernah naik haji. Katanya orang Arab pakaiannya seperti itu” Sugeng pun tersenyum. Ia tahu ada yang kurang betul dengan pemahaman ibu penjual grontol ini. Mana ada orang Arab memakai baju gamis, sarung dan kopyah seperti dia? “Bu, ini apa bu?” kata Sugeng sambil mengamati kertas yang ditulis rajah terselip di bawah tampah31. 30 Makanan ringan dari butiran jagung utuh. Cara penyajiannya biasa ditambahkan parutan kelapa, garam atau gula pasir. 31 Anyaman bambu berbentuk bulat dan berukuran besar yang biasa digunakan untuk membersihkan beras. “Oh itu namanya jimat mas. Mas-nya tidak tahu apa?” tanya ibu sambil mengernyitkan dahi. “Kalau jimat saya tahu, bu. Memang fungsinya buat apa, bu?” Sugeng menarik jimat itu dari bawah tampah dan mengangkatnya hingga sejajar dengan kedua matanya. “Supaya dagangannya laris, mas” ujar ibu itu sambil tersenyum. “Astaghfirullah. Ibu masih percaya dengan kekuatan jimat ini?” nada bicara Sugeng mulai naik. “Ya pasti, mas. Sejak nenek moyang, kami selalu memakai jimat setiap kali mau berdagang. Hasilnya, dagangan kami selalu laris. Pernah suatu ketika ibu lupa tidak membawa jimat itu. Akibatnya, tak seorang pun menyentuh daganganku. Rugi besar hari itu. Sejak kejadian tersebut, ibu tak pernah lupa membawa jimat ini, terbukti membawa berkah” jawab sang ibu dengan nada sarat kemantapan. “Ibu, itu syirik, bu” kata Sugeng dengan tegas. Dihempaskannya jimat itu ke tanah. “Syirak syirik. Tahu apa njenengan soal syirik?” si ibu mulai tersulut emosi. “Ibu sudah menyekutukan Allah” kata Sugeng dengan nada tinggi. “Eh mas, jimat ini sakti tahu!” si ibu berkacak pinggang. Sugeng mengernyitkan dahinya. “Bahkan lebih sakti dibanding pakaian gamis njenengan!” Pertengkaran pun terus berlanjut. Hingga akhirnya Sugeng meminta maaf atas perkataan lancangnya. Dia tak jadi membeli grontol karena sang ibu penjual terlanjur marah kepadanya. Sesuai dengan kesepakatan seluruh santri, baju khotmil nanti berwarna kuning. Baik putra dan putra akan memakai warna tersebut. Sesampainya di kios baju, aku membantu Muamar memilihkan baju dan sarung terbaik untuk putra. Sedangkan putri, ada seorang yang sudah ditunjuk untuk memilih busana terbaik untuk mereka sendiri. Untuk saat ini, kami hanya bisa memesan terlebih dahulu. Seminggu ke depan, baru bisa mengambil baju gamis dan sarung sesuai dengan pesanan. Karena barang-barang baru bisa diambil lain hari dari kota, bukan hari ini juga. Setelah urusan baju selesai, kami pergi ke kios batik. Kios itu milik Pak Sobir, tetanggaku dari desa. Dia bekerja di pasar ini sudah lama, bahkan sebelum aku lahir. Di sini dia jualan kain batik dan kain broklat. Di sini juga lah nenek menitipkan kain batik tulisnya agar dijual di pasar. Dulu, aku sering diajak nenek untuk menitipkan beberapa lembar kain batik yang sudah jadi kepada Pak Sobir. Di rumahnya, nanti kain tersebut diproses agar bisa menjadi kain batik siap pakai. Setelah melewati berbagai proses yang panjang, maka kain tersebut siap dibawa ke pasar. Nenek akan mendapatkan uang setelah menyerahkan kain batik kepada Pak Sobir. Jika kain tersebut laku terjual, maka nenek akan mendapat tambahan uang darinya. Tentu saja jika dia sudah kembali dari pasar. Nah, saat itu adalah saat yang menyenangkan bagiku. Nenek akan mengajakku pergi ke pasar di desaku untuk membeli mainan atau jajan favoritku. Namun senakal-nakalnya aku, aku tak akan memaksa nenek untuk membelikanku cokelat bergambar beruang. “Assalamu’alaikum, pak”. Kulihat pak Sobir sedang merapikan tumpukan kain batik yang dipajang di depan kiosnya. “Wa’alaikumsalam. Mau beli batik apa, nak?” tanya Pak Sobir dengan senyum keramahan. “E… bukan pak. Bapak masih ingat dengan saya tidak?” tanyaku. “Siapa ya?” tanya Pak Sobir sambil membetulkan posisi kaca matanya. “Saya Hamid, cucu Mbah Fatimah” “Hamid?” tanya Pak Sobir setengah percaya. “Hamid. Dulu nenek sering mengajak saya mengantarkan batik ke rumah bapak. Waktu itu saya masih kecil” jelasku. “Oh Hamid cucunya Fatimah!” serunya. Wajah Pak Sobir merona. Kegembiraan terlihat jelas pada setiap gurat usia di mukanya. Seolah baru saja ia bertemu dengan cucunya yang telah berpisah selama bertahun-tahun. “Iya pak” “Masya Allah, sudah besar sekarang kamu” Pak Sobir berjalan mendekatiku dan meraih tanganku. Keakraban langsung begitu terasa seperti seorang bapak yang baru bertemu dengan anaknya yang telah lama menghilang. “Sekarang kamu kerja di mana?” tanya Pak Sobir. “Belum, Pak. Saya masih nyantri di pesantrennya Mbah Kyai Thoha” jawabku. “Oh, bagus. Ada apa kamu datang kemari. Ada yang bisa bapak bantu?” “Sebelumnya maaf ya, pak. Kalau merepotkan” “Ah tidak apa-apa. Keluarga bapak dengan keluargamu sudah seperti saudara. Kalau kamu butuh bantuan atau apa, tinggal ngomong saja. Kalau bapak mampu, bapak pasti bantu” kata Pak Sobir dengan ramah. “Setengah bulan lagi, tepatnya tanggal 15 September, pesantren kami akan mengadakan khataman, pak. Saya hanya minta ke bapak, kalau bapak punya waktu, tolong informasikan ke nenek kalau tanggal tersebut saya akan mengikuti acara tersebut. Saya minta doa nenek agar acara itu bisa saya ikuti dengan lancar” kataku. “Amin. Besok bapak insya Allah akan pulang ke desa dan memberitahukan ke nenekmu kabar baik ini” “Terima kasih banyak, pak”. Lega sekali hatiku mendengar jawaban penjual batik ini. Pak Sobir mengangguk dan tersenyum dengan senyuman penuh keakraban. “Sama-sama” “Oh ya, bagaimana dengan pakaian khataman? Sudah pesan belum? Atau mau memakai batik? Kalau begitu, pesan di sini saja” kata Pak Sobir menawarkan dagangannya. “Aduh, maaf pak. Kami sudah bersepakat dengan teman-teman santri lainnya kalau pakaian khotmil nanti sudah ditentukan. Baju gamis biasa berwarna kuning, dan ini kami baru saja memesannya di kios ujung pasar. Mungkin lain kali saya membelikan kain buat nenek di sini” “Ya ya ya, jangan ragu lagi pokoknya kalau mau beli kain batik di sini. Kualitasnya tak akan mengecewakan” Aku tersenyum. Dua hal yang saya kagumkan dari Pak Sobir. Pertama, beliau tetap baik. Kedua, dari mana beliau belajar menawarkan barang dagangannya sekeren itu. Di mana beliau ilmu marketing? 29 Allah Pun Bisa Sibuk 1 surat lagi, hafalanku sampai pada surat An Naba’, surat terakhir di Juz ‘Amma. Mataku sudah tak kuat lagi menopang banyaknya huruf-huruf Arab yang kubaca sekaligus kuhafalkan dalam waktu yang bersamaan. Dampaknya, lama kelamaan huruf-huruf di depanku perlahan terlihat samar-samar. Kabur. Rasa mengantuk menyergap di saat yang tidak tepat. Bukankah rasa khusus yang dikaruniakan Allah ini selalu datang di saat-saat yang tidak kita inginkan kehadirannya? “Hamid” Tiba-tiba terdengar ada seseorang memanggilku, kucari sumber suara. Ternyata ada Kang Rosyid sedang berdiri di depan kantor sekretariat pesantren. Ia melambaikan tangan ke arahku, seperti orang yang akan berpisah dengan istri anaknya untuk merantau di tempat yang jauh. Aku lalu beranjak dari dudukku. Berjalan menghampiri sang ustadz dengan tetap memegang Juz ‘Amma di tanganku. Bukankah aku telah berjanji akan tetap memegang benda ini ke manapun aku berada, kecuali dua kondisi, saat aku sedang berada di kamar mandi dan sedang berhadats. “Ada apa kang?” tanyaku sambil mengucek mataku. “Hanya ingin berbicara dengan kamu. Ada waktu?” tanya Kang Rosyid. “Tentu saja kang. Ngomong-ngomong, kita mau membahas soal khataman kang?” “Oh tidak. Ayo sebaiknya kita duduk di sana” ajak Kang Rosyid sambil menunjuk kursi rotan di depan ruang sekretariat pesantren. Sesampainya di sana, “Hamid, coba kamu ambil dua gelas dan teko warna hijau di dalam” pinta Kang Rosyid. “Di dalam kang?” tanyaku. “Ya, ambil saja, tak apa-apa. Tak ada orang di dalam” jawab beliau. Aku kemudian masuk ke dalam ruang sekretariat pesantren. Sebuah ruangan tempat di mana para pengurus pesantren mengadakan pertemuan dan membahas apapun yang berkaitan soal perkembangan pesantren. Jarang ada santri yang diijinkan masuk tempat ini. Sebab daerah ini adalah termasuk zona terlarang, terutama bagi santri yang tak punya kepentingan. Kalaupun ada santri yang masuk ke dalam ruangan khusus ini, bisa dipastikan santri itu sedang tersandung masalah. Apapun itu, biasanya menyangkut masalah kriminal maupun pelanggaran peraturan pesantren. Jadi, memasuki ruangan ini, seolah memposisikan aku sebagai santri pesakitan yang baru saja melakukan pelanggaran. Hanya menunggu keputusan abah dan pengurus internal pesantren, tetap berada di dalam institusi atau diusir dengan tidak terhormat. Namun tidak. Tidak sekejam itu. Tugasku hanyalah mengambil teko dengan dua gelas seperti yang diminta Kang Rosyid. Tidak ada seorang pun di dalam ruangan itu untuk mengadiliku. Parah sekali imajinasiku malam ini. Aku letakkan nampan dengan teko dan dua gelas kosong di atas meja. Saat itu, Kang Rosyid malah sedang menerawang jauh ke arah rerimbunan pohon. Kuamati bahasa tubuhnya. Jarang sekali seorang ustadz seperti beliau melamun seperti demikian. Apakah beliau sudah tertular dengan kebiasaan burukku gara-gara terlalu sering bergaul dengan santri ndableg32 sepertiku? “Kang” sapaku sambil memegang tangan kanan beliau. “Ya” Kang Rosyid gelagapan dalam menjawab sapaanku. “Tumben kakang melamun. Apa yang kakang pikirkan?” Kang Rosyid tersenyum. Dia meraih gagang teko dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Aroma kopi tercium begitu akrab di hidungku. “Biar saya saja kang” kataku menawarkan bantuan. 32 Bandel “Eeeh” kata Kang Rosyid sambil menggelengkan kepala. Ungkapan singkat ini bermakna kira-kira, ”Sudahlah biar aku saja yang melakukan. Jarang-jarang ‘kan ustadz sepertiku melayani santri biasa sepertimu”. Tiba-tiba aku merasa tak nyaman dengan pelayanan istimewa beliau ini. “Kamu tahu, gara-gara kopi ini, aku jadi iri” kata Kang Rosyid seraya menyeruput kopi hangat itu. “Iri?” tanyaku penuh ketidaktahuan. “Ya, iri kepada seseorang” jawab kang Rosyid dengan tenang. “Mengapa kakang iri dengan orang itu? Bukankah kakang punya ilmu agama yang mumpuni, bukannya kakang menguasai ilmu drama, ilmu alat, dan ilmu-ilmu hebat lain yang bahkan aku sendiri aku tak tahu ilmu itu namanya apa” kataku menyanjungnya. “Tapi aku masih belum punya satu ilmu yang sudah dikuasai orang itu” “Ilmu apa kang? Dan mengapa kakang mengkaitkan hal itu dengan kopi ini?” tanyaku penasaran. Kang Rosyid menyeruput kopi itu dengan penuh penghayatan. Raut wajahnya tak berubah sejak sebelum minum kopi itu bahkan sampai seruputan pertama itu habis. Air mukanya masih menunjukkan orang yang sedang diliputi kegalauan tingkat propinsi. “Kakang bisa membicarakan hal itu kepada saya” kataku dengan wajah serius. “Kamu tahu siapa yang membuat kopi ini?” Kang Rosyid mengangkat gelas kopi yang isinya tinggal seperempat gelas. Aku terjaga sebelum aku menjawab pertanyaan itu. Kuraih gagang teko dan menuangkan cairan hitam dengan aroma khas tersebut ke dalam gelas, cukup separuhnya saja. Aku pasti sudah bisa membedakan mana kopi yang biasa dengan kopi istimewa buatan Jannah. Kuseruput kopi itu secara perlahan. Kuhirup aromanya dengan penuh kehati-hatian agar tak membuat kesalahan fatal: menyebut kopi ini sebagai kopi biasa. Hidungku masih mendefinisikan aroma yang sudah akrab sejak sebulan yang lalu. Aroma kopi yang kental dipadu dengan tumbukan bunga cengkih yang menyegarkan. “Jannah, kang. Hanya Jannah yang lisensi khusus untuk membuat kopi cengkih ini” kataku sambil menyesap sisa-sisa air kopi yang tertinggal di bibirku. “Aku iri kepada orang yang dekat dengan perempuan itu” kata kang Rosyid. “Masya Allah, kang. Apa yang bisa dibanggakan dari saya hingga seorang Kang Rosyid bisa seiri itu?” tanyaku masih tidak percaya. Kang Rosyid mengulum kedua bibirnya. “Bahkan belum ada perempuan yang dekat denganku sampai saat ini” Kedua mata ustadz dekatku itu nanar. Aku menegakkan dudukku. Hampir tak percaya dengan apa yang baru kudengar itu. “Tak mungkin, kang, kalau tak ada perempuan yang pernah menaruh hati kepada kakang. Kakang adalah ustadz yang pandai, baik hati dan tak sombong” kataku berusaha membesarkan hati beliau. “Tapi kenyataannya beda. Bahkan tak ada seorangpun yang melirikku” Aku tersenyum. Aku menangkap ada perasaan hati yang maha kering. Perasaan ini kebetulan sedang hinggap dan menjangkiti hati ustadz di dekatku ini sehingga entah sadar atau tidak, seorang Kang Rosyid bisa berkata seperti demikian “Lalu aku harus bagaimana kang?” tanyaku bimbang. Kang Rosyid terdiam. “Kalau kakang suka dengan Jannah, aku mau mundur demi njenengan kok” kataku sekenanya. Perlahan setelah aku mengatakan ini, kusadar bahwa kalimat yang kuucapkan tadi terdengar sedikit ganjil dan bodoh. “Oh bukan. Bukan itu yang kuinginkan” kata Kang Rosyid buru-buru menanggapi kata-kata anehku itu. “Jadi, maksud kakang mengundang aku kemari ada apa, kang?” Kang Rosyid menyeruput kopi di gelasnya. Masih sendu dan seolah seperti orang tak berpengharapan. “Hanya berbagi, Mid. Kuharap kamu tidak keberatan” Aku menggelengkan kepala. “Buat apa aku keberatan, kang?” begitulah makna gelengan kepalaku itu. Kami berdua lalu membisu cukup lama. Menatap rerimbunan pohon ketapang, pohon jambu dan pohon tanjung yang bagiku sekarang tak menyimpan hawa-hawa mistik lagi. Kalaupun ada hantu yang menyaru di antara ranting-ranting pohon, aku sedikitpun tak bergeming. Janji. “Kamu beruntung, Hamid” kata Kang Rosyid berdiplomasi. “Setiap orang itu terkadang perlu menunggu, kang” jawabku ikut-ikutan berdiplomasi. “Menunggu?” Kang Rosyid seketika mengarahkan pandangannya ke arahku. “Ya, menunggu Allah selesai menulis” jawabku. Kang Rosyid menatapku. Aku tahu beliau sedang pusing mengikuti jalan pemikiranku. Inilah pengalaman pertamaku membuat guruku pusing. Kamu tahu bagaimana perasaanku sekarang? “Aku belum paham, Mid” kata Kang Rosyid sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku tersenyum. Senyum penuh kemenangan lebih spesifiknya. Untuk malam ini, aku yang menguasai jalan cerita bersama Kang Rosyid. “Tak masalah kang, njenengan masih sendiri. Itu artinya, Allah sedang sibuk menulis kisah cintamu. Jangan khawatir. Masa itu pasti datang suatu hari nanti” kataku dengan senyuman. 30 Allah Itu Baik Sekali Waktu bergulir hampir tanpa terasa. Seminggu lagi, acara khotmil diselenggarakan. Berkali-kali rapat diadakan demi memantapkan koordinasi dengan masing-masing divisi. Setiap divisi makin menunjukkan keeksisannya untuk mendukung acara khataman ini. Mereka memberikan saran dan masukan terbaik demi kematangan rencana kita bersama itu. “Kami, dari divisi konsumsi melaporkan. Penyediaan makanan akan dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama adalah makanan yang diperuntukkan untuk wali santri yang menghadiri acara khataman ini. Wali santri yang datang nanti dipersilakan memasuki ndalem. Di sana, kami menyediakan menu makan besar lengkap dengan buah. Mengenai daftar menunya bisa dilihat di lembar estimasi dana yang sudah dibagikan. Bagian kedua adalah makanan yang diberikan kepada santri. Santri akan mendapatkan jatah makan malam di masing-masing komplek pondok. Untuk putra, nanti bisa makan di komplek A, sedangkan putri bisa makan di komplek C. Berkaitan dengan menunya, silahkan lihat lembar estimasi dana. Bagian ketiga, makanan yang disediakan untuk pengunjung acara khataman. Terdiri dari makanan ringan dan air mineral. Peletakan makanan atau jajan ini nanti dibagi menjadi dua pos. Pos pertama diposisikan di jalan masuk pesantren sebelah kanan untuk pengunjung putra dan pos kedua di jalan masuk pesantren sebelah kiri untuk pengunjung putri. Dan terakhir, bagian keempat makanan untuk tamu agung, seperti pak kyai, para ulama, habaib dan para gus. Kami juga menyediakan menu tambahan yang nantinya untuk jaga-jaga agar mencegah kekurangan makanan selama acara berlangsung. Demikian laporan dari divisi konsumsi. Saran. Masukan, kritik silahkan” “Terima kasih atas waktunya, kami dari divisi keamanan melaporkan sistem keamanan pesantren. Pada hari H, kami akan menyebar seluruh personel santri yang ditunjuk ke setiap sudut pesantren untuk mengawasi ketertiban jalannya acara. Lokasi pertama, empat personel di tempatkan di pintu masuk utama pesantren. Dua personel di belakang pesantren yang difungsikan sebagai tempat parkir. Kewajiban personel bertugas mengontrol keamanan di komplek A, B dan C selama acara berlangsung. Dua personel ditempatkan di lokasi acara dan sisanya kondisional. Mengenai daftar anak yang bertugas beserta penempatannya, silahkan dilihat di lembar laporan hasil rapat terakhir kita yang diadakan siang tadi. Terima kasih” “Kami dari divisi acara melaporkan acara khotmil diselenggarakan setelah Isya’. Dengan pembicara K.H. Makmun Sururi, sesuai dengan permintaan abah kyai. Mengenai susunan acara, njenengan semuanya bisa melihat daftar tersebut di lembar keputusan terakhir. Kalau ada masukan atau saran, kami terbuka untuk menerimanya. Silahkan, sebelum SOP ini disetujui forum” “Divisi perlengkapan dengan bangga melaporkan, penyewaan tarub dan panggung sudah dihubungi dan sedia akan dibangun H-1. Selain itu, kami sudah kontak dengan kepala desa kaitannya dengan penyewaan kursi, meja, satir dan sound system. Kami menyusunnya dengan sistematis di laporan kami. Kalau anda menemukan hal yang aneh atau tidak sistematis seperti yang saya katakan, jangan ragu lagi. Laporkan kepada saya sekarang juga. Saya beserta punggawa siap menerima masukan dari anda semua. Semangat!” “Divisi hubungan masyarakat melaporkan. Untuk saat ini, kami sudah menghubungi pembicara dan beliau bersedia mengisi pengajian di pesantren kita tercinta ini. Pada hari H nanti, kami akan mengirimkan personel untuk menjemput beliau” “Acara khotmil bukanlah acara yang main-main. Kami dari divisi dekorasi dan publikasi menyadari itu. Kami sudah menghubungi santri yang memiliki kamera digital dan beliau bersedia meminjamkan kameranya untuk mengabadikan momen penting tersebut. Mengenai dekorasi, karena pakaian yang kita kenakan berwarna kuning, maka kita akan menyesuaikan dengan desain panggung. Kami memakai konsep alam terbuka yang serba kuning menawan. Anda pastinya tahu betapa indahnya padang rumput di musim kemarau? Pesonanya akan semakin terasa dengan hadirnya pot-pot dengan bunga-bunga kecil diposisikan di depan panggung untuk mempercantik tata ruang. Tak lupa pohon-pohon bambu akan diletakkan di kanan kiri dan belakang panggung agar semakin menghidupkan suasana pedesaan yang alami. Berkaitan dengan publikasi, kami sudah menyebarkan surat undangan ke masing-masing pesantren, musholla, dan masjid di seluruh desa sekaligus desa sekitar sebanyak empat desa. Desa Tunggojaya, Desa Mlirip, Desa Kencana dan Desa Buayan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat kami yang tergabung di dalam divisi humas. Sebab, dengan bantuan mereka, pekerjaan kami yang satu ini menjadi lebih mudah dan cepat terselesaikan. Semoga dengan disebarkannya informasi secara luas ini, maka akan semakin banyak hadirin yang meramaikan acara akbar ini. Amin. Kami sadar kami bukanlah pendesain tata ruang yang profesional. Masukan tetap kami harapkan dari saudara-saudara yang budiman. Kami tunggu, terima kasih” “Acara tak akan berjalan tanpa hadirnya divisi usdan. Kami melaporkan bahwa kami mendapatkan masukan dana dari masyarakat sebanyak yang tertulis di laporan kami. Semuanya lengkap tertulis di situ. Mulai siapa saja yang membantu dalam bentuk uang maupun barang. Silahkan dibaca sendiri. Oh ya, hemat pengeluaran ya. Jaman sekarang haram hukumnya menghambur-hamburkan uang. Terima kasih” “Terima kasih kepada masing-masing divisi yang sudah menyampaikan laporan rapat terakhirnya. Tadi sebelum rapat, saya sudah menghubungi bendahara dan sekretaris secara pribadi untuk menanyakan sejauh mana persiapan mereka. Jadi, sengaja di rapat ini saya tidak memberikan waktu kepada beliau berdua untuk memaparkan hasil kerja mereka. Namun, laporan hasil kerja sekretaris dan bendahara sudah dibagikan kepada saudara-saudara. Silahkan dicek dan apabila ada sesuatu yang perlu disampaikan, silahkan”. “Semoga pengorbanan kami ditutup dengan senyuman di masing-masing pihak. Allah tidak akan menyia-nyiakan amal kebaikan para hamba-Nya. Allah itu baik sekali” kata Kang Rosyid menutup rapat khataman. 31 Konsumen Kecewa Euforia khataman sudah terasa dua hari belakangan ini. Undangan untuk orang tua sudah ada di tanganku, dan juga di tangan-tangan teman-temanku. Pesantren mengijinkan santri yang ingin pulang untuk menyampaikan surat undangan tersebut kepada orang tua. Ingat, ijin itu hanya satu hari. Apabila ada santri yang melanggar peraturan ini, akan segera berhadapan dengan Kang Jabir plus mata tajam beliau yang sakti itu. Ini adalah surat undangan pertama yang kuperoleh. Aku memandangi surat undangan yang dicetak dengan warna kuning ini. Sekilas lebih mirip lembaran kitab kuning. Surat tersebut dimasukkan ke dalam amplop yang berwarna senada. Tertulis di amplop itu, “Haflah Akhirussanah Pondok Pesantren Daarul Iman, Dengan Jiwa Qurani, Satukan Hati serta Jalin Silaturahmi”. Ada namaku di sana, dan nama nenekku, Fatimah, di bawahnya. Inilah saat yang tepat untuk pulang menjenguk nenek meski hanya sehari. Meski hanya tinggal di rumah tempat aku dibesarkan selama satu malam. Meski hanya merasakan teh perdamaian di satu pagi, tidak setiap pagi seperti dulu. Meski aku hanya bisa melepas rindu dengan nenek dalam waktu sekejap itu. Namun, aku meyakinkan kepada diriku sendiri bahwa sekaranglah waktu yang tepat. Tak ada waktu lain lagi. Hari ini aku harus pulang untuk mengantarkan surat undangan ini. Walaupun nenek nanti berhalangan hadir, itu tak masalah bagiku. Yang aku inginkan hanyalah pulang dan mengetahui kabar nenek. Itu saja sudah cukup bagiku. Aku berangkat di saat matahari masih menampakkan sinar kekuningannya di sebelah timur. Setalah ijin kepada lurah dan dewan keamanan dengan sebuah kartu ijin santri, aku berangkat seorang diri dengan membawa satu buah tas punggung. Inilah kepulangan pertamaku semenjak aku dikirim ke tempat ini dua tahun yang lalu. Tentu saja aku sangat senang, sebentar lagi aku bisa bertemu dengan nenek dan melakukan apa yang kurindukan melakukan bersama beliau. Derap langkah kakiku begitu mantap. Setiap langkah kurasakan jarak antara aku dan nenek makin dekat. Semakin cepat aku berjalan, semakin cepat pula aku bisa melepas rindu dengan beliau. Beban di punggungku yang berisi pakaianku dan air minum, bukanlah perkara yang menjadi alasan untukku merasa berat. Semuanya terasa ringan. Semua terasa menyenangkan. Hati ini sedang berbunga-bunga, seolah aku akan segera bertemu dengan kekasih hatiku. Berjalan seorang diri menuju terminal di daerah suburban. Di perjalanan, aku bertemu dengan orang-orang dengan segala kesibukan mereka. Kebanyakan mereka adalah petani yang akan menggarap lahan mereka. Beberapa pedagang yang tampak semangat memikul dagangan mereka. Serta anak-anak kecil menemani orang tua mereka yang akan merumput di lapangan desa. Satu hal yang membuat pagi ini lebih istimewa adalah turunnya kabut. Yah, mungkin ini pertanda bahwa musim hujan akan segera tiba. Kabut putih menyentuh lembut puncak pohon-pohon. Bertiup mengikuti arah angin dan menghembuskan hawa dingin. Namun itu tak menyurutkan niatku untuk pulang. Kusambut kabut-kabut itu dengan senyuman. Biarlah mereka bergerak lebih cepat di atasku. Asalkan mereka melihatku tersenyum dan dapat memaknai senyumku bahwa aku sedang bahagia. Biarkan mereka menyampaikan senyumku ini kepada nenek di desa sana. Agar nenek tahu bahwa aku akan segera pulang. Menemuinya dengan segenap kerinduan yang tak berperi. Kabut, sampaikan kepada beliau bahwa aku tak sabar bertemu dengannya. Terminal Bancaran adalah terminal yang terletak di daerah suburban desa Kencana. Terminal ini sebenarnya cukup kecil jika dibandingkan dengan terminal kota. Bahkan, jika dilihat sekilas, terminal ini lebih mirip seperti halte. Halte sebagai tempat pemberhentian bus sementara. Di sini, aku bisa naik bus jurusan desa Bayan, desaku. Ada satu bus yang langsung sampai di tempat yang dituju. Bus Sumber Harapan namanya. Biasanya bus ini ada tiga buah. Yaitu bus yang beroperasi di pagi, siang dan sore hari. Nah, aku sekarang sedang mengejar bus yang berangkat di pagi hari. Sengaja aku lebih bangun pagi dan berangkat ke terminal itu sepagi ini agar aku tak ketinggalan angkutan eksklusif tersebut. Di sini, eksklusif diartikan langka. Setelah berjalan setengah jam, akhirnya aku sampai di terminal Bancaran. Terminal di pagi ini ternyata sudah ramai. Orang-orang di sini kebanyakan adalah pedagang. Ada juga kuli-kuli bangunan yang nantinya turun di tengah perjalanan dan melanjutkan dengan naik bus menuju kota. Di sanalah mereka bekerja mengadu nasib. Aku cari bus Sumber Harapan di antara barisan bus-bus yang sedang ngetem itu. Akhirnya, aku menemukan bus itu sedang ngetem di bawah pohon bougenvile yang tampak tak terurus. Aku segera naik bus dan mendapati banyak bangku yang masih kosong. Soal tempat duduk yang banyak yang rusak, tak apalah. Namanya saja bus pedesaan, tentunya kalah telak jika dibandingkan dengan bus-bus kota, atau bus super mewah yang dijuluki busway itu. Aku mengambil tempat duduk nomor dua dari depan. Kata nenekku, seberuntung-beruntungnya penumpang bus adalah orang yang berhasil mendapatkan tempat duduk di bagian depan. Karena di tempat barisan itu kita akan terhindar dari bahaya mabuk perjalanan. Atau setidaknya, kemungkinan mabuk darat itu bisa diminimalisir dengan posisi penumpang yang dekat dengan sopir dan guncangan yang tak terlalu hebat. Bayangkan jika kita mendapat bagian di paling belakang. Itulah seburuk-buruknya tempat duduk versi penumpang. Guncangan hebat bisa mempercepat datangnya mual. Mual biasanya berakhir dengan mabuk darat yang biasanya berupa muntah dan pusing. Intinya segala hal yang tidak mengenakkan akan berkumpul jadi satu. Inilah wasiat nenek yang diberikan kepadaku saat aku akan dikirim ke pesantren dua tahun yang lalu. Cukup lama aku menunggu si sopir naik ke singgasananya dan mulai menjalankan kendaraan sumber penghidupannya ini. Satu per satu penumpang naik ke dalam bus dengan raut muka yang unik-unik. Aku perhatikan tingkah mereka. Setelah mendapatkan tempat duduk, mereka mulai sibuk dengan dunia mereka sendiri. Ada yang menyandarkan kepala mereka di tempat duduk dan mereka mulai tidur. Ada yang menggambar di kaca bus yang berembun. Ada yang menulis sesuatu di buku, tapi aku yakin mereka bukanlah calon penulis yang baik. Buku yang ada di tangan mereka adalah buku catatan utang. Ada yang mengurusi dagangan mereka yang mayoritas sayur-sayuran dan hasil bumi lainnya. Mereka dengan antusias menciumi dagangan mereka dengan harapan setelah pulang nanti dagangan itu sudah berubah menjadi uang. Ada yang menyanyi lagu-lagu Jawa dengan suara seadanya. Dan ada yang komat kamit, aku bisa memastikan kalau orang itu sedang berdoa. Sama sepertiku, meskipun aku tidak komat kamit seperti dia tapi dalam hatiku aku berdoa, semoga aku bisa segera bertemu dengan nenek. Bus, cepatlah berangkat. “Mas, mas” Seorang kernet membangunkanku, kulihat keadaan sekitar. Ternyata bus sudah berjalan. “Turun di mana mas?” tanya kernet itu sambil meminta ongkos transportasi. “Di desa Bayan” jawabku sambil meraba-raba saku kemejaku. Aku memberikan beberapa lembar ribuan. Dan kernet itu menghitung uang dariku. Kemudian dia berjalan ke belakang, Tanpa memberiku uang kembali. Aku bingung, bukankah harga transportasi desa tak semahal ini? Aku pernah bertanya kepada temanku berapa harga angkutan dari terminal sampai di desaku. Dan itu tak semahal tarif yang dikenakan kepadaku tadi. Sejak aku dibangunkan kernet tadi, aku jadi tak bisa tidur lagi. Matahari sudah mulai panas dan mengenai wajahku melalui kaca-kaca bus yang berdebu. Jalanan yang berlubang di sana sini juga menjadi alasan mengapa aku sulit tidur sekarang. Tapi, pasti ada hikmah mengapa aku jadi tak bisa terlelap. Bukankah aku bisa melihat pemandangan di sepanjang jalan? Hamparan sawah dengan padi yang mulai menguning dan diselingi dengan pepohonan rindang yang biasa dijadikan petani untuk melepas lelah sejenak, menjadi tontonan segar khas pedesaan. Di pinggir jalan, kulihat dua ibu-ibu membawa rantang dan sebotol air mineral. Keduanya pasti sedang membawakan makan siang untuk suaminya yang sedang bekerja di sawah. Jauh di tengah sawah, kepulan asap putih muncul dari bawah gugusan pegunungan. Asap itu biasanya dari hasil pembakaran merang dan rumput-rumput kering. Melihat eksotisnya pesona pedesaan, aku tertarik untuk mengambil buku catatan dari dalam tasku dan sebuah pena. Kutuliskan apa yang ada di otakku sekarang ke dalam rangkaian kata-kata. Untuk sementara ini, tak kupermasalahkan kosa kata, rima atau struktur kalimatnya agar enak dibaca. Aku hanya ingin menulis. Mencurahkan apa yang ada di pikiranku saat ini. Bus berhenti di warung tepi sawah. Warung itu tak seberapa besar. Namun barang dagangannya sangat banyak, hingga saking tak muatnya tempat, barang dagangan itu sampai dijajakan di depan warung. Si sopir dan kernet turun dari bus dan memesan makanan dari warung. Mereka berdua duduk di kursi panjang dan mulai mengepulkan asap rokok. “Lah, sopir kok nggak pernah pengertian sama penumpang ya?” keluh seorang ibu yang tadi menciumi bayam dagangannya. “Mbok makannya dibungkus saja. Kami ini sedang dikejar waktu lho” kata seorang ibu yang tadi mengurusi buku catatan utang. “Ajeg33, setiap berhenti di sini, sopirnya pasti nunut ngudud karo ngopi. Suwiii34” seru seorang bapak yang memakai topi bermerk Harley Davidson. “Sampai di sana pagi ini aku” keluh seorang kuli bangunan yang hanya memakai singlet putih belakangku. Terdengar orang-orang di dalam bus mengeluh. Mereka mulai gusar. Kepulan asap rokok penuh keputusasaan karena terlalu lama menunggu muncul dari arah depan, tengah dan belakang bus. Anak kecil yang duduk terpaut tiga kursi dariku menangis dengan suara yang memekakkan telinga. Ibunya pasti baru saja menolak membelikan anaknya es. Siang ini sangat panas, bung. Wanita paruh baya yang duduk di seberangku mulai menginang. Ia mengunyah dengan gaya uniknya. Antara geregetan dan penuh protes. Seolah dia ingin membuang ludah merahnya dan segera memarahi si sopir karena telah lama membiarkan mereka kepanasan di dalam bus. Sedangkan aku, tanganku masih memegang pena di atas kertas yang ditulis sebagian. Aku melihat reaksi masing-masing orang di dalam bus. Reaksi mereka beragam dalam menghadapi satu masalah yang sama: sopir yang menjengkelkan itu. Seorang bapak di barisan paling belakang malah bersumpah serapah. Kata-kata kasarnya lalu disambut dengan makian orang yang ada di sampingnya. Orang yang menjadi tujuan kata-kata tak senonoh itu pun masih sama: kalau tidak sopir bus yang tak tahu diri, ya kernet yang sesuka hati menaikkan tarif. 33 Tetap. Selalu saja begini 34 Numpang merokok sambil ngopi. Lamaaa Aku tuliskan satu kalimat di halaman kosong ini, “Konsumen Kecewa” 32 Cucu Paling Beruntung Setelah penantian yang cukup lama, akhirnya sopir bus beserta kernetnya kembali menjalankan tugasnya. Kehadiran mereka mendapatkan protes dari penumpang. Seorang ibu bahkan melontarkan kalimat sindiran yang sedikit pedas kepada keduanya. “Tidak ngudud lagi, pak. Yang lebih lama lagi biar puas sekalian” Pak sopir tak menggubris protes-protes yang dilayangkan kepadanya. Seolah ia sudah kebal dengan hal-hal yang berbau demikian. Ia langsung duduk di kemudi dan mulai menjalankan bus. Kulihat dari jendela, matahari sudah lewat dari posisi tegak lurus dengan bumi. Sekarang ia condong ke arah barat. Pantas saja orang-orang di dalam bus ini habis kesabarannya. Entah berapa lama kami dibiarkan menunggu di dalam bus. Pastinya, jika bus ini tadi tak berhenti dan tetap meneruskan perjalanan, bisa dipastikan sekarang aku sudah sampai di rumah. Tapi sudahlah, sekarang bus sudah berjalan kembali. Keringat yang mengucur deras membasahi baju kini perlahan mengering diterpa angin yang menerobos masuk melalui jendela. Perjalanan kami masih disuguhi dengan pemandangan desa dan jalan-jalan yang terjal, seperti off-track. Sekarang, giliran pak sopir yang sedang mendapatkan hukuman. Perutnya pasti tak nyaman. Dikocok-kocok kondisi jalanan yang belum pernah disentuh oleh program pembangunan jalan yang dicanangkan oleh pemerintah. Berkali-kali dia memegangi perutnya yang mulai tak bersahabat. Sesekali dia memprotes kondisi jalanan yang rusak parah. Anehnya, hal itu tak dilakukannya sejak awal bus berangkat dari terminal Bancaran. Semakin keras guncangan bus, pak sopir meringis menahan perutnya yang memberontak. Di waktu yang bersamaan, penumpang di belakangnya malah senyum-senyum sendiri. Senyum itu jika kutafsirkan, kira-kira berarti, ”Allah mengabulkan doa hamba-Nya yang teraniaya”. Setelah berhadapan dengan jalan desa yang memprihatinkan ditambah sengatan matahari yang tak segan-segan membakar kulit, akhirnya bus berhenti di terminal Sokoasih. Di sinilah aku turun dari bus. Kemudian aku harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki karena tak ada angkutan kota untuk sampai ke rumahku. Untuk membayar jasa ojek, khawatir uangku tak mencukupi. Sehingga, sesuai dengan rencana awal bahwa jalan kaki akan membawaku pulang ke rumah dan bertemu dengan wanita yang sangat kucintai itu. Hari sudah semakin sore, aku percepat langkahku agar tak kemalaman di perjalanan. Sekaligus, ini membuktikan bahwa perjalanan jauh tak memudarkan semangatku untuk kembali ke desa kelahiranku. Tak jauh dari terminal, aku melewati pasar yang kosong. Para pembeli di pasar itu pasti sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Meninggalkan kios dengan segala perlengkapannya bersama seekor kucing yang menguap setelah kekenyangan memakan jatah makan siang seseorang yang tidak habis. Langkahku kemudian membawaku ke jalan setapak menuju hutan karet yang sangat luas. Ingatkah kamu? Hutan ini adalah hutan yang pemiliknya sangat dermawan itu. Hanya saja, untuk menjadi dermawan, Allah harus menegurnya dengan cara mengeringkan pohon-pohon karet itu hingga tak bisa menghasilkan getah. Keadaan itu berlangsung hingga dua tahun. Hingga akhirnya sang pemilik mempekerjakan penduduk sekitar dan pohon-pohon karet yang membandel itu kembali ke kodratnya. Getah karet mengalir dengan deras ke bawah ember-ember penampung dan hasil dari penjualan getah tersebut menyejahterakan pemilik dan pekerjanya. Akhirnya, aku sampai di sebuah sungai. Senyum seketika mekar di bibirku setelah mengetahui ada perkembangan di sungai ini. Bukan karena bantuan pemerintah yang sudah sampai di desa ini sehingga dibangunnyalah jembatan beton maha kuat sebagai pelancar arus hilir mudik dari desa satu ke desa lainnya. Meski impian penduduk desa tak terwujud hingga sedemikian indahnya, namun setidaknya mereka masih bisa tersenyum seperti halnya aku sekarang. Sebuah jembatan kayu hasil swadaya penduduk dua desa kini membentang dengan anggunnya di tengah-tengah sungai. Meski jembatan ini belum sampai di tahap jembatan permanen, tapi ini adalah pencapaian luar biasa dibanding keadaan dua tahun yang lalu. Aku segera melewati jembatan itu. Suara derit kayu yang beradu karena ditimpa beban sebesar 58 kilo ini tiba-tiba menciutkan nyaliku. Bagaimana jika jembatan ini runtuh secara mendadak hanya karena tak kuat menopang berat tubuh anak yang sedang dirundung rindu dengan neneknya ini? Apa jadinya kalau aku sampai jatuh ke sungai? Berenang pun bahkan aku tak bisa. Namun, seperti yang dikatakan para motivator handal di negeri ini, bahwa 98% kekhawatiranmu tak pernah terwujud, kini benar-benar terjadi padaku. Tak ada jembatan runtuh, tak ada pula kejadian naas yang mengharuskanku berenang di sore hari seperti ini. Semuanya baik-baik saja. Hanya degup jantungku yang masih memprotes kejadian tadi, ia beteriak, “Cukup sekali saja kamu melewati jembatan itu, Mid”. Gembira hatiku melihat pohon jati bercabang dua masih berdiri dengan angkuhnya di persimpangan jalan desa. Bentuknya masih seperti yang dulu tanpa perubahan yang berarti. Tinggi menjulang dengan kayu yang semakin lapuk dan koyak diserang kutu kayu. Hari semakin mendekati maghrib, aku percepat langkahku agar sampai ke rumah. Kakiku sudah tak mau diajak berjalan, keduanya sangat antusias setelah mencium tanah kelahiranku. Mereka memilih berlari. Lari sekencang-kencangnya, mengimbangi semangat tuannya yang sedang menggebu-gebu. Hingga keduanya mengurangi kecepatan langkahnya dan benar-benar berhenti di sebuah rumah yang tak asing lagi bagiku. Rumah itu masih sama ketika aku pergi meninggalkannya dua tahun yang lalu. Pintu rumahnya tertutup. Inilah tradisi turun temurun dari nenek. Beliau berkata, kalau hari sudah beranjak gelap, segeralah masuk ke dalam rumah dan tutup pintu rumah. Jangan sekali-kali keluar rumah apabila adzan Maghrib sudah berkumandang hingga waktu sholat Isya’ terlewati. Aku bertanya kepada nenek, mengapa nenek memerintahku agar melakukan hal tersebut. Beliau menjawab, ”Candikala”. Kalau aku nekad melanggar larangan ini, kamu pasti sudah tahu apa yang akan terjadi. Nenek akan memarahiku dan menggunakan seikat rumput kering itu untuk memukul bokongku. Keesokan harinya, aku tak berani lagi keluar rumah di waktu itu. Melongok situasi luar rumah melalui jendela saja aku tak berani. Aku melihat ke sekeliling. Pepohonan di sekitar rumahku mulai bergoyang-goyang menyambut datangnya malam. Suara burung gagak dari arah hutan berkoar-koar memanggil-manggil para temannya untuk berkumpul bersama mencari makan. Semburat jingga di ufuk barat sudah menghilang. Tinggal awan putih yang masih tersisa sebagai penutup hari ini. Aku tahu, sekarang adalah waktunya candikala. Waktu di mana saat-saat paling rawan bagi siapa saja yang beraktivitas di luar rumah. Siapapun yang keluar rumah di waktu ini, kecil kemungkinan bagi mereka selamat dari gangguan makhluk gaib yang berusaha mencelakakan. Sedangkan celaka di sini memiliki arti yang luas. Kalau saja mereka masih bisa selamat secara fisik, setidaknya psikis mereka akan terganggu karena pengaruh candikala tadi. Misalkan, orang itu malas mendirikan sholat Maghrib. Dia memilih untuk berjalan-jalan di sepanjang jalan desa tanpa maksud yang jelas. Dialah orang yang telah diserang psikisnya, sebab ia lebih mengutamakan kesenangan dirinya dibanding menyembah Allah. Naudzubillah. “Assalamu’alaikum” aku mengetuk pintu. Belum ada jawaban dari dalam. Kuulangi lagi salamku dan kuketuk pintu lebih keras dari ketukan sebelumnya. “Wa’alaikumsalam” Itu adalah suara nenek. Senang sekali hatiku mendengar suara nenek. Sebentar lagi, aku akan segera bertemu dengan wanita yang kukagumi sejak kecil itu. Suara derit pintu tua dibuka. Hatiku berdegup kencang. Aneh sekali, seolah-olah ini adalah kunjungan pertamaku ke rumah mertua untuk melamar calon istriku. Seperti biasanya, aku memegangi dadaku untuk meredam gemuruh di balik tulang rusukku. Kututup mataku sejenak untuk menenangkan pikiran dan mempersiapkan keduanya untuk melihat salah satu hadiah terbesar yang pernah Allah berikan kepadaku. “Hamid” kata nenekku. Kubuka mataku, kulihat seorang wanita paruh baya dengan segenap kesederhanaannya berdiri di depanku. Bibirnya bergetar. Matanya berkaca-kaca melihat seseorang yang telah ditunggu-tunggunya selama ini telah berada di hadapannya sekarang. Tangan kanannya menutupi mulutnya, inilah bahasa tubuh nenek yang kupelajari. Ini berarti, nenek sedang tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Tak ada nada kata-kata di antara kita, aku berani bertaruh untuk itu. “Assalamu’alaikum, nek” Air mata nenek mengalir membasahi pipi beliau. Beliau tak tahan lagi untuk memelukku. Kusambut pelukan beliau yang sudah tak kurasa kehangatannya sejak lama. Seingatku, terakhir kali aku dipeluk beliau saat aku masih berumur belasan tahun dan waktu itu aku baru saja sembuh dari sakit tipus. Nenek melihat wajah pucatku waktu itu dengan penuh keibaan. Tak tega melihat cucu satu-satunya lemah tak berdaya. Nenek pun berinisiatif untuk memelukku dengan penuh kasih sayang. Pelukannya ternyata ajaib, rasa lemah dalam diriku sirna dan kesedihan yang menguasai hatiku tak bermakna lagi. Saat itu, aku merasa menjadi cucu yang paling beruntung di dunia ini. Memiliki seorang nenek paling hebat sepanjang masa. Dan perasaan ini juga yang kurasakan sekarang. 33 Air Mata Ketiga “Kamu sudah besar sekarang” kata nenek sambil meletakkan segelas teh hangat di meja depanku. “Terima kasih, nek” Nenek tersenyum dan duduk di sampingku. “Bagaimana kabarmu di pesantren? Nyaman tidak?” tanya nenek. “Banyak suka dukanya nek. Tak cukup kalau diceritakan semalam” jawabku santai. Nenek mengangguk-angguk. “Diminum dulu tehnya biar badanmu hangat. Nenek tidak tahu kalau kamu akan pulang hari ini. Jadi nenek tak sempat masak yang enak-enak buatmu” kata nenek sambil menepuk meja sekali. Tepukan sekali ini berarti penyesalan. Kuminum teh hangat buatan nenek. Cita rasanya masih sama dengan yang dulu. Manis dan sepat, kombinasi keduanya adalah kolaborasi tercerdas yang pernah kunikmati. Letak perbedaannya hanya satu, khusus hari ini nama teh yang kunikmati bukanlah teh perdamaian, tapi teh pelepas kerinduan. “Saya belum ingin makan, nek” kataku berusaha menenangkan nenek. “Apa kamu tidak lapar?” “Tidak, nek. Saya sedang bahagia bertemu dengan nenek” Nenek memegang pipiku dan tersenyum. Air matanya meleleh lagi. Aku tahu itu adalah air mata bahagia, namun bagaimanapun juga aku tak ingin melihat nenek menangis, apapun alasannya. “Nek, saya membawa kabar baik” kataku senang. “Kabar baik apa?” nenek terlihat antusias mendengar kata-kataku tadi. “Besok, besok saya mau ikut khotmil di pesantren” jawabku bersemangat. “Subhanallah. Kamu ikut khotmil?” “Iya, nek. Apa nenek belum mendapatkan kabar dari Pak Sobir?” Nenek terdiam sejenak. Beliau mengingat-ingat sesuatu, jangan-jangan dia melupakan pertemuannya dengan pedagang batik itu yang memberitahukan bahwa aku akan mengikuti khotmil Al Quran besok. “Tidak ada kabar apapun dari Sobir” kata nenek sambil melihatku. Aku menyandarkan badanku di tempat duduk. Aku pikir, barangkali pak Sobir lupa menyampaikan pesanku ini. Tapi tak apalah, kabar baik ini kusampaikan langsung kepada nenek. Ini lebih afdhol bagiku. “Hamid bawa undangannya, nek. Ini bukti kalau Hamid tak main-main mengaji di pesantren” Aku mengambil tasku dan mencari undangan kuning di dalamnya. Undangan tersebut kemudian kuserahkan kepada nenek. Nenek menggeleng dan menggeser undangan itu ke arahku. ”Nenek sudah percaya dengan katamu, Hamid” begitulah aku membaca bahasa wajah beliau. Gelas berisi teh hangat itu mulai mendingin. Kupegang gelas itu dan kupandangi isinya yang tinggal separuh. Sesekali, aku mengarahkan pandanganku ke nenek, beliau juga sedang melihat ke arahku. Berkali-kali aku memergoki beliau menatapku dengan penuh makna. Aku sendiri sampai kebingungan untuk mengambil arti di balik tatapannya itu. “Nenek melihatku terus” kataku dengan nada sedikit protes. “Nenek kangen denganmu, Hamid” jawab nenek sambil memegangi dadanya. Mungkin di sanalah kedudukanku sebagai cucu kesayangan beliau. “Cucu nenek tambah gedhe tambah jelek, nek” kataku dengan wajah menunduk. Nenek tersenyum, kali ini senyum beliau terlihat lepas tanpa beban. Beliau pasti kagum cucunya sekarang pandai membanyol. “Wajah tak penting. Ini yang penting” kata nenek sambil mengarahkan telunjuknya ke dadanya. Kami berdua tertawa. Meskipun kami datang dari generasi berbeda, selama kami mencapai satu kesepahaman, kami bisa menjadi layaknya sahabat lama. Beruntungnya aku, ini sering terjadi kepada kami. “Kamu sudah ngantuk?” tanya nenek kepadaku saat duduk di tepi tempat tidurnya. Aku baru saja diminta untuk mengantarkan beliau sampai di kamar tidur. “Belum nek. Tapi kalau nenek sudah mengantuk, nenek tidur saja” “Sebenarnya nenek ingin berbicara denganmu lebih lama lagi” “Sudah malam, nek. Kita ‘kan bisa ngobrol lagi besok pagi” “Nenek belum puas mendengar ceritamu. Kamu belum menceritakan semuanya, tentang pondok pesantrenmu, tentang teman-temanmu, tentang pengalamanmu menjadi santri di sana, atau menceritakan tentang perempuan yang kamu sukai” kata nenek sambil terus memegangi kedua tanganku. Nenek nampaknya tak ingin aku meninggalkannya saat ini juga. Beliau ingin aku berada di kamarnya. Menemani beliau hingga beliau tertidur. Barangkali sama seperti saat aku kecil dulu. Aku seringkali meminta nenek jangan meninggalkan aku sendiri di kamarku karena aku sebenarnya takut jika harus tidur sendiri. Oleh sebab itu, aku pasti minta nenek untuk duduk di sampingku sambil menceritakan kisah kancil dan buaya sebagai dongeng sebelum tidur. Sebelum cerita itu selesai, aku pasti sudah terlelap. “Nenek ingin cerita apa?” tanyaku. “Cerita tentang model mengaji di sana bagaimana?” tanya nenek sambil menatapku dengan tatapan syahdu. “Padat nek” “Ceritakan kepadaku” “Baiklah, nek. Kita sebagai santri bangun pukul 4 pagi. Kita disunahkan sholat tahajjud, lalu kami sholat Subuh berjamaah di masjid disambung dengan pengajian abah kyai sampai pukul setengah tujuh pagi. Sedangkan pengajian sore bersama ustadz. Pengajian maghrib setoran hafalan Juz ‘Amma dan Al Quran. Setelah Isya’ pengajian bersama abah kyai sampai kira-kira jam sembilan malam” “Wah pasti capai sekali, ya” kata nenek. “Ya begitulah, nek” “Lha terus kamu besok ikut khotmil Al Quran?” “Belum nek. Saya besok baru ikut khotmil Juz ‘Amma. Ya nenek tahu sendiri kalau hafalanku tidak terlalu bagus” Nenek mengangguk sambil mengelus kepalaku, inilah tanda pemakluman nenek yang paling terkenal. “Kalau begitu, boleh tidak nenek meminta sesuatu darimu?” “Apa itu, nek?” “Nenek ingin melihatmu ikut khotmil di panggung nanti” “Nenek yakin dengan permintaan itu?” “Iya. Itu kesempatan nenek untuk bisa melihatmu mengikuti prosesi khataman. Nenek sungguh ingin menyaksikan acara itu” Tangan nenek makin erat menggenggam kedua tanganku. Permintaan nenek kali ini pasti tidak main-main. “Saya tidak keberatan kalau nenek ikut. Sungguh, bahkan saya sangat senang jika nenek bisa menghadiri acara itu. Tapi, saya mengkhawatirkan keadaan nenek. Saya khawatir kalau ada apa-apa nanti di jalan” “Tidak…tidak. Semuanya pasti baik-baik saja. Allah pasti melindungi hamba-Nya yang meminta perlindungan kepada-Nya” Aku melihat kedua mata nenek, tersirat kesungguhan yang amat mendalam melalui keduanya. “Kamu harus percaya kalau nenek masih kuat” kata nenek meyakinkan. Nenek mengguncang-guncangkan kedua tanganku. Semangat nenek bahkan melebihi kemampuan fisiknya yang semakin menua. “Kalau nenek nanti boleh ikut, Nenek janji nenek tak akan menyusahkanmu nanti. Sepulangnya dari pesantrenmu, nenek bersedia pulang sendiri. Kamu tak perlu mengantarkan nenek. Nenek pasti kuat dan bisa pulang dengan selamat. Kamu harus percaya kepada nenek” Hatiku bergetar mendengar kata-kata nenek. Aku tak tega membiarkan nenek kecewa. Aku tak sampai hati menolak permintaan nenek. Aku juga pasti dicap sebagai cucu yang tak punya hati jika sampai menafikan janji nenek yang diucapkan beliau tadi. Nenek masih menunggu jawabanku. Matanya kembali berkaca-kaca menanti jawabanku yang terlalu lama beliau tunggu. Bukankah aku sudah berkata, aku paling tidak tega melihat nenek menangis, apapun itu alasannya. Jika aku menolak permintaan nenek, berarti aku telah membuat nenek menangis untuk ketiga kalinya dalam hari yang sama. Kejam sekali aku. Akhirnya, aku mengangguk. Jawaban yang tak perlu menggunakan kata-kata verbal untuk mengungkapkan suatu persetujuan. Nenek sudah mafhum bahasa tubuhku. Karena kami berdua paling pandai menggunakan bahasa tubuh yang sudah kami pahami masing-masing. Seperti yang kukatakan padamu tadi, terkadang hubungan kami adalah nenek-cucu, namun pada kondisi tertentu kami bisa berubah menjadi sahabat lama dengan berbagai macam simbolisasi yang kami sepakati bersama sebelumnya. Nenek memelukku erat-erat. Jujur, berada di pelukan nenek adalah hal yang paling mendekatkan hubunganku dengan beliau. Walaupun waktu itu nenek baru saja memukul tanganku dengan seikat rumput kering, tak berselang lama beliau langsung memelukku. Tanpa banyak bicara, tanpa kata-kata, itulah bahasa bisu beliau. Bisu namun sanggup meneriakkan makna bahwa nenek sayang kepadaku. Meski rasa sayang itu terkesan bersembunyi di balik ketegasan beliau. Akan tetapi, jika aku sudah berada dekat dengan detak jantungnya, benar-benar bahwa rasa sayang beliau bukanlah rasa cinta yang main-main. Nenek serius mencintaiku, serius mendidikku, serius mengajariku, serius meyakinkanku bahwa beliau adalah nenek yang baik hati kepada cucunya. Tangisan ketiga nenek pecah di hari yang sama. Gagal sudah rencanaku untuk mencegah beliau agar tak ada lagi air mata ketiga selama keberadaanku di rumah ini. Aku pun tak tahan lagi menahan emosi. Nenekku memang luar biasa. 34 Nenek Berdusta Panggung di depan ndalem malam ini nampak megah. Seluruh dekorasi eksterior menawarkan suasana kekuningan yang elegan. Backdrop panggung menggunakan kain kuning keemasan yang berkilau. Di situ, tertulis judul acara khotmil Al Quran tahun ini, “Haflah Akhirussanah Pondok Pesantren Daarul Iman, Dengan Jiwa Qurani, Satukan Hati serta Jalin Silaturahmi”. Kanan kiri panggung dipenuhi dengan bilah-bilah bambu dan dipadukan dengan anyaman dua warna. Di bilah-bilah bambu itu, sengaja disisakan anak ranting bambu yang sedang tumbuh. Ia tidak dipotong, namun dibiarkan begitu saja. Daun bambu yang masih hijau itu kemudian dicat dengan warna kuning. Entahlah apa yang ada di pikiran sang dekorator hingga memilih untuk mengganti warna daun tersebut menjadi keemasan. Di depan panggung, diletakkan gabus yang sudah dibedaki dengan cat kuning muda. Hal ini untuk menyesuaikan warna rumput-rumput kering yang ditancapkan di atasnya. Rumput itu termasuk dalam jenis alang-alang. Warna kekuningannya mengingatkanku dengan seikat rumput kering yang digunakan nenek untuk memukulku. Barangkali rumput yang ada di hadapanku ini berasal dari spesies yang sama dengan yang nenek punyai itu. Nenek duduk di barisan kedua dari depan. Beliau ingin duduk di barisan di belakang tempat duduk para kyai agar beliau bisa menyaksikan aku tampil di malam ini. Bersama dengan ke-24 temanku, kami membaca surat Adh-Dhuha hingga An-Naas bil ghoib35. Di panggung, kami disaksikan ratusan hadirin dan hadirot, para kyai, ulama besar, habaib dan tentu saja nenekku tercinta. Nenekku mungkin saja tak menemukan aku berada di barisan kedua dari depan. Beliau terus mencari-cari aku di antara teman laki-lakiku. Pakaian kami sama, tinggi kami hampir setara, disertai sorot lampu yang terang menyebabkan wajah kami hampir mirip satu sama lain. Nenek nampak kesulitan menemukan aku tampil di depan pangung. 35 Model pembacaan surat-surat Al Quran dalam prosesi khataman yaitu dengan hafalan, tidak membawa mushaf. Sedangkan kebalikan dari model bil ghoib yaitu bin nadhor. Dalam model ini, peserta khataman diperbolehkan membawa dan membaca Al Quran di panggung. Sejujurnya sedih aku karena nenek tak bisa melihatku langsung bahkan sampai acara khotmil yang diikuti para khotimin selesai. Namun di sisi lain, aku bangga dengan divisi peralatan dan perlengkapan yang sudah bekerja dengan maksimal sehingga tata panggung malam ini terlihat mewah. Ironis sekali. Nenek pasti bertanya-tanya, apakah aku tidak jadi naik pangung? Apakah aku tidak diperbolehkan naik pangung sebab aku tak lulus ketika melewati tes yang wajib diikuti oleh para calon peserta khataman? Apakah aku tidak mendapatkan baju khataman sehingga terpaksa aku tidak diikutkan? Apakah aku belum hafal surat An-Naba’ sehingga dengan berat hati aku ikut khataman tahun depan lagi? Aku hanya sedikit berharap, semoga nenek tidak berpikir yang macam-macam seperti itu. “Cucumu ada di sini, nek. Bukankah saya sudah berjanji tidak akan mengecewakan nenek?” Setelah acara khotmil usai, aku menghampiri nenek yang masih duduk di tempat duduknya. Beliau mengusap air mata dengan sapu tangan merah. Sebuah sapu tangan yang hanya beliau bawa untuk menghadiri acara-acara penting. Terakhir kali dulu aku melihat nenek membawa benda kecil itu untuk menghadiri pernikahan Mas Wahid, seorang saudara kami dari pihak ibu. Sekarang, nenek membawa benda itu lagi di acaraku. Betapa nenek mengharai pentingnya acaraku ini. “Nenek kok menangis?” aku duduk di samping beliau dan seketika hatiku mengiba. “Nenek tidak menangis” jawab nenek sambil terus menghapus lelehan air mata di sudut-sudut mata beliau. “Nenek kecewa dengan Hamid?” “Tidak...tidak karena itu” nenek menggelengkan kepala dengan keras. “Lalu nenek menangis karena apa?” Nenek diam. Pandangannya mengarah ke panggung. Di sana, ada teman-temanku dari divisi perlengkapan yang sedang membereskan peralatan. Nenek seolah sedang mengingat-ingat saat para khotimin sedang membaca surat Juz ‘Amma tadi. Diingatnya pakaian apa yang dipakai mereka saat tampil di depan panggung. Kemudian nenek melihat baju gamisku dan menyentuh dada kiriku. “Bajumu bagus. Nenek senang” Aku melihat mata nenek yang masih berkaca-kaca. Saat ini, lidahku kelu untuk sekedar mengucapkan satu patah kata. “Mengapa nenek tidak berkata jujur saja nek?” tanyaku dalam hati. Aku tahu nenek tidak melihatku tadi saat aku berada di panggung bersama dengan teman-teman seperjuanganku. Pandangan nenek yang sudah menurun semakin dikacaukan dengan sorot lampu yang terlampau terang bagi beliau. Sehingga beliau tidak sempat melihat cucunya mengikuti acara khotmil malam ini, bahkan nenek bertanya-tanya, “Kapan Hamid naik panggung?” Kurasakan genggaman erat tangan nenek. Aku bingung memaknai genggaman tangan ini. Apakah ini wujud rasa bangga nenek kepadaku yang telah khatam Juz ‘Amma? Apakah nenek berusaha menegarkanku yang kini mulai diterpa rasa sesak di dada karena mengetahui nenek sedang kecewa? Apakah nenek bertanya ‘kapan kamu khataman, Hamid? nenek ingin melihatmu di tempat yang mulia itu!’, Apakah nenek ingin meminta maaf kepadaku karena nenek terinat-ingat akan rumput kering di depan panggung itu, atau apakah nenek ingin mengatakan sesuatu? “Nenek sekarang saya antarkan ke ndalem, ya. Malam ini nenek tidur di sana” kataku. “Iya, tapi sebentar. Tadi kamu ada di mana, Hamid?” Benar sudah perkiraanku. Nenek tadi tak bisa menyaksikan aku ikut khataman di panggung. “Saya di barisan kedua, nek. Berdiri paling kanan” Nenek mengangguk-angguk, pandangan beliau masih mengarah ke panggung. “Nenek tidak lihat tadi?” Nenek kembali mengusap air matanya. “Nenek lihat, hanya pandangan nenek tak cukup baik saat itu. Nenek hanya ragu apakah itu kamu atau bukan” jawab nenek. Aku tersenyum mendengar jawaban nenek. Senyuman ini sesungguhnya lebih tepat tidak diungkapkan sekarang. Seharusnya aku menggantikannya dengan pertanyaan terbuka bahwa apakah nenek sedang kecewa. Tapi aku bisa mengira-ira, pertanyaan konyol itu hanya akan menambah perih kekecewaan nenek. Pertanyaan itu hanyalah memperkeruh suasana hati nenek, menyebabkan nenek menangis lagi dalam kebisuannya. Aku tahu nenek sedang menyembunyikan kekecewaan itu agar aku tak mengetahuinya. Tapi sudahlah, aku membantu nenek berdiri dari tempat duduknya dan memapah nenek berjalan hingga ke depan ndalem. Di sana, sudah ada beberapa santri putri sebagai pamong tamu yang akan mengantarkan tamu-tamu ndalem yang akan menginap di sana. Salah satu dari mereka tersenyum kepadaku. Aku tahu dia adalah Jannah. “Mari, nek” kata perempuan itu. Nenek melihat ke arahku dan menggenggam tanganku lebih erat. “Ini ndalem, nek. Malam ini nenek tidur di sini dulu. Sudah disediakan kamar khusus untuk nenek. Kamarnya lebih bagus lho, nek, dari kamar kita di desa” kataku sambil menghibur nenekku. Aku tak tahu mengapa wajah nenek terlihat begitu gugup saat melihat ndalem. “Kamu tidur di mana, Hamid” tanya nenek sambil menatapku. “Hamid tidur di kamar sendiri, nek, bersama teman-teman yang lain di komplek A. Nenek tidak usah khawatir” kataku berusaha menenangkan beliau. “Malam ini jadi nenek tidak ditemani kamu?” Aku bingung menjawab pertanyaan nenek. Wajah beliau mulai menandakan sedang dirundung kesedihan yang teramat sangat. “Besok pagi Hamid pasti segera menemui nenek. Kita bisa pulang bersama ke desa. sekarang Nenek istirahat dulu. Nenek sudah lelah ‘kan?” Nenek mulai menangis. Ya Allah, ada apa lagi dengan nenek? “Maaf mbak, boleh saya minta segelas air hangat?” pintaku kepada seorang di samping Jannah. Santri putri yang berdiri di dekat nenek segera masuk ke ndalem dan kembali dengan membawakan segelas teh hangat. “Diminum dulu, nek” kataku sambil memegangi gelas agar siap diminum. Nenek melihat ke arahku dengan tatapan penuh pertanyaan. “Tidak apa-apa nek. Nenek mungkin kelelahan sehingga perasaan nenek jadi tidak menentu. Sekarang nenek minum teh hangat ini dulu. Semoga Allah memberi ketenangan bagi nenek melalui perantara teh ini” kataku. Akhirnya nenek mau meminum teh itu hingga menyisakan separuhnya. “Sekarang nenek masuk ke ndalem ya. Ada mbak-mbak santri yang siap membantu nenek. Kalau ada apa-apa, nenek tinggal menghubungi mereka saja” aku berusaha tersenyum walau sesungguhnya hatiku tak tega membiarkan nenek berpisah denganku walau semalam saja. Nenek tak menjawab perkataanku. Beliau melihatku dengan penuh kebimbangan. Rasanya beliau tidak ingin aku meninggalkan beliau di sini. Beliau ingin aku menemaninya sampai esok pagi. Namun, di ndalem tidak boleh ada santri putra masuk kecuali ada kepentingan yang menyangkut pesantren atau hal-hal penting lainnya. “Besok nenek dijemput ya di sini” kata nenek dengan nada terbata-bata. “Iya, nek. Setelah matahari terbit, Hamid akan segera menjemput nenek” Aku tersenyum. Namun aku masih melihat keraguan di wajah nenek. Seolah nenek sedang bertanya-tanya kalau saja aku tidak akan menepati janjiku dan meninggalkan beliau sendiri di keesokan harinya. Di saat yang serba membingungkan ini, akhirnya nenek membalas senyumanku. Inilah jawaban nenek, senyum berarti setuju. Jannah dan seorang santri putri itu membantu nenek menaiki anak tangga ndalem. Mereka sangat hati-hati memapah nenek, seperti beliau adalah nenek kandung mereka. Kata abah kyai, kalau kamu menjumpai seorang perempuan yang menarik hatimu dan dia mau menerimamu dan kondisi keluargamu, bagaimanapun itu, maka perempuan itu sudah mengantongi separuh kriteria untuk dijadikan istrimu. “Jaga nenekku, ya Allah. Saya sangat mencintainya”. 35 Perpisahan Malam setelah acara khotmil, aku diliputi segudang pertanyaan. Baru pertama kali ini nenek tidak berkata jujur denganku. Padahal, jujur adalah salah satu sikap yang sangat beliau tekankan padaku, dalam kondisi apapun. Ungkapan, ‘sing jujur ajur’36 tak berlaku dalam kamus hidup beliau. Ajur37 di sini boleh saja terjadi dalam kehidupan dunia, namun orang yang menjunjung tinggi kejujuran dalam kehidupannya, ia tak akan ajur di akhirat. Ia akan menempati posisi tertinggi di sisi Allah SWT. Begitulah kata nenek. Sewaktu aku masih sekolah di sekolah dasar, aku pernah membeli es gosrok di depan sekolah. Penjual es itu sudah tua. Kadang-kadang ia mengingat nama kami, namun seringkali dia lupa menagih bayaran jualannya itu kepada anak yang memang belum membayar. Hal inilah yang membuatku mencoba iseng dengan penjual itu. Aku memesan es gosrok dengan gosrokan es yang paling halus dengan sirup rasa frambozen dan durian di atasnya. Harganya kala itu tak lebih dari lima ratus rupiah. Setelah es pesananku sudah ada di tanganku, aku menikmati jajan segar itu agak jauh dari penjualnya, di bawah pohon kersen. Selama aku menikmati es yang terasa nikmat di musim panas itu, aku perhatikan penjualnya. Betul kata teman-temanku kalau dia sudah lemah ingatannya. Dia tak berusaha mencari-cari penjahat kecil yang sudah memesan es gosrok rasa kombinasi frambozen dan durian itu. Dia nampak sibuk melayani anak-anak kecil lainnya hingga akhirnya dia pergi dari situ tanpa teringat ada seorang yang belum membayar. Senang sekali hatiku berhasil membuktikan bahwa omongan teman-temanku itu benar. Aku senyum-senyum sendiri penuh kemenangan di bawah pohon kersen. Saat itu juga aku merencanakan akan melakukan hal ini lagi besok. Mungkin tak ada salahnya lusa aku akan mempraktekkannya lagi. Namun sial, tindakan curangku ini diketahui oleh Umayah. 36 Merupakan ungkapan bahasa Jawa yang berarti barangsiapa yang jujur, maka dia akan celaka. 37 Ajur menurut bahasa berarti hancur. Rupanya dia sudah memata-mataiku sejak aku memesan es gosrok itu hingga si pedagang itu pergi. Hingga dia menyimpulkan bahwa aku memang tidak ada niat baik untuk membayar jajan yang sudah habis kumakan itu. Sore hari setelah kejadian itu, Umayah pergi ke rumahku. Dia beralasan ingin meminjam buku catatan PPKn. Saat aku mengambil buku itu di kamar dan akan menyerahkannya, kulihat nenek sudah ada di samping Umayah sambil membawa seikat rumput kering, senjata ampuh beliau. Aku pun berlari keluar rumah lewat pintu belakang dan tak berani pulang ke rumah sampai malam hari. Sampai larut malam, aku masih belum bisa membaca jalan pikiran nenek. Mengapa nenek berbohong kepadaku. Bukankah mengatakan sebenarnya itu lebih baik dari apapun? Atau, nenek tak ingin aku kecewa? Padahal beliau sendiri juga sedang mengalami kekecewaan yang pastinya agak lama untuk menyembuhkannya. Setelah sholat Subuh, tidak ada pengajian abah. Semua santri diijinkan untuk kembali ke kompleks masing-masing. Saat aku berjalan menuju ke kamarku, aku dicegat oleh Kang Rosyid dan Jannah. Wajah keduanya tidak cerah seperti pagi ini yang mengindikasikan akan datangnya hujan. Menyebabkan aku ingin bertanya kepada mereka, ada kabar apa sehingga pagi yang segar ini disambut dengan bermuram durja? “Ada apa Kang Rosyid?” kataku ingin tahu. Kang Rosyid menundukkan kepala. Tak lama kemudian, ia menoleh ke arah Jannah. mungkin agar perempuan itu saja yang mengatakan apa yang telah terjadi. Jannah menggelengkan kepala. Nampaknya ia tak setuju jika ia yang buka mulut. Jannah pun punya dalil sendiri untuk menolaknya, ‘Arrojuuluu qowwamuna ‘alal nisaa38’. 38 Laki-laki diunggulkan/ diberi kelebihan yang tidak dipunyai oleh perempuan, misalkan dalam hal memimpin. Kang Rosyid menghela napas. Ia komat-kamit seperti sedang menyiapkan kata-kata yang akan diucapkannya. Semakin lama beliau membuatku bertanya-tanya, semakin penasaran aku dibuatnya. “Kang, tidak seperti biasanya kakang seperti ini?” tanyaku makin gusar. “Hamid” kata Kang Rosyid penuh keraguan. Aku menangkap sesuatu yang tidak beres di pagi ini. Aku harus cari tahu hal itu kepada kedua orang yang ada di hadapanku. Akan tetapi keduanya sangat ragu-ragu akan kesiapanku untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Kesabaranku sedikit demi sedikit habis. Sejujurnya, aku paling tidak suka dipermainkan dengan situasi yang penuh ketidakjelasan seperti ini. “Katakan saja, kang” desakku “Kami takut kamu kecewa” kata Kang Rosyid beralasan. Aku mengelengkan kepalaku. Aku harap raut mukaku sudah cukup jelas bagi mereka berdua bahwa aku sudah lelah menunggu kepastian kabar yang dibawa. “Innalillahi wainna ilaihi rooji’un. Nenek kamu meninggal tadi sebelum Subuh” kata Kang Rosyid. Kurasakan seluruh tubuhku kaku, membatu dan lumpuh. Bahkan angin pagi tak kurasakan dinginnya. Suara cericit burung tak membuatku tertarik untuk mendongakkan kepala ke langit untuk mencari sekawanan yang sedang terbang mencari makan. Mataku sudah tak mampu berkedip lagi. Detak jantungku berhenti sekian detik. Lidahku beku tak sanggup membalas kata-kata pembunuh semangatku di pagi ini. Aku sungguh berharap indra pendengaranku sedang bermasalah kali ini. Aku sedang tak siap mendengar kenyataan yang meruntuhkan semangatku untuk mengantarkan nenek kembali ke desa. Semuanya tinggal kenangan. Kini aku tahu mengapa nenek berat berpisah denganku malam itu. Aku bersyukur kepada Allah. Selama ini hidupku selalu dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaiku tanpa syarat. Meskipun nenek telah pergi untuk selama-lamanya, aku masih memiliki saudara-saudaraku di pesantren Daarul Iman. Merekalah alasanku mengapa aku harus tetap bertahan dan tersenyum dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Seberat apapun, sebanyak apapun, segetir apapun, mereka selalu ada di sisiku. Sebagaimana nenekku yang selalu ada ketika aku terjatuh dan kedua kakiku berdarah, menangis karena seikat rumput kering milik beliau, tertawa mendengarkan dongeng sebelum tidur yang selalu dibacakan beliau, tersenyum karena beliau pernah membelikanku cokelat bergambar beruang meski hanya sekali, serta hanya nenek yang bisa membuatku menangis dan gembira dalam waktu yang hampir bersamaan. Ingatkah kamu tentang teh perdamaian itu? Allah juga sangat menyayangiku dengan mengirimkan seorang bidadari yang kukenal pada suatu pagi. Kamu perlu tahu bahwa kisah kita terus berlanjut bersama dengan pohon ketapang yang tidak pernah mengeluh itu. Tentang nenek dan perempuan bermata cokelat itu, mereka ibarat matahari dan planet Venus. Mereka berdua muncul di ufuk timur untuk mengisi kehidupanku dengan energi mereka. Namun, salah satu dari mereka telah mengucapkan salam perpisahan di ufuk barat. Aku pribadi tak menyukai dengan apa yang namanya perpisahan. Akan tetapi, abah kyai pernah menyampaikan dalam pengajiannya bahwa perpisahan itu tidak ada yang kekal. Kehidupan kita tidak hanya berhenti di dunia ini saja. Masih ada kehidupan yang jauh lebih baik, lebih indah, lebih abadi dan tidak ada lagi kata perpisahan terucap di dalam kehidupan tersebut.