
Aku meminta doa kepada nenekku waktu itu agar namaku lolos menjadi salah satu penerima beasiswa di kampusku. Beliau pun mendoakan agar beasiswa tahun terakhirku itu memang rejekiku.
Gusar dan cemas menanti tanggal pengumuman adalah hal biasa bagiku. Sudah 3 kali aku merasakan hal ini sebelumnya. Akhirnya hari pengumuman pun tiba. Namaku ada di daftar tersebut. Senang bukan mainan rasanya.
Segera kupulang ke Purworejo untuk menemui nenek, mengucapkan terima kasih kepada beliau. Doa dari beliau selalu manjur. Makin yakin kalau orang tua adalah perpanjangan dari keridhoan Allah.
Suatu ketika, aku dan nenek pergi ke pasar. Beliau memintaku jalan duluan karena langkahku cepat, berbanding terbalik dengan langkah beliau. Kusetujui saran tersebut, sesampainya di pasar Baledono, aku duduk di dekat pos satpam. Lama sekali menunggu nenek sampai. Kubayangkan, bagaimana jadinya kalau aku tadi jalan bersama beliau?
Setelah seperempat jam lebih menunggu, nenek sampai juga di pasar. Kita berjalan bersama ke kios batik langganan nenek. Awalnya aku heran, tumben kios itu dijaga oleh seorang ibu. Biasanya si nenek yang menjaga kios tersebut. Aku ingat betul karena dulu aku pernah beli sarung di sini dan dilayani nenek itu. Kata si ibu, si nenek sudah sepuh dan waktunya istirahat di rumah.
Di kios tersebut, nenek kubelikan satu jarit dengan uangku. Uang beasiswa yang kudapat karena berkah doa nenek. Tak menyangka saja itu jalan-jalan terakhirku bersama nenek. Bahkan aku juga tak tahu di mana jarit itu berada skrg. Disimpan di Purworejo atau di Tangerang, tempat meninggalnya nenek. Yang jelas, yang kuingat sampai sekarang adalah kita berdua sempat adu argumen saat akan membeli jarit. Biasalah, beda generasi menyebabkan beda pendapat. Walau demikian, terkadang rindu nenek dengan segala konfrontasi antara aku dan beliau :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar