
Ada satu cerita tentang pengalamanku di Purbalingga yang terlewatkan, sehingga perlu kuceritakan di sini.
Salah satu alasan mengapa aku bersedia berkunjung ke rumah si Husen nun jauh di atas pegunungan adalah dia berkata ada pohon teh di sekitar rumahnya. Karena penasaran seperti apa tanaman yang saban pagi kunikmati hasil olahannya itu, aku bersedia memburu ke sana. Singkat cerita, aku sedikit kecewa lantaran kenyataan tak sesuai dengan harapan. Pikirku, belakang rumahnya adalah perkebunan teh maha luas seperti di sinetron-sinetron yang syuting di Puncak itu. Ternyata rumahnya dikelilingi oleh rimba dan tanaman teh yang ia janjikan hanyalah satu buah pohon teh di samping rumahnya. Pohonnya tinggi dan bisa dipastikan itu beda varietas dengan tanaman teh budidaya yang sering kita lihat di televisi itu. Daun-daunnya lebih besar dan mengkilat serta kaku bila dipegang. Karena sedikit kecewa, aku pun minta konfimasi dengan Husen, mengapa "hanya" ada satu buah pohon teh, bukan perkebunannya? Dia menjawab, "Bukankah kemarin kubilang ada pohon teh (bukan perkebunnnya)?"
Owalah...
Tidak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada perkebunan teh, pohon teh pun jadi. Karena sudah kerasukan rasa penasaran akut, akhirnya aku petik satu buah daun teh yang paling hijau dan segar. Kukunyah langsung seperti kambing mengunyah rerumputan. Kembali, aku diliputi rasa kekecewaan, nyatanya rasa daun itu tak berasa teh sama sekali. Hambar seperti tak makan apapun. Aku pun protes lagi kepada Husen, bagaimana daun teh tak berasa teh?
Dia malah menertawakanku sebelum memberikan jawaban. Setelah mereda tawanya akibat kekonyolanku, dia menjawab, kalau daun teh itu harus melewati serangkaian proses olahan sebelum dikonsumsi, bukan dimakan langsung begitu.
Wah ternyata masih banyak yang harus kupelajari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar