Blogger news

Pages

Kamis, 29 Maret 2012

Jump!

Mengapa kaki manusia panjangnya rata-rata hanya satu meter saja? Tidak seperti kaki Jerapah yang bisa lebih dari dua meter ?
Juga mengapa loncatan manusia normal rata-rata hanya bisa dua meter saja ? tidak seperti rusa yang bisa meloncat lebih dari lima meter.

Jawabannya, supaya manusia selalu membuat langkah kecil dalam kehidupannya, bukan meloncat-loncat seperti rusa atau jerapah.

Perhatikan, rahasia keberhasilan manusia sesungguhnya adalah bagaimana ia mampu untuk terus maju melangkah kecil dalam hidupnya, tapi setiap langkah kecil yang dibuat harus ditujukan untuk mencapai sebuah "loncatan besar" di dalam kepalanya, meskipun ia dalam keadaan sesukar apapun.

Akan tetapi kebanyakan manusia melakukan sebaliknya, mereka mencoba meloncat-loncat besar seperti seekor rusa, akan tetapi di dalam kepalanya hanya ada loncatan kecil saja. Artinya manusia ingin "sekali jadi " dalam meloncat meraih keberhasilan, kemudian berhenti melangkah ketika tidak tercapai, dan berhenti ketika semua menjadi berat.

Kesimpulannya, rahasia sukses adalah teruslah melangkah meskipun kecil, tapi tetap gigih, dan pelihara "loncatan besar" di dalam fikiran. Dan terus yakini dengan hati bahwa kita bisa meraihnya. Tidak ada resep khusus. Tidak perlu manusia cerdas, cukup satu kata GIGIH !

When the gets going tough, the tough gets going.
(ketika semua menjadi tough, maka yang tough terus berjalan)

Bismillahi Tawakkaltu Allallah, Laa haula walaa quwwata illa billah !

" SESUNGGUHNYA KAMU MELALUI TINGKAT DEMI TINGKAT DALAM KEHIDUPAN " (Al-insyiqaq:19)

Minggu, 25 Maret 2012

Un Dia Sin Ti

Gerimis itu kuibaratkan sebagai dandelion.
Yang ditebarkan oleh para malaikat kecil di bawah surga sana.
Dengan bulu halusnya, seolah ingin menyapa manusia betapa halusnya rahmat dan karunia Sang Kuasa.
Dan demi waktu dandelion itu terbang mengarak senja, kutemukan celah Ia memberiku satu masa yang paling bermakna sejalan tiga putaran bulan.
Rupanya rahmat-Nya tak hanya soal makan, sehat, rejeki, iman atau intan belaka, namun seseorang yang mampu menyeret gerimis semendung apapun menjadi senja berlembayung jingga merah dwiwarna.
Batinku, ingin kuulang meratap dibawah hamburan dandelion rahmat-Nya itu, dengan kehadiran dan senyumannya tentu saja.
Bukankah orang bilang, menangislah di bawah hujan agar orang tak tahu seberapa banyak air mata yang mengalir dari kedua matamu?
Deminya, tak layak dengan menaburinya air mata. Harapan saja kurasa cukup.
Toh, Dia lebih pandai pun lihai menyusun kejutan untuk umat-Nya.
Selama aku menunggu dan menerka, tiada menghampiriku satu dari kejutan-Nya.
Biarkan saja Dia merangkai skenario-Nya.
Namun, pabila buah ideku diterima, kejutan di bawah taburan mesra dandelion surga pastilah lebih memerahkan senja dan menggelapkan awan hujan.
Bukan perkara yang pertama, sekali saja manusia pun sepakat itu tak seberapa.
Setidaknya, seperti kukatakan di atas: berharap saja sudah cukup, pun berharap tak berdosa.
Dan diam diam sedikit menerka pada dandelion ke berapa Ia meracaukan senja dan guntur dari arah utara.
Sebelum suatu hari tanpanya, setidaknya tak berdosa jika tetap berasa.

Rabu, 21 Maret 2012

Rancak Bana


Wah ada tempat baru yang asyik buat nongkrong internetan gratis! Adalah sebuah masjid baru milik Universitas Muhammadiyah yang terletak di sebelah timur kampus terbesar di Purworejo ini. Masjid ini terletak di lantai 3 dari bangunan yang diresmikan tahun 2011 ini. Awalnya aku sedikit kecewa lantaran hotspotan di tempat ini berkode. Terlebih, mengingat ini adalah masjid kampus, maka kode hotspot tersebut biasanya dimiliki secara pribadi oleh mahasiswa. Menyebalkan sekali kedengarannya memang. Namun semuanya itu tak seburuk dugaanku. Berterima kasihlah aku seharusnya kepada tukang siomay. Hah?

Awalnya, aku membeli siomay kemarin sore di depan rumah pak Dawud. Saat itulah aku bertemu dengan anak pondok yang aku hafal orangnya namun tak tahu namanya. Aku nekad saja menegur dia dengan bekal aku tahu dia adalah anak UMP. Setelah basa basi sejenak, aku bertanya soal kode hotspot di masjid UMP. Alhamdulillah dia tahu kodenya. Kode tersebut memang agak sulit dihafal karena perpaduan acak antara nomor dan huruf. Oleh sebab itulah aku memintanya untuk menuliskan kode keramat itu di sebuah kertas. Yes, kode itu kini sudah aku kantongi dan aku bisa mencoba keaslian kode itu langsung!

Setelah Maghrib, sore ini juga, aku makan di warteg mbah langgananku. Sekira setengah jam menjelang Isya', aku berangkat ke masjid termewah itu. (Bagaimana tidak mewah? bangunan tempat ibadah umat Islam sudah dilengkapi dengan konektivitas hotspot! Sebuah pencapaian yang tak boleh dianggap remeh). Sesampainya di atas, kucoba beberapa kali belum juga logged in. Ini pasti ada yang tidak beres. Kutanya kepada seseorang yang sedang online memakai laptop. Ternyata username nya adalah mahasiswa, sedangkan password keramat tadi benar adanya.

Wah acara online jadi lancar begini. Apalagi aku sudah kenal dengan takmir masjidnya. Dia berasal dari Kuningan dan mempersilahkanku online di sini. Anggap saja rumah sendiri.

Bayangkan saja, masjid seluas ini, dilengkapi fasilitas hotspot dan hanya akulah yang menguasainya. Orang Padang bilang, "Rancak Bana"

Selasa, 20 Maret 2012

Ganglion Langit Dari Rinai Gerimis Sore Tadi


Ketika kemarin aku berdoa kepada Tuhan agar aku tidak akan pernah mengenalnya dari balik mega merona maupun di akhir senja,

Ketika kemarin aku berdoa kepada Tuhan agar menetapkanku pada ketidakingintahuan supaya aku bisa berkelana lebih jauh dengan imajinasi liarku, memburu deru tanpa ragu oleh apapun itu,

Ketika kemarin aku berdoa kepada Tuhan agar aku tak diberi pengetahuan sedikit pun tentang dia, entah dia seharum jasminum, secerah hibiscus, semanis saccharum, sepahit tinosporae, atau sehangat elengi, maupun setegar catappa,

Ketika kemarin aku berdoa kepada Tuhan agar Dia memberikan jarak antara aku dan dia, supaya semuanya bermain pada kekuatan pikiran dan kreasi demi fantasi hati yang tiada bertepi,

Ketika kemarin aku berdoa kepada Tuhan agar harapan-harapanku itu semua terkabul, biar aku sanggup mengetahui sejauh mana karya kebutaanku bisa muncul, tanpa kaca mata, tanpa tongkat, tanpa lasik, tanpa donor retina, tanpa lensa, tanpa apapun jua,

Ketika kemarin aku berdoa kepada Tuhan agar semuanya tetap berkabut dan dingin, tidak memunculkan mentari apalagi cericit burung parkit yang menyambut cahaya kehangatan di setiap sudut langit, -biarkanlah semuanya membeku dan takkan mencair-

Ketika kemarin aku berdoa kepada Tuhan agar selalu memalingkan wajahku kepada Venus dan wajahnya kepada Saturnus, dua arah yang berlawanan, tak ada sejarah untuk bersua maupun bertegur sapa, apalagi alasan mengingkari orbit,

Rupanya penolakan Tuhan adalah cara-Nya memberitahuku bahwa aku ada di jalan yang salah,
Dan Dia menaburiku dengan ganglion langit yang berhamburan di bawah rinai gerimis di sore hari tadi,

Jumlahnya bahkan menumpuk & memeluk harapanku yang jauh di lubuk,

Apalagi, ganglion itu bisa kusimpan di sela buku dan kulihat tiap saat kapanpun sempat,

Kini aku tahu mengapa Ia menolak doaku waktu itu.

Orang Kota Pun Bisa Jadi Memalukan II


Ada satu cerita tentang pengalamanku di Purbalingga yang terlewatkan, sehingga perlu kuceritakan di sini.
Salah satu alasan mengapa aku bersedia berkunjung ke rumah si Husen nun jauh di atas pegunungan adalah dia berkata ada pohon teh di sekitar rumahnya. Karena penasaran seperti apa tanaman yang saban pagi kunikmati hasil olahannya itu, aku bersedia memburu ke sana. Singkat cerita, aku sedikit kecewa lantaran kenyataan tak sesuai dengan harapan. Pikirku, belakang rumahnya adalah perkebunan teh maha luas seperti di sinetron-sinetron yang syuting di Puncak itu. Ternyata rumahnya dikelilingi oleh rimba dan tanaman teh yang ia janjikan hanyalah satu buah pohon teh di samping rumahnya. Pohonnya tinggi dan bisa dipastikan itu beda varietas dengan tanaman teh budidaya yang sering kita lihat di televisi itu. Daun-daunnya lebih besar dan mengkilat serta kaku bila dipegang. Karena sedikit kecewa, aku pun minta konfimasi dengan Husen, mengapa "hanya" ada satu buah pohon teh, bukan perkebunannya? Dia menjawab, "Bukankah kemarin kubilang ada pohon teh (bukan perkebunnnya)?"
Owalah...
Tidak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada perkebunan teh, pohon teh pun jadi. Karena sudah kerasukan rasa penasaran akut, akhirnya aku petik satu buah daun teh yang paling hijau dan segar. Kukunyah langsung seperti kambing mengunyah rerumputan. Kembali, aku diliputi rasa kekecewaan, nyatanya rasa daun itu tak berasa teh sama sekali. Hambar seperti tak makan apapun. Aku pun protes lagi kepada Husen, bagaimana daun teh tak berasa teh?
Dia malah menertawakanku sebelum memberikan jawaban. Setelah mereda tawanya akibat kekonyolanku, dia menjawab, kalau daun teh itu harus melewati serangkaian proses olahan sebelum dikonsumsi, bukan dimakan langsung begitu.
Wah ternyata masih banyak yang harus kupelajari.

Senin, 19 Maret 2012

Orang Kota Pun Bisa Jadi Memalukan I


Sore ini bulik membeli gula kemasan. Iseng-iseng sambil duduk santai, aku melihat lihat bagaimana metode penjualan gula yang semula hanya dibungkus plastik sederhana dan diikat karet gelang, kini sudah bertransformasi menjadi gula bening dibungkus dengan plastik premium yang mengkilat luar biasa warna warninya. Pada bungkus gula itu, kulihat terdapat gambar seorang ibu memegang cawan berisi gula, lengkap dengan background perkebunan tebu yang lebat, siap panen sepertinya. Hanya karena melihat inilah, saya jadi ingat dulu ketika masih kecil. Waktu itu saya sedang berlibur ke desa. Kebetulan pas ada panenan tebu. Aku, adik dan paman bermain ke sawah untuk sekedar melihat-lihat penduduk desa yang sedang memanen tebu mereka.

Mereka kebanyakan tak mengenalku karena aku memang lama tinggal di kota dan jarang terlihat di desa, kecuali jika musim liburan seperti saat itu. Jadi mereka bertanya tanya, siapa aku. Waktu itu aku malu untuk menjawab, jadi pamanlah yang menjawab. Nah, setelah mereka tahu aku adalah kakak dari adikku, mereka memberi kami berdua sebatang tebu sebagai hadiah penyambutan kedatanganku ke desa. "Nang kutho ora bakal ono koyo ngene Gus", begitulah komentar mereka.

Merasa asing dengan tebu dan bagaimana cara menikmatinya, aku pun hanya memandangi benda yang masih baru dipotong dari lahannya itu. Aku bertanya, bagaimana cara makan tebu? Bilamana batangnya sekeras ini, bisa lepas gigi susuku kalau nekat melakukan aksi debus melawan tebu.

Rupanya adikku lebih pintar dari aku. Ia mengajariku bagaimana menikmati rasa manis di setiap sesapan dan gigitan di ujung potongan batang tebu. Aku pun menirunya, meski dalam hatiku aku bergumam, "Ini adalah aksi aneh pertama dalam hidupku soal tebu. Kalau ibuku tahu aku melakukan ini, ia pasti marah tak kepalang tanggung melihat aksiku ini"

Wakil Tuhan


Tuhan 'kan nggak mungkin
langsung sedekah ke orang-orang, ya kalianlah sedekah duit kalau punya duit, sedekah ilmu kalo punya ilmu, sedekah
senyum (kebangetan kalo ga punya senyum).

Masa sih kalau sudah gitu
Tuhan gak bales cintamu? Tapi gak mungkin lah Dia belai-belai langsung rambutmu atau sentuh
bibirmu.

Maka Tuhan ciptakan
“wakil”nya, yaitu pacarmu.
Maka berdoalah, “Ya Tuhan,
semoga pacarku ini betul-betul orang yang Kau pilihkan
untukku”.

(Don Tedjo Corleoncuk aka
Sujiwo Tedjo)

Cerita dari Sudut Papringan


Banyak orang yang mau membayar berapapun untuk bisa menikmati kembali keindahan hidup berdampingan dengan alam. Gaya hidup metropolis yang setiap hari selalu disibukkan dengan urusan khas perkotaan, membuat mereka ingin mencoba sesuatu yang baru: menikmati tatanan desa tradisional di Bali dengan budget mahalnya atau hanya sekedar desa yang benar benar desa? Dengan segenap kesederhanaan di dalamnya, diharapkan akan mengembalikan kesegaran melalui hadirnya inspirasi alamiah.

Lalu bagaimana denganku dan rumahku?
hahaha kita sudah terlalu lama tinggal bersamaan dengan alam. Bahasa gaulnya ndeso. Tinggal di sebuah rumah sederhana yang dikelilingi rumpun pepohonan bambu, sudah menjadi sahabat akrabku sedari kecil. Banyak anggapan miring ttg rumahku. Orang bilang, papringan adalah sarang gendruwo, tempat base camp inilah itulah, tapi selama aku tinggal di sini, semuanya biasa-biasa saja.

Hanya ada sedikit cerita, di siang hari selalu ada suara burung yang aku tak paham apa nama burung itu. Suaranya kecil melengking, jika didengar dengan seksama, seperti orang ketawa. Pokoknya ngeri kalau burung ini masih berkeliaran di malam hari. Sejumlah burung gagak juga sering terdengar mulai menjelang maghrib, malam, sampai menjelang subuh. Kalau saja pas beruntung, kita jg bisa menemui kupu-kupu cantik bersayap lebar dan hitam. Dan aku sangat bersyukur karena kupu-kupu tersebut masih ada di lingkungan sekitarku, berhadapan dengan ancaman kelangkaan spesies. Sehabis hujan, kita bisa mendengar celoteh katak dari arah blumbangan pesantren, kolam-kolam milik pesantren. Tak lupa suara gangsir pagi dari arah papringan mengingatkanku pada suasana pegunungan.

Bagiku, menikmati alam sekitar tak harus pergi jauh-jauh. Jika kita lebih peka terhadap perkataan alam, niscaya kita paham kalau mereka sedang menghibur kita setiap hari.

Sabtu, 17 Maret 2012

Semoga Aku Tak Mengenalnya


Mungkin aku lebih baik tidak mengenalnya.
Aku hanya sedikit khawatir andaikata aku mengenalnya dengan baik sekaligus berbagi cerita di antara kita, maka rasa kekagumanku kepadanya satu per satu luntur lantaran aku mengetahui siapa dia sebenarnya dan mengapa ia ada di sana.
Kubiarkan dia ada di sana.
Kubiarkan dia begitu saja, tanpa kata apalagi bahasa.
Biarkan semuanya terasa hampa meski kita berjarak beberapa depa.
Kutahu itu sangat menyesakkan dada ketika apa yang dirasa tak kubiarkan mengemuka.
Ah sudahlah, kubiarkan ini berjalan apa adanya, tanpa ia ketahui sedikitpun.
Namun, tahukah kamu?
Kubiarkan dia bermain peran apapun pada pementasan dalam anganku.
Kuijinkan dia memilih setting beserta plot sesuka dia tanpa campur tangan dariku, agar ia memberikan totalitas dan kreativitas dalam perannya di benakku.
Kutetap diam saat ia menuturkan beberapa patah kata laksana buluh perindu itu.
Kunikmati susunan kalimatnya melalui percakapan imajiner yang sengaja kuciptakan sendiri.
Yang kuinginkan hari ini bukanlah kesempatan yang diberikan Tuhan untukku agar aku bisa mengenalnya lebih jauh.
Bahkan kuharap Tuhan tak akan pernah memberikan kesempatan itu padaku sampai kapanpun.
Tidak, sekali lagi tidak.
Aku hanya ingin keadaan ini terus berlangsung.
Berimajinasi semakin liar hari demi hari karena aku tak tahu siapa diri yang selalu menyeringai itu.
Tetaplah di sana.
Suatu saat nanti, aku berjanji, kan kubuatkan satu buah karya sastra untuknya.
Sebelum aku mengenalnya.
Sebelum khayalanku berantakan semenjak aku mengenal namanya.
Sebelum semua ketakjubanku perlahan melayu karena waktu memberi jawaban yang barangkali sedikit tak sesuai dengan bayanganku.
Semoga aku terus tetap tak mengenalnya.

Sabtu, 10 Maret 2012

Markisa dan Alpukat


Adalah sebuah kebanggaan tersendiri ketika kita menanam sesuatu dan suatu hari nanti kita bisa memanen hasilnya. Jerih payah yang telah diupayakan selama ini seolah terbayar lunas. Rasanya juga pasti jauh berbeda dibanding jika kita membeli di pasar atau kios buah di pinggir jalan.

Sekira setahun yang lalu, aku pernah mengambil buah markisa tak bertuan di pinggir jalan. Pohon markisa itu merambat pada pohon kersen yang sekarang kedua pohon ini sudah ditebang, hilang sama sekali bekasnya. Sesampainya di rumah, kubuat jus markisa yang kuolah sendiri secara sederhana. Dengan tambahan gula pasir dan air dingin, jus tersebut terasa menyegarkan diminum di siang hari yang panas. Ampas dari minuman tersebut kubuang ke belakang rumah. Tak kusangka, dari biji-biji markisa itu kini tumbuh besar hingga memanfaatkan bambu-bambu yang doyong sebagai media hidup mereka. Buahnya cukup banyak. Terkadang suatu ketika beberapa buah yang sudah masak berjatuhan ke tanah. Warna kulit buah yang kekuningan ini menandakan buah tersebut sangat pas dijadikan jus. Rasanya lebih mantap dibanding buah yang matang karena disengaja (diembu-bahasa Jawa).

Tak hanya markisa yang jadi buah komoditas utama di rumahku yang sederhana ini, aku juga sedang mengembangkan pohon alpukat di belakang dan di samping rumah. Kelihatannya masih memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bisa sampai berbuah ranum. Kita tunggu saja perkembangannya :)

Doakan ya...

Bernostalgia dengan Monopoli


Hari ini aku membeli permainan monopoli seharga Rp 18.500,- versi dunia. Harganya yang lebih mahal dibanding monopoli yang kubeli dulu bukanlah menjadi alasan bagiku untuk tidak membelinya. Lantaran ingin bernostalgia dengan permainan yang hampir setiap hari aku mainkan ketika aku masih SMP dulu.

Kenangan paling heboh saat main monopoli adalah ketika aku dan bulik bermain di pinggir sungai. Di saat rumah dan hotel sudah kubangun dengan susah payah, begitu juga dengan harta milik bulik, tiba-tiba angin besar datang dan mengacak-acak tatanan monopoli kami berdua. Marah besar kami waktu itu memang. Akhirnya kami mengulangi permainan tersebut dengan ganti posisi agar kejadian naas tersebut tak terulang lagi. Asal kamu tahu, bulik adalah lawan yang tak boleh diremehkan. Strategi menguasai lahan memang terkenal canggih. Alhasil aku akan langsung meminta permainan dibubarkan jika ada indikasi aku akan segera kalah. Hahahaha licik yah?

Tak hanya sama bulik. Aku juga pernah main monopoli dengan adikku. Kalau dengan dia, aku lebih sering menangnya. Aku sendiri lupa, menang alamiah atau menang licik. Hahaha tapi enggaklah, aku selalu bermain jujur. Ngapain juga curang, toh uang di permainan ini bukanlah uang asli :D

Hari ini aku mendapatkan pelajaran hidup dari sebuah permainan monopoli, setiap orang setidaknya mau membayar berapapun untuk sekedar bernostalgia dengan masa lalu. Setuju atau tidak, inilah yang aku rasakan sekarang.

Datangnya Era Touchscreen


Setelah masa kejayaan Blackberry lewat, kini seolah menjadi kebanggaan sendiri jika menenteng perangkat layar sentuh. Banyak anak sekolah yang kutemui di pinggir jalan.
Berbagai macam ponsel dengan sistem operasi mereka punyai. Di satu sisi, aku senang karena mereka mengikuti perkembangan teknologi seluler. Di lain sisi, ada tiga hal yang kusayangkan.
Pertama, pengguna ponsel entah touchscreen atau bukan, seolah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Lebih suka ngobrol dengan orang yang jauh di sana via sms daripada berbagi cerita dengan kawan di sampingnya. Miris sekali. Untung waktu sekolah aku belum punya ponsel :D Sehingga banyak waktu kuhabiskan bersama dengan temanku, bukan dengan benda mati itu. Kedua, semakin canggih gadget seharusnya membuat si empunya makin canggih pula. Malu dong kalau ponselnya canggih tapi hanya digunakan untuk berkeluh kesah lewat jejaring sosial tanpa mengakses informasi lain yang ditawarkan melalui gadget canggihnya itu. Ketiga, menggunakan ponsel tipe layar sentuh berkemungkinan mendatangkan dosa bagi pemiliknya. Bagaimana bisa?
Ambillah ilustrasi berikut, seorang pemilik ponsel Nokia senter (tipe hape murah Nokia) duduk bersebelahan dengan pemilik touchscreen. Ia menyaksikan bagaimana ponsel canggih itu menawarkan fungsi multitasking, open new tab, scrolling notification, bright display, bahkan 3D display, membuatnya ingin segera membuang hape senternya itu dan digantikan dengan ponsel mewah itu. Dengan segenap upaya yang membabi buta akan dilakukan demi revolusi kepemilikan gadget baru. Bukankah itu sebuah dosa? Hahaha...

Tapi, salah satu point mendasar yang perlu digarisbawahi adalah menggunakan perangkat teknologi canggih apapun tak akan membuat seseorang menjadi ikutan canggih. Tergantung bagaimana kualitas otaknya. Itu yang harus dipertanyakan!

Seorang Pegiat Jalan Kaki


Setiap kejadian pasti memiliki makna. Tinggal bagaimananya kita memaknai arti di balik itu semua jika kita jeli dan teliti.

Sejak TK sampai sekarang, aku adalah seorang pegiat jalan kaki. Semuanya berawal ketika "ancaman" tanteku yang mengharuskan aku berjalan kaki jika mau ikut beliau ke mana pun beliau pergi. Karena sudah terbiasa dari kecil, maka tak ada alasan mengeluh jika harus berjalan kaki ke manapun juga. Terdengar hebat, namun terkesan aneh memang.

Jika dibandingkan dengan anak sekarang, wah bainal masyriq wal maghrib. Seperti timur dan barat. Anak SMP dan SMA jaman sekarang sudah mujur karena mereka sudah bisa membawa motor sendiri, terlepas dari kelengkapan surat-surat berkendara di balik itu. Jamanku, kalau tidak naik angkot, ya jalan kaki. Hanya dua opsi tersebut yang ada. Jika tiba-tiba bapak menjemputku pulang sekolah dengan motor kebanggaannya, itu adalah salah satu keajaiban yang bisa dihitung kapan terjadinya.

Bagiku pribadi, berjalan kaki bukanlah sesuatu yang memalukan. Seperti yang kubilang di atas, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Menjadi seorang pegiat jalan kaki adalah momen di mana aku bisa melihat situasi sekitar dengan lebih dekat dan seksama. Ambillah contoh seorang pengemis tua yang nyatanya dia bukanlah orang tua yang benar-benar fakir. Setiap pagi, ia diantarkan anaknya dengan sepeda motor ke "tempat bekerjanya" yaitu di depan sebuah bank terkemuka di kotaku. Atau seorang nenek tua penjual roti keliling yang begitu giat menjajakan dagangannya, melawan terik matahari dan hujan. Ia bekerja mengitari kampung Pecinan. Bahkan pernah kulihat dia melepas alas kaki ketika memasuki sebuah toko milik seorang Tionghoa.
Kurasa fenomena sosial ini selalu luput oleh mereka yang tak pernah merasakan nikmatnya jalan kaki. Oleh sebab itulah aku selalu bersyukur dengan kondisiku ini.

Perempatan Pantok


Kalau kita mau mendengar atau membaca apapun, maka tak ada alasan untuk buntunya sebuah ide. Ide akan terus mengalir dan tinggal bagaimana kita mengelola ide tersebut dengan baik.

Jujur aku salut dengan seorang kakek yang masih aktif menulis di Blog Purworejo. Dalam setiap tulisan di blog itu, dia bercerita banyak tentang kondisi Purworejo pada era tahun 60-70-an. Tentu saja sudah mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan sekarang. Salah satu yang berkesan bagiku adalah pada tahun 70-an, Pantok, sebuah perempatan terkenal di kotaku, menjadi sentra tempat jualan durian Kaligesing yang fenomenal itu. Karena waktu itu belum ada listrik, maka para pedagang masih menggunakan obor yang ditancapkan ke tanah sebagai alat penerang yang terus menyala bahkan sampai tengah malam tersebut.

Sekarang, perempatan itu telah menjadi tempat teramai di kotaku. Dengan simbol patung W.R. Supratman yang disepuh dengan cat emas, menandakan bahwa pahlawan nasional itu diposisikan sebagai anak emas milik kabupaten ini. Beliau dilahirkan di Kaligesing, sehingga tangan kanannya "berpose" diangkat dan mengarah ke timur seolah memberi tahu siapapun kalau Kaligesing itu terletak di sebelah timur kabupaten Purworejo.

Andai aku masih hidup di era itu, barangkali semakin bisa merasakan bagaimana jaman berubah sedemikian cepat. Antara jalan yang masih berupa tanah menjadi beraspal mulus plus fasilitas listrik yang siap menerangi jikalau malam. Kini, para pedagang durian yang dahulu kala menjajakan dagangannya di tempat itu sudah berpindah ke arah utara, yaitu ke Pasar Baledono. Di sana, mereka rupanya ingin bernostalgia dengan kejayaan masa lampau. Sebab mereka menjual durian di tempat itu selama 24 jam. Tak peduli panas atau hujan, mereka selalu menyapa calon pembeli yang lewat di depan tumpukan durian mereka.

Jumat, 09 Maret 2012

Social Media = Anti-Social


Beberapa hari yang lalu, aku punya kenalan di Facebook. Sebutlah inisialnya K. Dia pandai dalam menguasai bahasa asing, terutama Bahasa Inggris, Perancis dan Spanyol. Bahkan karena bakatnya itu, dia pernah menjadi salah satu delegasi Indonesia dalam rangka pertukaran pelajar dengan AS. Namun kepandaiannya itu ternyata belum mendatangkan kebahagiaan baginya. Mengapa?

Ternyata dia adalah orang yang agak asosial. Dalam statusnya, bahkan dengan jujur ia mengakui kalau dia tak punya teman di dunia nyata. Sehingga dunia maya ia jadikan pelariannya. Kasihan sekali.

Aku sempat mengutarakan asumsiku kepadanya. Mungkin ada yang salah dengan kepribadiannya. Bukankah AaGym pernah berkata, "Kunci kekayaan sejati adalah memberi orang lain dua bagian sebelum kamu meminta satu bagian dari mereka". Dan ia pun menjawab, "Aku sudah berbaik hati kepada semua orang. Namun mereka seolah hanya akrab dan mendekatiku ketika ada maunya". Pembicaraan pun terhenti sejenak.

Setidaknya setiap manusia pernah merasakan hal demikian. Kalau kita merasa hanya dimanfaatkan, kurasa kita tahu bahwa orang tipe itu tak cocok untuk dijadikan teman. Namun tentu saja tak semua orang seperti itu. Lari dari dunia nyata dan memulai mencari teman di dunia maya tak selalu menawarkan solusi yang bijak. Seharusnya dia tahu kalau media sosial tidak mencetak generasi yang antisosial.
Aku hanya turut prihatin.

My Smile Is Cheap!


Bertemu dengan orang yang kita kagumi/ cintai, barangkali membuat kita salah tingkah atau kikuk. Pola seperti ini memang bukan hal yang baru. Sebagian dari kita ada yang menggunakan kesempatan tersebut untuk tebar pesona, senyam senyum, sekedar menyapa, menanyakan kabar sampai bertanya apakah nanti malam ada acara. Orang Indonesia menyebut ini basa basi.

Televisi bisa jadi memberikan pengaruh bagaimana rata-rata pergaulan remaja masa kini berkembang. Sinetron atau FTV yang tayang hampir setiap hari sungguh menyajikan tayangan yang mendeskripsikan bagaimana 'biasanya' seorang laki-laki bertemu dengan perempuan. Awalnya biasa saja, kemudian sedikit demi sedikit timbullah rasa cinta di antara keduanya. Basi memang.

Tapi aku punya cerita sendiri. Bertemu dengan seseorang yang kusukai adalah hal yang paling mengerikan bagiku. Mungkin bisa kusejajarkan tingkat kengeriannya dengan peristiwa bertemu hantu. (Punya pengalaman pribadi dalam masalah ini sehingga mudah saja menentukan seberapa besar kadar naiknya adrenalin antara keduanya). Bertemu bertatap muka langsung bagiku tak lebih baik dibanding hanya melihatnya dari jarak jauh.
Tak semuanya memang. Hanya orang-orang tertentu yang membuatku begitu. Dan kamu bisa mengira-ira, betapa hebatnya dia sampai ku menganggap dia sama menakutkannya dengan hantu sekalipun.

My smile is apparently cheap. Cheap for everyone. But not for someone i adore much.

Kamis, 08 Maret 2012

Kisah Tentang Tenda Itu...


Bersyukurlah aku yang pernah tinggal di desa.

Setiap akhir pekan, aku dan adikku selalu tukar-tukaran menginap di rumah masing-masing. Kalau minggu ini aku menginap di rumahnya, maka minggu besok gantian dia yang menginap di rumahku. Kira-kira acara unik ini dilakukan ketika aku masih SD-SMP hingga awal SMA sebelum akhirnya adikku pindah ke Jakarta.

Suatu malam, kita iseng membuat tenda seadanya memakai kain bagor. Besar tenda itu kurang lebih hanya pas untuk kita berdua. Di depan tenda sudah siap sedia kayu bakar, tungku sederhana dan ubi yang dipanen tadi sore. Hanya diterangi satu buah sentir kecil, kita berniat untuk membakar ubi tersebut untuk makan malam.

Sementara adikku daden geni, aku tiduran di dalam tenda. Boleh percaya atau tidak, meski tenda itu nampak sederhana dari luar, tapi dalam tenda tersebut terdapat fasilitas yang lux bagi kami. Ada tikar, bantal & selimut. Nyaman sekali buat tiduran.

Malam semakin larut, ubi yang rencananya untuk makan malam belum matang juga alias gagal dibakar. Api sulit dibuat lantaran angin cukup besar. Akhirnya kita makan malam di dalam rumah.

Setelah makan malam usai, kami kembali ke tenda. Sambil bercerita menunggu ngantuk, tiba-tiba aku mendengar seseorang berjalan di belakang tenda kami. Entah itu siapa, yang jelas di sekitar tenda kami gelap gulita. Dan yang pasti adalah hutan. Tak mau terjadi apa-apa, akhirnya kami berdua berteriak sekencang-kencangnya serta berlarian menuju rumah. Di dalam rumah, ada paman dan simbok yang bertanya kepada kami apa yang terjadi. Dengan napas yang terengah-engah, aku menjawab perihal suara aneh di belakang tenda itu. Paman saja ada di dalam rumah, lalu siapa yang di belakang tenda tadi?

Biarpun paman memang suka menakut-nakuti kami berdua, rasanya tak mungkin dia ada di dua tempat di waktu yang bersamaan.

Entahlah...

Elementary School Memories

Tadi siang, setelah aku sholat Dhuhur berjamaah di Masjid Agung, aku membeli es kelapa muda di depan SDN Purworejo II, SD-ku dulu. Kusempat bertemu dengan seorang anak kecil, kutanyai, "Dik, Pak Narto masih ngajar nggak?" Dia hanya menganggukkan kepala dan segera pergi setelah es pesanan dia sudah ada di tangannya.

Pak Sunarto adalah salah satu guru SD yang paling ditakuti. Tak hanya aku, namun juga teman-temanku merasakan hal yang sama denganku. Bagaimana kami bisa enjoy menikmati guru Matematika itu ketika sedang mengajar? Saat ngajar saja beliau pasti membawa penggaris kayu yang panjang. Kalau ada yang berisik sedikit saja, bersiaplah penggaris itu melayang ke arah si pembuat suara.

18 tahun yang lalu aku memasuki tempat itu dan lulus 6 tahun kemudian. Pulang melewati jalan yang sama seperti td siang, menyelusuri jalan-jalan tikus yang berkelok-kelok bersama teman-temanku. Di perjalanan, satu per satu temanku sampai di rumah mereka hingga menyisakan aku pulang jalan sekali sendiri. Terkadang aku bersama Encus, Umi, Rifki, Catur, Sari, atau Asta. Sehingga mereka lah yang pulang sendiri karena rumah mereka lebih jauh dibanding jarak rumahku ke sekolah.

Mendengar tawa canda anak SD sekarang, diam-diam membuatku kangen akan masa kecil. Apakah kegembiraan mereka sama dengan kegembiraanku 12 tahun yang lalu?

Setidaknya, gara-gara aku lewat SD-ku itu, aku jadi berniat untuk berkunjung ke sana suatu hari nanti. Sekedar sowan kepada guru-guru tercinta (termasuk Pak Narto hehehe) dan menapak jejak kenangan yang masih tersisa. Aku percaya, kenangan itu masih ada di sana. Sebab, salah satu alasan mengapa orang selalu berpegangan pada kenangan adalah kenangan itu tak akan pernah berubah sedikit pun di saat banyak orang di sekitar kenangan tersebut berubah.

Akan kucari kenangan itu besok. Janji... :)

Berkah Doa Nenek


Aku meminta doa kepada nenekku waktu itu agar namaku lolos menjadi salah satu penerima beasiswa di kampusku. Beliau pun mendoakan agar beasiswa tahun terakhirku itu memang rejekiku.

Gusar dan cemas menanti tanggal pengumuman adalah hal biasa bagiku. Sudah 3 kali aku merasakan hal ini sebelumnya. Akhirnya hari pengumuman pun tiba. Namaku ada di daftar tersebut. Senang bukan mainan rasanya.
Segera kupulang ke Purworejo untuk menemui nenek, mengucapkan terima kasih kepada beliau. Doa dari beliau selalu manjur. Makin yakin kalau orang tua adalah perpanjangan dari keridhoan Allah.

Suatu ketika, aku dan nenek pergi ke pasar. Beliau memintaku jalan duluan karena langkahku cepat, berbanding terbalik dengan langkah beliau. Kusetujui saran tersebut, sesampainya di pasar Baledono, aku duduk di dekat pos satpam. Lama sekali menunggu nenek sampai. Kubayangkan, bagaimana jadinya kalau aku tadi jalan bersama beliau?

Setelah seperempat jam lebih menunggu, nenek sampai juga di pasar. Kita berjalan bersama ke kios batik langganan nenek. Awalnya aku heran, tumben kios itu dijaga oleh seorang ibu. Biasanya si nenek yang menjaga kios tersebut. Aku ingat betul karena dulu aku pernah beli sarung di sini dan dilayani nenek itu. Kata si ibu, si nenek sudah sepuh dan waktunya istirahat di rumah.

Di kios tersebut, nenek kubelikan satu jarit dengan uangku. Uang beasiswa yang kudapat karena berkah doa nenek. Tak menyangka saja itu jalan-jalan terakhirku bersama nenek. Bahkan aku juga tak tahu di mana jarit itu berada skrg. Disimpan di Purworejo atau di Tangerang, tempat meninggalnya nenek. Yang jelas, yang kuingat sampai sekarang adalah kita berdua sempat adu argumen saat akan membeli jarit. Biasalah, beda generasi menyebabkan beda pendapat. Walau demikian, terkadang rindu nenek dengan segala konfrontasi antara aku dan beliau :)